"Wow!" Harvie bergumam lirih, terpesona pada Star yang baru sampai di tempat acara. Mereka memang pergi sendiri-sendiri. Harvie pergi bersama ayahnya dan Star berangkat dengan Helena. Sebagai asisten pribadi, Irina dan Brian juga ikut. Lalu disinilah Star, berdiri di depan Harvie yang tiba beberapa menit sebelum dirinya. Dan itu menatap Star dengan binar kekaguman. Star mengenakan cocktail dress dengan kerah halter berwarna abu-abu dan panjang gaun sebetis. Riasan yang digunakannya natural dengan bibir berwarna merah. "You look amazing," puji Harvie dengan lantang dan bangga. "Thank you," jawab Star malu-malu. "Ibunya gak disapa?" tanya Helena sok kesal. "Oh. Hai, Ma. You look good," jawab Harvie biasa saja. Refleks saja Star memukul lengan Harvie dengan gemas. Lelaki itu sangat jelas tidak menyapa Helena dengan malas-malasan. "Sakit Star," protes Harvie mengelus lengannya. "Respek sedikit dong sama Mama," bisik Star pelan. Jawaban 'oke' yang terkesan main-main dari Harvie
"Callista Arwen. Would you be my forever partner for the rest of my life?" Suara Harvie menggema di dalam ruangan karena Brian memegangkan mik untuknya. Jangankan Star. Semua penghuni meja yang menjadi teman duduk Star juga terkejut. Tidak menyangka akan ada acara seperti ini. Tentu saja Star menjadi pihak paling syok. Bibirnya membuka, tidak percaya dengan kata-kata Harvie barusan. Lelaki itu baru saja mengajaknya hidup bersama selamanya kan? Menjanjikan untuk berada di samping Star seumur hidupnya. Dan itu berarti Star akan mendapat kasih sayang berlimpah dari Harvie tanpa batas? Star sudah nyaris menangis mendengar kata-kata itu. Dia boleh berharap lebih pada Harvie kan? Star hanya ingin disayang dan dimanja, jadi boleh kan dia sedikit egois? "Star?" panggil Harvie pelan ketika gadis itu tidak juga bereaksi. Panggilan Harvie justru membuat Star tidak kuasa lagi menahan air matanya. Hanya sebuah panggilan dan itu sudah cukup untuk membuatnya ingin lebih egois. Mengingink
“Star, Baby. Kau ada di sini?" Harvie kembali meracau, masih dengan posisi yang tidak berubah. Gumaman yang keluar dari alam bawah sadar Harvie membuat Derina marah. Bisa-bisanya disituasi seperti ini Harvie malah memikirkan Star? Padahal yang ada di depannya saat ini adalah Derina. Padahal malam ini Derina sengaja mengenakan pakaian yang seksi, khusus untuk menggoda Harvie yang setengah sadar seperti sekarang. “Tenang Derina. Jangan mengacaukan semua rencana yang sudah tersusun rapi. Tahan saja,” bisik Derina sangat lirih pada dirinya sendiri. “Kamu mengganti parfum?” tanya Harvie setengah sadar. Dia sekarang menghindu aroma tubuh Derina di tengkuk wanita itu. “Kenapa? Tidak suka?” tanya Derina manja berhasil menekan amarahnya. Derina harus berhasil membuat Harvie tidur dengannya. Kalau perlu sampai hamil sekalian. Dengan begitu pernikahan Harvie dan Star tentu tidak akan terjadi kan? Kedua orang tua mereka tidak akan tinggal diam jika sampai Derina dan Harvie bercinta dalam
