Sebelum bertemu dengan Gita dan Langit, masa di mana harus dirawat di rumah sakit adalah salah satu hal yang paling Biru tidak sukai. Karena saat itu, Biru benar-benar merasa ia sendirian di dunia yang luas ini. Bahkan sekalipun majikannya saat ia masih menjadi ART sesekali menjenguknya, Biru masih merasa kesepian. Ingar-bingar dari keadaan sekitar, dari keluarga pasien yang saling berbincang, suara-suara alat yang ada di sekelilingnya, brangkar yang didorong oleh perawat, tangisan anak-anak yang tantrum karena merasa bosan atau ingin jajan, bahkan suara tangisan orang yang baru saja kehilangan orang tersayang makin menyudutkannya dalam ruang kosong tak terlihat, disudutkan dalam kesendirian, dan berakhir membawanya pada sebuah keinginan untuk menghilang. Keinginan untuk mengakhiri hidup sudah sering menghampirinya dan sering pula ia tergoda untuk melakukannya, tapi selalu dicegah akal sehatnya. Berkali-kali kegagalan dalam hidup juga membawanya semakin terupuruk sampai ia merasa nyar
“Kamu tahu ada sesuatu antara Biru sama Alfa, nggak?”“Eh, bentar. Yang kontrak itu kan, Kak?”Gita mendesah. Ia bingung harus bertanya dari mana. Tapi firasatnya mengatakan kalau Via pasti tahu sesuatu.“Kalo itu mah udah jelas kamu tau. Hal lain yang baru. Alasan kenapa sampe laki-laki kampret itu ke sini. Soalnya kondisinya Biru sekarang lagi nggak bagus banget ini.”Bukannya menjawab, Via malah bertanya balik dengan nada terkejut.“Hah, laki-laki itu ke sana? Ngapain? Nggak, bentar! Apa alasan ini adalah alasan yang kuat buat dia datengin Kak Biru?”“Alasan apa?” todong Gita yang sudah tidak sabar.“Kakak buka tweeter aja. Punya, kan? Jadi fans nya Kak Biru ada yang sadar pas baca buku barunya laki-laki itu. Karena Kak Biru ini kalo nulis kan punya ciri khasnya tersendiri. Apalagi fans setianya Kak Biru pada tahu kalo Kak Biru mau nerbitin novel baru. Genre romansa komedi, genre yang jauh banget dari yang biasa dibawa sama Kak Biru. Makanya fansnya pada nungguin itu, Kak. Nah, Kak
“Kamu nggak lanjutin sekolah aja? Apa nggak sayang? Kamu masih muda, loh. Jalanmu masih panjang banget,” ucap seorang wanita berusia sekitar empat puluhan yang duduk di depan Biru.“Nggak, Bu. Buat apa lanjut. Saya udah merasa beruntung banget bisa sampe SMA. Jadi buat apa lanjut sampai ke perguruan tinggi? Mending saya kerja, cari duit.” Gadis itu menjawab dengan percaya diri. Hari ini adalah hari wawancara kerja pertamanya sebagai asisten rumah tangga di sebuah rumah besar. Yayasan tempatnya tinggal juga menyediakan jasa penyalur pekerja, jadi Biru secara langsung dicarikan pekerjaan oleh yayasannya. Bisa dibilang ini terakhir kalinya Biru berhubungan dengan yayasan yang mengurusinya. Ia tidak memiliki kenangan baik dengan yayasan tersebut.“Memang kamu nggak punya mimpi yang pengen kamu capai?” tanya wanita itu lagi.Biru menggeleng. “Mimpi saya nggak muluk-muluk, Bu. Saya cuma mau hidup mandiri, menghasilkan uang sendiri. Habis itu mungkin kalau ketemu jodoh ya menikah, kalau nggak
