“Bagaimana kau ke sini?” Fandra bertanya masih menatap gadis itu.
Vana tak segera menjawab, tatapannya lurus ke depan. Bagaimana gadis itu bisa berada di sana? untuk keluar dari kediaman Alatas tanpa izin saja tidak mudah, penjagaannya juga ketat, tapi Vana justru berada di sisi sekarang berjalan santai seolah tak mengalami apa pun.
“Hm. Menyelinap,” jawab Vana enteng. Fandra justru terkejut dan menatapnya tajam. “Bercanda. Tentu saja tidak. Aku diantar penjaga ke sini, mereka menunggu di depan sana,” jelas Vana kemudian sambil menunjuk ke depan.
Dua orang pria tampak berjaga di pintu, menunggu mereka datang. Fandra merasa bodoh karena tak menyadari kedua penjaga itu.
“Nenek tau?” tanyanya lagi.
Kali ini Vana mengangguk lalu meliriknya. “Mereka tau, aku yang memaksa,” akunya tersenyum tipis.
Fandra t
Pria itu menatapnya, begitu lama, penuh perhatian. Ada banyak hal yang berubah dari Fandra, tentang bagaimana dia mendekat pada Vana. Gadis itu sendiri tersenyum, masih mencoba menenangkannya.“Apa yang kau masak?” tanya Fandra menolehkan kepalanya ke konter dapur.“Hanya pasta,” jawab Vana ikut melirik ke dapur lalu bangun dari duduknya. “Aku sudah hampir selesai. Sini, duduk,” panggilnya pada pria itu.Menuruti gadis itu dan duduk di meja makan yang hanya ada dua kursi di sudut ruangan, Fandra menunggu apa yang akan Vana hidangkan. Memang hanya pasta, tapi aromanya menggugah selera. Tampilannya menggoda, membuat Fandra penasaran bagaimana rasanya.“Hanya ada bahan ini jadi aku memasaknya saja. Lagi pula ini tak terlalu berat. Ayo coba sebelum dingin,” kata gadis itu setelah menaruh piring di hadapan Fandra yang menfokuskan perhatiannya.Meraih garpu yang di sediakan Vana, Fandra mulai mencicipinya sementara Vana sendiri diam di tematnya menunggu respon pria itu. Meskipun sudah terbi
Pagi menjelang, aktivitas harian di mulai. Semua orang di kediaman Alatas sudah sibuk sejak pagi, menuntasan dekorasi untuk acara yang akan datang. Hampir semua beres, hanya tinggal beberapa hal lagi. Kursi dan meja udah tertata dengan rapi di ballroom, bunga bermekaran yang menebarkan keharuman. Ruang ballroom yang biasanya luas tak banyak furniture kini lebih banyak dihias.Pagi-pagi Vana sudah ikut membantu meskipun para pelayannya melarang dia tak tahan untuk tak turur serta membantu sampai salah seorang pelayan yang menjaganya menyampaikan pesan dari sang ratu di kediamannya.Vana menghadap Xu Mei di kamarnya sebelum sarapan. Wanita tua itu tampa bahagia sekali, wajahnya berseri, keriput di wajahnya karena usia kini tak tampak. Vana bisa menebak apa yang membuat sang ratu demikian.“Nenek ada perlu denganku?” Vana bertanya mencoba mengalihkan perhatian wanita itu yang menatapnya begitu lama. “Ya. Bukan hal yang besar, hanya ingin berbincang denganmu sebelum sarapan,” katanya.Va
Tidak ada yang bisa Vana lakukan usai sarapan. Ketiga pelayannya juga tidak ada di dekatnya karena semua orang sibuk mempersiapkan acara yang akan segera dilaksanakan di kediaman itu. Melihat orang-orang sibuk, Vana tak terbiasa berdiam diri tapi Fandra menegaskannya untuk tetap di sana dan tidak melakukan apa pun selain diam, bermain ponsel atau apa pun, hingga berjam-jam berlalu akhirnya gadis itu bosan juga.Semua orang sibuk di lantai bawah, gedung selatan adalah bagian dari bangunan milik Fandra, sehingga apa pun harus izin padanya, termasuk Vana. Gadis itu keluar dari kamarnya setelah bosan. Jam menunjukan pukul sebelas siang. Biasanya ada ketiga pelayannya di sana, tapi sekarang ini mereka tidak ada jelas Vana semakin sepi.“Lalu apa yang dia lakukan di kamarnya?” pikir Vana sembari mengarahkan tatapannya ke pintu kamar Fandra yang sedikit terbuka.Langkah kakinya mengayun menghampiri pintu itu dan mengintip lewat celahnya. Fandra di dalam, meskipun tak terlihat jelas sedang ap
