“Say, gabut. Pasar malam, yuk!” Sebuah notifikasi yang masuk ke ponsel Biru berisikan pesan tersebut. Biru, sang empunya ponsel, membuka pesan segera dan membalasnya dengan cepat.“Gas! Gua juga gabut.” Pengirim pesan tersebut adalah Gita. Satu-satunya sohib yang Biru punya. Biru akui, ia hampir tidak memiliki teman dekat selain Gita. Banyaknya teman yang ada hanya sekadar rekan dan relasi yang ia punya untuk menunjang kehidupan bersosial dan bermasyarakat. Alasannya simpel, ia tidak pandai bersosialisasi. Biru selalu berpikir kalau hidup dalam masyarakat itu merepotkan sekaligus hal yang mau tak mau harus dilakukan. Karena manusia tidak bisa hidup sendiri. Bahkan terkadang, ada saat di mana seseorang benar-benar perlu orang lain untuk sebuah hubungan di luar hubungan transaksional seperti membeli jasa. Karenanya lah, setidak nyaman apa pun Biru dalam bersosialisasi, ia akan menahannya dan berusaha membangun relasi sebaik-baiknya dengan orang lain demi menjalani kehidupan yang nyam
Berakhirlah diskusi panjang itu dengan mereka berempat yang berdiri di depan pintu masuk rumah hantu. Gita menggandeng Biru dengan erat, bahkan sebelum mereka masuk ke dalam. Sedangkan Langit dan Dika berdiri di belakang para gadis sembari menjaga mereka. Mereka berdua menjadi orang yang diminta –ralat, dipaksa—oleh kedua gadis yang ada di sana untuk membeli tiketnya. Termasuk bagian antrenya, sedangkan kedua gadis itu menanti di tempat duduk yang tak jauh dari pintu masuk. Barulah setelah tiba di giliran mereka, Biru dan Gita langsung menanti di depan pintu. Meskipun mereka mendapatkan tatapan sinis dari beberapa orang yang ada, kedua gadis itu tidak peduli. “Tadi ngeyel ngajakin, la sekarang kok udah menciut duluan,” ejek Biru saat merasa dekapan Gita sangat erat di lengannya. “Ish, gua nggak takut, ya! Cuma perlu gandengan aja, kali aja lo yang butuh digandeng. Lagian hantunya juga bohongan semua.”“Kan di belakang ada yang siap buat jadi gandengan lo!”Gita hanya menjawab de
Menjadi dewasa itu tidak menyenangkan. Ketika semua masalah menjadi semakin kompleks, semua keinginan harus ditahan kebutuhan, bertemu bermacam-macam model manusia yang membuat diri berkali-kali nyaris kehilangan kendali, bahkan harus selalu terlihat baik-baik saja padahal jelas hati sakit dan rasanya ingin menangis.“Orang dewasa tidak boleh menangis.”Kalimat yang rasanya jauh lebih umum daripada kata “orang dewasa” di dalamnya diganti dengan “anak-anak”. Karena seolah hanya anak-anak saja yang boleh menangis, marah, meraung, dan merasa kesal. Padahal orang dewasa juga merasakan perasaan yang sama.Dulu, saat Biru kecil, ia melihat anak-anak SMA sudah dewasa dan keren. Ketika dirinya sendiri yang menjalaninya, Biru sadar bahwa ia salah. Bahkan anak SMA pun masih sama seperti anak-anak pada umumnya. Hanya tubuhnya saja yang besar dan cara pandang yang semakin luas. Bahkan hingga usianya yang nyaris di penghujung kepala dua ini, Biru masih merasa ada sisi kekanak-kanakan dalam diri