“Daddy?” Star memanggil sambil mengetuk pintu kamar mandi. Tidak ada sahutan dari Harvie, membuat Star menggigit bibir bawahnya dengan perasaan bersalah. Apa pun yang ingin dilakukan Harvie tadi gagal total Bagaimana bisa berhasil kalau Star terlalu tegang. Saking tegangnya, dia memejamkan mata terlalu rapat dan mengatupkan kedua tangan di depan dada. Persis seperti orang yang sedang berdoa dengan serius. Membuat ciuman panas membara Harvie terhenti karena merasa Star terlalu tegang. Star bahkan bisa mendengar suara Harvie yang susah payah menahan tawa ketika matanya masih terpejam rapat. Setelah itu Harvie hanya tersenyum dan minta izin untuk pergi ke kamar mandi. Meninggalkan Star yang merasa sangat malu setengah mati karena kelakuannya yang bodoh itu. “Dasar bodoh.” Star bergumam sambil mengetuk keningnya dengan keras. “Kalau kau setegang itu, bagaimana bisa membantu Daddy? Sekarang Daddy jadi kesulitan gara-gara kamu Star.” Star kembali mengetuk keningnya beberapa kali. T
Pagi-pagi sekali, Brian sudah melajukan mobil pribadinya ke kediaman Carlton. Tujuannya hanya satu, mengambilkan pakaian ganti untuk Harvie dan Star. Tapi siapa sangka, Brian langsung disambut oleh teriakan marah Peter. "Di mana Harvie?" tanya Peter dengan wajah merah akibat marah. "Masih di hotel, Pak." Brian bingung melihat situasi di rumah ini. Belum jam enam pagi, tapi sudah kacau. "Hotel katamu? Kau tahu dia di hotel dengan perempuan lain dan kau diam saja?" Peter makin marah. "Maksudnya bagaimana ya, Pak?" tanya Brian makin bingung saja. "Apa kau tidak membaca berita yang muncul dari semalam?" Pertanyaan Peter tentu membuat Brian bingung, tapi lelaki itu memang profesional. Brian segera mengambil ponselnya dan membuka chat yang tidak sempat dibacanya kemarin malam dari tim PR. 'Setelah lamaran yang romantis, Harvie Carlton mabuk dan menghabiskan malam dengan wanita lain.' Brian menganga membaca headline berita yang muncul di berbagai media sosial itu. Belum lagi de
Kamar president suite yang dipesan Brian untuk Harvie terletak tidak jauh dari lift. Tidak heran jika teriakan marah Harvie mampu terdengar oleh Brian ketika dia melangkah keluar dari lift. Apalagi karena pintu kamar itu terbuka lebar. Tanpa perlu diperintah lagi, Brian dan Irina berlari ke arah kamar atasan mereka. Dan betapa terkejutnya dua orang asisten itu ketika melihat segerombolan wartawan menyerbu kamar tuanya. “Usir mereka semua dari sini.” Brian memerintahkan dua orang pengawal yang dibawanya untuk berjaga di koridor. Walau sudah memberi perintah, Brian dan Irina masih harus turun tangan langsung. Biar bagaimanapun para wartawan itu cukup banyak, hampir selusin. Brian kini menyesal tidak membawa semua pengawal yang dibawanya naik ke kamar. “Bagaimana bisa ada wartawan di president suite?” teriak Harvie tidak sabaran setelah berpakaian rapi. “Maaf, Pak. Saya kurang hati-hati, tapi ini mungkin berkaitan dengan berita yang muncul dari semalam.” Brian meyerahkan tabletnya p
Helena menyipitkan mata begitu melihat anak dan calon menantunya tiba di rumah setelah konferensi pers romantis tadi. Dua orang itu bergandengan tangan, tapi Star masih terlihat malu-malu setelah dicium di depan umum. Belum lagi foto yang itu yang diposting di berbagai media sosial dengan caption romantis. “Apa yang kalian lakukan?” tanya Helena dengan ekspresi wajah menuduh. Lebih tepatnya menuduh Harvie karena Helena hanya menatap putranya. “Mama gak lihat konferensi persnya? Harvie sudah menjelaskan semuanya di sana,” jawab Harvie santai saja sambil menggiring Star ke arah tangga.Niatnya sih membawa Star ke kamar dan mereka bisa saling bermanja-manja ria di sana, tapi tentu saja Helena tidak mengizinkan. Helena menyerang Harvie dengan membabi buta, memukul anaknya dengan sekuat tenaga. “Kamu pikir Mama percaya begitu saja? Setelah apa yang terjadi di akhir konferensi pers itu?” Helena terdengar geram dan tak berhenti memukuli Harvie. “Auw, Ma. Aduh. Kok aku dipukuli sih? Harvi