Vana sungkan untuk bertanya ada apa pada Fandra, pada akhirnya dia diam, menunggu pria itu memberi tahunya. Firasatnya entah mengapa tiba-tiba menjadi tak begitu enak usai melihat perubahan raut wajah dan tatapan Fandra.Setelah mengakhiri panggilannya, Fandra sempat terdiam, mengatur napas dan ekspresi wajahnya kemudian berbalik, Vana siap mendengarnya.“Maaf, ada masalah di kantor,” akunya dengan ekspresi bersalah tergambar di wajahnya yang sedikit pucat.“Penting? Kau harus ke sana, bukan?” balas Vana.Pria itu mengangguk pelan tapi tak menceritakan apa masalahnya. Vana cukup tahu dari perubahan itu.“Kalau begitu, pergilah. Aku akan menunggu di kamar,” kata Vana. Jelas, dia tak akan bisa menunggu di situ, bukan?“Baiklah. Kau kembalilah dulu, lain kali aku mengajakmu masuk. Maafkan aku, Vana. Sampai nanti,”
Setiap detik yang berlalu itu semakin membuat hatinya merasa bersalah pada Vana yang telah dia tinggalkan, padahal dia yang berniat mengajak Vana melihat isi pondok itu, tapi justru dia pergi begitu saja, bukankah itu sungguh terlalu? Fandra memutuskan mempertahankan Vana, tapi dia malah bertemu mantannya hanya karena seseorang memberi tahu keberadaannya. Apakah itu artinya?“Katakan apa yang ingin kau katakan, aku tak punya waktu untuk bicara panjang denganmu,” kata Fandra setelah duduk di sofa ruangannya. Wanita itu juga ikut duduk.“Kau tak punya waktu, tapi terburu menemuiku, apa artinya itu?” Asheila membalas dengan sambil menatap Fandra penuh kemenangan. “Itu artinya, meskipun waktu berlalu lama, di dalam hatimu masih ada aku,” katanya dengan percaya diri.Namun Fandra diam, seolah membenarkannya, meskipun memang ada, tapi tak sepenuhnya terisi olehnya. Dalam waktu beberapa bulan
Matahari sudah di ufuk barat ketika Fandra akhirnya tiba di rumah. Dia pergi menenangkan dirinya lebih dulu sebelum kembali karena kalau sampai neneknya tahu, dia pasti akan dalam bahaya.Memarkirkan mobilnya sebaik mungkin. Saat senja seperti ini biasanya sang nenek bersantai di teras kediamannya menikmati matahari tenggelam yang terasa hangat. Para pekerja sedang sibuk beralu lalang, semua dipercayakan pada orang lain yang mengurus dekorasi dalam pengawasan sang ibu dan kakaknya.“Kau kembali,” sapa Alifika yang kebetulan berada di ballroom untuk mengecek dekorasi.Sempat Fandra terkejut, tapi dia kemudian bersikap biasa saja melihat sang kakak tengah sibuk dengan kertas di tangannya, mencatat apa yang sudah dan belum selesai di kerjakan.“Ya,” jawabnya singkat.Alifika mengangkat wajahnya dan menatap sang adik beberapa saat lalu menepuk bahunya sebelum
