***Aku dan Jeniffer tidak bisa tidur hingga pagi. Setelah matahari mulai terbit, terdengar suara mobil di luar rumah.Sepertinya Dokter Wiliam sudah datang. Aku bergegas membuka pintu."Hey," ucap Dokter Wiliam menyapaku.Aku tersenyum menyambutnya, tapi hatiku terasa pilu.Kami duduk di ruang tengah, Jeniffer gemetar melihat kedatangan Dokter Wiliam."Jen, kenapa?" tanya Dokter Wiliam."Tidak enak badan Kak," sahut Jeniffer."Saya buatkan teh dulu ya," ujarku sembari berlalu.Di dapur aku mengirim pesan pada Rena. [ Ren, Dokter Wiliam sudah datang. ]Setelah menunggu beberapa menit, pesanku dibalas Rena. [ Hati-hati, tetap berusaha tenang dulu, Ci! ]Aku mengirim lagi emot setuju.Kini aku kembali ke ruang tengah membawa secangkir teh panas."Minum dulu!" Aku menyodorkan segelas teh."Terima kasih, hari ini kamu jangan pergi ke ruko ya! Biar saja karywatimu yang mengurus toko itu. Kita akan pergi mencetak undangan bersama nanti, Jeniffer juga ikut!" papar Dokter Wiliam.Aku menarik
***Setelah mobil Dokter Wiliam berhenti, tak lama kemudian ia turun dengan seorang gadis."Ren, ada perempuan bersamanya," ucapku terkejut."Gawat, Ci! Perempuan itu pasti akan jadi korban selanjutnya," sambung Rena."Bagaimana ini Kak?" Jeniffer mulai ketakutan lagi."Kita harus turun sekarang!" ujarku geram.Rena setuju, sedangkan Jeniffer kami biarkan tetap berada di dalam mobil saja."Brengsek!" maki Rena.Dokter Wiliam sontak kaget melihat keberadaan kami berdua."Kalian!" ucapnya yang masih terlihat tenang."Apa yang ingin dokter perbuat di sini bersama seorang perempuan?" tanyaku pura-pura bodoh."Jangan salah faham dulu, Ci! Villa ini milik keluarga saya, bahkan Jeniffer sekalipun tidak mengetahui ini. Ayo kita masuk, di dalam ada beberapa orang yang sedang menunggu saya." Dokter Wiliam masih tersenyum polos."Omong kosong!" hardik Rena."Kenapa anda marah? Wiliam berkata yang sebenarnya, hari ini saya dan Wiliam ke sini untuk suatu tugas dari rumah sakit," ucap perempuan itu
***Waktu berganti, kini aku dan Rena mengantarkn Jeniffer ke bandara."Terima kasih banyak, Kak Suci, Kak Rena. Kalian sangat baik," ucap Jeniffer."Sama-sama. Jaga dirimu baik-baik di sana!" Aku memeluk tubuh gadis cantik bermata biru itu.Rena juga melakukan hal yang sama.Setelah selesai, aku dan Rena segera pulang. Rena tampak sedih, aku menjadi cemas."Ren," lirihku.Rena tak menjawab, ia hanya membuang nafasnya dengan kasar sambil fokus menyetir.Suasana menjadi hening, hingg kami sampai kembali di kontrakkan."Ren, kamu baik-baik saja kan?" tanyaku memastikan."Aku hanya berpikir tentang masa depanku Ci. Hidupku sudah tak ada artinya lagi sekarang," ucapnya dengan datar."Jangan bicara begitu, Ren! Allah tidak menyukai hambaNya yang berputus asa," lirihku menyemangatinya.Rena memelukku dengan tangisannya yang mulai pecah.Tiba-tiba ponselku berdering!Sebuah panggilan dari pihak kepolisian."Selamat siang, Saudari Suci!" ucapnya."Siang, Pak!""Maaf sebelumnya, saya hanya in
***Mas Aryo mengajak aku duduk di ruang tengah untuk membicarakan sesuatu. Entah apa yang ingin dibicarakan Mas Aryo, aku mencoba duduk dan mendengarkan dengan serius."Maaf, Dek. Mas hanya ingin bilang sesuatu," ujarnya."Katakan saja, Mas!""Sebenarnya ...." Mas Aryo menunduk sedih.Entah kenapa Mas Aryo tiba-tiba menjadi murung, ia seperti menahan air mata."Ada apa Mas?" tanyaku pelan."Mas mungkin