Aku menatap pintu yang tak lama kemudian terbuka. Menampilkan sesosok tubuh mungil anak laki-laki. Aku benar, dia berlari kepadaku. Apalagi setelah dia melihatku. Ini benar-benar membingungkan, bagaimana bisa dia berada tiba-tiba persis di depan wajahku. Maksudku, aku sedang berbaring di kasur yang tingginya hampir sama dengan anak laki-laki itu. Tapi seolah, di sini, semuanya mengikuti keinginan anak laki-laki itu. - Kondisi lu kacau… Yah, seenggaknya sekarang koneksinya sudah nyambung. Jangan keluar dari ^Magna Frisia^ untuk beberapa saat ini. Terima hadiah gue. Dia memakai bahasa yang tak kukenali tapi aku memahaminya seketika. Aku ingin berbicara ketika dia tiba-tiba menciumku—maksudku, ada apa dengan ini semua. Apa yang sedang— 'Cath? Apa kau tertidur? Hei bangun! Siapa yang mengatakan kau bisa tidur saat aku sedang bicara.' Aku refleks melihat ponsel di tanganku. “Cindy?” 'Kau akhirnya bangun! Siapa yang ....' Aku melihat sekitarku. Apa aku tertidur dan bermimpi?
Tidak ada siapa pun yang mengunjungiku selain ayahku. Maksudku orang waras mana yang rela pergi jauh-jauh hanya untuk menjengukku sebentar. Oh, ada. Aku lupa. Cindy menjengukku sekali sebulan yang lalu. Dia juga punya keluarga di Amsterdam, jadi sekalian mengunjungi keluarganya itu. Keluarga Cindy itu sangat besar. Aku rasa di setiap negara di Eropa bahkan kebanyakan Asia dan Amerika pun, dia pasti punya setidaknya satu keluarga yang tinggal di sana. Aku bahkan tidak bisa menghitung berapa puluh negara yang telah dia kunjungi dalam delapan belas tahun hidupnya itu. Keluarganya itu sangat, sangat besar. Tapi kurasa itu hal wajar karena keluarganya itu pemilik perusahaan A yang menyebar di seluruh dunia. Ini contoh bisnis keluarga yang sukses. Maksudku, dibandingkan meneruskan apa yang orang tuanya lakukan—dan menciptakan perang saudara, setiap anak yang ingin ikut andil dalam manajemen bisnis akan dilemparkan ke negara yang belum memiliki cabang bisnis mereka. Sangat
(Perhatian: Kata yang ^dikutip begini^ ada penjelasannya di akhir bab tapi gak masuk glosarium.) _______________ “Tapi kalau sepenuhnya karena kau. Aku tak bisa bilang iya karena alasan utamanya, aku menemukan kasus menarik.” Cindy kembali menyuapiku, membuatku bicara masih dengan mulut penuh. “Kasus menarik? Apa itu penyakit mental yang tak banyak ada?” “Oh! Kau pintar menebak, Cath.” “Aku sering mendengarnya.” Aku mengendikan bahu. Melihat ke arah Cindy yang bersikap seolah dia tidak ada di ruangan ini. Anak ini kenapa lagi? “Aku mendapat info ada seorang pria di Denmark yang ditangkap polisi setempat karena membuat kericuhan.” “Kericuhan? Bukannya itu hal yang umum?” “Kericuhan memang hal yang umum tapi yang membuat ini istimewa itu karena pria itu mengatakan bahwa Loki berbisik padanya untuk memperingati orang lain jika ^Ragnarök^ akan terulang lagi.” Aku tertawa. “Ragnarök mitos Norse itu?” “Yup.” Nanda mengangguk. “Yang semakin menarik, selain dia, terdapa
