Ayunan langkah kaki yang sedari tadi mondar mandir itu kini telah terhenti, arloji ditangannya bahkan beberapa kali ia lirik.
Waktu sudah menunjukkan tepat pukul satu dini hari, namun Ayana tak kunjung kembali pulang.
"Aih, kemana dia. Selalu saja bikin cemas" kesalnya.
Beberapa kali ia membuka tirai kaca jendela, memperhatikan halaman rumahnya yang masih tampak kosong. Belum ada motor terparkir disana membuat ia gelisah.
"Bisa-bisanya dia kembali melakukan hal ini, tiadak! Ini tidak bisa dibiarkan" kesalnya menutup tirai tersebut dengan kasar.
Jari-jari tangannya mengepal kuat, rahangnya mengeras. Ia begitu teramat kesal dengan kelakuan Ayana yang berubah kembali akhir-akhir ini.
"Kalau kamu pulang, sudah kupastikan tidur diluar" gerutunya duduk di kursi ruang tamu dengan gelisah.
Tangannya mulai mengambil remote dan menekan tombol power untuk menyalakan televisi.
Beberapa tayangan begitu memuakan menambah kekesalan dihatinya.
Ayana nampak menggeliat dari tidurnya, berbalik kearah kanan untuk mengambil bantal guling yang biasa ia peluk.Namun sedetik kemudian ia merasa ada yang aneh, bantal yang biasa ia peluk begitu berbeda. Rasanya bukan lagi empuk, tetapi lembut dan hangat bak memeluk seorang manusia."Hmmm ..."Pelukannya semakin ia pererat saat kenyamanan mulai ia rasakan, ia menenggelamkan tubuhnya pada dada bidang tersebut yang dipikirnya hanya bantal guling.Pelukannya berbalas, rasanya begitu nyaman namun sedikit agak sesak. Suara lenguhan kembali keluar dari mulutnya."Maafkan aku," bisikan Candra tepat ditelinga seketika membuat kedua matanya terbuka sempurna."Akhhhhh!" teriakan Ayana begitu histeris saat mendapati Candra masih memperhatikan wajah cantinknya dengan tangan memeluk erat dirinya."Jangan berteriak, malu jika terdengar orang" pinta Candra santai."Lo ngapain disini?" tanya Ayana bangun dari pembaringan, segera ia menutup tubu
Sorot amarah yang begitu menggebu, terpancar jelas dari wajah cantik nan judes tersebut.Kedua tangannya mengepal kuat, matanya menatap tajam kearah lelaki berbadan kekar tersebut."Maaf, tapi saya sudah berusaha semaksimal mungkin nona" ujarnya penuh ketakutan."Kenapa kamu bisa gagal dalam misi ini? Apa kamu tau, hal yang kamu perbuat begitu menghancurkan misiku!" bentaknya menggebrak meja dengan keras sehingga lelaki dihadapannya terperanjat kaget."Saya sudah memberikan kebebasan pada kamu, terserah mau diapain perempuan itu asal saya memiliki video kalian berdua tapi mengapa kamu menggagalkan semuanya!" sambungnya lagi penuh emosi."Maaf Nona, tapi saya sudah hampir melakukan hal itu""Terus, kenapa bisa gagal bukankah saya sudah memberikan obat itu?" Potongnya cepat.Lelaki tersebut mengangguk, "tapi sayang, tiba-tiba saja seorang lelaki datang dengan penuh emosi memukul saya Nona. Maafkan, jangan hukum keluarga saya atas hal in