Hari besar itu akhirnya tiba juga. Acara akan dilaksanakan pada malam hari, tapi ketika senja menjadi latar di barat sana Vana sudah di dalam kamarnya, tidak boleh kelaur dan Fandra dilarang menemuinya sejak pagi, bahkan mungkin kemarin malam. Meski begitu, Fandra beberapa kali ingin menemuinya, tak melihat gadis itu rasanya aneh baginya.Alifika dan keluarga lainnya memaksa Fandra untuk pindah ke bagunan lain, dan mereka menahannya di kamar sang nenek. Di sanalah dia berganti baju, sedangkan Vana tetap di kamarnya, sibuk dengan para perias, bahkan ponselnya tak bisa dia mainkan. Hanya para wanita yang boleh datang untuk melihatnya, Fandra tidak boleh. Tampilan Vana akan menjadi kejutan juga untuknya.“Kau yang bertunangan kenapa aku yang gugup,” ujar Sabina yang datang lebih awal bersama Angela untuk menemani Vana.“Iya nih. Bener-benar gila rasanya,” timpal Angela yang duduk di samping Sabina sementara Vana di sofa usai merias wajah dan mengenakan gaun untuk pertunangannya hari ini
Ruang ballroom yang tadinya luas, hanya ada dekorasi di sisi ruangan kini tampak megah dengan kursi dan meja, altar, dan panggung, serta pernah pernik yang menghiasi ruangan luas di mansion Alatas itu. Kali ini ruangan tersebut hampir penuh sesak oleh tamu undangan yang hadir, meskipun hanya mengundang kalangan atas, tetap saja banyak.Fandra menunggu bersama keluarganya sembari mendengarkan MC yang membuat sambutan sesuai dengan urutannya. Xu Mei, wanita tua berdarah China itu tampak anggun, diapit oleh menantu dan putra tersayangnya, mereka bak raja dan ratu serta ibu suri yang duduk satu meja bersama pangerannya. Alifika juga ada di sana, di meja yang sama dengan orang tua serta ibunya Vana. Wanita itu sama anggunnya seperti Diana yang duduk di sampingnya.Para tamu undangan itu tampak berseri- seri, ikut gugup menunggu sang putri yang wajahnya masih rahasia, hanya namanya yang tertera di kartu undangan. Semua orang dibuat penasaran, secantik apa dia? Sehebat apa latarnya sehingga
Sudah hampir satu bulan sejak Fandra pergi ke Jepang untuk urusan bisnisnya ternyata masalahnya rumit sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk mengurusnya. Ayah Fandra juga turut pergi satu minggu lalu untuk membantu karena masalahnya semakin besar membuat semua jadi khawatir.Cuaca belakangan ini tidak tentu, hujan deras turun dengan guntur dan kilat padahal siang masih berlangsung tapi hujan sudah turun. Keluarga Alatas menjadi resah tapi mereka saling menguatkan satu sama lain, mendoakan yang sedang berada di luar rumah.Hari ini pagi cerah, tapi saat siang hari mendung berat, langit gelap dengan gemuruh yang terdengar keras. Angin kencang pun tak mau tertinggal menyemarakkan badai yang hendak turun.Dengan semua kabar cuaca yang buruk itu membuat Vana menjadi tak tenang. Fandra tidak bisa dihubungi dua hari ini karena sibuk sekali. Ayah sempat mengabari kalau mereka akan lembur beberapa hari agar masalah segera beres.Vana tidak tahu apapun jadi hanya bisa mendukung saja dan mend
Tiga hari sejak kejadian itu, Vana jarang sekali keluar dan lebih menghabiskan waktunya di rumah Fandra. Dia punya hobi baru sekarang, melakukan banyak hal seperti merangkai bunga, membuat kerajinan dan lain sebagainya. Fandra sibuk dengan pekerjaannya hingga jarang sekali dihubungi, karena Vana tidak ingin menganggu maka pria itulah yang menghubunginya.Vana sudah menjadi bagian dari keluarga besar itu, dan calon istri Fandra jadi dia bisa bebas ke manapun dia mau di gedung selatan itu. Namun, Fandra tidak mengizinkan Vana untuk ke rumah pondok itu.“Vana, kau sibuk?” Heda datang menghampiri.Apa yang terjadi di hotel itu hanya diketahui beberapa orang saja. Fandra membungkam wartawan yang Asheila bawa itu, dan Asheila sendiri sudah pergi lagi. Dua bodyguard yang ditugaskan Fandra pun tidak akan membicarakan masalah itu, hanya Heda dan Gavian yang mengetahuinya lagi, serta Arzal. Yang lain, terutama keluarga Alatas tidak ada yang tahu.“Tidak. Kenapa?” tanya Vana sambil berbalik meng