“Biarkan saja. Atau sumbangkan ke orang yang membutuhkan, aku tak peduli.” Aku bisa merasakan perasaanku yang tiba-tiba menjadi jengkel melihat set PC di sebelah Cindy. Jangan bilang dia begini karena aku terlalu banyak menonton film. Apa salahnya sih menonton film. “Hei, PC ini tak salah apa-apa.” Cindy tertawa. “Kalau kau serius lebih baik untukku saja. Ini keluaran terbaru, kan?” “Silakan.” Hei! Aku suka PC itu, jangan dikasih ke orang lain sesukamu. “Cath, apa kau mau kue Red Velvet sebagai perayaan kau keluar rumah sakit?” Aku tidak suka—tapi mulutku berkata sebaliknya. “Kau tahu aku suka Red Velvet?” Aku bilang aku tidak suka! Bahkan Cindy juga bertanya. “Sejak kapan kau suka kue Red Velvet? Bukannya kau bilang kue itu pahit?” “Aku tak pernah bilang aku tak suka makanan pahit?” “Itu benar ... tapi kau kan hanya makan kue cokelat atau keju saja!” “Kue cokelat dan keju memang enak, tidak pernah mengecewakan.” Berhenti mendebat Cindy, kau perasaan aneh ter
“Terserah kau saja, Cath. Ayo berangkat.” Kupikir ayah akan mengantarku pakai mobilnya yang baru dua bulan lalu sampai itu. Ternyata tidak, dia hanya menunjukkan padaku jalan yang bisa kuambil. Memakai bus umum. Memang tak jauh tapi tetap saja. Aku ingin mencobanya. Tak sampai lima belas menit, aku telah sampai di sekolah baruku. “Catherine Brunner?” Aku menjengit pelan saat nama panjangku dipanggil, menatap guru yang duduk di hadapanku. Sesaat aku kehilangan fokus dan nyaris lupa jika aku berada di ruang guru. “Kau masuk kelas reguler,” kata guru itu lagi. Jelas dia hanya sekedar membaca berkas dataku. Bukan benar-benar memanggilku. Dia terlihat terkejut melihat dataku. Lalu berbicara memakai bahasa Belanda. “Sedikit yang melewati kelas pemula walau sudah bisa berbahasa Belanda, karena yang diajarkan hanya bukan bahasa saja.” Aku senyum malu, meresponsnya memakai bahasa yang sama pula. Walau aku tak yakin dia sedang bicara sendiri atau bicara padaku. “Ah, itu
Cewek yang dipanggil Anika itu merengut pelan. Tapi tak membantah dan segera membereskan barang-barangnya. Dan cewek di sebelahnya yang dari awal memasang wajah acuh sampai sekarang kali ini mengangkat wajahnya dan sekilas mengamatiku. “Zoey, kau bisa bantu Cath beradaptasi di sini, kan?” Zoey yang ekspresinya sama sekali tak berubah hanya mengangguk sekali. “Well, Catherine. Sekarang kau bisa duduk di sebelah Zoey.” Aku tersenyum dan mengangguk lalu menuju bangkuku yang berada di baris kedua tengah-tengah kelas diiringi suara Rogier yang protes tak terima. “Ah, Meneer!
