“Kau mengenalinya?” tanya Derina terlihat tidak percaya, sembari menatap dua orang yang berdiri beradapan itu. “Oh, tentu saja. Kami bisa dibilang nyaris seperti saudara. Star ini pelanggan setiaku juga.” Irish menjawab tanpa beban, membuat kening Derina berkerut. Derina sudah berteman dengan Irish lumayan lama. Sudah sering juga meminta bantuan Irish untuk mendandani dirinya, tapi dia tidak pernah mendengar Irish menyebut nama Star sekalipun. “Kau tinggal di sini sekarang? Kudengar ini unit milik Harvie Carlton. Apa sekarang kau jadi simpanannya?” tanya Iris tanpa basa-basi. “Tunangan. Harvie Carlton itu tunanganku, Irish.” Anggukan kepala Irish membuat mata Star menyipit. Mencoba mencari tahu apa alasan perempuan bersama dengan Derina. Apalagi, sedari awal Irish tidak sedekat itu dengan Star. Irish masih menjalankan semua tugasnya dengan baik, tapi tidak pernah terlalu dekat secara personal dengan Star. Jadi Star kurang tahu lingkup pertemanan Irish. Lagi pula, sejak ka
"Kak Harvie yang ngomong seperti itu pada Derina?" Belum juga Harvie duduk di bar stool di bagian counter, Star sudah memberikan pertanyaan yang tidak dimengerti. Dia makin bingung karena Star terlihat sedang bad mood. Padahal Derina sudah diusir. "Yang mana yang kau maksud?" tanya Harvie hati-hati dan segera mengumpat dalam hati setelahnya. Baru kali ini Harvie merasa perlu hati-hati saat berbicara dengan seorang wanita. Biasanya yang terjadi adalah sebaliknya. Bahkan tadi Derina saja seperti itu, kenapa sekarang jadi terbalik? "Katanya Derina, Kak Harvie yang bilang ke kakaknya kalau saya ini hanya wanita bayaran yang murahan dan menjual tubuh kemana-mana." Star terlihat santai, tapi nada suaranya jelas marah. Saking marahnya, Star bahkan melebih-lebihkan apa yang dikatakan Derina sebelumnya. Seolah Star ingin membuat Derina menjadi orang jahat yang sedang merundungnya. Jujur saja dia cukup terhibur dengan wajah ketakutan Harvie. Ya, benar. Harvie terlihat sedikit ke
"Ada apa dengan wajahmu itu?" Marcus yang baru masuk ke dalam ruangan Harvie langsung bertanya dengan ekspesi aneh. Bagaimana tidak? Sepagi ini Harvie sudah duduk berputar-putar menggunakan kursi kerjanya sambil cengengesan tidak jelas. Hal yang tidak pernah terjadi, sesenang apa pun lelaki itu, dan membuat Marcus berpikir temannya sudah gila. "Aha, ini dia biang keroknya sudah datang." Harvie berhenti berputar dan memukul mejanya cukup keras. "Biang kerok apanya?" tanya Marcus bingung. "Gara-gara mulut embermu, Star hampir marah padaku." Harvie maju dan mencengkram kerah kemeja Marcus. "Wow, Bro. Tenang." Marcus memegang tangan Harvie dan mengurainya. "Coba ceritakan dulu baik-baik apa masalahmu?" Marcus bertanya dengan tenang, berusaha membuat sahabatnya tidak makin marah. "Gara-gara mulutmu Star marah dan nyaris mendiamiku kemarin." Harvie menuding Marcus dengan jarinya masih dengan ekspresi marah. "Memangnya aku ngomong apa sama pacar sewaanmu itu?" Kening Marcus ber
“Ya, Tante?” tanya Star dengan mata membulat. “Kok Tante lagi sih, Star?” Helena langsung protes. “Maaf, Ma.” Star meringis pelan. “Coba shareloc tempatmu sekarang. Biar Mama yang jemput.” “Hah?” ucap kaget Star. “Mama yang bakal jemput kamu, Star. Ih, kamu kenapa sih? Udah tiga kali loh Mama bilangin.” “Oh, iya Ma. Soalnya Star lagi urus sesuatu, jadi gak fokus.” Star terdengar makin gugup saja. Bagaimana mungkin Star membiarkan Helena datang menjemputnya. Dia tidak mungkin menggunakan make upnya di depan Helena. Menghapus make up di kampus sekalipun terlalu riskan, bagaimana kalau ada yang melihatnya? Terutama karena Hillary cukup sering menempel dengannya. “Oh ya udah. Nanti kamu kirimin saja alamatnya, nanti biar Mama tungguin kamu selesai.” “Hah? Gak usah deh, Ma. Takutnya saya lama,” Star segera menolak. “Gak apa-apa kok. Sekalian nanti bisa jalan-jalan keliling kampusmu. Siapa tahu ada jajanan yang menarik di kantin.” Tawa Helena justru membuat Star merinding. Ini