tidak akan bisa bertahan lama. Dokter momvonis Mas dengan penyakit tumor otak stadium lanjut. Mas sering meronta sakit tanpa ada satu orang pun yang tahu, termasuk Ibu."Degh!Debaran jantungku seperti genderang mau perang ketika mendengar penuturan Mas Aryo itu.Aku tidak percaya dengan apa yang ia katakan, tubuhnya tampak sehat-sehat saja. Namun, ternyata Mas Aryo mengindam penyakit serius."Apa ini benar, Mas?" tanyaku menahan bulir bening yang ingin turun.Mas Aryo mengangguk pelan. Air matanya kini sudah berjatuhan."Mas hanya sedih jika ajal Mas datang lebih dulu, maka siapa yan
***Setelah aku selesai dari toilet, aku bergegas menghampiri Indah dan yang lain."Mbak Suci, ini siapa?" tanya Indah polos, melirik pria yang sudah duduk di sebelahnya."Saya juga belum sempat berkenalan tadi, he-he ...," sahutku merasa konyol. "Oya, perkenalkan nama saya Reyhan Adik kandung dari Mas Rian," ujar pemuda tampan itu. "Oh, pantas sedikit mirip," sambungku tersenyum. Indah terlihat malu-malu, dan Reyhan juga terlihat begitu. Kali ini sepertiny aku harus menjadi Mak comblang."Oya, Reyhan! Kenalin ini adalah Adik angkat saya." Aku merangkul Indah sembari memperkenalkannya. Raihan tersenyum menatap ke arah Indah, dan berkata. "Hai senang bisa berkenalan denganmu."Wajah Indah berubah jadi merah merona. Aku dapat mengerti tentang apa yang sedang dirasakan Indah sekarang. Karena, aku juga pernah muda dulu. Sedangkan Mas Aryo hanya tersenyum menanggapi obrolan kami ini. Ia tak lagi banyak bicara. Aku menjadi sedih seketika. Cobaan yang dilalui, Mas Aryo memanglah berat.
***Hari yang ditunggu kini telah tiba. Aku telah memakai kebaya cantik yang berwarna coklat muda. Mas Aryo sudah berjabat tangan dengan Pak penghulu. Janji Suci kini kembali diucap. Mas Aryo melakukan ritual ijab qabul yang kedua bersamaku.Semua berjalan lancar Indah dan Rena juga turut menjadi saksi utuhnya kembali rumah tanggaku dengan Mas Aryo.Setelah semua proses pernikahan selesai, kami duduk bersama. Acara memang tidak begitu mewah, hanya mengundang kerabat dekat saja. Bukan tidak mampu, tapi memang aku ingin yang sederhana."Terima kasih ya, Dek! Mas berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi," ucap Mas Aryo sambil menggenggam erat tanganku."Iya, Mas. Adek percaya, bawa Mas tidak akan mengingkarinya lagi kali ini.""Mbak Rena Mbak Suci kalian sudah menemukan bahagia kalian masing-masing. Sedangkan saya ...." sambung Indah dengan menunduk.Aku tersenyum mendengar ucapan polos Indah itu, begitupun Rena."Hey, Reyhan! Itu adalah sebuah kode, harusnya kamu peka," u
***Aku berlari ke ruangan rawat Mas Aryo. Terlihat ibu sudah terisak tangis di samping Mas Aryo."Bu, apa yang terjadi?" tanyaku bingung."Suci," lirih Ibu dengan Isak tangis yang menjadi.Tak lama dokter datang. Aku langsung bsrtanya kembali pada dokter."Dok, suami saya baik-baik saja kan? Kenapa dia tak membuka mata?"Dokter hanya diam sambil menundukan wajahya."Dok, katakan!" teriakku."Maaf, Buk Suci. