Kata siapa menjadi dewasa itu menyenangkan? Semakin dewasa, semakin banyak tanggung jawab yang harus dipikul. Semakin banyak pula keinginan-keinginan yang harus dikorbankan demi sebuah kebutuhan. Langit menyadari hal ini dengan pasti. Kalau saat dulu ia masih bisa merengek setiap menginginkan sesuatu, kini ia hanya bisa memendam semuanya dan mengusahakan sendiri. Sebenarnya, ia bisa kembali ke rumah, kembali pada kemewahan yang dimiliki orang tuanya. Tapi, Langit menyadari kalau ia melakukan semuanya, berarti ia kalah dari orang tuanya.Memang tidak ada perlombaan di sini. Hanya ada sebuah ajang pembuktian diri yang ingin ditunjukkan Langit pada orang tua yang mengabaikannya selama ini. Meskipun secara lahir ia dan Gita berkecukupan, secara batin ia kosong. Karenanya Langit ingin membuktikan bahwa ia bisa menjadi seorang dewasa yang mandiri tanpa bantuan orang tuanya, kemudian melakukan semua yang ia suka, termasuk mencari pasangan. Sebab, orang tuanya seolah tidak belajar dari pengal
Tiga minggu adalah waktu yang lumayan mepet untuk mereka mengurusi segala macam persiapan menikah. Mereka berdua sepakat untuk mengadakan intimate wedding, sehingga yang dipersiapkan juga tidaklah banyak. Mereka hanya mengundang orang terdekat, beberapa kolega dan rekan kerja. Sebenarnya undangan juga diberikan untuk keluarga besar Gita. Tapi, mereka tidak berharap banyak kalau keluarga sang pengantin wanita akan datang. Sementara dari pihak pengantin pria sendiri, hanya tersisa neneknya yang kini menjadi satu-satunya orang yang duduk di kursi orang tua atau wali sang pengantin. Di hadapan penghulu, Dika dan Gita sudah duduk bersebelahan. Gita terlihat anggun dengan balutan kebaya putih dan bawahan batik berwarna coklat. Rambutnya disanggul dengan untaian melati yang terpasang di sanggulnya dan menjuntai ke samping. Dika juga terlihat gagah dengan jas dan bawahan berwarna abu-abu yang membalut kemeja putih yang dipermanis dengan dasi kupu-kupu. Di atas kepala keduanya, sebuah kain ve
Acara yang sudah selesai seharusnya tidak mendapatkan tamu lagi, terlebih tamu yang tidak diinginkan sekalipun undangan dikirim untuk nama mereka. Langit dan Gita menegang saat melihat sosok orang yang paling tidak ingin mereka lihat telah berdiri di depan pintu seraya mengucap salam.“Ngapain kalian ke sini?” ketus Langit. Ia bahkan tidak ingin menyembunyikan raut wajah ketidaksukaannya.“Gua ke sini karena kakak gua nikah. Emang salah, ya? Kan gua juga udah dapat undangannya,” jawab orang itu santai.Langit hampir meledak kembali kalau saja tangan kakaknya tidak segera meraih lengan pemuda itu. Biru sendiri hanya menonton karena ia tidak tahu ada masalah apa antara kakak beradik itu dengan orang yang baru saja tiba. Bahkan ia tidak tahu, siapa gerangan orang yang baru saja sampai dan membuat rusuh tersebut.Gita yang sudah berganti baju menjadi dress yang lebih sederhana dengan riasan yang masih menempel di wajahnya berjalan menghampiri seorang anak laki-laki yang mungkin baru berus