Vana tampak kelehan, dan berbaring di ranjang yang berantakan.Entah berapa tempat yang mereka jamah, dan memberantakannya bahkan kamar mandi pun tak luput dari mereka.“Kau akan kesakitan saat bangunan nanti.”Vana merespon pelan.“Aku tahu. Tapi, aku tidak bisa … kenapa kau di sini?” tanya Vana lemah.“Aku tidak mungkin meninggalkanmu dengan masalah besar, bukan?”“Ya. Namun, bagaimana kau?” Vana tampak tak berdaya, dia lemah sekarang setelah energinya terkuras habis untuk bergelut dengan pria itu.“Kau akan tahu saat sadar sepenuhnya. Jadi sekarang, tidurlah. Kau pasti lelah,” katanya sambil mengusap kepala Vana dan mendaratkan kecupan di dahi gadis itu.“Kau akan pergi bukan?”“Ya, setelah ini,” jawabnya.“Cepatlah kembali. Aku akan menunggu.”“Tentu. Istirahatlah di sini. Sahabatmu akan menjemput besok. Ibu akan menjagamu sampai aku kembali. Jangan pernah keluar lagi dengan pria lain.”Vana mengangguk. Kedua matanya tampak berat untuk terbuka tapi dia masih mengenali suara itu.“
“Fandra?” Vana memanggil sambil mencari pria itu.Fandra muncul tak lama kemudian.“Ya?” Fandra menyahut. “Ada apa?”“Tidak. Aku pikir kau ke mana. Bukannya kau ingin mengatakan sesuatu padaku, apa itu?” tanya Vana kemudian sambil menatap pria itu yang justru menghindar.“Kau mau melihat sekitar?” tanya Fandra, mengalihkan.“Nanti,” jawab Vana sadar kalau Fandra menghindarinya. “Katakanlah, selagi aku bisa mendengarkannya dengan baik,” kata gadis itu mendesak Fandra.Meskipun ragu, pria itu akhirnya menatap Vana.“Aku akan pergi dinas,” ungkap Fandra akhirnya.Vana tak merespon, membiarkan Fandra kembali menyampaikan sisanya.“Ke Jepang, selama dua minggu,” lanjutnya dan masih menatap Vana, mengawasi ekspresi gadis itu.“Itu saja?” tanya Vana tampak tenang.Kedua alis Fandra terangkat, sedikit heran dengan tanggapan yang gadis itu berikan. Fandra berpikir Vana mungkin akan marah, sedih, atau hal lainnya lagi. Namun ternyata, gadis itu cukup tenang untuk merespon.“Ya,” jawab Fandra si
Setelah hari pertunangan itu Asheila menemui Arzal di tempat pria itu sering berada. Asheila mencari tahu lebih dulu tentang pria itu sebelumnya, dan kini duduk anggun di salah satu kursi café milik Arzal.Dengan senyum puas menghiasi bibir, dan rencana yang telah disusun. Asheila yakin semua akan berhasil sesuai dengan prediksinya bila bekerjasama dengan Arzal. Ashelia pikir bisa mengendalikan pria itu, dan membawa ke sisinya lalu menggunakannya untuk merebut Vana dari Fandra, maka dengan begitu Fandra akan kembali padanya.“Maaf membuatmu menunggu,” suara Arzal membuat Asheila menolehkan kepala.“Tidak apa-apa. Aku sudah menunggumu, duduklah,” ujar Asheila.Sesaat Arzal diam, firasatnya tak enak, menatap wanita di depannya beberapa saat. Tentu saja, Arzal sedikit mengenali Asheila yang ditemuinya di acara Vana dan Fandra tapi Arzal tidak tahu hubungan antara wanita itu dan Fandra.Masih tetap membentuk senyuman di bibir, Asleila menunggu respon dari Arzal dengan perasaan tak sabar.