"Kenapa?" tanya Candra saat melihat Ayana begitu kesusahan untuk berjalan.Bukannya menjawab Ayana malah mendelik sebal, lalu kembali duduk di bibir kasur."Masih betah disini atau?" tanya Candra menggantung. Diliriknya Ayana yang masih duduk dengan menggigit bibir bawahnya."Ayo Mas bantu," sambungnya memangku Ayana sampai keluar kamar hotel."Ck. Lepasin gue, gue bisa kok" protes Ayana memukul dada bidang milik Candra itu dengan keras.Candra menatap lekat wajah Ayana yang entah kenapa menurutnya semakin cantik. Diturunkannya ia dengan sangat hati-hati."Mas tahu kamu kesakitan untuk berjalan, maaf" bisik Candra begitu lembut pada Ayana.Pipi Ayana mendadak bersemu merah menahan malu, buru-buru ia berbalik. Mencoba berjalan dengan menahan rasa sakitnya dengan cepat."Haih, anak itu" kekeh Candra segera mengejarnya dengan menahan tawa geli."Gak usah malu, saya sudah tahu semuanya"Blush ...Kembali pipi Aya
"Hadeh ... capek banget kerja seharian!" seru Chandra membantingkan tubuhnya di atas ranjang tepat disamping Ayana yang tengah asik membaca buku dengan setengah berbaring."Pijitin dong," pinta Chandra tanpa teding eling, kepalanya ia letakan pada kaki Ayana yang tengah asik selonjoran.Ayana nampak menurut, diletakannya buku di atas nakas."Wani piro toh Mas?" canda Ayana mulai memijit kening Candra dengan lembut.Candra tersenyum, di gengamnya tangan kanan Ayana bahkan beberapa kali ia menciumi punggung tangan Ayana tersebut penuh kasih sayang.Ayana terdiam, memperhatikan tingkah Candra yang begitu romantis padanya akhir-akhir ini."Tanpa kamu minta pun, Mas akan dengan senang hati memberikan semuanya padamu" gombalnya mencubit pipi Ayana gemas.Ayana meringis, bergidik ngeri dengan apa yang Candra lakukan padanya."Apaan sih Mas, geli tau" protes Ayana.Candra tertawa, menenggelamkan kepalanya pada perut Ayana
"Mas, aku keluar sebentar ya. Ada urusan kampus!" teriak Ayana sembari berlari keluar. Diambilnya sepatu dari rak sepatu yang terpajang diluar.Candra yang mendengar teriakan Ayana segera bergegas menghampiri, masakannya yang belum matang sempurna."Urusan apa dikampus?" tanya Candra saat dirinya menghampiri Ayana yang begitu terburu-buru."Rapat BEM, ini dadakan banget. Nanti kalau aku telat pulang, kamu kunci aja. Lagian aku bawa kunci serep kok," jawab Ayana yang terlihat panik.Candra berdecak, kedua tangannya berkacak pinggang. "Jam 10 malam harus sudah ada dirumah!""InsyaAllah, gue gak tau bakalan sampe jam berapa. Dahlah, gue berangkat ya" pamit Ayana s
Berbeda dengan Ayana dan Candra yang menikmati tidurnya dengan penuh bahagia, Tika justru tidak bisa terlelap dari tidurnya. Ia semakin dirundung kegelisahan saat mengingat perkataan Marten yang telah mengantarnya pulang tadi."Gue benci sama lo Tik, tapi gue gak bisa nyakitin lo"Tika gak paham dengan kebencian Marten padanya akhir-akhir ini, bahkan sebelum dirinya terlibat perang dingin dengan Ayana, Marten bahkan lebih dulu membencinya."Ten, gue mohon lu jangan hadir lagi di otak gue. Gue pengen tidur ..." sebal Tika dengan menggigit kuat bantal guling kesayangannya.Kini matanya menatap dinding kamar dengan kekosongan, perkataan Marten yang terus terngiang membuat ia berpikir keras.
