Alih-alih mengikuti maunya Vana untuk lepas, Fandra mulai menggerakan bibirnya perlahan. Tapi ketika gerakan Vana akhirnya berhenti tapi sama sekali tak membalas apa yang Fandra lakukan, dia akhirnya bergenti menggerakan bibir lalu melepaskannya perlahan, menjauhkan wajahnya dari gadis itu.
“Kau …,” Vana terengah, dadanya naik turun karena marah ketika Fandra melepaskan ciumannya dan sedikit menjauhkan wajahnya. “Apa yang kau lakukan, hah?” tuntutnya dengan nada marah.
Vana mendorong dada Fandra tapi tak begitu kuat sehingga hanya membuatnya satu langkah mundur. Vana menepis tangan Fandra yang berada di tengkuknya, napasnya masih naik turun dan tatapannya tajam tertuju pada pria itu.
“Apa yang sebenarnya kau lakukan? Kau pikir, aku siapa?” kata Vana masih marah tapi dia tak melepaskan satu tangan Fandra dari tangannya sendiri. Pikirannya kacau karena Fandra dan sebenarnya Vana k
Sepasang kelopak mata Vana bergerak ketika sesuatu mengusiknya dan perlahan terbuka. Keremangan ruangan menyambutnya, dia melihat sekitar lalu pandangannya tertuju pada jam weker di atas meja nakas, pukul lima lewat tiga puluh pagi. Dia menahan napasnya ketika menyadari sesuatu memberatkan di bagian tubuhnya dan mendapati lengan kekar di atasnya. Kemudian dia mengingat kembali apa yang sempat terjadi semalam lalu mengintip ke balik selimut tebal yang menutupi tubuhnya dan menghela napas lega, pakaiannya masih lengkap.Namun, kejadian semalam yang begitu hangat dan dalam membekas begitu jelas dalam benaknya membuat kedua pipinya menghangat, dia malu, tentu saja. Betapa memalukannya ketika teringat kalau dia juga sempat memulainya, sebuah pagutan yang membawa mereka ke pelukan dalam tidur.Dengan hati- hati Vana menggerakan kepalanya untuk menoleh ke belakang dan mendapati wajah yang tak asing itu tengar tertidur lelap. Dia bergerak tanpa membangunkan Fandra yang tidur di belakangnya. B
Namun, selewat jam enam lebih lima belas menit pagi, Vana tak kunjung datang ke kamar Fandra lagi, sampai pria itu sendiri sudah siap dengan setelan jasnya untuk berangkat kerja, sama sekali tidak ada yang membuka pintu kamarnya.Dia keluar dari kamar dengan perasaan bingung, Vana berjanji, tapi nyatanya tidak membuat Fandra bertanya- tanya ke mana gadis itu. Tapi pertanyaannya kemudian terjawab begitu dia penutup pintu kamarnya bersamaan dengan Vana yang menutup pintu juga di belakangnya para pelayan berdiri.Dahi Fandra mengerut, pandangannya lurus pada gadis itu yang sedang meminta maaf lewat ekspresi wajahnya. Vana mendekat, melempar senyum kecil padanya yang masih berdiri di tempat.“Pagi, Tuan Muda,” sapanya seperti biasa.Fandra tak menjawab, memasang wajah datarnya. Dia kemudian melengos, mendahului Vana sampai membuat gadis itu berdecak sebal, sudah diramahi malah dicueki, batin Vana sembari memutar bola matanya. Tapi dia tak tersinggung dan mengekori pria itu. Jalannya masih
Tidak ada yang bicara untuk beberapa saat lamanya di ruang santai itu. matahari mulai merangkak naik ke tahta langit. Kemdian nenek mengangkat wajahnya lalu berkata, “Ibu penasaran, apa reaksi Fandra ketika tahu Vana keluar untuk masalah pekerjaan. Apakah mereka tidak ada kemajuan?” tanya nenek pada para pelayan yang menjaga Vana. Ketiga pelayan itu saling tatap lalu menggeleng kecil. “Setahu kami, tidak. Namun, ada sedikit perubahan sikap Tuan Muda terhadap Nona,” aku Pelayan Mega. Kabar itu memberi angin segar pada nenek yang segera merespon dengan penuh harap. “Apa itu?” tanyanya tak sabar. “Mereka tak lagi bertengkar pagi ini, dan kesan Tuan Muda terhadap Nona sedikit berubah, serta sedikit perhatian,” lapornya kemudian. Meskipun itu mungkin tak menyampaikan arti apa pun, tapi nenek tampak tersenyum penuh arti. “Tidak ap
