Move on itu pilihan. Gagal move on itu cobaan. Pura-pura move on itu pencitraan
**
Seorang gadis berseragam putih biru tengah berlarian mengelilingi lapangan lantaran ia mendapat hukuman dari guru karena terlambat sekolah. Raut wajah gadis itu terlihat masam. Sesekali tangannya menyeka keringat yang mulai berjatuhan di pelipis dan dahinya. Bibir mungil nya itu menggerutu. Seolah tengah mengomeli sesuatu.
"Coba aja tadi Rehan mau bareng gue, kan gue gak akan telat," kesalnya jika teringat dengan Rehan yang menolak untuk berangkat bersama. Lelaki itu beralasan kalau ia akan menjemput temannya.
"Ck! Temen lebih penting daripada adiknya sendiri," decaknya lagi.
"Woi!" teriak seseorang yang mampu mengalihkan perhatian gadi
Aku mencintaimu tanpa berfikir jika takdir ku adalah kehilanganmu- Nadiv Dirgantara H.***"Ke kantin dulu, ya?" ajak Adelia yang langsung di anggukk oleh Nadiv."Kita duduk disana aja, ya?" ajak Nadiv kala melihat bangku kosong di ujung dekat stand. "Ayo," lanjutnya sambil menarik pelan lengan Adelia.Namun dikejutkan dengan hempasan yang cukup keras. Nadiv menoleh, menatap Adelia bingung. "Kenapa?" tanyanya."Kita putus!" ucap Adelia lantang membuat seluruh murid yang ada di kantin memusatkan perhatiannya kepada mereka.Nadiv ter
Lain kali jangan kenal cinta, ribet anjing***Henggar terdiam sebentar. Menyusun beberapa kalimat yang mungkin tidak akan melukai sahabatnya itu. Sementara Nadiv, lelaki itu setia menunggu jawaban dari Henggar. Demi apapun, ia yakin kalau kedua manusia itu memiliki hubungan."Gue gak pernah ada hubungan sama dia," jawab Henggar tenang.Nadiv memincingkan matanya. Sedikit tidak percaya dengan jawaban Henggar. Terlebih sikap Adelia tadi yang memang benar-benar menyatakan kalau mereka memiliki kedekatan.Henggar menghela nafas panjang. Merasa terintimidasi dengan tatapan tak percaya dari Nadiv. "Gue gak bo
Tenang, Tuhan punya banyak cara untuk membuatmu bahagia***Rallin berjalan santai ke arah parkiran. Tangannya menenteng gitar berstikernya itu. Matanya memincing saat melihat Nadiv sedang duduk di atas motornya sambil memainkan ponselnya. Seringaian muncul di bibir Rallin. Keberuntungan berpihak kepadanya saat ini."Pangeran gue belum pulang ternyata," gumamnya lalu berjalan ke arah mobil untuk meninggalkan gitar kesayangannya sekaligus meninggalkan kunci mobilnya didalam kemudian menghampiri Nadiv untuk melancarkan aksinya.Dengan mengendap-ngendap, Rallin berjalan pelan di belakang Nadiv. Berniat ingin mengagetkan lelaki itu. Namun baru saja ia ingin beraksi,"Gue udah tau," ucap Nadiv datar tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel.Rallin terpaku sesaat, ia terkekeh karena
Lucu rasanya ketika ikatan darah itu tak lagi memiliki arti, jika nyatanya bersama orang asing jauh terasa lebih aman dan menyenangkan hati***Tak butuh waktu lama, Nadiv sudah sampai didepan gerbang rumah Rallin. Rumah yang mewah namun terlihat sepi dari luar. Lelaki itu menolehkan kepalanya ke belakang, kemudian mendengus kesal karena mendapati gadis itu tengah tidur sembari menyandarkan kepalanya di punggung Nadiv. Bisa-bisanya dia tidur padahal perjalanan tidak sampai sepuluh menit. Pantas saja sejak tadi punggungnya merasa berat dan ia tidak mendengar ocehan dari gadis itu.Tangan Nadiv terulur menepuk pelan paha Rallin, berharap gadis itu mau bangun."Udah sampe, nih. Cepet bangun, gue mau pulang," kata Nadiv sambil menepuk agak keras karena gadis ini pulas sekali.Gadis itu bergerak kecil
