Meskipun kini aku berada di ruangan perapian, udara malam ini cukup dingin. Aku menikmati secangkir teh dan menatap lukisan kedua orang tuaku yang terpajang di atas perapian. Ibuku sangat cantik, sebagian orang mengatakan jika aku mirip dengan ibuku. Aku tidak pernah tahu bagaimana ayah dan ibuku bertemu. Apakah ayah akan menerima jika aku menikah dengan gadis biasa yang bukan dari kalangan bangsawan? Ah, mengapa aku berpikir sampai sana? Wanita itu akan menikah dengan sahabatku sendiri. Sudahlah lupakan saja! Ibuku sudah meninggal, dia meninggalkanku ketika aku masih anak-anak. Aku sangat terpuruk kala itu. Hanya ibu yang selalu menemaniku. Ayahku sibuk dengan tahtanya. Meskipun aku kedatangan dua orang yang sebaya denganku, aku tidak terhibur sama sekali. Mereka hanya bermain berdua, tidak pernah mengajakku sama sekali. Aku pun demikian, tidak bisa berbaur dengannya—dan aku tidak menyukai mereka. Namun, juga tidak membencinya. Kami seperti terhalangi oleh tembok besar, dan aku tida
Dia menguraikan rambutnya. Aku bisa melihat pesonanya begitu indah. Terlalu bersinar. Aku langsung bersembunyi ketika dia menoleh hampir ke arahku. Berharap dia tidak melihatku sama sekali. Aku mencoba membalikkan badanku, mengintip dari sisi yang jauh untuk mengamatinya. Namun, wanita itu kini telah berada di hadapanku. Ah, aku harus bersikap seperti biasanya."Tuan. Akhirnya kau kembali. Apakah perjalananmu kali ini menyenangkan?"Dia mengira aku telah pergi berkelana. Padahal aku hanya di sini mengamatinya secara diam-diam. Aku mengabaikan pertanyaannya."Mengapa kau menguraikan rambutmu?"Dia menarik ujung rambutnya. "Um, akan ada pesta malam ini di sini. Sudah lama aku tidak mengikutinya."Begitu rupanya.Pesta rakyat biasanya dilakukan setahun sekali, ketika musim gugur akan segera berakhir. Tidak akan lama lagi, musim dingin akan segera tiba. Aku tidak pernah mengikuti bagaimana pesta rakyat, bukan kewenanganku. Bukan membedakan antara rakyat dan bangsawan. Hanya saja peraturan
"Di mana ibumu? Apakah kau tersesat?" Seorang gadis kecil menghampiriku yang sedang duduk di sebuah kursi. Aku memang tidak mempunyai teman dan anak ini mendekatiku.Aku hanya terdiam menatap ke arahnya."Baiklah, akan aku temani di sini sampai ibumu datang." Dia menduduki kursi dan duduk di sampingku."Sepertinya kau sangat lapar, aku punya makanan untuk kau makan sekarang."Aku tidak mengatakan apa pun, tapi anak ini bersikeras mengatakan bahwa aku sedang kelaparan. Dia memberikanku sepotong biskuit, dan aku menerimanya."Makanlah." Dia mengunyah biskuitnya.Seorang prajurit yang berada di sampingku berusaha untuk berbicara kepada anak ini. Hanya saja aku mencegahnya, dan memberi tanda bahwa sebaiknya dia berpura-pura tidak mengenaliku."Ah, sedang apa prajurit itu di sampingmu? Apa kau seorang penjahat?" Dia berbisik ketelingaku.Aku tertawa dibuatnya, biskuit yang sedang kumakan berhamburan keluar begitu saja."Bagaimana jika aku seorang penjahat?""Hei. Aku tidak yakin kau seoran
Dia mengepang rambutnya, dan memakai pakaian seperti laki-laki. Dia mengenakan celana, kemejanya berlengan panjang yang longgar, dan sepatu boots. Aku bisa menilai, jika dia lebih nyaman memakai pakaian seperti itu, daripada gaun yang dipakai oleh gadis pada umumnya. Hanya saja kali ini aku melihat dia memakai korset di bagian luarnya. Sepertinya dia akan melakukan kegiatan tertentu.Sesuai dengan pengamatanku, jika dia pulang memakai pakaian kasual seperti itu. Besar kemungkinan dia akan menunggangi seekor kuda. Karena tidak mungkin jika aku berjalan, jadi aku mengikutinya dari kejauhan dengan menunggangi kuda. Ini kesempatanku untuk mengikutinya, setelah berkali-kali kehilangan jejaknya. Jalan yang kutempuh bukanlah jalan menuju rumahnya. Melainkan ke suatu tempat. Aku menelusuri jalan setapak, memasuki hutan. Jalanan ini tidak bisa ditempuh oleh kereta kuda. Gadis ini cukup berani memasuki hutan seorang diri. Dia melaju cukup kencang. Perjalanan tidaklah singkat. Aku mulai bosan de