Arzal kembali dengan map cokelat besar di tangannya dan tersenyum pada Vana yang menyambut dengan senyuman pula. Pria itu kembali duduk di depannya. “Aku pikir kau pesan sesuatu, Van,” katanya tak menatap Vana tapi sibuk membuka tali di map itu. “Aku bilang tidak lapar. Tapi terima kasih untuk jusnya,” kata Vana dan Arzal hanya tersenyum. Pria itu mengeluarkan beberapa lembar kertas yang berisi tulisan lalu menaruhnya di meja sebelum menjelaskannya pada Vana yang menunggu dengan sabar di depannya. Arzal nyaris tertawa geli begitu melihat keseriusan Vana menunggunya menjelaskan cara kerjanya yang baru. “Astaga, kau sesenang itu?” katanya. Vana tak menyahut tapi senyumnya jelas di wajahnya. “Baiklah. Aku tak akan membuang waktu kalau begitu. Jadi, dengarkan dengan baik apa yang akan aku sampaikan, dan tolong pertimbangkan dengan hati-hati sebelum me
Vana tiba di salah satu restoran yang tak jauh dari tempat pertemuan sebelumnya bersama Arzal. Dia sempat menyetop taksi sebelumnya demi mempersingkat waktu untuk bertemu teman-temannya yang cukup sibuk, dan hanya ada waktu pas jam makan siang.Beberapa tangan melambai padanya begitu memasuki restoran yang ramai. Dia membalas dengan mengangkat tangannya juga dan tersenyum sembari menghampiri meja di sudut ruangan yang di huni oleh beberapa gadis. Ada sekitar empat gadis itu sana, menyambut Vana antusias.“Astaga, Vana!” jerit tertahan seorang gadis yang tampak begitu cantik dengan sapuan make up sedikit tebal, bibir merah yang mengkilap, kelopak mata bereye-shadow pink pastel, da nada sedikit sesuatu yang sebenarnya cukup kentara di bawah matanya. Gadis itu cukup mengetahui banyak hal tentang make up, namanya Giana.“Kau kemana saja, Vana?” tanya salah sati dari mereka yang berkacamata, menatap Vana kangen, dia adalah Sabina. “Susah sekali menghubungimu, yang seolah kau pergi ke suat
Sepanjang sisa makan siang itu Vana habiskan dengan diam, pikiran dan hatinya ribut sehingga dia hanya membiarkan cerita teman-temannya lewat begitu saja. Dan sekali lagi, selalu, Heda yang memperhatikan dalam diam, menelisik ekspresi wajah Vana yang berubah setiap kali nama Fandra disebutkan.“Menyebalkan. Dia ternyata terkenal sekali,” batin Vana memberengut dalm diam.Tapi dia tak bisa mengatakannya juga kalau dia menjadi calon tunangannya Fandra kepada yang lain. Bagaimana reaksi mereka bila Vana mengatakannya? Adakah kemungkinan dia dijauhi dan dibenci?“Astaga! Aku bisa telat masuk,” pekit tertahan dari Angela setelah melirik jam yang melingkar di tangannya.Vana mengangkat wajah untuk memperhatikan yang lainnya.“Vana, sori, aku harus kembali ke kantor. Trimis udah ketemu dalam keadaan sehat wal afiat,” kata Angela sambil bangun dari duduknya mengulurkan tangan pada Vana yang ikut bangun. “Sampai jumpa lagi Vana. Tetap kontakan walau hanya sehari sekali, plis,” lanjutnya dengan