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi Allah berkehendak lain. Pak Aryo tak bisa kami selamatkan."Degh!Detak jantungku seakan berhenti berfungsi ketika mendengar pernyataan dokter. Air mataku tak mau lagi menetes.Ibu perlahan menggeser kursi rodanya meraih tanganku."Aryo sudah meninggalkan kita Nak," lirih Ibu.Aku bergeming, tak tahu harus berbuat apa. Kenyataan ini sungguh meruntuhkan pertahananku.Rena dan Indah memelukku erat, mereka mecoba menguatkan aku."Suci, kamu harus ikhlas. Ini sudah takdir dari yang Maha Kuasa, garis kehidupan kita sudah ditentukan oleh-Nya,
***Sepulang dari mall, aku jadi tak banyak bicara. Pria itu sangat mirip dengan Mas Aryo."Suci, kamu kenapa?" tanya Ibu."Gapapa, Bu." Aku mencoba tersenyum.Dengan perasaan yang tak menentu, kini aku melangkah masuk ke kamar. Pikiranku melayang-layang, kenapa aku bisa bertemu dengan seseorang yang begitu mirip dengan almarhum suamiku.Saat aku masih memikirkan perkara pertemuan tadi, tiba-tiba Rena mengirim pesan.[Ci, jangan lupa, nanti malam ada pameran busana. Aku sudah memilih beberapa gamis cantik yang dirancang sendiri dari tanganku. Itung-itung nyalurin bakat.]Aku hampir lupa, Rena sudah mulai membuat gamis dengan jahitannya sendiri. Menurutku Rena sangat handal. Kebetulan malam ini ada pameran busana hasil tangan sendiri. Semoga saja gamis dari butikku bisa menang.[Siap, Ren.] Aku membalas pesan Rena.***Waktu berjalan, tepat pukul delapan malam aku sudah siap untuk berangkat ke pameran.Aku pergi bersama Ibu, sedangkan Rena telah sampai duluan dengan Indah.Sampai di s
Judul: Ibuku teraniaya di rumahnya sendiri.Part: 25.***POV Reno.***Hari ini adalah hari paling membahagiakan sepanjang hidupku. Ibu akan berangkat umroh memenuhi impiannya. "Titip Sita ya, Ren. Tolong jaga dia dengan baik selama Ibu tidak di rumah," kata Ibu. Sebelum ia berangkat.Aku tersenyum mengiyakannya. Betapa Ibu sangat menyayangi Sita..Waktu berjalan, aku dan Sita kompak mengurusi usaha yang kini tengah naik daun."Rumah terasa sepi ya, Mas tanpa Ibu," ucap Sita sedih."Iya, Dek. Tapi Ibu kan tidak lama di sana," sahutku."Aku sudah tak bisa jauh-jauh dari Ibu," papar istriku.Aku meraihnya ke dalam dekapanku. "Terima kasih, Dek. Terima kasih karena telah membuat Mas begitu bangga padamu.".10 hari kemudian ....Ibu pulang dan kami kembali berkumpul. Rasanya sangat membahagiakan."Ibu," lirih Sita memeluk tubuh Ibu."Kenapa, sayang? Kau pasti merindukan Ibu kan?" Ibu tersenyum sambil membelai kepala Sita.Sita menangis tanpa menjawab. Sedangkan aku turut bergabung da
Judul: Ibuku teraniaya di rumahnya sendiri.Part: 24.***POV Sita.Sore itu aku mendapat pesan dari aplikasi biru yang sedang aku buka. Seorang teman lama mengajakku bertemu dengan dalih ingin memperkenalkan produk kosmetik ternama miliknya.Aku yang memang sedang bosan di rumah, akhirnya setuju dan menemuinya.Kami bertemu di restoran yang sudah disepakati."Hay, Sita! Kamu tampak lebih cantik sekarang," sapa Budi sekaligus memuji.Ya, namanya Budi. Teman sekolahku dulu waktu masih SMA."Hey, terima kasih.""Oya, langsung saja aku kasih kamu lihat tentang produkku ini."Budi mengeluarkan berbagai jenis skincare. Aku memeriksanya satu persatu. Namun, aku ragu dan tak tertarik."Hem, aku sebenarnya sudah cocok dengan skincare lamaku, Bud.""Cobain dulu aja! Atau kamu coba lipstik ini. Biar aku pasangkan."Budi dengan sigap ingin mengoleskan lipstik itu di bibirku, tapi aku menepis tangannya dengan cepat."Jangan kurangajar! Aku sudah menikah, dan jika ada yang melihat maka pasti akan