Meski Red Dawn bisa dibilang yang terbaik di Eropa, sayangnya Red Dawn bukan milik yayasan privat. Paling tidak, perlu menerima beberapa murid tak mampu demi menjaga pamor. Walau Sally bukan salah satu dari murid tidak mampu itu—justru dia punya keluarga yang sangat mampu. Tapi kondisi keluarganya bisa dibilang agak rumit dan dia layaknya kodok di antara para ular buas. Karena itu dia tak ada bedanya dengan mereka yang menerima dana bantuan. Aku tak tahu apakah perbedaan kasta sosial di sini sama parahnya dengan Red Dawn yang dibilang terbaik di Eropa itu, yang jelas, tempat ini adalah sarang monster. “Kau benar, aku belum memilih mata pelajaran yang ingin kuambil.” Bahkan cewek bernama Zoey ini. Walau dia terlihat cuek dan datar, aku menyadari bahwa dia mengamati semua gerak-gerikku. Dia mirip dengan James, dikurangi kebiasaannya yang suka bicara dan perhatian pada orang lain secara terang-terangan. “Kita sebentar lagi sampai di ruang kesiswaan.” Setelah Zoey ingatkan, a
“Apa sekolah ini memiliki klub tenis?” “Ah, benar. Kamu adalah petenis yang lumayan terkenal.” Mw. Jansen-Willems kembali memicingkan matanya dan napasku jadi tercekat. “Walau tidak se-profesional binaan Red Dawn, setidaknya merupakan salah satu yang terbaik di Amsterdam.” Walau tujuanku bukanlah untuk bergabung dengan klub tenis sekolah ini karena ada perusahaan agensi yang membinaku dari belakang. Aku tak membantah maupun menjelaskan bahwa aku hanya ingin meminjam lapangan tenis saja untuk berlatih ketika aku tiba-tiba punya impuls hendak bermain. Setelah musim sebelumnya aku berhasil masuk ke papan peringkat delapan puluh besar—lebih tepatnya, turun dari lima puluh besar ke delapan puluh besar. Aku mulai kehilangan minat bermain tenis. Yah, seperti halnya aku tak minat menari tapi aku masih bermain arkade danz base saat kebosanan. K apan sih aku bisa bertahan lama berpegang dengan satu hal. Karena agen yang menyeretku masuk ke tim tenis junior tahu aku tak bisa dipaksa l
Yang memenuhi pandanganku hanyalah baju biru polos yang menutupi punggung bidang Brian. Aku bisa mendengar mereka berdebat dengan kalimat memutar-mutar karena Brian yang terus-terusan mengalihkan topik. Bukan berarti Archer tak paham maksud Brian, mereka berteman bertahun-tahun, mustahil jika Archer tak mengenal Brian dengan baik.“Kita tak memerlukan itu.”“Kau tak pernah dengar tentang darling, Arsh?”“Tidak ada makhluk yang omnipoten, menyingkirlah.”“Sepertinya—”Brian berhenti bicara saat aku mengetuk punggungnya dengan telunjukku yang tak berdarah beberapa kali. Dia memalingkan wajahnya dari Archer dan melihat ke arahku. Mata kami bertemu.“Tak perlu melakukan itu.”Brian mengangkat sebelah alis sesaat, jika aku tak sedang mengamatinya aku akan kelewatan detail itu. Dia diam beberapa sebelum bergeser dari hadapanku sambil berujar, “Kau yang bilang.” Aku tak lagi menanggapinya karena sibuk mengelap mulutku yang berdarah dengan ujung lengan bajuku. Entah kenapa bau amis yan
“Apa kau pikir kami akan mengikuti keinginanmu begitu saja?” “…Tidak.” Tentu saja tidak, dia pikir aku gila? Aku tak pernah sekali pun punya niat begitu! Yang terakhir kuingat tentang mereka itu aku hanya kelahi dari mereka dan mereka menjauhiku! …Atau begitu adanya dari ingatanku. Brian menimpali sambil melirikku. “Dia bahkan berani mengambinghitamkan Uriel.” Aku ingin membantah tapi instingku berteriak keras untuk tidak melakukannya, jadi aku menutup mulutku rapat-rapat bahkan ketika Archer mengalihkan topik dan mulai membahas tentang Pseudotopia. “Kau sama sekali tak mau cerita?” Aku mau… Tidak! Aku tak mau. Meskipun aku tahu mereka tahu apa yang terjadi secara garis besar, mendengarnya langsung dariku tetap saja… Aku tak mau mereka tahu. Beberapa helai rambutku tertiup angin dan nyaris menyakiti mataku, untung saja aku segera merapikannya sambil menatap Archer lurus. Ini pertama kalinya aku benar-benar melihat wajahnya semenjak dari rumah sakit beberapa bulan lal
Aku duduk tegak seperti murid teladan. Sambil menjelaskan apa-apa saja yang kuingat pada dua orang yang terdiam semenjak aku mengutarakan kecurigaan yang sebelumnya kubahas dengan Tahoka. Mereka tahu sekarang separah apa masalah yang sedang aku hadapi—bukan, kita hadapi. “…Karena itu, meski pun ingatanku kacau balau. Jangan beritahu aku, jangan koreksi ingatanku yang salah. Sepertinya ‘aku’ berpikir kemampuanku tak boleh dipakai, setidaknya sampai Ragnarök berakhir.” “Kau pikir mungkin ada seseorang yang memakai visi untuk menebak semua tindakanmu.” Aku mengangguk setuju pada komentar Brian ketika Archer sekali lagi menusukku dengan pertanyaan tajamnya yang sama sekali tak kusangka.