“Mau cerita?” tanya Biru sesaat setelah Gita dapat menghabiskan semangkuk mi buatan Biru. Gadis itu meraih tisu dan diberikannya pada Gita yang celingukan. Melihat sekotak tisu terjulur di hadapannya, gadis itu menarik dua lembar dan langsung digunakan untuk membuang ingus. Ia melemparkannya ke kotak sampah yang tak jauh dari tempatnya duduk. Hap! Masuk!“Mas Dika selingkuh.”Biru yang saat ini sedang meminum air dari botol mendadak terbatuk dan mengeluarkan sebagian air yang ada di mulutnya. Wajahnya menampakkan ekspresi terkejut dan matanya melotot ke arah Gita. Seolah ia sedang mengonfirmasi kalau kalau ia salah dengar.Melihat raut tidak percaya tersebut, Gita menatap Biru lurus. “Gua nggak bohong,” katanya mencoba meyakinkan.”“Gua agak nggak percaya, soalnya Dika lo orangnya sebucin apa sama lo. Bahkan gua bakal percaya kalo misal kalian putus, lo yang mulai duluan perkaranya, bukan dianya.”Gita kembali menangis. Biru duduk di sebelah kawannya dan menepuk-nepuk punggungnya
Dengan khidmat, seorang gadis yang tak lain adalah Biru memakan camilan sembari menonton sebuah anime di ruang tamu. Ia mencoba untuk menikmati apa yang ada di hadapannya, meskipun tak pelak sesekali ia menoleh ke lantai dua, tepat ke arah kamar Gita. Khawatir pada gadis di atas sana. Tapi kalau pun Biru masuk juga percuma, ia tidak bisa berbuat banyak. Gita juga lebih suka sendiri kalau sudah seperti ini keadaannya. Suara ramai di lantai dua sudah berhenti sejak beberapa waktu yang lalu. Tak lama kemudian pandangan Biru teralihkan dari ponselnya ke arah pintu masuk, menatap seseorang yang baru saja tiba.“Udah dari tadi, Bii?” tanya Langit yang baru saja masuk. Biru mengangguk. Tangannya memasukkan sebuah keripik ke mulutnya sembari mengalihkan pandangan dari Langit, kembali menatap layar ponselnya. “Mau, sih!” Langit duduk di sebelah Biru, menyomot keripik yang ada di tangannya. Biru mengulurkannya ke arah Langit agar pemuda itu dapat dengan mudah mengambilnya.“Jam segini kok udah
Mereka berempat sudah berkumpul di ruang tamu dengan nasi goreng yang telah tersaji di depan mereka. Biru dengan santai langsung duduk di lantai dengan nasi goreng yang ada di atas meja, Langit mengikuti Biru. Sementara dua sejoli yang baru selesai mengibarkan bendera putih dan menandantangi perjanjian perdamaian perang itu kini sedang suap-suapan, seolah badai kemarin tidak pernah terjadi.“Bii, tomat sama timunnya nggak dimakan?” tanya Langit saat melihat Biru yang selalu mengecualikan dua komponen itu saat menyuapkan nasi gorengnya.“Nggak suka. Lo mau?” tanya Biru sembari menggeser piringnya ke arah Langit.“Mau. Buat aku, ya?”“Ambil aja. Toh nanti juga gua buang karena nggak kemakan,” ucap Biru santai. Langit segera menyendokkan dua potong timun dan sepotong tomat ke piringnya. Sebagai gantinya, ia memberikan telur goreng miliknya ke piring Biru.“Eh, buat apa?” tanya Biru bingung.“Buat kamu makan, lah. Buat apa lagi.”Biru menunjuk sebuah telur goreng miliknya yang sudah terp
“Omongan orang itu kadang pedesnya nggak kira-kira, ya? Bahkan level terpedes seblak ini aja nggak ngalahin pedesnya omongan orang,” celetuk Biru tiba-tiba. Seolah tak peduli dengan apa yang baru dibicarakan, gadis itu kembali menyeruput kuah seblak yang kental dan merah itu. Ia mengiris sebuah bakso dan melahapnya bersamaan dengan kerupuk yang telah lembek di kuah.“Merah banget, Kak. Level berapa itu?” tanya Via penasaran.“Level delapan. Yang paling pedes pokoknya.” Biru santai.“Bahkan sesukanya aku sama pedes, level pedesku di seblak ini mentok di level enam loh, Kak. Kakak yakin lambung bakal kuat?” tanya Via khawatir. Biru menaikkan bahunya tak peduli.“Dibilangin pedesan mulut orang, kok.”“Seenggaknya kalo mulut orang yang pedes, paling cuma ati doang yang nyut-nyutan. Telinga ditutup juga nggak kedengeran omongannya, Kak. La kalo udah lambung yang kemusuhan sama pedes? Bisa-bisa auto opname nanti.” Gadis itu khawatir. Biru menepuk pundak Via.“Insyaa allah aman. Semoga aja.