"Nah, sayang. Coba yang ini lagi dong." Helena memberikan tiga gantung dress casual lagi pada Star, yang nyaris saja meringis. Sekedar informasi saja, rasanya Star sudah belasan kali bolak-balik ke kamar ganti. "Ma, udah deh. Udah banyak banget yang dicoba." Star mencoba membujuk Helena untuk berhenti. Dirinya sudah cukup lelah. "Ini yang terakhir deh." Helena tersenyum semanis mungkin. Masalahnya sudah berapa kali kata 'yang terakhir' itu terdengar? Star yang tidak enak menolak akhirnya hanya bisa menerima baju itu dan kembali lagi ke kamar ganti. Sementara Star menggerutu, Helena justru merasa senang. Dia tidak punya anak perempuan, sekalinya punya mantu sebentar saja sudah diambil Tuhan. Jadi sekarang Helena senang bukan main karena punya teman shopping. Cantik lagi. "Loh, Helena?" Sebuah suara yang dikenali Helena membuatnya berbalik. Senyum yang tadinya bertengger di wajahnya kini hilang sepenuhnya, ketika menyadari siapa yang berdiri di depannya. "Kebetulan banget ya k
"Loh, ada Star?" tanya Harvie ketika melihat Star di ruang makan rumah orang tuanya. "Wah, artinya hari ini makan enak lagi dong." Harvie langsung mendelik begitu mendengar sang papa yang pulang bersamanya bicara. Memangnya Star itu koki yang kau gaji? Enak sekali cara ngomongnya. "Ada apa dengan wajahmu?" tanya Peter terkekeh melihat wajah anaknya yang tiba-tiba cemberut. "Papa memperlakukan Star seolah dia koki pribadi di rumah ini. Aku tidak suka itu." Harvie tidak sungkan menunjukkan kekesalannya dan itu malah membuat Peter tertawa. "Sudah mulai bucin dia." Helena menambahkan membuat Harvie langsung protes. "Siapa juga yang bucin?" Protesan dari Harvie membuat Peter makin tertawa dan Helena juga mengikuti suaminya. Bahkan Star pun kesusahan menahan tawanya. Kehangatan keluarga kecil ini begitu luar biasa dan sanggup membuat Star yang tadinya masih canggung tersenyum. Ikut bahagia bahkan hanya dengan melihat Harvie yang marah-marah tidak jelas. Sangat menyenangkan.
"Mark?" Harvie memanggil sahabatnya itu dengan suara keras, tapi tidak ada jawaban. Dirinya bahkan sudah melambai tepat di depan wajah Mark, tapi tidak berhasil menyadarkan pria itu. Baru ketika Harvie menampar pelan pipi Marcus barulah pria itu sadar. "Apa-apaan sih, Vie?" Marcus memprotes kelakuan sahabatnya. "Makanya jangan melamun dong. Katanya mau mendiskusikan proyek baru, tapi malah melamun." "Sorry," jawab Marcus singkat. Marcus sebenarnya memikirkan pertemuannya dengan perempuan yang membuatnya jatuh hati pada pandangan pertama. Namanya panggilannya Star, sama dengan pacar sewaan Harvie. Umur juga sepertinya sama dan dia tinggal di apartemen Harvie. "Ehm, Vie. Kalau gak salah namanya pacarmu itu Star kan?" tanya Marcus hati-hati. "Itu hanya nama panggilannya saja sih. Memangnya kenapa?" "Tidak. Aku hanya pernah bertemu orang dengan nama dan perawakan yang sama, tapi dengan penampilan yang jauh berbeda." Havie mendengus pelan mendengar kata-kata sahabatnya itu. Dia
"Star?" Helena melambaikan tangannya di depan wajah Star yang tengah melamun dengan bibir sedikit terbuka. Sayangnya, Star tidak merespon sedikit pun. "Star, itu si Harvie sudah datang." "Hah?" Star kaget dan segera menoleh ke kiri dan kanan mencari sosok Harvie. Dan ketika menyadari Helena mengerjainya, dia langsung protes. "Mama." "Giliran dengar nama Harvie langsung sadar." Helena terbahak-bahak melihat wajah cemberut Star. "Siapa suruh melamun. Itu si Yvonne padahal sudah tarik-tarik rambutmu dari tadi. Minta perhatian dia." Helena menunjuk cucunya yang ada dalam gendongan Star. Tanpa banyak protes lagi, Star mengalihkan perhatiannya pada Yvonne. Namun, itu adalah hal yang sangat sulit. Pikirannya sulit dikendalikan dan terus-terusan terbang mengingat kejadian tadi siang. Star tidak henti-hentinya mengulang kejadian itu di dalam kepalanya. Membuat Star berualang kali ditegur Helena karena terus melamun, bahkan dia tidak sadar apa yang dilakukannya. Seperti ketika dia
