Kadang menangis adalah pilihan yang cocok ketika kamu tidak pandai mengungkapkannya lewat kata-kata
***
Rallin memegang pipinya. Rasa panas mulai menjalar di pipinya. Air mata mulai berjatuhan. Sedangkan tangan yang satunya masih mengapit dua bungkus kembang gula pemberian Nadiv.
"Aku sekolah, ma," jawab Rallin. Sialnya suara gadis itu tampak bergetar. Takut akan kemarahan wanita didepannya.
"Sekolah mana yang memulangkan muridnya hampir malam seperti ini, hah?!" lagi, wanita itu berbicara dengan sangat keras. Membuat bulu kuduk Rallin berdiri.
"Kenapa mama peduli? Bukannya
Kadang kita perlu dihadapkan dengan orang yang salah sebelum bertemu dengan orang yang tepat* * *"Apa sayang, nyariin gue?" sahut seseorang dari pintu kelas membuat Rallin menoleh dengan cepat.Setelahnya gadis itu memutar bola matanya malas. Bibirnya mencebik."Gue nyari Nadiv, bukan lo Rangga," kata gadis itu sambil berjalan ke ambang pintu. Memilih pergi ke kelasnya karena bel sebentar lagi akan berbunyi.Rangga yang baru saja tiba dengan Didan hanya cekikikan melihat ekspresi kesal Rallin. Jarang sekali gadis itu menunjukkannya. Gadis itu selalu tampil dengan senyum menawannya.Sementara itu, Nadiv sedang berjalan santai di koridor kelas. Ia tidak peduli dengan bel yang baru saja berbunyi. Menggema ke seluruh penjuru Grand Nusa.Lelaki
Terimakasih telah memilihku meski aku bukan yang terbaik- Nadiv Dirgantara***Nadiv menyesap jus mangga nya dengan santai. Tidak peduli dengan keadaan kantin yang sudah kosong karena jam pelajaran sudah dimulai sejak sepuluh menit yang lalu.Sebenarnya ia tidak berniat ingin membolos. Hanya saja perutnya tadi sangat sakit. Membuatnya merubah haluan yang awalnya ingin melangkah ke kelas menjadi ke kantin.Tak apa lah. Untuk kali ini saja. Besok-besok Nadiv akan rajin masuk meskipun ia tidak pernah fokus mengikuti pelajaran.Setelah menghabiskan sepiring nasi goreng dan segelas jus mangga, perutnya sudah tidak sakit lagi. Lelaki itu meringis. Baru ingat kalau terakhir ia makan itu kemarin sore. Pantas saja rasa
Pernah gak?Kepengen menghilang dari dunia tapi gak meninggal* * *Sesuai isi pesan Rallin tadi, saat bel pulang berbunyi, Nadiv bergegas mengemasi barangnya. Suatu hal langka dimana Nadiv memilih pulang lebih awal. Biasanya lelaki itu akan duduk santai dibangkunya sambil bermain game. Menunggu suasana sekolah sepi, barulah ia pulang.Dan hal itu cukup menarik perhatian beberapa temannya."Kesambet apaan lo? Gak biasanya pulang cepet," celetuk Trisna, si ketua kelas yang sikapnya sebelas dua belas dengan Nadiv.Pertanyaan Trisna mampu membuat Didan dan Rangga yang duduk di depan Nadiv kompak menolehkan kepala."Eh, iya. Tumben lo, biasanya ngadem dulu di kelas," kata Didan sambil menaikkan sebelah alisnya.Nadiv menghela nafas
Kita gak tau sampai kapan, tapi pasti, rencana Tuhan itu indah* * *Suasana ramai tergambar jelas di dalam salah satu pusat perbelanjaan terbesar di kota ini. Banyak pengunjung yang berlalu lalang sambil menenteng beberapa paper bag berisi belanjaan.Banyak juga para remaja yang sedang duduk santai di kafe-kafe bertema out door. Entah itu bergerombol atau berdua, lebih tepatnya berkencan.Seorang wanita dengan pakaian mahalnya berjalan dengan anggun memasuki pusat perbelanjaan itu. Tangannya menenteng tas keluaran luar negeri itu dengan apik. Begitu pun dengan sepatu bermodel high heels merk luar negeri itu terpasang dengan cantik di kaki jenjangnya. Di lehernya terlingkar sebuah liontin berbandulkan berlian.Benar-benar menggambarkan kalau ia adal