Hari ini aku tidak menemui gadis itu karena, ketika aku hendak pergi menuju tempat di mana dia berada. Cedric mencegahku, dan dia mengajakku untuk berbincang-bincang di suatu tempat. "Kau akan menyukainya, jadi ikuti aku." Dia menghentikan langkahnya. "Aku tidak yakin jika kau akan menyukainya." "Tidak masalah, aku akan pergi mengikutimu." Aku berjalan melewatinya, lalu menunggangi kuda milikku. Setelah menempuh waktu yang cukup lama, aku mendapati wilayah dengan perternakan, perkebunan dan ladang yang luas. Ini masih termasuk ke dalam wilayahku. Namun, aku akui jika aku tidak pernah pergi sejauh ini. Saat ibuku masih ada, biasanya ibu selalu mengajakku ke tempat seperti ini. Ibu ingin aku mengenal bagaimana kehidupan di kalangan orang biasa. Setelah kepergian ibu, aku hanya berdiam diri di kediamanku dan hanya belajar bagaimana seharusnya aku menjalani hidup. Sebenarnya aku tidak perlu bersusah payah untuk mencari ilmu ke negara orang atau apalah yang selalu orang lain lakukan. K
"Tuan?"Gadis itu memakai pakaian wanita pada umumnya dengan kepala yang tertutupi oleh sebuah topi lebar. Langit tampak sedikit cerah meskipun dengan udara yang cukup dingin.Untuk pertama kalinya aku melihat dia memakai busana tanpa lengan. Apakah dia tidak kedinginan di saat udara seperti ini? Ingin rasanya aku menanyakannya. Namun, aku tidak enak hati jika harus menanyakan pakaian yang sedang dikenakan oleh wanita. Suasana hati mereka akan berubah menjadi lebih sensitif.Di lengan sebelah kirinya, dia menenteng sebuah keranjang. Apakah dia sedang ada acara piknik di hari ini?Secara tidak sengaja, aku mengerutkan dahi menatapnya dari bawah hingga ke atas."Kau tidak menyukainya?""Mengapa kau berasumsi seperti itu?"Dia menganggkat kedua bahunya. "Sikapmu menunjukkan bahwa kau tidak suka.""Tidak, aku hanya terkejut jika kau berpenampilan seperti itu."Aku menggungakan kata 'penampilan' daripada 'pakaian' untuk melindungi diriku dari perubahan suasana hatinya."A-aku ingin piknik
Gadis itu memberikanku pakaian ganti. Dia mengatakan bahwa pakaian yang aku kenakan adalah milik kakaknya. Jadi aku tidak perlu mengembalikannya. Namun, aku khawatir jika aku mengambil sebagian kenangan dari kakaknya."Kau benar-benar tak apa?"Dia mengangguk dengan tegas."Kau tampak sedih telah kehilangan kakakmu. Sebaiknya aku tidak mengambil sesuatu yang berharga dari kakakmu."Dia tersenyum. "Itu hanya pakaian, tidak ada yang berharga."Tetap saja, sebaiknya akan aku kembalikan nanti.Di sudut ruangan ini, samping perapian, aku melihat sebuah piano yang di tutupi sebuah kain putih kusam. Piano ini menghadap ke jendela. Jika aku memainkannya pada saat cuaca sedang baik dan di pagi atau siang hari. Mungkin akan terasa lebih indah.Kemudian aku mendekati piano itu."Jika kau senang memainkannya. Bermainlah dengannya. Aku penasaran dengan melodi yang akan kau mainkan."Debu berterbangan ketika aku membuka penutup kain ini. Dengan spontan, aku mulai bersin dan menutup hidungku."Ini h
Hari ini aku berjalan berdampingan dengannya sambil bergandengan tangan, dia memeluk tanganku tanpa mau melepaskannya. Aku mengantarkan dia menuju ke tempat kerjanya, setelah itu aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan? Apakah sebaiknya aku kembali ke kediamanku untuk mmperbaiki punggungku? Aku merasa seluruh punggungku terasa sakit dan tidak nyaman. Mungkin ini karena aku telah tidur di lantai yang hanya beralaskan karpet. Namun, sejujurnya aku menyukai saat-saat malam itu. Semalaman aku memeluknya, beban pikiranku terasa sirna. Meskipun aku tidak mempunyai masalah, tapi keraguan yang ada di dalam diriku semuanya terasa menghilang begitu saja. Suasana pagi ini cukup lembab, karena awan masih mendung. Matahari enggan menunjukkan dirinya. Pagi ini di jalanan terdapat banyak genangan air, sehingga dengan terpaksa dia melepaskan tanganku untuk mencari jalan dan menghindar genangan. Kereta kuda melewati kami dengan laju yang cepat, roda dari kereta kuda mengenai genangan air kotor itu.