“Sori bikin kau menunggu aku yang tiba-tiba labil gini,” kata Vana setelah puas dengan perasaan dan pikirannya barulah melirik Heda. “Tak apa. Aku baik saja, santai saja Van,” balas Heda menyentuh lengan Vana yang mengangguk kecil lalu membuang napasnya. Masih tak percaya dengan pengamatannya sendiri, Heda mengalihkan pandangan ke arah lain untuk mencari penghiburan. Setelah menghabiskan jus yang dipesan Heda untuknya, Vana melirik jam dan menimbang lalu bergumam, “sebaiknya aku pulang saja.” Heda mendengar gumamannya itu. “Mau aku antar?” tawarnya menatap Vana yang sepertinya dalam kondisi kurang baik untuk dibiarkan sendiri. Sejak beberapa menit lalu dia jadi banyak termenung. Bila dia menggunakan kendaraan umum Heda khawatir Vana melewatkan alamat yang telah menjadi tempat tinggalnya belakangan. Vana mengangkat wajahnya untuk menatap Heda, mengamatinya beberapa saat dan seolah Vana mengerti tawaran sahabatnya itu, dia akhirnya mengangguk. “Ya, tolong. Rasanya aku terlalu les
Mobil Heda tiba di depan gerbang besar rumah itu. Vana menurunkan kaca jendelanya untuk mengonfirmasi dirinya. “Aku kembali,” katanya singkat sambil tersenyum yang segera dibalas oleh penjaga dan memberi isyarat pada rekannya untuk membuka pintu. “Penjagaannya cukup ketat,” komentar Heda sambil menyetir. “Yeah,” sahut Vana, mengangguk. Mobil melewati halaman luas dan sampai di lapangan. Heda mengikuti instruksi Vana untuk berhenti de depan air mancur. “Astaga. Ada Nenek,” ujar Vana terkejut ketika mobil berhenti. Nenek yang baru saja berjalan dari koridor menuju lapangan yang biasa untuk parkir mobil menoleh. Vana segera keluar dari dalamnya setelah menepuk pundak temannya untuk ikut turun. “Nenek,” panggil Vana sambil mendekat, sedikit berlari. Wanita tua itu tersenyum lebar melihat kepulangan Vana seolah sejak tadi nenek menunggunya. “Kamu sudah kembali,” sambut nenek senang. “Ya. Apa yang sedang Nenek lakukan di sini?” tanya Vana meraih tangan keriputnya. “Hendak jalan- j
Sudah hampir satu bulan sejak Fandra pergi ke Jepang untuk urusan bisnisnya ternyata masalahnya rumit sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk mengurusnya. Ayah Fandra juga turut pergi satu minggu lalu untuk membantu karena masalahnya semakin besar membuat semua jadi khawatir.Cuaca belakangan ini tidak tentu, hujan deras turun dengan guntur dan kilat padahal siang masih berlangsung tapi hujan sudah turun. Keluarga Alatas menjadi resah tapi mereka saling menguatkan satu sama lain, mendoakan yang sedang berada di luar rumah.Hari ini pagi cerah, tapi saat siang hari mendung berat, langit gelap dengan gemuruh yang terdengar keras. Angin kencang pun tak mau tertinggal menyemarakkan badai yang hendak turun.Dengan semua kabar cuaca yang buruk itu membuat Vana menjadi tak tenang. Fandra tidak bisa dihubungi dua hari ini karena sibuk sekali. Ayah sempat mengabari kalau mereka akan lembur beberapa hari agar masalah segera beres.Vana tidak tahu apapun jadi hanya bisa mendukung saja dan mend
Tiga hari sejak kejadian itu, Vana jarang sekali keluar dan lebih menghabiskan waktunya di rumah Fandra. Dia punya hobi baru sekarang, melakukan banyak hal seperti merangkai bunga, membuat kerajinan dan lain sebagainya. Fandra sibuk dengan pekerjaannya hingga jarang sekali dihubungi, karena Vana tidak ingin menganggu maka pria itulah yang menghubunginya.Vana sudah menjadi bagian dari keluarga besar itu, dan calon istri Fandra jadi dia bisa bebas ke manapun dia mau di gedung selatan itu. Namun, Fandra tidak mengizinkan Vana untuk ke rumah pondok itu.“Vana, kau sibuk?” Heda datang menghampiri.Apa yang terjadi di hotel itu hanya diketahui beberapa orang saja. Fandra membungkam wartawan yang Asheila bawa itu, dan Asheila sendiri sudah pergi lagi. Dua bodyguard yang ditugaskan Fandra pun tidak akan membicarakan masalah itu, hanya Heda dan Gavian yang mengetahuinya lagi, serta Arzal. Yang lain, terutama keluarga Alatas tidak ada yang tahu.“Tidak. Kenapa?” tanya Vana sambil berbalik meng