"Apa yang membuat Nona terus-terusan memegang bibir anda?" Karin yang baru masuk membawa keranjang laundry bertanya. "Oh, Karin. Tidak ada apa-apa kok." Star segera menurunkan tangannya dan mencari kegiatan lain. Namun, itu hanya bertahan sebentar saja. Belum juga semenit Star memainkan ponsel, dirinya sudah gelisah. Dia menggigit bibir bawahnya dan kembali memegang bibirnya dengan gelisah, tanpa disadarinya. "Masih memikirkan yang kemarin?" Karin bertanya setelah keranjang laundry diambil alih oleh Irina, yang segera pergi ke walk in closet untuk menata pakaian Star yang baru selesai disetrika. "Hah?" Star yang baru menyadari kelakuannya segera menjauhkan tangannya dari wajah. "Aku tidak memikirkannya sama sekali kok," kilah Star cepat. "Kalau tidak dipikirkan, kenapa bibirnya dipegangi terus?" "Aku tidak melakukan itu Karin. Perasaanmu saja kali," Star masih belum mau mengakui. Namun, menit berikutnya Star mengumpat pelan ketika lagi-lagi Karin menegurnya dengan
Tidak ada satu manusia pun yang tahu apa yang direncanakan oleh Tuhan. Semisal tentang jangka waktu hidup seorang manusia. Setelah kematian Ronald Arwen yang sudah diprediksi. Berita duka yang lain datang dua tahun kemudian. Secara tiba-tiba Peter Carlton meninggal dalam kecelakaan kerja, saat sedang meninjau lokasi pembangunan. Tepat di saat cucu keempatnya lahir. Anak itu kemudian diberi nama Peter Carlton Jr. Ada juga kejadian tak terduga lain ditahun yang sama. Ketika Marvel Leonard Carlton masuk rumah sakit karena ada masalah pada jantungnya. Lubang di jantung yang dulu membuatnya harus masuk NICU, nyatanya tidak berhasil menutup sempurna. Hal itu baru diketahui ketika berumur tujuh tahun. Untungnya, tidak ada yang membuat nyawanya terancam. Marvel hanya perlu operasi untuk menyumbat lubang tersebut, setelahnya Marvel bisa hidup normal. Hal lain yang perlu dirawat dari Marel hanya matanya. Dari usia enam tahun dia sudah harus menggunakan kacamata tebal. Itu terjadi bukan
Marvel menunduk dengan wajah terpesona. Matanya dan bibirnya membuka dengan lucunya, saking terpesonanya dia pada adik bayinya yang baru lahir. Marvel tiap hari bertemu dengan adiknya, tapi tetap saja berekspresi seperti itu. "Eh, Marvel. Pipinya adiknya jangan ditusuk-tusuk gitu dong, Nak." Star mengambil tangan anaknya dengan lembut, agar tidak lagi menjahili si kecil July. Dilarang menggunakan jarinya, kini Marvel kembali mengganggu adiknya dengan cara lain. Kali ini si kecil marvel mengecup pipi July dengan gemas. "Astaga, kecil-kecil sudah ada bibit playboynya." Gumaman asal Helena membuat semua orang tertawa. Helena kembali mengadakan acara syukuran kecil-kecilan untuk cucu ketiganya yang cantik, tepat sebulan setelah kelahirannya. Seperti biasa, bukan hanya Carlton dan Arwen saja yang datang. Keluarga besar Langton juga datang. "Ma, tolong jangan didoaiin yang aneh-aneh dong." Harvie langsung protes mendengar Helena berkata seperti itu. Harvie mengakui kalau dulu dia m