Pak Abdi memperhatikan Biru dan Arakata yang asyik berbincang. Sesekali Biru menanggapi dengan serius Arakata yang antusias bercerita. Bahkan gadis itu ikut tertawa saat dirasa apa yang diceritakan Arakata adalah hal yang lucu.Saat keduanya sudah lelah bercerita, terutama Arakata, Pak Abdi berdiri dan mendekati putrinya itu.“Kamu laper nggak, Nak? Kalo laper beliin Ayah pecel di depan, tolong. Ayah laper ini. Tadi soalnya ayah lihat di depan ada yang jualan pecel kok jadi pengen. Sekalian kamu juga beli makan kalo laper.” Pak Abdi menyerahkan selembar uang berwarna merah. Gadis itu menerima uangnya dengan senyum semringah.“Adek beli jajan juga ya, Yah? Ada banyak makanan di depan,” sahut gadis itu antusias.“Iya, beli aja sesuka adek. Asalkan dihabisin makanannya.”“Horeee!” soraknya bahagia. Ia menoleh ke Biru yang tersenyum melihat tingkah polah adiknya itu. “Kak Biru mau mesen, nggak?” tanyanya kemudian.Biru menggeleng. “Nggak, Dek. Kak Biru belom boleh makan sembarangan soalny
Seorang laki-laki melangkah masuk ke dalam sebuah gedung dengan setelan rapi. Kharismanya juga mendulang penampilannya yang hanya dengan berjalan saja beberapa wanita yang bekerja di gedung itu menghentikan pekerjaan mereka untuk sekadar curi-curi pandang. Dengan setelan jas berwarna hitam dan dasi biru bergaris putih, ia melangkahkan kakinya dengan percaya diri. Suara dari ujung sepatunya beradu dengan lantai yang menciptakan bunyi konstan yang seolah berima di tengah ketidak teraturan bunyi-bunyian yang sudah ada. Beberapa office boy yang sedang mengepel lantai sedikit membungkukkan badannya saat lelaki itu lewat, memberi hormat pada sosok yang berpangkat tinggi di sana. Lelaki itu berjalan menuju lift yang ada di sisi dalam ruangan lantai pertama. Ia memakai lift khusus petinggi alih-alih lift karyawan yang saat ini sedang banyak orang antre di depannya.Sesampainya di dalam benda kotak itu, ia menekan angka 12 menandakan bahwa tujuannya adalah lantai 12, lantai kedua dari atas ya
Tidak ada perbedaan, apakah dia anak pertama, anak tengah, atau bahkan anak terakhir. Bagi Gita, semua anak memiliki porsi bebannya masing-masing. Memiliki banyak harta juga tidak selalu menjadi penentu kebahagiaan. Meskipun gadis itu sadari, selama masa kecilnya tidak pernah ia harus menahan keinginannya untuk membeli sebuah barang. Trend yang terus berputar, berganti-ganti barang mulai dari yang murah sampai yang mahal, Gita pasti punya beberapa hari setelah barang itu ramai. Makanan apa pun yang ia mau, selama ia meminta orang tuanya, pada hari itu juga pasti akan tersaji di atas meja makan. Jadi gadis itu tidak bisa merasakan apa yang dirasakan teman-teman sekolah lainnya, yang bahkan sampai harus pergi sekolah tanpa sepatu.Tapi, ada harga yang harus dibayar dari apa yang ia inginkan. Ketidakhadiran orang tuanya dalam setiap momen dalam masa kecilnya adalah harganya. Gita kecil selalu bertanya-tanya, apakah ketidakhadiran mereka adalah hal yang wajar? Saat dirinya pentas pada aca
Atmosfer ketegangan menyelimuti rumah mewah itu. Seolah semua orang yang berada di dalamnya sedang dalam medan perang yang menggebu-gebu. Genderang perang telah dibunyikan sesaat setelah Langit dan Gita masuk ke dalam rumah. Kebencian, amarah, iri, dan dendam saling menyelimuti setiap emosi yang berbaur. Tatapan Langit yang mengabsen satu persatu wajah yang sudah menantinya sama sekali tidak bisa dikatakan ramah. Ia membenci mama dan papanya yang membuatnya harus menjalani masa kecil tanpa tahu bagaimana rasanya disayangi. Ia terkadang merasa iri pada teman-temannya yang bercerita betapa ibu mereka akan menjaga setiap kali mereka demam, atau sekadar memandikan, membuatkan sarapan, dan mengantar ke sekolah. Bahkan ia merasa iri pada anak-anak lain yang diantar ayahnya meskipun itu hanya menggunakan sepeda ontel.Rasa iri Langit semakin menjadi pada sosok remaja laki-laki berwajah persis ibunya. Melihat bagaimana keduanya duduk bersebelahan tanpa canggung. Pemuda itu tersenyum sinis, ia