"Sayang ..."Ayana tak menggubris panggilan lembut suaminya itu, ia tetap fokus dengan materi yang akan ia presentasikan nanti siang.Candra mendengus, ia beranjak dari meja makan dan duduk disamping Ayana dengan kepo."Fokus banget sih," sindir Candra menyenggol bahu Ayana.Hening, Ayana tak menggubris sindiran Candra."Yang, ih" dengan manjanya Candra merengek, merebut laptop yang tengah Ayana pakai.Ayana tersentak saat laptop tersebut Candra matikan, dan ditaruhnya laptop itu dibawah meja."Eh buset, lu tuh ngapain ganggu gue?" Protes Ayana. Candra membekap mulut Ayana dengan tangannya, kepalanya mulai ia rebahkan dipangkuan Ayana.Ayana terdiam, membiarkan Candra untuk tertidur dipangkuannya sejenak.Kedua manik matanya saling beradu pandang, membuat lengkungan senyum tercetak indah dibibir Candra."Apaan sih kamu, manja!"Candra menyemburkan tawa, ditariknya hidung Ayana dengan gemas."Ish, sakit
Tika berjalan cepat keluar dari cafe, sesekali ia menghembuskan nafas kasar, menahan air mata serta sesak didada. Niat hati ingin melegakan pikiran malah menambah beban pesakitan.Sungguh kesedihan yang Tika rasakan selalu saja tak berkesudahan, seakan alam mengutuknya untuk menjadi tokoh paling menyedihkan didunia ini.Leo yang baru saja hendak berjalan memasuki cafe begitu terkaget melihat Tika yang keluar dengan raut wajah yang tidak baik-baik saja.Segera ia berlari menghampiri dengan khawatir, "Tik, lo kenapa?" tanya Leo cemas.Tika mendongak, ditatapnya Leo dengan mata sendu. Kemudian ia menggeleng sebagai jawaban."Apa ini ulah Marten?" tanya Leo dengan
"Bunda! Bangun, shalat subuh yuk"Teriakan dua orang yang berbeda nada suara itu begitu mengganggu waktu tidur Ayana pagi ini. Bukannya bangun, Ayana malah sengaja menarik selimutnya hingga menutupi seluruh tubuhnya membuat kedua laki-laki beda usia itu berkacak pinggang tak terima. Keduanya saling menatap lekat seolah memberi pesan jika keduanya telah merencanakan sesuatu. SatuDuaTiga"Ayo bangun Bunda, nanti subuhnya telat!"Keduanya kembali berteriak dengan menarik kuat selimut yang tengah Ayana kenakan. Sabiru sudah tidak sabar, ia menaiki ranjang dan memeluk Ayana erat. "Bunda, ayo dong" Sabiru kembali membangunkan Ayana dengan mencium wajah cantiknya. Menyadari ada yang tidak beres membuat Ayana segera membuka mata, ia memeluk Sabiru erat. "Sayang, Ummah masih ngantuk. Kalian duluan aja ya nanti Ummah nyusul" Sabiru menggeleng, ia menarik lengan Ayana untuk segera bangun dari pembaringan. "Ayo bunda, kita berjamaah sama Ayah"Kedua mata Ayana memicing, indra pendengarann
Mata Bisma menyala, jarum suntik yang ia pegang pun mampu dipatahkannya. Ia semakin tersulut emosi, dimana otak Ayana kali ini? Bukankah telat satu jam saja nyawa Sabiru taruhannya sementara jarak pesantren dan rumah sakit ini bisa ditempuh tiga puluh menit belum proses pengecekan golongan darah dan kesehatan. "TOLONGLAH PAHAM, AYA! DIA AYAHNYA, DIA YANG PALING BERHAK MENOLONG SABIRU!" teriak Bisma begitu kencang. Candra begitu syok mendengar pernyataan Bisma, ia pun turun dari ranjang pasien menghampiri Ayana yang berdiri kaku diambang pintu."Apakah yang Bisma katakan itu benar?" tanya Candra tak percaya. Ayana masih membeku enggan menjawab. Kedua tangan Candra terangkat, ia mengguncang tubuh Ayana. "Jawab Aya, apakah itu benar?"Melihat pemandangan tersebut membuat Bisma semakin geram, ia tidak mau membuang banyak waktu hanya karena ini. Yang ia pikirkan saat ini hanyalah Sabiru, ia ingin Sabirunya selamat. "Aya aku tidak akan pernah memaafkamu jika Sabiruku tidak selamat," lir