Judul: Ibuku teraniaya di rumahnya sendiri.Part: 23.***Aku menggeleng dan hendak berlalu dari gudang ini.Namun, pintu tak bisa dibuka."Tolong! Tolong!"Buk Fatma tiba-tiba menjerit minta tolong sembari merobek bajunya sendiri."Apa maksud Buk Fatma melakukan ini?" tanyaku dengan raut wajah entah bagaimana."Tolong! Tolong saya!" teriaknya lagi.Aku panik dan tak tahu harus berbuat apa. Berkali-kali aku memutar gagang pintu.Namun, seketika Buk Fatma memelukku dari belakang."Tolong!""Lepas, Buk! Anda sudah kehilangan akal!" hardikku.Buk Fatma terus berteriak minta tolong sambil mendekapku erat.Hingga tiba-tiba pintu dibuka dari luar."Tolong saya," lirih Buk Fatma yang ambruk ke lantai."Buk Fatma, ayo cepat bantu Buk Fatma," ujar sekuriti.Saat ini di depan gudang sudah ramai para pegawai berkumpul. Mereka menatapku tajam serta memaki berbagai umpatan kasar."Dasar tak tahu terima kasih! Sudah diberi jabatan tinggi, malah ingin memperkosa atasan sendiri," ucap para wanita ya
Judul: Ibuku teraniaya di rumahnya sendiri.Part: 22.***POV Reno. Sore ini aku pulang dengan penuh semangat. Rasa rinduku menumpuk ingin segera bertemu Sita. Hubungan kami yang renggang membuah aku begitu tersiksa. Dan perubahan sikap istriku sudah cukup mengobati lukaku yang sebelumnya tercipta..Sampai di rumah, aku langsung masuk ke dalam kamar mencari keberadaan Sita. Namun, istriku tak ada di dalam kamarnya. Kemudian aku ke dapur untuk mengecek. "Bu, Sita ke mana?" tanyaku pada Ibu."Tadi katanya ada teman lamanya yang ngajak bertemu di luar. Ibu sudah menyuruh Sita untuk meminta izinmu terlebih dahulu," ujar Ibu."Oh, ya sudah kalau begitu." Aku tak ingin memperpanjang masalah kecil lagi. Mungkin Sita suntuk dan butuh hiburan di luar. Tentang izin dariku, aku mengerti Sita masih marah. Jadi mana mungkin dia mau menghubungiku terlebih dahulu..Hampir satu jam berlalu, Sita pulang dengan wajah sumringah."Kamu habis ketemu siapa, Dek?" tanyaku menyelidik."Seseorang, Mas
Judul: Ibuku teraniaya di rumahnya sendiri.Part: 21.***POV Fatma.Setelah mendapat alamat rumah orang tua Sita, aku langsung bergegas menemuinya di sana. Sebelumnya aku juga sudah mengatakan pada keluarga Reno.Sampai di kediaman orang tua Sita, aku dipersilakan masuk oleh asisten rumah tangganya."Buk Fatma, dari mana tahu alamat rumah orang tuaku?" tanya Sita menatap sinis padaku."Dari siapa lagi kalau bukan dari Reno," jawabku santai.Sita semakin menatapku tak suka. Tak lama kemudian kedua orang tuanya turut bergabung duduk di dekat kami."Jadi kamu yang bernama Fatma?" tanya lelaki yang masih tampak gagah di usia yang tidak muda lagi itu.Aku mengangguk pelan sambil tersenyum."Wanita ini yang sudah merusak rumah tanggaku, Pa. Dibalik sikap lembutnya, tersimpan racun yang berbisa," cibir Sita.Aku berdehem pelan menanggapi ucapannya. Senyumku masih terpasang. Menghadapi orang seperti Sita cukup dengan ketenangan."Sebelumnya saya minta maaf. Namun, saya tak mau berlama-lama m
Judul: Ibuku teraniaya di rumahnya sendiri.Part: 20***"Dalam rangka apa Ibu ingin mengundang Buk Fatma?" tanyaku menyelidik."Ingin meminta maaf. Ibu dan Sita sudah sepakat untuk meminta maaf secara langsung pada Fatma. Tolong kau undang dia malam ini ya, Ren." Lembut suara Ibu membuat aku tak bisa menolak."Baiklah, Bu."Aku berlalu ke dalam kamar dan meninggalkan mereka yang tengah sibuk memasak.Rasanya sedikit lega jika Sita benar-benar bisa menyayangi Ibuku seperti aku menyayanginya..Di dalam kamar, aku menelepon atasanku untuk memberitahu kabar bahagia ini.Panggilanku berdering dan dijawab dengan cepat."Halo, Ren! Tumben telepon. Ada apa?" tanya-nya terdengar senang."Iya, Buk Fatma. Maaf jika saya mengganggu. Saya hanya ingin mengundang Buk Fatma untuk makan malam. Ini adalah permintaan dari Ibu," ujarku."Alhamdulillah, saya senang sekali menerima undangan dari beliau. Saya pasti datang, Ren.""Terima kasih, Buk Fatma. Kami semua menunggu kedatangan Buk Fatma nanti mala