Pernikahan Gita dan Dika hanya berselang seminggu dari hari puasa ditentukan. Sore itu, Biru melamun memandangi laptopnya dengan pikiran yang melayang ke mana-mana. Sidang isbat akan dilakukan petang ini, yang berarti penentuan apakah besok sudah melakukan puasa atau belum adalah malam nanti. Gadis itu merasa rindu ingin mengunjungi makam ibunya sebelum puasa. Entah mengapa melihat pernikahan Gita dan Dika kemarin membuatnya tiba-tiba merindukan ibunya. Padahal Biru tahu benar kalau dalam pernikahan Gita kemarin juga tanpa ada orang tuanya. Tak ada pemicu untuk membuatnya ingat orang tuanya.Beberapa waktu ia berpikir, akhirnya gadis itu memutuskan sesuatu dengan impulsif. “Pokoknya kalau besok puasa, gua ke Jakarta kalau mau lebaran. Tapi, kalau puasanya lusa, malam ini juga gua gas ke Jakarta buat ke makam ibu,” gumam gadis itu.Dengan ponsel yang memutar siaran ulang dari laporan-laporan terkait pengamatan hilal, Biru menggerakkan jari-jarinya untuk mengetik susunan kata demi kata d
Panasnya kota Jakarta lumayan membuat peluh menetes deras. Beruntungnya level panas ini tidak jauh beda dengan di Bandar Lampung, alhasil Biru dan Langit tidak terlalu merasa gerah. Kedua manusia ini sedang berboncengan ke arah rumah Bundanya, Bu Puji.Biru dan Langit sebelumnya hendak mampir untuk mencari makan dulu. Tapi, saat ia berkata akan mampir ke rumah Bunda setelah makan siang, Bunda malah melarangnya makan di luar. Bunda bilang, beliau akan memasakkan untuk Biru dan Langit. Kalau keduanya makan di luar, dikhawatirkan makanan yang akan dimasak Bunda ini tidak dimakan. Alhasil Biru dan Langit membeli beberapa makanan ringan dan buah-buahan untuk buah tangan. Biru juga sempat membeli seporsi siomay karena sudah terasa lapar. Toh gadis itu memiliki nafsu makan yang besar. Seporsi siomay tidak membuatnya kenyang sama sekali.Sesampainya di rumah Bunda, Bu Puji dan Arakata menyambut keduanya di depan rumah. Pak Abdi sendiri masih kerja dan akan pulang nanti sore. Hari ini kebetula
Sesuai dengan kesepakatan, Biru dan Langit telah siap untuk pulang di keesokan harinya, pada pagi hari di puasa hari pertama mereka. Layaknya seorang ibu yang akan ditinggal anaknya kembali merantau, Bunda membawakan banyak sekali makanan untuk mereka berdua. Alasannya untuk berbuka nanti dan sahur keesokannya. Opor ayam yang dimasak bunda kemarin sudah habis untuk makan kemarin. Gantinya, bunda memasakkan Biru ayam semur dan juga beberapa kue lain untuk dibawa. Diam-diam, Biru merasa tidak enak karena hingga kini ia belum berhasil menjebol tembok untuk bundanya agar bisa benar-benar ia anggap ibu.“Biru berangkat sekarang ya, Bu, Pak. Nggak enak kalau kelamaan izinnya,” pamit Biru sembari menyalimi bunda dan ayah.“Iya, Nak. Hati-hati di jalan. Sayang banget kamu sebentar doang di sininya.” Bunda menepuk-nepuk kepala Biru. Gadis itu tersenyum. Setelah Biru, Langit ikut menyalimi mereka berdua. Arakata yang ikut berdiri di sebelah bunda dan ayahnya juga turut salim guna melepas kebera
“Git, mau ikut, nggak?” tanya Biru melalui pesan singkat di aplikasi hijaunya. Tak lama menunggu, pesan balasan masuk dan segera dibuka oleh Biru.“Apaan?”“Singkat banget, sih,” cibir Biru.Ia kembali mengetikkan jarinya ke keyboard ponsel dengan kecepatan yang sangat cepat, lalu mengetikkan ikon pesawat untuk mengirim pesan.“Aku mau bagi-bagi makanan untuk buka puasa di jalanan. Mau ikut?”Bahkan dengan cepatnya ketikan Biru di ponselnya tidak membuatnya salah ketik alias saltik. Mungkin karena gadis itu benar-benar telah khatam dengan huruf dan keyboard.“Oh, bilang dong dari tadi.”“Gua ikut.”“Mau masak, atau beli aja?”“Kalo masak gua dateng ke tempat lo. Kalo beli, gua kirim duitnya sekarang. Nanti kita pakai mobil gua.”Biru menghela napas membaca pesan yang diketikkan Gita. Gadis itu terkadang mengirim pesan sepotong-sepotong seperti ini. Sebagai orang yang mudah merasa greget, Biru jelas gemas dengan kelakuan kawannya ini. Bahkan ia sampai tidak sadar kalau dirinya sendiri