"Mari kita dengar sambutan dari siswa paling berprestasi kita." Seseorang diatas podium mempersilakan Star bergabung. Star berdiri dari tempatnya duduk di barisan paing depan. Dia tersenyum lebar dan berjalan pelan ke atas podium dengan perutnya yang sudah mulai membuncit. "Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih pada Tuhan Yang Maha Esa." Star memulai pidatonya dengan ucapan terima kasih pada berbagai pihak. "Terakhir terima kasih untuk keluargaku. Papa, Mama, adik-adik, Mertua, serta suami dan anak-anakku." Star tersenyum penuh haru ke arah keluarganya duduk. Hanya ada Harvie dan kedua orang tua Star di sana, tapi itu saja sudah lebih dari cukup. Lagi pula akan sangat merepotkan kalau anak-anak juga ikut ke acara wisudanya, jadi Helena dan Peter yang mendapat jatah menjaga anak-anak. "Mungkin banyak yang bingung bagaimana saya membagi waktu jadi ibu rumah tangga dan kuliah, tapi ... Saya bisa jadi seperti ini karena keluarga saya. Karena punya suami yang mendukung ser
"Star ada diatas main sama anak-anak." Hera memberitahu ketika melihat Harvie. "Thank you, Ma." Harvie segera berlari ke lantai atas, tempat anak-anak biasa bermain. Ini sudah hari ketiga sejak Star menginap di rumah orang tuanya dan dia sudah amat sangat rindu dengan keluarga kecilnya. "Star?" Harvie membuka pintu ruang bermain dengan pelan dan menemukan kalau semua penghuninya tengah tertidur di atas karpet tebal. Star tertidur dengan laptop yang terbuka, dikelilingi oleh Yvonne, Marvel, Amora dan Benedict. Pemandangan yang sangat manis dan Harvie sungguh berharap bisa punya keluarga besar seperti ini. Tidak ingin mengganggu istirahat mereka, Harvie mengendap-ngendap untuk mematikan laptop Star. Dan dia mulai memindahkan satu persatu manusia itu ke kamar masing-masing. *** "Sudah bangun?" Star mengerjap perlahan mendengar suara Harvie yang sudah dia rindukan. Star pikir dia masih bermimpi dan mengeratkan pelukannnya pada Harvie. "Masih ngantuk ya?" Harvie bertanya de
Star mengetukkan kaki ke teras rumah dengan wajah amat kesal. Irina yang berdiri di sebelahnya dengan memegang setumpuk kertas, tidak berani menatap bosnya itu. "Daddy ke mana sih?" tanya Star dengan ketus. "Biar saya teleponkan." Irina segera bergerak cepat mengambil ponselnya dan menyerahkannya pada Star untuk bicara. "Daddy tahu sudah berapa lama aku nungguin?" tanya Star dengan luar biasa ketusnya. "Maaf, Sayang. Rapatnya selesai lebih lama dar ..." "I don't care. Kan aku sudah bilang berhenti kerja dan suruh Brian yang urus semuanya. Susah banget ya gak kerja selama beberapa bulan?" "Gak bisa gitu, Sayang. Soalnya ini proyek be ...." "Lebih penting proyek atau anakmu? Datang dalam lima menit atau aku pulang ke rumah Mama." Star mematikan sambungan secara sepihak. Setelah penolakan yang dilakukan Star tempo hari, dia akhirnya melakukan test kehamilan karena merasa khawatir. Tentu saja hasilnya positif, dan membuat Star mengamuk. Sekali lagi, Star bukannya tidak mau punya
"Mami. Mami." Marvel berlari-lari untuk menghampiri ibunya yang sedang mengerjakan tugas akhir kuliahnya. Star yang sedang sakit kepala pun refleks tersenyum melihat bocah empat tahun itu. "Kenapa sayang?" Star mengangkat Marvel dan mendudukkan anak yang kini sudah membulat itu di pangkuannya. "Vel mo ade." Usia Marvel sudah empat tahun lebih, tapi belum bisa bicara lancar seperti Yvonne dulu. Dia memang terlambat mulai bicara, jadi kosakatanya masih minim. "Marvel mau adek?" tanya Star dengan ekspresi sedikit horor. "Maksudnya mau punya adek?" Ekspresi Star terlihat makin horor saja ketika anak bungsunya ini mengangguk. Kenapa juga si Marvel bisa tiba-tiba minta adek? "Kenapa Marvel mau minta adek?" tanya Star penasaran. "Lion punya ade," jawab Marvel dengan senyum mengembang. Sepertinya pria kecil Star itu mulai memikirkan indahnya punya adik lagi. “Rion?” Star mengumpat dalam hati. Lain kali Star tidak akan membiarkan Marvel main dengan Rion. “Kakak Von uga.” "Ka