“Say, gabut. Pasar malam, yuk!” Sebuah notifikasi yang masuk ke ponsel Biru berisikan pesan tersebut. Biru, sang empunya ponsel, membuka pesan segera dan membalasnya dengan cepat.“Gas! Gua juga gabut.” Pengirim pesan tersebut adalah Gita. Satu-satunya sohib yang Biru punya. Biru akui, ia hampir tidak memiliki teman dekat selain Gita. Banyaknya teman yang ada hanya sekadar rekan dan relasi yang ia punya untuk menunjang kehidupan bersosial dan bermasyarakat. Alasannya simpel, ia tidak pandai bersosialisasi. Biru selalu berpikir kalau hidup dalam masyarakat itu merepotkan sekaligus hal yang mau tak mau harus dilakukan. Karena manusia tidak bisa hidup sendiri. Bahkan terkadang, ada saat di mana seseorang benar-benar perlu orang lain untuk sebuah hubungan di luar hubungan transaksional seperti membeli jasa. Karenanya lah, setidak nyaman apa pun Biru dalam bersosialisasi, ia akan menahannya dan berusaha membangun relasi sebaik-baiknya dengan orang lain demi menjalani kehidupan yang nyam
Jarum jam baru menunjukkan pukul 8 pagi. Langit yang merasa lapar kemudian sarapan di atas meja makan dengan makanan yang dimasak kakaknya. Berhubung ini hari Minggu, Gita tidak berangkat kerja, jadi ia masih santai di rumah. Kalau Dika kebetulan ada perjalanan bisnis sejak kemarin dan baru akan kembali nanti malam. Sementara Langit baru akan keluar pukul sepuluh nanti. Pemuda itu makan dengan lahap makanan yang dimasakkan sang kakak. Ia makan sendiri karena Gita kebetulan sudah sarapan tadi pagi karena merasa lapar.“Lo udah jadian sama Biru, Ngit?” tanya Gita tiba-tiba. Langit yang saat itu sedang sarapan tersedak mendengarkan tembakan Gita yang begitu.“Pake aba-aba kenapa, Kak. Kaget gua mendadak ditembak gini,” sahut Langit setelah ia menelan yang sedang ia kunyah.Gita terkekeh. Ia duduk di sebelah adiknya dan menghirup segelas teh hijau yang ia seduh tadi. Ia kemudian meletakkan tehnya di atas meja, lalu menumpukan dagunya dengan tangan seraya menatap Langit dengan senyum penuh
Biru menonton film di depannya dengan serius. Sesekali ia menyuapkan popcorn ke mulutnya dan mengunyahnya dengan perlahan. Di momen seru, ia terlihat menahan napasnya dan segera tertawa sembari bertepuk tangan saat karakter favoritnya berhasil menambah poin. Bahkan Biru juga terlihat kecewa saat karakter favoritnya gagal mencetak poin dan justru karakter lawan yang menambah poin mereka. Semua itu terekam jelas di mata Langit. Dibandingkan dengan menatap layar di depan, Langit lebih tertarik dengan ekspresi Biru yang begitu lepas. Ia juga memperhatikan bagaimana mulut Biru yang penuh berisi popcorn terlihat seperti tupai yang menyimpan biji di pipinya.Film selesai tanpa Langit sadari. Terlihat wajah Biru yang cerah sembari bersenandung kecil. Gadis itu juga menatap beberapa cosplayer karakter ‘Tsukishima’ dengan intens.“Mau aku fotoin sama Tsuki?” tanya Langit yang mulai mengenal setiap karakter. Biru menggeleng.“Nggak usah. Gua udah tua buat ikut euphoria anak remaja,” jawab Biru.“