Kata siapa menjadi dewasa itu menyenangkan? Semakin dewasa, semakin banyak tanggung jawab yang harus dipikul. Semakin banyak pula keinginan-keinginan yang harus dikorbankan demi sebuah kebutuhan. Langit menyadari hal ini dengan pasti. Kalau saat dulu ia masih bisa merengek setiap menginginkan sesuatu, kini ia hanya bisa memendam semuanya dan mengusahakan sendiri. Sebenarnya, ia bisa kembali ke rumah, kembali pada kemewahan yang dimiliki orang tuanya. Tapi, Langit menyadari kalau ia melakukan semuanya, berarti ia kalah dari orang tuanya.Memang tidak ada perlombaan di sini. Hanya ada sebuah ajang pembuktian diri yang ingin ditunjukkan Langit pada orang tua yang mengabaikannya selama ini. Meskipun secara lahir ia dan Gita berkecukupan, secara batin ia kosong. Karenanya Langit ingin membuktikan bahwa ia bisa menjadi seorang dewasa yang mandiri tanpa bantuan orang tuanya, kemudian melakukan semua yang ia suka, termasuk mencari pasangan. Sebab, orang tuanya seolah tidak belajar dari pengal
Jarum jam baru menunjukkan pukul 8 pagi. Langit yang merasa lapar kemudian sarapan di atas meja makan dengan makanan yang dimasak kakaknya. Berhubung ini hari Minggu, Gita tidak berangkat kerja, jadi ia masih santai di rumah. Kalau Dika kebetulan ada perjalanan bisnis sejak kemarin dan baru akan kembali nanti malam. Sementara Langit baru akan keluar pukul sepuluh nanti. Pemuda itu makan dengan lahap makanan yang dimasakkan sang kakak. Ia makan sendiri karena Gita kebetulan sudah sarapan tadi pagi karena merasa lapar.“Lo udah jadian sama Biru, Ngit?” tanya Gita tiba-tiba. Langit yang saat itu sedang sarapan tersedak mendengarkan tembakan Gita yang begitu.“Pake aba-aba kenapa, Kak. Kaget gua mendadak ditembak gini,” sahut Langit setelah ia menelan yang sedang ia kunyah.Gita terkekeh. Ia duduk di sebelah adiknya dan menghirup segelas teh hijau yang ia seduh tadi. Ia kemudian meletakkan tehnya di atas meja, lalu menumpukan dagunya dengan tangan seraya menatap Langit dengan senyum penuh
Biru menonton film di depannya dengan serius. Sesekali ia menyuapkan popcorn ke mulutnya dan mengunyahnya dengan perlahan. Di momen seru, ia terlihat menahan napasnya dan segera tertawa sembari bertepuk tangan saat karakter favoritnya berhasil menambah poin. Bahkan Biru juga terlihat kecewa saat karakter favoritnya gagal mencetak poin dan justru karakter lawan yang menambah poin mereka. Semua itu terekam jelas di mata Langit. Dibandingkan dengan menatap layar di depan, Langit lebih tertarik dengan ekspresi Biru yang begitu lepas. Ia juga memperhatikan bagaimana mulut Biru yang penuh berisi popcorn terlihat seperti tupai yang menyimpan biji di pipinya.Film selesai tanpa Langit sadari. Terlihat wajah Biru yang cerah sembari bersenandung kecil. Gadis itu juga menatap beberapa cosplayer karakter ‘Tsukishima’ dengan intens.“Mau aku fotoin sama Tsuki?” tanya Langit yang mulai mengenal setiap karakter. Biru menggeleng.“Nggak usah. Gua udah tua buat ikut euphoria anak remaja,” jawab Biru.“