Setelah serangkaian sambutan, mereka akhirnya bertukar cincin. Fandra memasangkannya di jari manis Vana, memperhatikannya beberapa saat. Gema tepuk tangan memenuhi ruangan. Giliran Vana memasangkan cincinnya di jari manis tangan kiri Fandra. Para hadirin bersorak, menyampaikan bahagianya dan mengucapkan selamat atas pertunangan itu, mereka kini resmi menjadi sepasang kekasih yang membuat iri banyak pihak.Vana memeluk ibunya begitu sesi tukar cincin berakhir dan para tamu undangan bergantian memberinya selamat. Fandra ditarik menjauh oleh Arvan dan bergabung dengan Gavian sedangkan Vana bersama keluarganya, ibu serta nenek mengelilinginya. Ada nenek dan kakek Gavian juga di sana menyampaikan bahagia dan harunya pada Vana serta mendoakannya yang terbaik.“Aku senang akhirnya kamu menjadi bagian dari keluarga ini dan membuat Xu Mei tenang,” kata nenek Gavian sembari mengusap lengan Vana.“Terima kasih atas hadirnya, Nenek, dan mendoakan yang terbaik untukku. Semoga doa baik kembali pada
Ruang ballroom yang tadinya luas, hanya ada dekorasi di sisi ruangan kini tampak megah dengan kursi dan meja, altar, dan panggung, serta pernah pernik yang menghiasi ruangan luas di mansion Alatas itu. Kali ini ruangan tersebut hampir penuh sesak oleh tamu undangan yang hadir, meskipun hanya mengundang kalangan atas, tetap saja banyak.Fandra menunggu bersama keluarganya sembari mendengarkan MC yang membuat sambutan sesuai dengan urutannya. Xu Mei, wanita tua berdarah China itu tampak anggun, diapit oleh menantu dan putra tersayangnya, mereka bak raja dan ratu serta ibu suri yang duduk satu meja bersama pangerannya. Alifika juga ada di sana, di meja yang sama dengan orang tua serta ibunya Vana. Wanita itu sama anggunnya seperti Diana yang duduk di sampingnya.Para tamu undangan itu tampak berseri- seri, ikut gugup menunggu sang putri yang wajahnya masih rahasia, hanya namanya yang tertera di kartu undangan. Semua orang dibuat penasaran, secantik apa dia? Sehebat apa latarnya sehingga
Hari besar itu akhirnya tiba juga. Acara akan dilaksanakan pada malam hari, tapi ketika senja menjadi latar di barat sana Vana sudah di dalam kamarnya, tidak boleh kelaur dan Fandra dilarang menemuinya sejak pagi, bahkan mungkin kemarin malam. Meski begitu, Fandra beberapa kali ingin menemuinya, tak melihat gadis itu rasanya aneh baginya.Alifika dan keluarga lainnya memaksa Fandra untuk pindah ke bagunan lain, dan mereka menahannya di kamar sang nenek. Di sanalah dia berganti baju, sedangkan Vana tetap di kamarnya, sibuk dengan para perias, bahkan ponselnya tak bisa dia mainkan. Hanya para wanita yang boleh datang untuk melihatnya, Fandra tidak boleh. Tampilan Vana akan menjadi kejutan juga untuknya.“Kau yang bertunangan kenapa aku yang gugup,” ujar Sabina yang datang lebih awal bersama Angela untuk menemani Vana.“Iya nih. Bener-benar gila rasanya,” timpal Angela yang duduk di samping Sabina sementara Vana di sofa usai merias wajah dan mengenakan gaun untuk pertunangannya hari ini
Matahari sudah di ufuk barat ketika Fandra akhirnya tiba di rumah. Dia pergi menenangkan dirinya lebih dulu sebelum kembali karena kalau sampai neneknya tahu, dia pasti akan dalam bahaya.Memarkirkan mobilnya sebaik mungkin. Saat senja seperti ini biasanya sang nenek bersantai di teras kediamannya menikmati matahari tenggelam yang terasa hangat. Para pekerja sedang sibuk beralu lalang, semua dipercayakan pada orang lain yang mengurus dekorasi dalam pengawasan sang ibu dan kakaknya.“Kau kembali,” sapa Alifika yang kebetulan berada di ballroom untuk mengecek dekorasi.Sempat Fandra terkejut, tapi dia kemudian bersikap biasa saja melihat sang kakak tengah sibuk dengan kertas di tangannya, mencatat apa yang sudah dan belum selesai di kerjakan.“Ya,” jawabnya singkat.Alifika mengangkat wajahnya dan menatap sang adik beberapa saat lalu menepuk bahunya sebelum