Aku menyayangi seseorang sampai pada titik dimana aku tidak tahu caranya berhenti***Tampak seorang lelaki berkaos navy tengah duduk termenung di pembatas balkon apartemennya dengan kaki menjuntai ke bawah. Seolah tidak ada rasa takut kalau bisa saja ia terjatuh dari ketinggian lantai lima belas ini. Angin malam berdesir menerbangkan rambut bagian depan yang sudah mulai memanjang. Lelaki itu enggan memotongnya agar lebih rapi dengan alasan penampilan rambut seperti ini akan tampak lebih keren.Pikirannya berkelana tentang gadis yang tadi siang diantarnya pulang. Satu fakta yang baru ia ketahui kalau gadis itu hanya terlihat ceria dari luar namun rapuh di dalam. Tatapan nyalang serta tangisan itu mampu mengusik ketenangan hatinya. Membuatnya bertanya-tanya sebenarnya apa yang terjadi di keluarganya.Sela
Terkadang seseorang lebih memilih untuk tersenyum hanya karena tak ingin menjelaskan mengapa ia bersedih***Rallin langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain. Mencoba menghindar agar Nadiv tidak menyadari kehadirannya disini. Ah, tapi rasanya percuma. Toh, nanti juga dia akan manggung dan dipastikan Nadiv akan melihatnya.Rallin menghela nafas pelan. Ia merasa malu untuk sekedar bertatap muka dengan Nadiv. Apalagi setelah kejadian siang tadi. Ia jadi berfikir kalau Nadiv akan benar-benar menjauhinya karena perkataan mamanya.Mamanya, entah kenapa wanita itu selalu menyakiti Rallin. Padahal dengan menyakiti Rallin pun tidak akan bisa mengembalikan Rehan yang sudah tenang disana.Nyatanya, tidak ada yang lebih berat daripada menjadi anak broken home.Bagas berdiri dar
Bahkan disaat gue kecewa, gue masih jaga hati buat lo- Rallin Natasha***Trouble he will find you, no matter where you go, oh ohSuara merdu dari Rallin terdengar. Melantunkan salah satu lagu populer berbahasa inggris itu. Jemarinya yang lentik begitu lihai kala memetikkan senar gitar yang berada dipangkuannya.Matanya sesekali terpejam sambil meresapi lagu yang dibawanya. Lagu yang sama persis dengan kehidupannya.No matter if you're fast, no matter if you're slow, oh ohThe eye of the storm or the cry in the morn, oh ohYou're fine for a while but you start to lose controlTrouble is friend.
Hai waktu, bisa perlambat gerakanmu ketika aku bersamanya?* * *Rallin merebahkan tubuhnya ke ranjang. Tangannya direntangkan seperti hendak terbang. Matanya menatap ke atas langit-langit kamarnya. Bibirnya tak berhenti tersenyum. Bahkan ia sampai merasa pegal dibagian tulang pipinya.Setelah sekian lama, kenapa baru sekarang? Apa harus berjuang satu tahun dulu agar bisa mendapatkan celah untuk memiliki Nadiv?Nadiv. Lelaki itu sekarang seolah memberikan Rallin kesempatan untuk kembali merebut hatinya. Mencoba membiarkan Rallin berjuang untuk sekali lagi.Rallin yakin, Nadiv akan menjadi miliknya. Sesuai perkataannya dulu, kalau ia akan membuat Nadiv jatuh cinta.Mengubah posisinya menjadi duduk, gadis itu mengambil ponselnya di dalam tas. Membuka lock s
Seorang lelaki berusia 20 tahun menatap wanita paruh baya dari kaca tembus pandang. Tatapannya terlihat datar.“Setiap malam dia menangis. Setiap aku mengantarkan makanan, dia selalu mengira aku putrinya,” ujar seorang gadis berpakaian perawat membuat lelaki itu mengalihkan pandangannya.“Apa kau kenal dengan putrinya? Apa kau bisa membawakan putrinya kemari?” tanya perawat.Lelaki itu tersenyum getir. “Putrinya sudah meninggal. Membuat dia hidup penuh dengan penyesalan,” jawab lelaki itu.Perawat hanya diam saja. Merasa tidak enak karena telah menanyakan hal itu. Lalu perawat itupun pamit permisi, meninggalkan lelaki itu sendiri.Lelaki itu berjalan pergi meninggalkan ruangan. Tangannya merogoh saku celananya kemudian mengeluarkan sebuah kertas yang sudah usang. Ia membuka kertas itu dan kembali membaca isinya yang hampir tiap malam ia baca tanpa bosan.“Teruntuk kamu, aku selalu mencintai kamu samp