Seolah baik-baik saja padahal isi kepala beban semua***Hembusan angin pagi terasa sejuk menerpa wajah cantik gadis yang kini tengah berjalan kaki. Sesekali bibirnya mencebik. Berjalan dengan kepala tertunduk. Kakinya dengan iseng menendangi kerikil-kerikil yang ada didepannya.Ini masih terlalu pagi untuk berangkat ke sekolah. Bahkan ia yakin kalau penjaga sekolah pun belum datang ke gedung itu.Gadis itu menarik nafasnya dalam kemudian menghembuskannya kasar. Membuat poni yang menjuntai di keningnya menjadi berantakan karena hembusan itu.Ck! Gadis itu mendecak. Seharusnya ia membawa mobil kalau saja nenek lampir, kalau kata tetangganya itu tidak menyita semua fasilitas miliknya. Mulai dari kartu kredit, kunci mobil dan juga dompet ser
Ada kamu, aku bahagia***Brakk!Seorang gadis yang tengah duduk santai ruangan penyiar radio itu berjengit kaget. Ditatapnya sinis lelaki yang baru saja datang sambil menggebrak pintu.Lelaki itu dengan tergesa-gesa menghampiri sang gadis. Wajahnya memerah. Terlihat dengan jelas guratan amarah disana. Rahangnya mengeras. Bahkan urat-urat lehernya mencuat menandakan emosinya benar-benar sudah diatas ubun-ubun."Maksud lo apa?!" Bentaknya kasar.Bahkan lelaki itu tanpa segan menarik kasar lengan gadis yang tengah duduk itu
Hai, cantik! Yang kuat, ya? Jangan khawatir aku ada disini* * *Nadiv dan Rallin berjalan beriringan di koridor apartemen. Sesekali ada beberapa gadis yang menyapa Nadiv. Sepertinya mereka saling mengenali. Rallin pun menjadi pusat perhatian disana. Karena untuk pertama kalinya Nadiv membawa gadis ke dalam apartemennya."Nadiv!" Panggil seseorang di ujung koridor.Nadiv dan Rallin langsung menghentikan langkahnya. Nadiv tersenyum hangat menyambut gadis yang kini berjalan menghampiri mereka berdua."Hai!" Sapa gadis cantik itu dengan riang.Rallin meliriknya sinis melihat gaya gadis didepannya yang sok cantik itu. Bahkan bisa dilihat mata gadis itu berbinar kala menatap Nadiv. Jangan sampai gadis itu menjadi saingannya untuk mendapatkan Nadiv."Udah lama
Memangnya apa yang bisa membuatmu lebih bahagia?Kalau aku, cukup bersama orang yang juga mencintaiku, aku sudah bahagia.***Henggar berjalan tergesa-gesa di koridor sekolah menuju parkiran. Bel pulang sudah berbunyi sejak beberapa jam yang lalu namun lelaki itu baru keluar ketika waktu sudah sore. Sejak tadi, ia merenung di rooftop gedung dan pikiran lelaki itu sangat gelisah. Bagaimana tidak? Berita tentang Rehan yang bahkan sudah terjadi dua tahun silam dan kasus itu pun sudah ditutup, kini kembali terkuak. Kembali naik dan kini menjadi perbincangan seluruh siswa Grand Nusa. Apalagi dengan Rallin yang di percaya sebagai pelaku pembunuhan kakaknya sendiri. Hal itu benar-benar menguras pikirannya.Bahkan Henggar dan Rallin belum bisa menemukan titik terangnya sejak dulu, tapi kini malah muncul permasalahan baru. Ini semua karena Ranti, mamanya. Kalau saja wanita itu tidak mengatakan hal tentang Rehan kepada Adelia, berita ini tidak akan tersebar.