Sore itu, Biru dan Langit berniat untuk berkencan. Kencan pertama mereka setelah saling membuka hati untuk lebih menerima satu sama lain. Mungkin, lebih kepada Biru yang menerima kehadiran Langit.Karena anime kesukaannya ada yang difilmkan, Biru dengan semangat mengajak Langit untuk menonton dan menjadi salah satu tujuan mereka dalam kencan mala mini.“Lo pernah nonton anime ini?” tanya Biru saat mereka sedang menunggu teater dibuka. Mereka berdua memilih menunggu sembari menikmati makanan di foodcourt di luar bioskop karena waktu tayangnya masih agak lama.“Hmm, jujur aja, aku kurang ngikutin anime, Bii. Jadi ya nggak tahu banyak selain anime tentang voli,” jawabnya. Biru yang sedang memakan rice bowl-nya menyunggingkan senyum. Ia mengangguk-angguk dan mengeluarkan ponselnya dari tas kecil yang ia letakkan di atas meja. Biru kemudian meletakkannya terbalik, memperlihatkan sebuah gambar karakter anime berambut kuning berkacamata dan juga headphone yang digantung di lehernya.“Ini hus
Hidup ini terkadang berjalan dengan sangat cepat. Saking cepatnya, Biru merasa baru kemarin dia mulai puasa, tapi tiba-tiba saja takbir bergema di seluruh penjuru. Ramadan kali ini tidak ada yang spesial. Ibadah, kerja, main, sesekali bukber. Hanya itu yang dapat Biru lakukan. Bahkan, intensitas pertemuannya dengan Langit bisa dibilang semakin berkurang selama Ramadan ini. Setelah acara berbagi kemarin, mereka sempat berbuka bersama beberapa kali, setelahnya benar-benar tidak bertemu satu sama lain. Alasan pertama, Biru dan Langit sama-sama sibuk. Alasan kedua, Biru menganggap kalau ia juga perlu tahu bagaimana kebenaran dari perasaannya. Apakah ia benar-benar mencintai Langit atau hanya sekadar kagum pada pemuda itu. Karenanya Biru memilih menjaga jarak sebisa mungkin.Beberapa musola mengadakan takbir keliling dengan arak-arakan yang kebetulan lewat di depan rumah Biru. Gadis itu duduk di depan pintu sembari menyaksikan ramainya arak-arakan tersebut. Ia memperhatikan bagaimana seman
“Git, mau ikut, nggak?” tanya Biru melalui pesan singkat di aplikasi hijaunya. Tak lama menunggu, pesan balasan masuk dan segera dibuka oleh Biru.“Apaan?”“Singkat banget, sih,” cibir Biru.Ia kembali mengetikkan jarinya ke keyboard ponsel dengan kecepatan yang sangat cepat, lalu mengetikkan ikon pesawat untuk mengirim pesan.“Aku mau bagi-bagi makanan untuk buka puasa di jalanan. Mau ikut?”Bahkan dengan cepatnya ketikan Biru di ponselnya tidak membuatnya salah ketik alias saltik. Mungkin karena gadis itu benar-benar telah khatam dengan huruf dan keyboard.“Oh, bilang dong dari tadi.”“Gua ikut.”“Mau masak, atau beli aja?”“Kalo masak gua dateng ke tempat lo. Kalo beli, gua kirim duitnya sekarang. Nanti kita pakai mobil gua.”Biru menghela napas membaca pesan yang diketikkan Gita. Gadis itu terkadang mengirim pesan sepotong-sepotong seperti ini. Sebagai orang yang mudah merasa greget, Biru jelas gemas dengan kelakuan kawannya ini. Bahkan ia sampai tidak sadar kalau dirinya sendiri
Sesuai dengan kesepakatan, Biru dan Langit telah siap untuk pulang di keesokan harinya, pada pagi hari di puasa hari pertama mereka. Layaknya seorang ibu yang akan ditinggal anaknya kembali merantau, Bunda membawakan banyak sekali makanan untuk mereka berdua. Alasannya untuk berbuka nanti dan sahur keesokannya. Opor ayam yang dimasak bunda kemarin sudah habis untuk makan kemarin. Gantinya, bunda memasakkan Biru ayam semur dan juga beberapa kue lain untuk dibawa. Diam-diam, Biru merasa tidak enak karena hingga kini ia belum berhasil menjebol tembok untuk bundanya agar bisa benar-benar ia anggap ibu.“Biru berangkat sekarang ya, Bu, Pak. Nggak enak kalau kelamaan izinnya,” pamit Biru sembari menyalimi bunda dan ayah.“Iya, Nak. Hati-hati di jalan. Sayang banget kamu sebentar doang di sininya.” Bunda menepuk-nepuk kepala Biru. Gadis itu tersenyum. Setelah Biru, Langit ikut menyalimi mereka berdua. Arakata yang ikut berdiri di sebelah bunda dan ayahnya juga turut salim guna melepas kebera
