Hai waktu, bisa perlambat gerakanmu ketika aku bersamanya?
* * *
Setelah sekian lama, kenapa baru sekarang? Apa harus berjuang satu tahun dulu agar bisa mendapatkan celah untuk memiliki Nadiv?
Nadiv. Lelaki itu sekarang seolah memberikan Rallin kesempatan untuk kembali merebut hatinya. Mencoba membiarkan Rallin berjuang untuk sekali lagi.
Rallin yakin, Nadiv akan menjadi miliknya. Sesuai perkataannya dulu, kalau ia akan membuat Nadiv jatuh cinta.
Mengubah posisinya menjadi duduk, gadis itu mengambil ponselnya di dalam tas. Membuka lock s
Will you be my girlfriend?* * *"TAREK SES!!" teriak Didan yang kini berada diambang pintu kelasnya."SEMONGKO!!" sambung Rangga yang juga berada disamping Didan.Keduanya sama-sama baru berangkat lalu dengan kompak menyanyikan salah satu lagu yang viral belakangan ini."Kini tinggal aku sendiri..." Didan mulai mengeluarkan suara emasnya yang mirip seperti petir di siang bolong. Lengkap dengan buku tulis yang digulung lalu dijadikan mic."Hanya berteman dengan sepi..." sambung Rangga kemudian lelaki itu berjoget ria sambil berjalan menuju bangkunya. Sesekali lelaki itu goyang ngebor ala Inul yang sempat viral pada masanya dulu.Sontak kelakuan dua bocah sableng itu mengundang tawa seisi kelas. Bahkan si Trisna, sang ketua kelas samp
Semuanya hancur. Bahkan disaat kita belum sempat menulis sebuah cerita* * *BRAK!!Suara gebrakan di pintu membuat beberapa orang yang ada warung depan sekolah berjengit kaget. Kemudian kompak menatap si pelaku dengan garang."Lo kenapa, sih?! Bikin gue keselek tau, gak?" kesal Didan yang saat itu tengah menyantap satu pentol bakso jadi tersedak karena bakso itu masuk ke kerongkongannya bulat-bulat.Nadiv, lelaki itu tidak menanggapi ocehan Didan. Tampak lelaki itu tengah menahan emosi. Kilatan amarah dimatanya terlihat dengan jelas. Nafas lelaki itu memburu. Tangannya mengepal kuat.Didan yang semula ingin memarahi Nadiv mendadak hilang nyali ketika melihat sahabatnya seperti itu.Wisnu yang berada didepan Nadiv pun menghampirinya. "Kenapa,
Tidak ada yang baru. Semuanya masih tentang dirimu***"HENGGAR!!" pekik Rallin kala lelaki itu melayangkan satu pukulan tepat di wajah Nadiv.Nadiv mengerang kesal saat ia terjatuh bersama motornya. Untung saja ia tidak tertimpa. Nadiv menatap Henggar dengan tajam kemudian bangkit.Nadiv mendorong keras bahu Henggar sampai membuat lelaki itu mundur beberapa langkah. "Maksud lo apa, Gar?!" ucap Nadiv berapi-api."Gue bilang jaga ucapan lo!" kata Henggar tak mau kalah."Gar, udah!" cegah Rallin sambil memeluk tubuh lelaki itu saat ingin kembali melayangkan pukulan kepada Nadiv.Nadiv yang melihat itu tersenyum miring. "Apa yang lo bela dari cewek modelan kayak dia, Gar?" tanyanya sambil menunjuk Rallin. Ga
Untuk rasa yang kamu berikan beberapa saat ini, terimakasih.Aku mencintaimu***Dua tahun yang lalu...Tampak seorang gadis memakai baju kebaya modern tengah berpose untuk mengambil gambar. Di sebelahnya ada seorang lelaki yang memakai jas hitam dengan tangan membawa kalung samir. Iya, hari ini adalah hari kelulusan mereka di sekolah menengah pertama."Dih, yang bener senyumnya. Jangan kek joker gitu," protes gadis itu saat lelaki disebelahnya berpose ala joker."Biar viral, anjir!" kata lelaki itu tak mau kalah."Muka lo udah jelek gak usah di jelek-jelekin lah, Re," kata gadis itu terkekeh.Dengan