Seorang lelaki berusia 20 tahun menatap wanita paruh baya dari kaca tembus pandang. Tatapannya terlihat datar.“Setiap malam dia menangis. Setiap aku mengantarkan makanan, dia selalu mengira aku putrinya,” ujar seorang gadis berpakaian perawat membuat lelaki itu mengalihkan pandangannya.“Apa kau kenal dengan putrinya? Apa kau bisa membawakan putrinya kemari?” tanya perawat.Lelaki itu tersenyum getir. “Putrinya sudah meninggal. Membuat dia hidup penuh dengan penyesalan,” jawab lelaki itu.Perawat hanya diam saja. Merasa tidak enak karena telah menanyakan hal itu. Lalu perawat itupun pamit permisi, meninggalkan lelaki itu sendiri.Lelaki itu berjalan pergi meninggalkan ruangan. Tangannya merogoh saku celananya kemudian mengeluarkan sebuah kertas yang sudah usang. Ia membuka kertas itu dan kembali membaca isinya yang hampir tiap malam ia baca tanpa bosan.“Teruntuk kamu, aku selalu mencintai kamu samp
“Nyokap gue bukan pelakor,”tekan lelaki di depan Henggar dengan matanya yang menyorot tajam.“Sudah, biar saya jelaskan,” lerai wanita itu dengan lembut.Kemudian tatapannya beralih ke Henggar. Wanita itu menatap sendu ke arah Henggar. “Saya tidak pernah merebut Papa kamu dari Mama kamu. Tapi Mama kamu yang telah merebut mas Herman dari saya,” terang wanita itu.Henggar menggeleng tak percaya. “Saya tidak percaya!”“Kamu bisa tahu saya, pasti kamu punya kalung berliontin hati, kan? Di dalamnya ada foto saya dan mas Herman,” ujar wanita itu.Henggar langsung bungkam. Benar yang dikatakan wanita itu, ia bisa tahu wanita itu karena dari liontin. Wanita itu tampak mengulas senyum tipis kemudian ia menepuk bahu Henggar.“Saya adalah istri pertama mas Herman tapi Mama kamu tidak pernah tahu tentang ini. Kenapa? Karena hubungan saya dan mas Herman tidak mendapat restu dari kedu
Seorang wanita dengan pakaian yang tampak glamour serta elegan itu tengah berada di sebuah studio foto. Sepertinya tengah melakukan photoshoot. Wanita itu terlihat sedang berjalan menuju ruang make up.“Ibu masih saja awet muda. Padahal sudah punya anak tiga,” puji seorang gadis yang berada di belakangnya. Sepertinya tengah membenarkan rambut yang berantakan.Wanita itu tersenyum tipis. Matanya menatap ke arah cermin yang ada di depannya. “Anakku hanya dua,” ujarnya tegas seolah tanpa beban.Gadis di belakangnya itu mengernyit. “Oh, iya? Bukankah ada tiga? Yang satu lagi perempuan?” tanya gadis itu lagi.“Hanya dua dan semuanya laki-laki. Satu anak lelakiku sudah meninggal,” tegas wanita itu lagi.Gadis hanya tersenyum simpul. Tak lagi melanjutkan pertanyaannya. Kemudian ia kembali membenahi tatanan rambut milik wanita di depannya itu.“Pemirsa, sebuah fakta mengejutkan terungkap dari sal
Tidak ada yang baik-baik saja jika berada di posisi Henggar. Lelaki itu tampak putus asa. Ia bahkan berulang kali menyalahkan dirinya karena tidak bisa menjaga Rallin dengan baik. Adiknya yang begitu ia sayangi, kini terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan keadaan belum sadarkan diri. Ia tidak tahu apa yang membuat adiknya drop seperti itu.“Kemarin dia masih baik-baik aja, Di.” Henggar berkata lirih. Tatapan lelaki itu tampak kosong. Seperti tidak ada gairah hidup di dalam tatapannya.Maudi yang setia menemani Henggar pun ikut merasakan kehampaan lelaki itu. Ia juga merasa sangat terpukul. Terlebih lagi Rallin adalah sahabat satu-satunya yang mampu mengerti dirinya bahkan lebih dari siapapun termasuk orang tuanya. Melihat Rallin lemah tak berdaya membuat relung hatinya berdenyut sakit.“Doain aja yang terbaik buat dia, Gar. Gue bahkan ngerasa orang paling bodoh karena sahabat gue sakit aja gue nggak tau,” ujar Maudi miris.K
Dalam hidupnya, Henggar tidak pernah berfikir akan mengalami hal seburuk ini. Kehilangan saudara kembar dengan cara yang tragis menyisakan trauma yang dalam untuknya. Terjadinya perpecahan di dalam keluarganya, membentuk dirinya menjadi pribadi yang lebih dingin dan tertutup.Menjadi pribadi yang dingin, membuat Henggar tidak pernah merasa takut dengan apapun. Ia merasa, hatinya sudah mati. Namun untuk kedua kalinya, rasa takut yang begitu hebat kembali menyerang ulu hatinya.Derap langkah kaki yang begitu cepat seperti tengah berlari, membuat para pengunjung rumah sakit menatapnya dengan heran. Pandangan lelaki itu tampak mengabur karena buliran kristal mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia tidak peduli dengan tatapan yang tertuju padanya. Pikirannya sekarang hanya terfokus pada adiknya, Rallin.Detak jantung Henggar mendadak terhenti saat tadi mendapati pesan dari Maudi yang mengabarkan kalau Rallin tiba-tiba mimisan lalu pingsan. Maudi juga memberitahu ruma