Vana tampak kelehan, dan berbaring di ranjang yang berantakan.Entah berapa tempat yang mereka jamah, dan memberantakannya bahkan kamar mandi pun tak luput dari mereka.“Kau akan kesakitan saat bangunan nanti.”Vana merespon pelan.“Aku tahu. Tapi, aku tidak bisa … kenapa kau di sini?” tanya Vana lemah.“Aku tidak mungkin meninggalkanmu dengan masalah besar, bukan?”“Ya. Namun, bagaimana kau?” Vana tampak tak berdaya, dia lemah sekarang setelah energinya terkuras habis untuk bergelut dengan pria itu.“Kau akan tahu saat sadar sepenuhnya. Jadi sekarang, tidurlah. Kau pasti lelah,” katanya sambil mengusap kepala Vana dan mendaratkan kecupan di dahi gadis itu.“Kau akan pergi bukan?”“Ya, setelah ini,” jawabnya.“Cepatlah kembali. Aku akan menunggu.”“Tentu. Istirahatlah di sini. Sahabatmu akan menjemput besok. Ibu akan menjagamu sampai aku kembali. Jangan pernah keluar lagi dengan pria lain.”Vana mengangguk. Kedua matanya tampak berat untuk terbuka tapi dia masih mengenali suara itu.“
“Fandra?” Vana memanggil sambil mencari pria itu.Fandra muncul tak lama kemudian.“Ya?” Fandra menyahut. “Ada apa?”“Tidak. Aku pikir kau ke mana. Bukannya kau ingin mengatakan sesuatu padaku, apa itu?” tanya Vana kemudian sambil menatap pria itu yang justru menghindar.“Kau mau melihat sekitar?” tanya Fandra, mengalihkan.“Nanti,” jawab Vana sadar kalau Fandra menghindarinya. “Katakanlah, selagi aku bisa mendengarkannya dengan baik,” kata gadis itu mendesak Fandra.Meskipun ragu, pria itu akhirnya menatap Vana.“Aku akan pergi dinas,” ungkap Fandra akhirnya.Vana tak merespon, membiarkan Fandra kembali menyampaikan sisanya.“Ke Jepang, selama dua minggu,” lanjutnya dan masih menatap Vana, mengawasi ekspresi gadis itu.“Itu saja?” tanya Vana tampak tenang.Kedua alis Fandra terangkat, sedikit heran dengan tanggapan yang gadis itu berikan. Fandra berpikir Vana mungkin akan marah, sedih, atau hal lainnya lagi. Namun ternyata, gadis itu cukup tenang untuk merespon.“Ya,” jawab Fandra si
Setelah hari pertunangan itu Asheila menemui Arzal di tempat pria itu sering berada. Asheila mencari tahu lebih dulu tentang pria itu sebelumnya, dan kini duduk anggun di salah satu kursi café milik Arzal.Dengan senyum puas menghiasi bibir, dan rencana yang telah disusun. Asheila yakin semua akan berhasil sesuai dengan prediksinya bila bekerjasama dengan Arzal. Ashelia pikir bisa mengendalikan pria itu, dan membawa ke sisinya lalu menggunakannya untuk merebut Vana dari Fandra, maka dengan begitu Fandra akan kembali padanya.“Maaf membuatmu menunggu,” suara Arzal membuat Asheila menolehkan kepala.“Tidak apa-apa. Aku sudah menunggumu, duduklah,” ujar Asheila.Sesaat Arzal diam, firasatnya tak enak, menatap wanita di depannya beberapa saat. Tentu saja, Arzal sedikit mengenali Asheila yang ditemuinya di acara Vana dan Fandra tapi Arzal tidak tahu hubungan antara wanita itu dan Fandra.Masih tetap membentuk senyuman di bibir, Asleila menunggu respon dari Arzal dengan perasaan tak sabar.