Sore itu, Biru dan Langit berniat untuk berkencan. Kencan pertama mereka setelah saling membuka hati untuk lebih menerima satu sama lain. Mungkin, lebih kepada Biru yang menerima kehadiran Langit.Karena anime kesukaannya ada yang difilmkan, Biru dengan semangat mengajak Langit untuk menonton dan menjadi salah satu tujuan mereka dalam kencan mala mini.“Lo pernah nonton anime ini?” tanya Biru saat mereka sedang menunggu teater dibuka. Mereka berdua memilih menunggu sembari menikmati makanan di foodcourt di luar bioskop karena waktu tayangnya masih agak lama.“Hmm, jujur aja, aku kurang ngikutin anime, Bii. Jadi ya nggak tahu banyak selain anime tentang voli,” jawabnya. Biru yang sedang memakan rice bowl-nya menyunggingkan senyum. Ia mengangguk-angguk dan mengeluarkan ponselnya dari tas kecil yang ia letakkan di atas meja. Biru kemudian meletakkannya terbalik, memperlihatkan sebuah gambar karakter anime berambut kuning berkacamata dan juga headphone yang digantung di lehernya.“Ini hus
Hidup ini terkadang berjalan dengan sangat cepat. Saking cepatnya, Biru merasa baru kemarin dia mulai puasa, tapi tiba-tiba saja takbir bergema di seluruh penjuru. Ramadan kali ini tidak ada yang spesial. Ibadah, kerja, main, sesekali bukber. Hanya itu yang dapat Biru lakukan. Bahkan, intensitas pertemuannya dengan Langit bisa dibilang semakin berkurang selama Ramadan ini. Setelah acara berbagi kemarin, mereka sempat berbuka bersama beberapa kali, setelahnya benar-benar tidak bertemu satu sama lain. Alasan pertama, Biru dan Langit sama-sama sibuk. Alasan kedua, Biru menganggap kalau ia juga perlu tahu bagaimana kebenaran dari perasaannya. Apakah ia benar-benar mencintai Langit atau hanya sekadar kagum pada pemuda itu. Karenanya Biru memilih menjaga jarak sebisa mungkin.Beberapa musola mengadakan takbir keliling dengan arak-arakan yang kebetulan lewat di depan rumah Biru. Gadis itu duduk di depan pintu sembari menyaksikan ramainya arak-arakan tersebut. Ia memperhatikan bagaimana seman
“Git, mau ikut, nggak?” tanya Biru melalui pesan singkat di aplikasi hijaunya. Tak lama menunggu, pesan balasan masuk dan segera dibuka oleh Biru.“Apaan?”“Singkat banget, sih,” cibir Biru.Ia kembali mengetikkan jarinya ke keyboard ponsel dengan kecepatan yang sangat cepat, lalu mengetikkan ikon pesawat untuk mengirim pesan.“Aku mau bagi-bagi makanan untuk buka puasa di jalanan. Mau ikut?”Bahkan dengan cepatnya ketikan Biru di ponselnya tidak membuatnya salah ketik alias saltik. Mungkin karena gadis itu benar-benar telah khatam dengan huruf dan keyboard.“Oh, bilang dong dari tadi.”“Gua ikut.”“Mau masak, atau beli aja?”“Kalo masak gua dateng ke tempat lo. Kalo beli, gua kirim duitnya sekarang. Nanti kita pakai mobil gua.”Biru menghela napas membaca pesan yang diketikkan Gita. Gadis itu terkadang mengirim pesan sepotong-sepotong seperti ini. Sebagai orang yang mudah merasa greget, Biru jelas gemas dengan kelakuan kawannya ini. Bahkan ia sampai tidak sadar kalau dirinya sendiri
Sesuai dengan kesepakatan, Biru dan Langit telah siap untuk pulang di keesokan harinya, pada pagi hari di puasa hari pertama mereka. Layaknya seorang ibu yang akan ditinggal anaknya kembali merantau, Bunda membawakan banyak sekali makanan untuk mereka berdua. Alasannya untuk berbuka nanti dan sahur keesokannya. Opor ayam yang dimasak bunda kemarin sudah habis untuk makan kemarin. Gantinya, bunda memasakkan Biru ayam semur dan juga beberapa kue lain untuk dibawa. Diam-diam, Biru merasa tidak enak karena hingga kini ia belum berhasil menjebol tembok untuk bundanya agar bisa benar-benar ia anggap ibu.“Biru berangkat sekarang ya, Bu, Pak. Nggak enak kalau kelamaan izinnya,” pamit Biru sembari menyalimi bunda dan ayah.“Iya, Nak. Hati-hati di jalan. Sayang banget kamu sebentar doang di sininya.” Bunda menepuk-nepuk kepala Biru. Gadis itu tersenyum. Setelah Biru, Langit ikut menyalimi mereka berdua. Arakata yang ikut berdiri di sebelah bunda dan ayahnya juga turut salim guna melepas kebera