“Nyokap gue bukan pelakor,”tekan lelaki di depan Henggar dengan matanya yang menyorot tajam.“Sudah, biar saya jelaskan,” lerai wanita itu dengan lembut.Kemudian tatapannya beralih ke Henggar. Wanita itu menatap sendu ke arah Henggar. “Saya tidak pernah merebut Papa kamu dari Mama kamu. Tapi Mama kamu yang telah merebut mas Herman dari saya,” terang wanita itu.Henggar menggeleng tak percaya. “Saya tidak percaya!”“Kamu bisa tahu saya, pasti kamu punya kalung berliontin hati, kan? Di dalamnya ada foto saya dan mas Herman,” ujar wanita itu.Henggar langsung bungkam. Benar yang dikatakan wanita itu, ia bisa tahu wanita itu karena dari liontin. Wanita itu tampak mengulas senyum tipis kemudian ia menepuk bahu Henggar.“Saya adalah istri pertama mas Herman tapi Mama kamu tidak pernah tahu tentang ini. Kenapa? Karena hubungan saya dan mas Herman tidak mendapat restu dari kedu
Seorang wanita dengan pakaian yang tampak glamour serta elegan itu tengah berada di sebuah studio foto. Sepertinya tengah melakukan photoshoot. Wanita itu terlihat sedang berjalan menuju ruang make up.“Ibu masih saja awet muda. Padahal sudah punya anak tiga,” puji seorang gadis yang berada di belakangnya. Sepertinya tengah membenarkan rambut yang berantakan.Wanita itu tersenyum tipis. Matanya menatap ke arah cermin yang ada di depannya. “Anakku hanya dua,” ujarnya tegas seolah tanpa beban.Gadis di belakangnya itu mengernyit. “Oh, iya? Bukankah ada tiga? Yang satu lagi perempuan?” tanya gadis itu lagi.“Hanya dua dan semuanya laki-laki. Satu anak lelakiku sudah meninggal,” tegas wanita itu lagi.Gadis hanya tersenyum simpul. Tak lagi melanjutkan pertanyaannya. Kemudian ia kembali membenahi tatanan rambut milik wanita di depannya itu.“Pemirsa, sebuah fakta mengejutkan terungkap dari sal
Tidak ada yang baik-baik saja jika berada di posisi Henggar. Lelaki itu tampak putus asa. Ia bahkan berulang kali menyalahkan dirinya karena tidak bisa menjaga Rallin dengan baik. Adiknya yang begitu ia sayangi, kini terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan keadaan belum sadarkan diri. Ia tidak tahu apa yang membuat adiknya drop seperti itu.“Kemarin dia masih baik-baik aja, Di.” Henggar berkata lirih. Tatapan lelaki itu tampak kosong. Seperti tidak ada gairah hidup di dalam tatapannya.Maudi yang setia menemani Henggar pun ikut merasakan kehampaan lelaki itu. Ia juga merasa sangat terpukul. Terlebih lagi Rallin adalah sahabat satu-satunya yang mampu mengerti dirinya bahkan lebih dari siapapun termasuk orang tuanya. Melihat Rallin lemah tak berdaya membuat relung hatinya berdenyut sakit.“Doain aja yang terbaik buat dia, Gar. Gue bahkan ngerasa orang paling bodoh karena sahabat gue sakit aja gue nggak tau,” ujar Maudi miris.K
Dalam hidupnya, Henggar tidak pernah berfikir akan mengalami hal seburuk ini. Kehilangan saudara kembar dengan cara yang tragis menyisakan trauma yang dalam untuknya. Terjadinya perpecahan di dalam keluarganya, membentuk dirinya menjadi pribadi yang lebih dingin dan tertutup.Menjadi pribadi yang dingin, membuat Henggar tidak pernah merasa takut dengan apapun. Ia merasa, hatinya sudah mati. Namun untuk kedua kalinya, rasa takut yang begitu hebat kembali menyerang ulu hatinya.Derap langkah kaki yang begitu cepat seperti tengah berlari, membuat para pengunjung rumah sakit menatapnya dengan heran. Pandangan lelaki itu tampak mengabur karena buliran kristal mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia tidak peduli dengan tatapan yang tertuju padanya. Pikirannya sekarang hanya terfokus pada adiknya, Rallin.Detak jantung Henggar mendadak terhenti saat tadi mendapati pesan dari Maudi yang mengabarkan kalau Rallin tiba-tiba mimisan lalu pingsan. Maudi juga memberitahu ruma