Selepas kepergian Candra, Ayana menangis sesenggukan dengan Sabiru yang sudah tertidur dipelukannya. Dengan datar Bisma mengambil sabiru untuk ia tidurkan lalu menyuruh Ayana untuk menjauh agar tidak mengganggu Sabiru. Ayana menurut, ia menjauh dari Sabiru dan terduduk di kursi tunggu yang tersedia diruangan tersebut. "Kenapa tidak jujur saja? pernyataan yang kamu lontarkan itu suatu kebohongan yang suatu saat akan merugikan kamu sendiri" Bisma menyodorkan tisu pada Ayana dengan kecewa. Kenapa Ayana seolah-olah kembali memberikan harapan besar padanya padahal jelas-jelas ia akan kembali merasakan sakitnya kembali ditolak oleh Ayana. Ayana mendongak, ia menerima tisu tersebut untuk menghapus ingusnya. Bisma duduk disampinya, mendengarkan tangis Ayana yang tidak mau berhenti itu dengan setia."Kenapa dia datang disaat aku hampir saja berhasil melupakannya?" tanya Ayana disela tangisnya. "Yang dia bilang itu benar Ya, pertemuan kalian itu sudah menjadi takdir Tuhan. Kamu tidak bisa
Tiga tahun berlaluSenja, kelabu masih saja menjadi peneman hari-hari Candra sejak tiga tahun terakhir setelah ia tidak pernah menemukan Ayana dimana pun. Kedua orangtua pun tidak ada yang memberitahu kemana perginya Ayana sebenarnya. Sejak tigak tahun terakhir pula, hidup Candra diambang keputus asaan. Ia begitu bingung ingin melanjutkan hidupnya seperti apa sementara kehidupan telah berakhir sejak penyesalan terbesarnya itu."Sudah tiga tahun loh, lu gak mau bangkit melupakannya? Gue aja udah punya anak tiga loh" sindir Haris menemui Candra yang tengah terduduk di balkon kantornya. Ya, Candra kembali bekerja di rumah sakit miliknya sebagai CEO sejak ayahnya mengetahui jika Candra sudah putus dengan Hanin. Candra tak tergerak untuk menjawab, ia masih saja menikmati senja yang akan kembali digantikan dengan gelapnya malam. "Gue masih menunggu dia balik, sekali pun dia sudah bukan jadi istri gue tapi gue akan tetap menjadi miliknya. Gue gak mau nikah dengan siapa pun kecuali dengan
Hari-hari berikutnya adalah penderitaan bagi Candra, sesak yang menggunung dihatinya tidak akan pernah runtuh sebelum ia meminta maaf pada Ayana dan Ayana memaafkannya. Menyesal, merasa bersalah dan rindu yang amat besar membuat hari-hari Candra menjadi sangat kelabu.Untuk menuntaskan semuanya pagi ini bahkan Candra bergegas untuk menjemput Ayana dan meminta maaf padanya, wajah yang sayu itu kini sudah menatap sendu pekarangan rumah Herlan. Disana nampak begitu sepi pagi ini dan Candra tidak begitu yakin kalau Herlan akan mengizinkannya masuk. Namun bukan Candra namanya kalau tidak mencoba. Ia berusaha menguatkan hatinya, bersikap bodo amat memarkirkan mobilnya di pekarangan rumah tersebut. Beberapa penjaga bahkan menyambutnya dengan ramah. Menghela nafas dalam, Candra keluar dari mobil dan berjalan menuju depan pintu rumah tersebut. Belum sempat Candra mengetuk pintu tiba-tiba Adinda keluar dari rumah tersebut dengan pakaian dinasnya. "Kamu, sedang apa disini?" tanya Adinda beg
Sudah hampir tiga bulan sejak perpisahan Candra dengan Ayana, kini dirinya sudah kembali terbiasa menjalani hari-hari. Melakukan pekerjaan rumah tanpa di bantu oleh Ayana. Keterbiasaan itu entah kenapa menjadikan hatinya suram untuk menjalani hari-hari. Ia merasa harinya kurang lengkap tanpa ada pengganggu di hidupnya. Siapa lagi kalau bukan Ayana. Sudah hampir tiga bulan juga Candra tak lagi menjadi seorang CEO dirumah sakit miliknya atau pun di perusahaan milik ayahnya. Hidup Candra kembali lagi kemassa dimana ia hanyalah seorang pegawai rumah sakit biasa di salah satu rumah sakit swasta. Haris, yang merupakan sahabatnya pun tak peduli dengannya. Entah, mungkin ini memang hukuman baginya atas apa yang ia lakukan pada Ayana dulu. Candra menarik napas dalam, menatap kearah sebrang rumah sakit. Dimana ia melihat seseorang yang tidak asing baginya, perempuan yang sedari dulu ia cintai tengah menunggunya duduk santai menikmati secangkir kopi andalan yang disajikan di kafe tersebut.