Judul: Ibuku teraniaya di rumahnya sendiri.Part: 19***"Sita sudah berubah jadi lebih baik. Tak pantas jika Ibu mencampakkannya. Silakan keluar, Ren. Bawa ponselmu ini! Ibu tak butuh bukti rekaman semacam ini."Langkahku terdorong mundur. Rasanya tak percaya mendapat tanggapan seperti ini dari Ibu.Kenapa Ibu dibutakan oleh Sita?Apa yang telah Sita katakan pada Ibu?Benarkah ada ancaman?Akhirnya aku berjalan menuju kamar. Di dalamnya tentu ada Sita yang sedang bersantai."Mas," lirihnya canggung saat melihat wajahku.Aku menatap matanya tajam tanpa sebuah senyuman. Hatiku telah panas, sepanas suasana siang hari di ibukota ini."Apa yang kau lakukan terhadap Ibuku? Kenapa Ibu seolah melindungimu walau kenyataannya telah membuktikan kau bersalah, Dek." Bergetar suaraku mengutarakan hal tersebut."Kenyataan apa maksudmu, Mas?" tanya Sita berlagak heran."Jangan pura-pura lagi, Sita! Lihatlah ini!"Aku melempar ponselku ke ranjang dan membiarkan rekaman itu terputar.Sita meraihnya da
Judul: Ibuku teraniaya di rumahnya sendiri.Part: 18***POV Reno.Aku ke kantor dengan perasaan resah dan gelisah. Melihat sikap Ibu yang bersikeras membela Sita, membuat aku ikut merasa bersalah.Kenapa aku sebagai seorang suami tak bisa mempercayainya sedikit saja seperti Ibu?Apakah istriku seburuk itu?.Sampai aku di kantor dan masuk ke dalam ruangan. Bukannya mengerjakan tugas, aku malah merenungi semua yang sedang terjadi.Tok! Tok! Tok!Suara ketukan pintu menyadarkan lamunanku. Dapat dipastikan yang datang adalah Buk Fatma."Masuk," lirihku dengan malas.Senyum indah Buk Fatma terukir saat menatap wajahku."Ren, maaf untuk keributan yang tercipta di rumahmu tadi. Saya benar-benar mengkhawatirkan Ibu. Tidak lebih dari itu Ren," ujarnya."Iya, Buk Fatma. Saya yang minta maaf atas sikap Ibu saya. Namun, biasanya beliau memang memiliki feeling yang kuat," paparku.Wajah Buk Fatma langsung berubah jadi kesal. Aku sadar, ucapanku mungkin sedikit menyinggungnya."Ibu terlalu baik d
Judul: Ibuku teraniaya di rumahnya sendiri.Part: 17***POV Sita.Setelah suamiku berangkat ke kantor. Tak lama bel berbunyi. Aku mengintip dari balik tirai, ternyata wanita munafik itu yang datang."Nak, kenapa tak dibuka pintunya?" tanya Ibu yang tiba-tiba berdiri di belakangku.Aku menarik pelan tangan Ibu untuk segera menjauh."Bu, di luar ada Buk Fatma. Apa Ibu mau bekerjasama denganku?"Alis Ibu mertua bertaut saat mendengar ucapanku."Bekerjasama apa, Sita?""Ibu bukain pintu, dan jangan bilang kalau aku sudah kembali. Aku ingin mendengar apa saja yang akan dia katakan.""Tapi, Nak. Ibu tidak terbiasa berbohong.""Ayolah, Bu. Aku hanya ingin membuktikan pada Ibu, kalau Buk Fatma itu tidak sebaik yang kalian kira."Dengan ragu, akhirnya Ibu mengangguk.Aku langsung bersembunyi di balik sudut pembatas ruangan.Setelah Ibu membuka pintu, keduanya pun segera duduk di sofa.Aku dapat melihat dengan jelas kalau saat ini Buk Fatma memasang wajah sedih dan sangat polos.Berbeda saat i