“Gila lo? Demi apa, anjir?!”Rallin menutup telinganya dengan kedua tangan. Meredam suara Maudi yang begitu melengking memekakkan telinga. Raut wajah Maudi tampak begitu terkejut setelah Rallin menceritakan kejadian di rumah sakit tadi. Tepat saat Arden menyatakan perasaannya pada Rallin.Jangankan Maudi, Rallin saja sangat terkejut bahkan gadis itu tidak bisa berkata apa-apa tadi. Setelah pulang dari rumah sakit, Rallin meminta Sendi untuk mengantarkannya ke rumah Maudi. Pasalnya gadis itu tidak sedang ada di apartemen. Toh, Rallin juga enggan pergi ke apartemen Maudi yang berdekatan dengan apartemen milik Nadiv.Entahlah, Rallin rasanya sudah mati rasa dengan lelaki yang sampai saat ini masih merajai hatinya. Perlakuan serta sikap lelaki itu seolah meminta Rallin untuk pergi dari sisinya. Rallin tersenyum getir, lalu untuk apa kemarin Nadiv melontarkan janji untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi kalau pada akhirnya akan terus terulang seperti in
“Mungkin mengikhlaskan adalah cara terbaik untuk menyelamatkan diri, sebelum semuanya semakin dalam dan semakin sakit lagi.”Rallin menarik nafas panjang kala mendengar penuturan Arden yang menyentuh hatinya itu. Lelaki itu selalu tahu apa yang dipikirkan Rallin. Kini keduanya tengah duduk di sebuah bangku taman yang ada di halaman belakang rumah sakit. Tempat yang jarang dikunjungi, sehingga mampu menenangkan hati yang tengah gundah.Gadis itu menatap jauh ke depan. Pandangannya tampak kosong. Ada rasa hampa dalam dirinya ketika tidak bersama Nadiv. Nyatanya ia tak bisa membohongi perasaannya sendiri. Terlalu dalam mencintai rupanya salah satu cara mendekatkan diri dengan kecewa yang dalam juga. Ingin marah, tapi percuma. Sama saja seperti dirinya membuang-buang tenaga.Kemudian gadis itu mengalihkan pandangannya ke samping. Menatap Arden yang tampak ikut diam. “Kenapa saya nggak pernah beruntung dalam hal percintaan, Dok?” tanyanya send
Mulai saat ini, bersikaplah seharusnya. Tanpa harus membiarkan diri terluka hanya demi menjaga perasaan orang lain. Karena pada dasarnya, setiap hati juga ingin dihargai. Bukan terus memaklumi mereka yang tak pernah mencoba mengerti. Semua hal itu butuh waktu, dan hal baik datang di waktu yang tepat.Rallin menghela nafasnya panjang. Rasa sesak masih terus menggerogoti relung hatinya. Baru saja berjanji, namun langsung ingkar. Tidak pernah habis fikir dengan sikap Nadiv saat ini. Kalau memang ia masih mencintai Adelia, kenapa ia enggan kembali? Malah meminta Rallin untuk terus bersamanya.Sekarang, Rallin hanya ingin tenang. Ia tidak ingin terbebani dengan hal apapun termasuk asmara. Ia sadar, selama ini ia terlalu dalam melukai hatinya sendiri. Gadis itu mengusap air matanya yang tiba-tiba saja menetes.Bohong kalau ia tidak sakit hati. Cewek mana yang rela liat cowoknya mentingin cewek lain terlebih itu adalah mantannya sendiri. Namun sekarang, ia sudah meyaki
Ucapan Rallin membuat kepala Nadiv berputar 180 derajat menghadap Rallin. Tak mengerti dengan ucapan gadis itu. Wajahnya tampak bingung.Melihat itu, Rallin mengulas senyum getir. “Setidaknya, kalo lo emang nggak cinta, jangan bertingkah seolah-olah lo bakal cinta sama gue. Dibohongi kayak gini lebih menyakitkan daripada ditinggalkan.”Kening Nadiv berkerut. Ia tak suka dengan apa yang dibicarakan oleh Rallin. Apa maksud gadis itu menyuruhnya pergi? Apa Rallin sudah tidak mencintai dirinya lagi?“Maksud lo apa?”Rallin mengalihkan pandangannya ke depan. Menatap bunga-bunga yang tampaknya lebih menarik. “Pada akhirnya, yang pernah mencintai tanpa tapi, pernah bertahan tanpa paksaan, dan pernah sabar menanti sadar pun, akan melepaskan tanpa pesan,” ujarnya tanpa menatap Nadiv.“Lo mau ngelepasin gue? Kenapa?” tanya Nadiv. Ia tak terima dengan Rallin yang seperti ini. Ini hanya perkara ia menjaga Adelia