Bahunya di kuatin lagi, ya?Semesta semakin berlebihan bercandanya***"Nadiv Dirgantara H. Itu ujungnya apaan, Div?" tanya Rangga yang kala itu tengah melihat badge nama Nadiv.Didan pun ikut melihatnya kemudian mengangguk. Setuju dengan pertanyaan Rangga. Sejak dulu mereka penasaran dengan ujung nama Nadiv yang disingkat itu.Nadiv mendongak. Lelaki itu tengah menyantap baksonya. "Kepo," katanya.Rangga mendecakkan lidahnya. "Padahal nanya doang. Apaan, sih? Handoko? Handaka?" tanya Rangga tetap penasaran."Hindiki, Hunduku, Hendeke, Hondoko, semua aja lo sebutin, babi," sinis Nadiv tak terima.Rangga tertawa melihat lelaki didepannya itu mulai menunjukkan kekesalannya. "Kan, gue nanya, anjir!" katanya."Kepo lo kayak dor
Dipeluk oleh luka, dikuatkan oleh dewasa, dan tersenyum untuk pura-pura bahagia***Matanya mengerjap pelan. Kemudian terbuka sempurna, lalu tertutup lagi. Berusaha menyesuaikan dengan cahaya matahari yang menembus dari balik jendela. Ia melenguh pelan, membuat orang di sekitarnya langsung mendekat."Lin? Lo udah sadar?" pertanyaan bodoh itu keluar dari mulut Maudi begitu mendapati sahabatnya membuka mata.Sendi yang mendengar itu berdecak pelan. "Dih! Goblok amat lo nanyanya," cibir lelaki itu sambil menaikkan selimut Rallin yang merosot turun.Maudi memutar bola matanya malas. "Gue terlalu khawatir. Sewot aja, sih," tukasnya.Rallin tersenyum tipis. Matanya berpendar mengamati tempat ia berada. Ternyata ini adalah ruangan uks. Matanya menatap jam yang tergantung di din
Kadang menangis adalah pilihan yang cocok ketika kamu tidak pandai mengungkapkannya lewat kata-kata***Rallin memegang pipinya. Rasa panas mulai menjalar di pipinya. Air mata mulai berjatuhan. Sedangkan tangan yang satunya masih mengapit dua bungkus kembang gula pemberian Nadiv."Darimana aja kamu?!" bentak Ranti. Raut muka wanita itu tampak emosi. Mukanya memerah sampai ke telinga. Urat lehernya terlihat. Tangannya mengepal."Aku sekolah, ma," jawab Rallin. Sialnya suara gadis itu tampak bergetar. Takut akan kemarahan wanita didepannya."Sekolah mana yang memulangkan muridnya hampir malam seperti ini, hah?!" lagi, wanita itu berbicara dengan sangat keras. Membuat bulu kuduk Rallin berdiri."Kenapa mama peduli? Bukannya
Kadang kita perlu dihadapkan dengan orang yang salah sebelum bertemu dengan orang yang tepat* * *"Apa sayang, nyariin gue?" sahut seseorang dari pintu kelas membuat Rallin menoleh dengan cepat.Setelahnya gadis itu memutar bola matanya malas. Bibirnya mencebik."Gue nyari Nadiv, bukan lo Rangga," kata gadis itu sambil berjalan ke ambang pintu. Memilih pergi ke kelasnya karena bel sebentar lagi akan berbunyi.Rangga yang baru saja tiba dengan Didan hanya cekikikan melihat ekspresi kesal Rallin. Jarang sekali gadis itu menunjukkannya. Gadis itu selalu tampil dengan senyum menawannya.Sementara itu, Nadiv sedang berjalan santai di koridor kelas. Ia tidak peduli dengan bel yang baru saja berbunyi. Menggema ke seluruh penjuru Grand Nusa.Lelaki
Seorang lelaki berusia 20 tahun menatap wanita paruh baya dari kaca tembus pandang. Tatapannya terlihat datar.“Setiap malam dia menangis. Setiap aku mengantarkan makanan, dia selalu mengira aku putrinya,” ujar seorang gadis berpakaian perawat membuat lelaki itu mengalihkan pandangannya.“Apa kau kenal dengan putrinya? Apa kau bisa membawakan putrinya kemari?” tanya perawat.Lelaki itu tersenyum getir. “Putrinya sudah meninggal. Membuat dia hidup penuh dengan penyesalan,” jawab lelaki itu.Perawat hanya diam saja. Merasa tidak enak karena telah menanyakan hal itu. Lalu perawat itupun pamit permisi, meninggalkan lelaki itu sendiri.Lelaki itu berjalan pergi meninggalkan ruangan. Tangannya merogoh saku celananya kemudian mengeluarkan sebuah kertas yang sudah usang. Ia membuka kertas itu dan kembali membaca isinya yang hampir tiap malam ia baca tanpa bosan.“Teruntuk kamu, aku selalu mencintai kamu samp