Panasnya kota Jakarta lumayan membuat peluh menetes deras. Beruntungnya level panas ini tidak jauh beda dengan di Bandar Lampung, alhasil Biru dan Langit tidak terlalu merasa gerah. Kedua manusia ini sedang berboncengan ke arah rumah Bundanya, Bu Puji.Biru dan Langit sebelumnya hendak mampir untuk mencari makan dulu. Tapi, saat ia berkata akan mampir ke rumah Bunda setelah makan siang, Bunda malah melarangnya makan di luar. Bunda bilang, beliau akan memasakkan untuk Biru dan Langit. Kalau keduanya makan di luar, dikhawatirkan makanan yang akan dimasak Bunda ini tidak dimakan. Alhasil Biru dan Langit membeli beberapa makanan ringan dan buah-buahan untuk buah tangan. Biru juga sempat membeli seporsi siomay karena sudah terasa lapar. Toh gadis itu memiliki nafsu makan yang besar. Seporsi siomay tidak membuatnya kenyang sama sekali.Sesampainya di rumah Bunda, Bu Puji dan Arakata menyambut keduanya di depan rumah. Pak Abdi sendiri masih kerja dan akan pulang nanti sore. Hari ini kebetula
Pernikahan Gita dan Dika hanya berselang seminggu dari hari puasa ditentukan. Sore itu, Biru melamun memandangi laptopnya dengan pikiran yang melayang ke mana-mana. Sidang isbat akan dilakukan petang ini, yang berarti penentuan apakah besok sudah melakukan puasa atau belum adalah malam nanti. Gadis itu merasa rindu ingin mengunjungi makam ibunya sebelum puasa. Entah mengapa melihat pernikahan Gita dan Dika kemarin membuatnya tiba-tiba merindukan ibunya. Padahal Biru tahu benar kalau dalam pernikahan Gita kemarin juga tanpa ada orang tuanya. Tak ada pemicu untuk membuatnya ingat orang tuanya.Beberapa waktu ia berpikir, akhirnya gadis itu memutuskan sesuatu dengan impulsif. “Pokoknya kalau besok puasa, gua ke Jakarta kalau mau lebaran. Tapi, kalau puasanya lusa, malam ini juga gua gas ke Jakarta buat ke makam ibu,” gumam gadis itu.Dengan ponsel yang memutar siaran ulang dari laporan-laporan terkait pengamatan hilal, Biru menggerakkan jari-jarinya untuk mengetik susunan kata demi kata d
Acara yang sudah selesai seharusnya tidak mendapatkan tamu lagi, terlebih tamu yang tidak diinginkan sekalipun undangan dikirim untuk nama mereka. Langit dan Gita menegang saat melihat sosok orang yang paling tidak ingin mereka lihat telah berdiri di depan pintu seraya mengucap salam.“Ngapain kalian ke sini?” ketus Langit. Ia bahkan tidak ingin menyembunyikan raut wajah ketidaksukaannya.“Gua ke sini karena kakak gua nikah. Emang salah, ya? Kan gua juga udah dapat undangannya,” jawab orang itu santai.Langit hampir meledak kembali kalau saja tangan kakaknya tidak segera meraih lengan pemuda itu. Biru sendiri hanya menonton karena ia tidak tahu ada masalah apa antara kakak beradik itu dengan orang yang baru saja tiba. Bahkan ia tidak tahu, siapa gerangan orang yang baru saja sampai dan membuat rusuh tersebut.Gita yang sudah berganti baju menjadi dress yang lebih sederhana dengan riasan yang masih menempel di wajahnya berjalan menghampiri seorang anak laki-laki yang mungkin baru berus