Panasnya kota Jakarta lumayan membuat peluh menetes deras. Beruntungnya level panas ini tidak jauh beda dengan di Bandar Lampung, alhasil Biru dan Langit tidak terlalu merasa gerah. Kedua manusia ini sedang berboncengan ke arah rumah Bundanya, Bu Puji.Biru dan Langit sebelumnya hendak mampir untuk mencari makan dulu. Tapi, saat ia berkata akan mampir ke rumah Bunda setelah makan siang, Bunda malah melarangnya makan di luar. Bunda bilang, beliau akan memasakkan untuk Biru dan Langit. Kalau keduanya makan di luar, dikhawatirkan makanan yang akan dimasak Bunda ini tidak dimakan. Alhasil Biru dan Langit membeli beberapa makanan ringan dan buah-buahan untuk buah tangan. Biru juga sempat membeli seporsi siomay karena sudah terasa lapar. Toh gadis itu memiliki nafsu makan yang besar. Seporsi siomay tidak membuatnya kenyang sama sekali.Sesampainya di rumah Bunda, Bu Puji dan Arakata menyambut keduanya di depan rumah. Pak Abdi sendiri masih kerja dan akan pulang nanti sore. Hari ini kebetula
Pernikahan Gita dan Dika hanya berselang seminggu dari hari puasa ditentukan. Sore itu, Biru melamun memandangi laptopnya dengan pikiran yang melayang ke mana-mana. Sidang isbat akan dilakukan petang ini, yang berarti penentuan apakah besok sudah melakukan puasa atau belum adalah malam nanti. Gadis itu merasa rindu ingin mengunjungi makam ibunya sebelum puasa. Entah mengapa melihat pernikahan Gita dan Dika kemarin membuatnya tiba-tiba merindukan ibunya. Padahal Biru tahu benar kalau dalam pernikahan Gita kemarin juga tanpa ada orang tuanya. Tak ada pemicu untuk membuatnya ingat orang tuanya.Beberapa waktu ia berpikir, akhirnya gadis itu memutuskan sesuatu dengan impulsif. “Pokoknya kalau besok puasa, gua ke Jakarta kalau mau lebaran. Tapi, kalau puasanya lusa, malam ini juga gua gas ke Jakarta buat ke makam ibu,” gumam gadis itu.Dengan ponsel yang memutar siaran ulang dari laporan-laporan terkait pengamatan hilal, Biru menggerakkan jari-jarinya untuk mengetik susunan kata demi kata d
Acara yang sudah selesai seharusnya tidak mendapatkan tamu lagi, terlebih tamu yang tidak diinginkan sekalipun undangan dikirim untuk nama mereka. Langit dan Gita menegang saat melihat sosok orang yang paling tidak ingin mereka lihat telah berdiri di depan pintu seraya mengucap salam.“Ngapain kalian ke sini?” ketus Langit. Ia bahkan tidak ingin menyembunyikan raut wajah ketidaksukaannya.“Gua ke sini karena kakak gua nikah. Emang salah, ya? Kan gua juga udah dapat undangannya,” jawab orang itu santai.Langit hampir meledak kembali kalau saja tangan kakaknya tidak segera meraih lengan pemuda itu. Biru sendiri hanya menonton karena ia tidak tahu ada masalah apa antara kakak beradik itu dengan orang yang baru saja tiba. Bahkan ia tidak tahu, siapa gerangan orang yang baru saja sampai dan membuat rusuh tersebut.Gita yang sudah berganti baju menjadi dress yang lebih sederhana dengan riasan yang masih menempel di wajahnya berjalan menghampiri seorang anak laki-laki yang mungkin baru berus