“Kenapa malah kau yang marah?” Aku tertawa, berpikir bahwa pria bersisik di hadapanku saat ini terlihat sangat menggemaskan. Ah, membuatku teringat pada Cindy… Jadinya aku tertawa sambil merengut. “Aku tak suka, hng … valkeri.” Tahoka menatapku curiga. “Kenapa ekspresimu, hng … begitu?” “...Kau terlihat menakutkan saat marah.” “Tentu saja, hng … keturunan hidra harus, hng … terlihat menakutkan!” Tapi kau terlihat menggemaskan? Nyaris saja aku keceplosan mengatakannya melihat mata
Tahoka menepuk meja pelan sambil mengunyah kue kering yang saat ini tinggal setengah. “Ayahku, hng … bilang dunia berwujud, hng … segalanya. Aku tak paham, hng … apa, hng … kau paham?” Aku menggumam mengulang perkataan Tahoka. “Berwujud segalanya…” Mataku berkilat saat bertanya, “Bagaimana orang tuamu bisa tersesat masuk Pseudotopia?” “Katanya, hng … mencari pintu masuk, hng … Shangri-La.” “Pintu masuk? Bukannya satu-satunya cara menyebrang ke Shangri-La itu melalui gerbang dimensi di Lemuria?” “Bukan itu, Cath. Hng … Tapi pintu yang, hng … mengabaikan aturan, hng … hukum Shangri-La.” “Pintu seperti itu benaran ada?” Aku tak percaya. Mengabaikan aturan hukum dunia itu sama saja seperti pencipta semesta dan pencipta semesta itu adalah mitos. Itu sudah seperti rahasia umum. Aku tak paham kenapa orang tua Tahoka senang sekali bepergian dan meninggalkan anak kesayangannya jadi tukang pungut mayat begini. Yang membuatku tak bisa berkata-kata, Tahoka menyukai kegiatannya i
Tahoka merengut. Dia mengamatiku dari atas sampai ke bawah sebelum bertanya yang terdengar seperti menuduh.“Apa yang kau lakukan, hng … hingga tubuhmu, hng … kacau begini?”Aku mengangkat bahu. Dia masih sama, kebiasaannya membuang napas nyaring di tengah-tengah kalimat. Kupikir dia sudah berhenti melakukan itu, ternyata tidak. “Kita bicara di bahteramu saja.”Tahoka membawaku ke kapalnya sambil mengomel. “Berapa kali kubilang, hng … namanya Vila, hng … bukan bahtera.”Aku pura-pura tak dengar, mengikuti di belakangnya sambil mengamati kapal yang sekarang sudah berubah eksterior lagi. Lupakan vila, melihat kapal yang besarnya keterlaluan ini, lebih baik namanya istana saja sekalian. Lihatlah kilauan perak di dindingnya.Saat pertama kali aku masuk ke dalam kapal ini, kupikir interiornya akan serupa dengan kapal pesiar mewah yang sering kulihat dalam iklan. Tapi kenyataan itu kejam.Selain ruang pribadinya yang memakan tempat sekitar seperempat kapal, sisanya merupakan tempat