“Gila lo? Demi apa, anjir?!”Rallin menutup telinganya dengan kedua tangan. Meredam suara Maudi yang begitu melengking memekakkan telinga. Raut wajah Maudi tampak begitu terkejut setelah Rallin menceritakan kejadian di rumah sakit tadi. Tepat saat Arden menyatakan perasaannya pada Rallin.Jangankan Maudi, Rallin saja sangat terkejut bahkan gadis itu tidak bisa berkata apa-apa tadi. Setelah pulang dari rumah sakit, Rallin meminta Sendi untuk mengantarkannya ke rumah Maudi. Pasalnya gadis itu tidak sedang ada di apartemen. Toh, Rallin juga enggan pergi ke apartemen Maudi yang berdekatan dengan apartemen milik Nadiv.Entahlah, Rallin rasanya sudah mati rasa dengan lelaki yang sampai saat ini masih merajai hatinya. Perlakuan serta sikap lelaki itu seolah meminta Rallin untuk pergi dari sisinya. Rallin tersenyum getir, lalu untuk apa kemarin Nadiv melontarkan janji untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi kalau pada akhirnya akan terus terulang seperti in
“Mungkin mengikhlaskan adalah cara terbaik untuk menyelamatkan diri, sebelum semuanya semakin dalam dan semakin sakit lagi.”Rallin menarik nafas panjang kala mendengar penuturan Arden yang menyentuh hatinya itu. Lelaki itu selalu tahu apa yang dipikirkan Rallin. Kini keduanya tengah duduk di sebuah bangku taman yang ada di halaman belakang rumah sakit. Tempat yang jarang dikunjungi, sehingga mampu menenangkan hati yang tengah gundah.Gadis itu menatap jauh ke depan. Pandangannya tampak kosong. Ada rasa hampa dalam dirinya ketika tidak bersama Nadiv. Nyatanya ia tak bisa membohongi perasaannya sendiri. Terlalu dalam mencintai rupanya salah satu cara mendekatkan diri dengan kecewa yang dalam juga. Ingin marah, tapi percuma. Sama saja seperti dirinya membuang-buang tenaga.Kemudian gadis itu mengalihkan pandangannya ke samping. Menatap Arden yang tampak ikut diam. “Kenapa saya nggak pernah beruntung dalam hal percintaan, Dok?” tanyanya send
Mulai saat ini, bersikaplah seharusnya. Tanpa harus membiarkan diri terluka hanya demi menjaga perasaan orang lain. Karena pada dasarnya, setiap hati juga ingin dihargai. Bukan terus memaklumi mereka yang tak pernah mencoba mengerti. Semua hal itu butuh waktu, dan hal baik datang di waktu yang tepat.Rallin menghela nafasnya panjang. Rasa sesak masih terus menggerogoti relung hatinya. Baru saja berjanji, namun langsung ingkar. Tidak pernah habis fikir dengan sikap Nadiv saat ini. Kalau memang ia masih mencintai Adelia, kenapa ia enggan kembali? Malah meminta Rallin untuk terus bersamanya.Sekarang, Rallin hanya ingin tenang. Ia tidak ingin terbebani dengan hal apapun termasuk asmara. Ia sadar, selama ini ia terlalu dalam melukai hatinya sendiri. Gadis itu mengusap air matanya yang tiba-tiba saja menetes.Bohong kalau ia tidak sakit hati. Cewek mana yang rela liat cowoknya mentingin cewek lain terlebih itu adalah mantannya sendiri. Namun sekarang, ia sudah meyaki
Ucapan Rallin membuat kepala Nadiv berputar 180 derajat menghadap Rallin. Tak mengerti dengan ucapan gadis itu. Wajahnya tampak bingung.Melihat itu, Rallin mengulas senyum getir. “Setidaknya, kalo lo emang nggak cinta, jangan bertingkah seolah-olah lo bakal cinta sama gue. Dibohongi kayak gini lebih menyakitkan daripada ditinggalkan.”Kening Nadiv berkerut. Ia tak suka dengan apa yang dibicarakan oleh Rallin. Apa maksud gadis itu menyuruhnya pergi? Apa Rallin sudah tidak mencintai dirinya lagi?“Maksud lo apa?”Rallin mengalihkan pandangannya ke depan. Menatap bunga-bunga yang tampaknya lebih menarik. “Pada akhirnya, yang pernah mencintai tanpa tapi, pernah bertahan tanpa paksaan, dan pernah sabar menanti sadar pun, akan melepaskan tanpa pesan,” ujarnya tanpa menatap Nadiv.“Lo mau ngelepasin gue? Kenapa?” tanya Nadiv. Ia tak terima dengan Rallin yang seperti ini. Ini hanya perkara ia menjaga Adelia