“Nyokap gue bukan pelakor,”tekan lelaki di depan Henggar dengan matanya yang menyorot tajam.“Sudah, biar saya jelaskan,” lerai wanita itu dengan lembut.Kemudian tatapannya beralih ke Henggar. Wanita itu menatap sendu ke arah Henggar. “Saya tidak pernah merebut Papa kamu dari Mama kamu. Tapi Mama kamu yang telah merebut mas Herman dari saya,” terang wanita itu.Henggar menggeleng tak percaya. “Saya tidak percaya!”“Kamu bisa tahu saya, pasti kamu punya kalung berliontin hati, kan? Di dalamnya ada foto saya dan mas Herman,” ujar wanita itu.Henggar langsung bungkam. Benar yang dikatakan wanita itu, ia bisa tahu wanita itu karena dari liontin. Wanita itu tampak mengulas senyum tipis kemudian ia menepuk bahu Henggar.“Saya adalah istri pertama mas Herman tapi Mama kamu tidak pernah tahu tentang ini. Kenapa? Karena hubungan saya dan mas Herman tidak mendapat restu dari kedu
Seorang wanita dengan pakaian yang tampak glamour serta elegan itu tengah berada di sebuah studio foto. Sepertinya tengah melakukan photoshoot. Wanita itu terlihat sedang berjalan menuju ruang make up.“Ibu masih saja awet muda. Padahal sudah punya anak tiga,” puji seorang gadis yang berada di belakangnya. Sepertinya tengah membenarkan rambut yang berantakan.Wanita itu tersenyum tipis. Matanya menatap ke arah cermin yang ada di depannya. “Anakku hanya dua,” ujarnya tegas seolah tanpa beban.Gadis di belakangnya itu mengernyit. “Oh, iya? Bukankah ada tiga? Yang satu lagi perempuan?” tanya gadis itu lagi.“Hanya dua dan semuanya laki-laki. Satu anak lelakiku sudah meninggal,” tegas wanita itu lagi.Gadis hanya tersenyum simpul. Tak lagi melanjutkan pertanyaannya. Kemudian ia kembali membenahi tatanan rambut milik wanita di depannya itu.“Pemirsa, sebuah fakta mengejutkan terungkap dari sal
Tidak ada yang baik-baik saja jika berada di posisi Henggar. Lelaki itu tampak putus asa. Ia bahkan berulang kali menyalahkan dirinya karena tidak bisa menjaga Rallin dengan baik. Adiknya yang begitu ia sayangi, kini terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan keadaan belum sadarkan diri. Ia tidak tahu apa yang membuat adiknya drop seperti itu.“Kemarin dia masih baik-baik aja, Di.” Henggar berkata lirih. Tatapan lelaki itu tampak kosong. Seperti tidak ada gairah hidup di dalam tatapannya.Maudi yang setia menemani Henggar pun ikut merasakan kehampaan lelaki itu. Ia juga merasa sangat terpukul. Terlebih lagi Rallin adalah sahabat satu-satunya yang mampu mengerti dirinya bahkan lebih dari siapapun termasuk orang tuanya. Melihat Rallin lemah tak berdaya membuat relung hatinya berdenyut sakit.“Doain aja yang terbaik buat dia, Gar. Gue bahkan ngerasa orang paling bodoh karena sahabat gue sakit aja gue nggak tau,” ujar Maudi miris.K
Dalam hidupnya, Henggar tidak pernah berfikir akan mengalami hal seburuk ini. Kehilangan saudara kembar dengan cara yang tragis menyisakan trauma yang dalam untuknya. Terjadinya perpecahan di dalam keluarganya, membentuk dirinya menjadi pribadi yang lebih dingin dan tertutup.Menjadi pribadi yang dingin, membuat Henggar tidak pernah merasa takut dengan apapun. Ia merasa, hatinya sudah mati. Namun untuk kedua kalinya, rasa takut yang begitu hebat kembali menyerang ulu hatinya.Derap langkah kaki yang begitu cepat seperti tengah berlari, membuat para pengunjung rumah sakit menatapnya dengan heran. Pandangan lelaki itu tampak mengabur karena buliran kristal mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia tidak peduli dengan tatapan yang tertuju padanya. Pikirannya sekarang hanya terfokus pada adiknya, Rallin.Detak jantung Henggar mendadak terhenti saat tadi mendapati pesan dari Maudi yang mengabarkan kalau Rallin tiba-tiba mimisan lalu pingsan. Maudi juga memberitahu ruma