[BAB V] BERALUR DEMI MENELUSURI RUANG_______________“Hei, Juffrouw! Apa yang kau lakukan di sini? Ini kawasan terlarang.”Seseorang yang kuyakini adalah satpam menepuk bahuku sambil menunjuk papan tanda peringatan. Aku yang sedari tadi fokus mencari fluktuasi gelombang gerbang sambil mengeluh dalam hati menoleh pada satpam itu. Aku tak suka diganggu jika sedang fokus.“Aku tak melihatnya… Kunci kendaraanku terjatuh di sekitar sini. Meneer bisa membantu saya mencarinya juga supaya saya bisa keluar secepatnya?”Kemampuan bicara omong kosong sepertinya ada di dalam darahku. Tapi aku tak peduli. Aku merasakan gerbang yang kucari ada di sekitar sini, hanya tak tahu posisi tepatnya di mana.Dan aku sedang tergesa-gesa karena Brian mungkin saja menemukanku. Tadi saja aku keluar dari rumah sakit diam-diam dan berjalan agak lari menuju stasiun pusat.“Benarkah? Apa ada gantungannya? Deskripsikan seperti apa.” Tapi intuisiku mengatakan yang sedang mencariku bukan Brian. Mau tak mau aku
Lagi, aku melamun tanpa memikirkan apa-apa setelah Nanda pergi dengan alasan menemui pasiennya. Entah berapa lama, saat ponselku berbunyi barulah aku berhenti melamun.Telepon dari nomor tak dikenal.Aku mengangkatnya sambil bersandar ke sandaran kasur. “Ini Cath.”‘Juff Catherine Brunner?’“Benar.”‘Apa Juffrouw terhalang sesuatu sehingga tak bisa ke sekolah?’“Ah…” Aku baru ingat itu. “Maaf, saya lupa mengabari sekolah.”‘Tidak apa-apa. Juffrouw bisa mengabari secara formal maksimal seminggu setelah hari yang tak bisa Juffrrouw hadiri. Telepon ini hanya pengingat secara informal saja.’“Begitu ya… Saya saat ini sedang berada di rumah sakit. Berkas pembuktiannya akan saya kirimkan ke sekolah dalam beberapa jam.”Aku mematikan telepon beberapa saat setelah itu. Intinya aku perlu memberitahu ketika tak bisa ke sekolah agar tak mempengaruhi rapor akhirku.Sekolah yang aneh… Itulah pendapat jujurku karena mendapat telepon seperti ini hanya karena sehari bolos. Aku tak tahu apa itu
Catatan untuk pembaca sebelum memutuskan membaca cerita ini: Akhirnya 30k kata tercapai juga… Karena itu aku buat catatan ini sebagai panduan dalam bentuk QnA untuk pembaca, cerita macam apa sih “Cara Berhenti Menyukai Gebetan dalam 1 Bulan” (CBMGSB) ini. _______________ Q: Kenapa judulnya CBMGSB padahal sampai bab 40an lebih ML-nya aja masih belum ketahuan?! A: Aku gak bisa kasih tau ‘kenapa’ karena itu spoiler di chapter mendatang tapi CBMGSB itu dikutip dari plot yang akan datang yang aku gak yakin kalian masih sanggup nunggunya karena romansanya baru mulai muncul di chapter … sangat jauh. Jadi kalian yang mau baca cerita ini karena tertarik romansa ringan, mikir-mikir dulu deh. Q: Ini kenapa tiap mau menyentuh konflik cerita, MC-nya malah pindah dan ganti konflik lagi? Cerita macam apa ini?! A: Gimana ya ngejelasinnya… Anggap aja cerita yang biasa kalian baca itu kaya garis lurus dengan dua titik, awal dan akhir. Dari awal perkenalan atau langsung konflik lalu bergerak menuju