Setelah serangkaian sambutan, mereka akhirnya bertukar cincin. Fandra memasangkannya di jari manis Vana, memperhatikannya beberapa saat. Gema tepuk tangan memenuhi ruangan. Giliran Vana memasangkan cincinnya di jari manis tangan kiri Fandra. Para hadirin bersorak, menyampaikan bahagianya dan mengucapkan selamat atas pertunangan itu, mereka kini resmi menjadi sepasang kekasih yang membuat iri banyak pihak.Vana memeluk ibunya begitu sesi tukar cincin berakhir dan para tamu undangan bergantian memberinya selamat. Fandra ditarik menjauh oleh Arvan dan bergabung dengan Gavian sedangkan Vana bersama keluarganya, ibu serta nenek mengelilinginya. Ada nenek dan kakek Gavian juga di sana menyampaikan bahagia dan harunya pada Vana serta mendoakannya yang terbaik.“Aku senang akhirnya kamu menjadi bagian dari keluarga ini dan membuat Xu Mei tenang,” kata nenek Gavian sembari mengusap lengan Vana.“Terima kasih atas hadirnya, Nenek, dan mendoakan yang terbaik untukku. Semoga doa baik kembali pada
Ruang ballroom yang tadinya luas, hanya ada dekorasi di sisi ruangan kini tampak megah dengan kursi dan meja, altar, dan panggung, serta pernah pernik yang menghiasi ruangan luas di mansion Alatas itu. Kali ini ruangan tersebut hampir penuh sesak oleh tamu undangan yang hadir, meskipun hanya mengundang kalangan atas, tetap saja banyak.Fandra menunggu bersama keluarganya sembari mendengarkan MC yang membuat sambutan sesuai dengan urutannya. Xu Mei, wanita tua berdarah China itu tampak anggun, diapit oleh menantu dan putra tersayangnya, mereka bak raja dan ratu serta ibu suri yang duduk satu meja bersama pangerannya. Alifika juga ada di sana, di meja yang sama dengan orang tua serta ibunya Vana. Wanita itu sama anggunnya seperti Diana yang duduk di sampingnya.Para tamu undangan itu tampak berseri- seri, ikut gugup menunggu sang putri yang wajahnya masih rahasia, hanya namanya yang tertera di kartu undangan. Semua orang dibuat penasaran, secantik apa dia? Sehebat apa latarnya sehingga
Hari besar itu akhirnya tiba juga. Acara akan dilaksanakan pada malam hari, tapi ketika senja menjadi latar di barat sana Vana sudah di dalam kamarnya, tidak boleh kelaur dan Fandra dilarang menemuinya sejak pagi, bahkan mungkin kemarin malam. Meski begitu, Fandra beberapa kali ingin menemuinya, tak melihat gadis itu rasanya aneh baginya.Alifika dan keluarga lainnya memaksa Fandra untuk pindah ke bagunan lain, dan mereka menahannya di kamar sang nenek. Di sanalah dia berganti baju, sedangkan Vana tetap di kamarnya, sibuk dengan para perias, bahkan ponselnya tak bisa dia mainkan. Hanya para wanita yang boleh datang untuk melihatnya, Fandra tidak boleh. Tampilan Vana akan menjadi kejutan juga untuknya.“Kau yang bertunangan kenapa aku yang gugup,” ujar Sabina yang datang lebih awal bersama Angela untuk menemani Vana.“Iya nih. Bener-benar gila rasanya,” timpal Angela yang duduk di samping Sabina sementara Vana di sofa usai merias wajah dan mengenakan gaun untuk pertunangannya hari ini
Matahari sudah di ufuk barat ketika Fandra akhirnya tiba di rumah. Dia pergi menenangkan dirinya lebih dulu sebelum kembali karena kalau sampai neneknya tahu, dia pasti akan dalam bahaya.Memarkirkan mobilnya sebaik mungkin. Saat senja seperti ini biasanya sang nenek bersantai di teras kediamannya menikmati matahari tenggelam yang terasa hangat. Para pekerja sedang sibuk beralu lalang, semua dipercayakan pada orang lain yang mengurus dekorasi dalam pengawasan sang ibu dan kakaknya.“Kau kembali,” sapa Alifika yang kebetulan berada di ballroom untuk mengecek dekorasi.Sempat Fandra terkejut, tapi dia kemudian bersikap biasa saja melihat sang kakak tengah sibuk dengan kertas di tangannya, mencatat apa yang sudah dan belum selesai di kerjakan.“Ya,” jawabnya singkat.Alifika mengangkat wajahnya dan menatap sang adik beberapa saat lalu menepuk bahunya sebelum