Hidup ini terkadang berjalan dengan sangat cepat. Saking cepatnya, Biru merasa baru kemarin dia mulai puasa, tapi tiba-tiba saja takbir bergema di seluruh penjuru. Ramadan kali ini tidak ada yang spesial. Ibadah, kerja, main, sesekali bukber. Hanya itu yang dapat Biru lakukan. Bahkan, intensitas pertemuannya dengan Langit bisa dibilang semakin berkurang selama Ramadan ini. Setelah acara berbagi kemarin, mereka sempat berbuka bersama beberapa kali, setelahnya benar-benar tidak bertemu satu sama lain. Alasan pertama, Biru dan Langit sama-sama sibuk. Alasan kedua, Biru menganggap kalau ia juga perlu tahu bagaimana kebenaran dari perasaannya. Apakah ia benar-benar mencintai Langit atau hanya sekadar kagum pada pemuda itu. Karenanya Biru memilih menjaga jarak sebisa mungkin.Beberapa musola mengadakan takbir keliling dengan arak-arakan yang kebetulan lewat di depan rumah Biru. Gadis itu duduk di depan pintu sembari menyaksikan ramainya arak-arakan tersebut. Ia memperhatikan bagaimana seman
Jarum jam baru menunjukkan pukul 8 pagi. Langit yang merasa lapar kemudian sarapan di atas meja makan dengan makanan yang dimasak kakaknya. Berhubung ini hari Minggu, Gita tidak berangkat kerja, jadi ia masih santai di rumah. Kalau Dika kebetulan ada perjalanan bisnis sejak kemarin dan baru akan kembali nanti malam. Sementara Langit baru akan keluar pukul sepuluh nanti. Pemuda itu makan dengan lahap makanan yang dimasakkan sang kakak. Ia makan sendiri karena Gita kebetulan sudah sarapan tadi pagi karena merasa lapar.“Lo udah jadian sama Biru, Ngit?” tanya Gita tiba-tiba. Langit yang saat itu sedang sarapan tersedak mendengarkan tembakan Gita yang begitu.“Pake aba-aba kenapa, Kak. Kaget gua mendadak ditembak gini,” sahut Langit setelah ia menelan yang sedang ia kunyah.Gita terkekeh. Ia duduk di sebelah adiknya dan menghirup segelas teh hijau yang ia seduh tadi. Ia kemudian meletakkan tehnya di atas meja, lalu menumpukan dagunya dengan tangan seraya menatap Langit dengan senyum penuh
Biru menonton film di depannya dengan serius. Sesekali ia menyuapkan popcorn ke mulutnya dan mengunyahnya dengan perlahan. Di momen seru, ia terlihat menahan napasnya dan segera tertawa sembari bertepuk tangan saat karakter favoritnya berhasil menambah poin. Bahkan Biru juga terlihat kecewa saat karakter favoritnya gagal mencetak poin dan justru karakter lawan yang menambah poin mereka. Semua itu terekam jelas di mata Langit. Dibandingkan dengan menatap layar di depan, Langit lebih tertarik dengan ekspresi Biru yang begitu lepas. Ia juga memperhatikan bagaimana mulut Biru yang penuh berisi popcorn terlihat seperti tupai yang menyimpan biji di pipinya.Film selesai tanpa Langit sadari. Terlihat wajah Biru yang cerah sembari bersenandung kecil. Gadis itu juga menatap beberapa cosplayer karakter ‘Tsukishima’ dengan intens.“Mau aku fotoin sama Tsuki?” tanya Langit yang mulai mengenal setiap karakter. Biru menggeleng.“Nggak usah. Gua udah tua buat ikut euphoria anak remaja,” jawab Biru.“