“DONI.” Doni menggeram kesal mendengar suara ayahnya yang menggelegar. Dengan sangat terpaksa, dia meninggalkan permainan game onlinenya dan menghampiri sang ayah. “Kamu ini sebenranya ngapain sih?” tanya sang ayah dengan wajah terlihat sedikit kesal. “Maksud Ayah apaan sih?” tanya Doni bingung. Tapi tiba-tiba saja ayahnya tersenyum. “Kita sekeluarga diundang untuk grand opening mal. Kerjasama Olympus Grup dan Constate Enterprise.” Ayah Doni berteriak riang sambil memeluk anaknya. Bagi para pengusaha, diundang oleh perusahaan kondang saja merupakan suatu kebanggaan. Apalagi yang mengundang ini merupakan perusahaan kelas dunia. “Lalu? Hubungannya denganku apa?” tanya Doni makin bingung. “Katanya pimpinan Constate dan anak tertua dari Olympus Grup mengenalmu secara pribadi, makanya mereka mau mengundang. Ini kesempatan yang sangat baik Doni.” “Apanya?” tanya Doni makin bingung. “Kamu ini gimana sih? Kuliah bisnis, tapi tidak tahu apa-apa soal bisnis. Katanya pemimpin Olympus,
Waktu bergulir dengan cepat. Tidak terasa ujian semester pertama sudah dekat dan Star mah didera banyak masalah yang membuatnya tidak fokus. Marvel terserang flu berat dan menulari Yvonne. Karena Marvel punya masalah pada jantungnya, dia terpaksa harus diinapkan di rumah sakit. Lalu karena Yvonne juga merengek ingin menginap di rumah sakit, dia juga terpaksa dirawat. Kata dokter sih tidak ada masalah karena Star dan Harvie membawa mereka ke rumah sakit tepat waktu, tapi tetap saja Star khawatir dan mempengaruhi fokusnya untuk kuliah. Belum lagi gosip-gosip yang mulai bermunculan. Sama seperti dulu, banyak yang menggosipkannya sebagai wanita panggilan, hamil diluar nikah, peliharaan om-om dan lain sebagainya. Kehadiran Yvonne dan Marvel yang selalu datang menjemput jadi pemicunya. Bukan berarti Star menyalahkan anak-anak. Dia dulu juga sudah digosipkan seperti itu dan kebetulan saja kemunculan anak-anak seolah jadi pembenar gosip itu. Selain itu, Doni yang sudah lama tidak me
"Kok sedari tadi kamu cemberut sih?" Harvie yang baru pulang langsung mengecup puncak kepala Star yang masih menemani anak-anak main. Dua anak kecil itu juga ikut-ikutan minta dikecup oleh ayah mereka. Hanya dikecup, tidak di peluk apalagi digendong karena Harvie belum mandi. "Tante Nadine udah mau balik ke Inggris." Star menjawab dengan jujur. "Terus?" "Terus aku jadi gak punya teman ngobrol seasik dia lagi. Jadinya kalau lagi pusing urusin anak-anak, gak ada teman curhat." Bibir Star maju sedikit, membuat wajahnya makin cemberut saja. "Kalau cuma curhat kan ada banyak orang yang bisa ditemani curhat. Lagi pula kan masih bisa saling telepon atau chat. Beda waktu Indonesia - Inggris kan tidak terlalu jauh." "Oh, iya juga ya. Baru sadar." Cengiran Star membuat Harvie menggeleng pelan. "Tapi kalau kamu memang butuh pengalihan ketika merasa lelah dengan anak-anak, Daddy punya ide yang bagus untuk itu." Harvie tersenyum melihat wajah bingung Star yang selalu membuatnya gemas