Rembulan malam telah tenggelam, menghilang di gantikan dengan sinar matahari yang terbit dengan malu-malu. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, tapi Candra masih asik duduk melamun di kursi meja makan. Ada hati kecil yang menyesal saat ini, luka di wajahnya bahkan masih terasa perih. Setelah malam itu, sepertinya Candra akan benar-benar kehilangan Ayananya. Kemarahan Herlan nampaknya akan mengibarkan bendera permusuhan. Pikirnya. Candra meringis saat melihat pemandangan rumah yang begitu acak-acakan tidak seperti biasanya yang nampak rapi dan harum. Ia menghembuskan nafas kasar ketika cucian yang menggunung seperti melambai-lambai kearahnya. Ini baru beberapa hari Ayana pergi dari rumahnya namun Candra sudah dibuat stres dengan pekerjaan rumah yang menggunung. Kenapa harus takut jika Ayana pergi kan ada Hanin yang akan merawatnya, menggantikan posisi Ayana. Pikirnya Candra begitu dulu tapi Candra salah. Setelah malam itu, Hanin malah seperti terkesan menjauh. Ia begitu sulit d
Mobil berplat nomor dinas itu berhenti tepat di pekarangan rumah Candra. Nampak Herlan bersama kedua ajudannya keluar dari mobil tersebut, mata Herlan memejam lama saat kakinya hendak melangkah ke depan pintu rumah yang sedikit terbuka. Samar-samar Herlan mendengar suara perempuan yang tengah asik berbincang dengan menantunya itu, tentu saja bukan Ayananya. Tangan Herlan terangkat hendak mengetuk pintu, namun dihalangi oleh kedua ajudannya."Izin komandan, sebaiknya jika memang komandan ingin memastikan benar tidaknya jika menantu komandan itu berselingkuh sebaiknya kita tunggu dulu jangan dulu masuk, kita intip saja dari jendela dan dengarkan percakapannya" ujar Roni salah satu ajudan yang paling keluarga Herlan percayai.Herlan menurunkan tangannya, ia menuruti apa yang dikatakan Roni. "Ayo tuan sebaiknya kita intip disini," ajak Roni sedikit menjauhi pintu utama tepat pada jendela besar yang hanya di tutupi kain gorden yang sangat tipis. Dari sana terlihat jelas Candra tengah du
Lantunan surat Al-Baqarah terdengar melangalun lembut menghiasi kamar kos-koasan berukuran 2.5 m kali 3 m itu.Si pembaca begitu menjiwai setiap ayat demi ayat yang ia lantunkan. Apalagi saat ia membaca dan merenungi salah satu arti dari surat al-baqarah ayat 216 yang berbunyi :كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ ࣖ“Diwajibkan atasmu berperang, padahal itu kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui”Melalui surat Al Baqarah 216 Allah telah menjelaskan bahwa kewajiban perang harus dilaksanakan meski hal tersebut bukan sesuatu yang menyenangkan. Dalam ayat tersebut menyebutkan bahwa “boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu” yang berarti peperangan