Sore itu, Biru dan Langit berniat untuk berkencan. Kencan pertama mereka setelah saling membuka hati untuk lebih menerima satu sama lain. Mungkin, lebih kepada Biru yang menerima kehadiran Langit.Karena anime kesukaannya ada yang difilmkan, Biru dengan semangat mengajak Langit untuk menonton dan menjadi salah satu tujuan mereka dalam kencan mala mini.“Lo pernah nonton anime ini?” tanya Biru saat mereka sedang menunggu teater dibuka. Mereka berdua memilih menunggu sembari menikmati makanan di foodcourt di luar bioskop karena waktu tayangnya masih agak lama.“Hmm, jujur aja, aku kurang ngikutin anime, Bii. Jadi ya nggak tahu banyak selain anime tentang voli,” jawabnya. Biru yang sedang memakan rice bowl-nya menyunggingkan senyum. Ia mengangguk-angguk dan mengeluarkan ponselnya dari tas kecil yang ia letakkan di atas meja. Biru kemudian meletakkannya terbalik, memperlihatkan sebuah gambar karakter anime berambut kuning berkacamata dan juga headphone yang digantung di lehernya.“Ini hus
Hidup ini terkadang berjalan dengan sangat cepat. Saking cepatnya, Biru merasa baru kemarin dia mulai puasa, tapi tiba-tiba saja takbir bergema di seluruh penjuru. Ramadan kali ini tidak ada yang spesial. Ibadah, kerja, main, sesekali bukber. Hanya itu yang dapat Biru lakukan. Bahkan, intensitas pertemuannya dengan Langit bisa dibilang semakin berkurang selama Ramadan ini. Setelah acara berbagi kemarin, mereka sempat berbuka bersama beberapa kali, setelahnya benar-benar tidak bertemu satu sama lain. Alasan pertama, Biru dan Langit sama-sama sibuk. Alasan kedua, Biru menganggap kalau ia juga perlu tahu bagaimana kebenaran dari perasaannya. Apakah ia benar-benar mencintai Langit atau hanya sekadar kagum pada pemuda itu. Karenanya Biru memilih menjaga jarak sebisa mungkin.Beberapa musola mengadakan takbir keliling dengan arak-arakan yang kebetulan lewat di depan rumah Biru. Gadis itu duduk di depan pintu sembari menyaksikan ramainya arak-arakan tersebut. Ia memperhatikan bagaimana seman
“Git, mau ikut, nggak?” tanya Biru melalui pesan singkat di aplikasi hijaunya. Tak lama menunggu, pesan balasan masuk dan segera dibuka oleh Biru.“Apaan?”“Singkat banget, sih,” cibir Biru.Ia kembali mengetikkan jarinya ke keyboard ponsel dengan kecepatan yang sangat cepat, lalu mengetikkan ikon pesawat untuk mengirim pesan.“Aku mau bagi-bagi makanan untuk buka puasa di jalanan. Mau ikut?”Bahkan dengan cepatnya ketikan Biru di ponselnya tidak membuatnya salah ketik alias saltik. Mungkin karena gadis itu benar-benar telah khatam dengan huruf dan keyboard.“Oh, bilang dong dari tadi.”“Gua ikut.”“Mau masak, atau beli aja?”“Kalo masak gua dateng ke tempat lo. Kalo beli, gua kirim duitnya sekarang. Nanti kita pakai mobil gua.”Biru menghela napas membaca pesan yang diketikkan Gita. Gadis itu terkadang mengirim pesan sepotong-sepotong seperti ini. Sebagai orang yang mudah merasa greget, Biru jelas gemas dengan kelakuan kawannya ini. Bahkan ia sampai tidak sadar kalau dirinya sendiri
Sesuai dengan kesepakatan, Biru dan Langit telah siap untuk pulang di keesokan harinya, pada pagi hari di puasa hari pertama mereka. Layaknya seorang ibu yang akan ditinggal anaknya kembali merantau, Bunda membawakan banyak sekali makanan untuk mereka berdua. Alasannya untuk berbuka nanti dan sahur keesokannya. Opor ayam yang dimasak bunda kemarin sudah habis untuk makan kemarin. Gantinya, bunda memasakkan Biru ayam semur dan juga beberapa kue lain untuk dibawa. Diam-diam, Biru merasa tidak enak karena hingga kini ia belum berhasil menjebol tembok untuk bundanya agar bisa benar-benar ia anggap ibu.“Biru berangkat sekarang ya, Bu, Pak. Nggak enak kalau kelamaan izinnya,” pamit Biru sembari menyalimi bunda dan ayah.“Iya, Nak. Hati-hati di jalan. Sayang banget kamu sebentar doang di sininya.” Bunda menepuk-nepuk kepala Biru. Gadis itu tersenyum. Setelah Biru, Langit ikut menyalimi mereka berdua. Arakata yang ikut berdiri di sebelah bunda dan ayahnya juga turut salim guna melepas kebera