“Gila lo? Demi apa, anjir?!”Rallin menutup telinganya dengan kedua tangan. Meredam suara Maudi yang begitu melengking memekakkan telinga. Raut wajah Maudi tampak begitu terkejut setelah Rallin menceritakan kejadian di rumah sakit tadi. Tepat saat Arden menyatakan perasaannya pada Rallin.Jangankan Maudi, Rallin saja sangat terkejut bahkan gadis itu tidak bisa berkata apa-apa tadi. Setelah pulang dari rumah sakit, Rallin meminta Sendi untuk mengantarkannya ke rumah Maudi. Pasalnya gadis itu tidak sedang ada di apartemen. Toh, Rallin juga enggan pergi ke apartemen Maudi yang berdekatan dengan apartemen milik Nadiv.Entahlah, Rallin rasanya sudah mati rasa dengan lelaki yang sampai saat ini masih merajai hatinya. Perlakuan serta sikap lelaki itu seolah meminta Rallin untuk pergi dari sisinya. Rallin tersenyum getir, lalu untuk apa kemarin Nadiv melontarkan janji untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi kalau pada akhirnya akan terus terulang seperti in
“Mungkin mengikhlaskan adalah cara terbaik untuk menyelamatkan diri, sebelum semuanya semakin dalam dan semakin sakit lagi.”Rallin menarik nafas panjang kala mendengar penuturan Arden yang menyentuh hatinya itu. Lelaki itu selalu tahu apa yang dipikirkan Rallin. Kini keduanya tengah duduk di sebuah bangku taman yang ada di halaman belakang rumah sakit. Tempat yang jarang dikunjungi, sehingga mampu menenangkan hati yang tengah gundah.Gadis itu menatap jauh ke depan. Pandangannya tampak kosong. Ada rasa hampa dalam dirinya ketika tidak bersama Nadiv. Nyatanya ia tak bisa membohongi perasaannya sendiri. Terlalu dalam mencintai rupanya salah satu cara mendekatkan diri dengan kecewa yang dalam juga. Ingin marah, tapi percuma. Sama saja seperti dirinya membuang-buang tenaga.Kemudian gadis itu mengalihkan pandangannya ke samping. Menatap Arden yang tampak ikut diam. “Kenapa saya nggak pernah beruntung dalam hal percintaan, Dok?” tanyanya send
Mulai saat ini, bersikaplah seharusnya. Tanpa harus membiarkan diri terluka hanya demi menjaga perasaan orang lain. Karena pada dasarnya, setiap hati juga ingin dihargai. Bukan terus memaklumi mereka yang tak pernah mencoba mengerti. Semua hal itu butuh waktu, dan hal baik datang di waktu yang tepat.Rallin menghela nafasnya panjang. Rasa sesak masih terus menggerogoti relung hatinya. Baru saja berjanji, namun langsung ingkar. Tidak pernah habis fikir dengan sikap Nadiv saat ini. Kalau memang ia masih mencintai Adelia, kenapa ia enggan kembali? Malah meminta Rallin untuk terus bersamanya.Sekarang, Rallin hanya ingin tenang. Ia tidak ingin terbebani dengan hal apapun termasuk asmara. Ia sadar, selama ini ia terlalu dalam melukai hatinya sendiri. Gadis itu mengusap air matanya yang tiba-tiba saja menetes.Bohong kalau ia tidak sakit hati. Cewek mana yang rela liat cowoknya mentingin cewek lain terlebih itu adalah mantannya sendiri. Namun sekarang, ia sudah meyaki
Ucapan Rallin membuat kepala Nadiv berputar 180 derajat menghadap Rallin. Tak mengerti dengan ucapan gadis itu. Wajahnya tampak bingung.Melihat itu, Rallin mengulas senyum getir. “Setidaknya, kalo lo emang nggak cinta, jangan bertingkah seolah-olah lo bakal cinta sama gue. Dibohongi kayak gini lebih menyakitkan daripada ditinggalkan.”Kening Nadiv berkerut. Ia tak suka dengan apa yang dibicarakan oleh Rallin. Apa maksud gadis itu menyuruhnya pergi? Apa Rallin sudah tidak mencintai dirinya lagi?“Maksud lo apa?”Rallin mengalihkan pandangannya ke depan. Menatap bunga-bunga yang tampaknya lebih menarik. “Pada akhirnya, yang pernah mencintai tanpa tapi, pernah bertahan tanpa paksaan, dan pernah sabar menanti sadar pun, akan melepaskan tanpa pesan,” ujarnya tanpa menatap Nadiv.“Lo mau ngelepasin gue? Kenapa?” tanya Nadiv. Ia tak terima dengan Rallin yang seperti ini. Ini hanya perkara ia menjaga Adelia