Panasnya kota Jakarta lumayan membuat peluh menetes deras. Beruntungnya level panas ini tidak jauh beda dengan di Bandar Lampung, alhasil Biru dan Langit tidak terlalu merasa gerah. Kedua manusia ini sedang berboncengan ke arah rumah Bundanya, Bu Puji.Biru dan Langit sebelumnya hendak mampir untuk mencari makan dulu. Tapi, saat ia berkata akan mampir ke rumah Bunda setelah makan siang, Bunda malah melarangnya makan di luar. Bunda bilang, beliau akan memasakkan untuk Biru dan Langit. Kalau keduanya makan di luar, dikhawatirkan makanan yang akan dimasak Bunda ini tidak dimakan. Alhasil Biru dan Langit membeli beberapa makanan ringan dan buah-buahan untuk buah tangan. Biru juga sempat membeli seporsi siomay karena sudah terasa lapar. Toh gadis itu memiliki nafsu makan yang besar. Seporsi siomay tidak membuatnya kenyang sama sekali.Sesampainya di rumah Bunda, Bu Puji dan Arakata menyambut keduanya di depan rumah. Pak Abdi sendiri masih kerja dan akan pulang nanti sore. Hari ini kebetula
Pernikahan Gita dan Dika hanya berselang seminggu dari hari puasa ditentukan. Sore itu, Biru melamun memandangi laptopnya dengan pikiran yang melayang ke mana-mana. Sidang isbat akan dilakukan petang ini, yang berarti penentuan apakah besok sudah melakukan puasa atau belum adalah malam nanti. Gadis itu merasa rindu ingin mengunjungi makam ibunya sebelum puasa. Entah mengapa melihat pernikahan Gita dan Dika kemarin membuatnya tiba-tiba merindukan ibunya. Padahal Biru tahu benar kalau dalam pernikahan Gita kemarin juga tanpa ada orang tuanya. Tak ada pemicu untuk membuatnya ingat orang tuanya.Beberapa waktu ia berpikir, akhirnya gadis itu memutuskan sesuatu dengan impulsif. “Pokoknya kalau besok puasa, gua ke Jakarta kalau mau lebaran. Tapi, kalau puasanya lusa, malam ini juga gua gas ke Jakarta buat ke makam ibu,” gumam gadis itu.Dengan ponsel yang memutar siaran ulang dari laporan-laporan terkait pengamatan hilal, Biru menggerakkan jari-jarinya untuk mengetik susunan kata demi kata d
Acara yang sudah selesai seharusnya tidak mendapatkan tamu lagi, terlebih tamu yang tidak diinginkan sekalipun undangan dikirim untuk nama mereka. Langit dan Gita menegang saat melihat sosok orang yang paling tidak ingin mereka lihat telah berdiri di depan pintu seraya mengucap salam.“Ngapain kalian ke sini?” ketus Langit. Ia bahkan tidak ingin menyembunyikan raut wajah ketidaksukaannya.“Gua ke sini karena kakak gua nikah. Emang salah, ya? Kan gua juga udah dapat undangannya,” jawab orang itu santai.Langit hampir meledak kembali kalau saja tangan kakaknya tidak segera meraih lengan pemuda itu. Biru sendiri hanya menonton karena ia tidak tahu ada masalah apa antara kakak beradik itu dengan orang yang baru saja tiba. Bahkan ia tidak tahu, siapa gerangan orang yang baru saja sampai dan membuat rusuh tersebut.Gita yang sudah berganti baju menjadi dress yang lebih sederhana dengan riasan yang masih menempel di wajahnya berjalan menghampiri seorang anak laki-laki yang mungkin baru berus