Tidak ada satu manusia pun yang tahu apa yang direncanakan oleh Tuhan. Semisal tentang jangka waktu hidup seorang manusia. Setelah kematian Ronald Arwen yang sudah diprediksi. Berita duka yang lain datang dua tahun kemudian. Secara tiba-tiba Peter Carlton meninggal dalam kecelakaan kerja, saat sedang meninjau lokasi pembangunan. Tepat di saat cucu keempatnya lahir. Anak itu kemudian diberi nama Peter Carlton Jr. Ada juga kejadian tak terduga lain ditahun yang sama. Ketika Marvel Leonard Carlton masuk rumah sakit karena ada masalah pada jantungnya. Lubang di jantung yang dulu membuatnya harus masuk NICU, nyatanya tidak berhasil menutup sempurna. Hal itu baru diketahui ketika berumur tujuh tahun. Untungnya, tidak ada yang membuat nyawanya terancam. Marvel hanya perlu operasi untuk menyumbat lubang tersebut, setelahnya Marvel bisa hidup normal. Hal lain yang perlu dirawat dari Marel hanya matanya. Dari usia enam tahun dia sudah harus menggunakan kacamata tebal. Itu terjadi bukan
Marvel menunduk dengan wajah terpesona. Matanya dan bibirnya membuka dengan lucunya, saking terpesonanya dia pada adik bayinya yang baru lahir. Marvel tiap hari bertemu dengan adiknya, tapi tetap saja berekspresi seperti itu. "Eh, Marvel. Pipinya adiknya jangan ditusuk-tusuk gitu dong, Nak." Star mengambil tangan anaknya dengan lembut, agar tidak lagi menjahili si kecil July. Dilarang menggunakan jarinya, kini Marvel kembali mengganggu adiknya dengan cara lain. Kali ini si kecil marvel mengecup pipi July dengan gemas. "Astaga, kecil-kecil sudah ada bibit playboynya." Gumaman asal Helena membuat semua orang tertawa. Helena kembali mengadakan acara syukuran kecil-kecilan untuk cucu ketiganya yang cantik, tepat sebulan setelah kelahirannya. Seperti biasa, bukan hanya Carlton dan Arwen saja yang datang. Keluarga besar Langton juga datang. "Ma, tolong jangan didoaiin yang aneh-aneh dong." Harvie langsung protes mendengar Helena berkata seperti itu. Harvie mengakui kalau dulu dia m
"Mari kita dengar sambutan dari siswa paling berprestasi kita." Seseorang diatas podium mempersilakan Star bergabung. Star berdiri dari tempatnya duduk di barisan paing depan. Dia tersenyum lebar dan berjalan pelan ke atas podium dengan perutnya yang sudah mulai membuncit. "Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih pada Tuhan Yang Maha Esa." Star memulai pidatonya dengan ucapan terima kasih pada berbagai pihak. "Terakhir terima kasih untuk keluargaku. Papa, Mama, adik-adik, Mertua, serta suami dan anak-anakku." Star tersenyum penuh haru ke arah keluarganya duduk. Hanya ada Harvie dan kedua orang tua Star di sana, tapi itu saja sudah lebih dari cukup. Lagi pula akan sangat merepotkan kalau anak-anak juga ikut ke acara wisudanya, jadi Helena dan Peter yang mendapat jatah menjaga anak-anak. "Mungkin banyak yang bingung bagaimana saya membagi waktu jadi ibu rumah tangga dan kuliah, tapi ... Saya bisa jadi seperti ini karena keluarga saya. Karena punya suami yang mendukung ser
"Star ada diatas main sama anak-anak." Hera memberitahu ketika melihat Harvie. "Thank you, Ma." Harvie segera berlari ke lantai atas, tempat anak-anak biasa bermain. Ini sudah hari ketiga sejak Star menginap di rumah orang tuanya dan dia sudah amat sangat rindu dengan keluarga kecilnya. "Star?" Harvie membuka pintu ruang bermain dengan pelan dan menemukan kalau semua penghuninya tengah tertidur di atas karpet tebal. Star tertidur dengan laptop yang terbuka, dikelilingi oleh Yvonne, Marvel, Amora dan Benedict. Pemandangan yang sangat manis dan Harvie sungguh berharap bisa punya keluarga besar seperti ini. Tidak ingin mengganggu istirahat mereka, Harvie mengendap-ngendap untuk mematikan laptop Star. Dan dia mulai memindahkan satu persatu manusia itu ke kamar masing-masing. *** "Sudah bangun?" Star mengerjap perlahan mendengar suara Harvie yang sudah dia rindukan. Star pikir dia masih bermimpi dan mengeratkan pelukannnya pada Harvie. "Masih ngantuk ya?" Harvie bertanya de
Star mengetukkan kaki ke teras rumah dengan wajah amat kesal. Irina yang berdiri di sebelahnya dengan memegang setumpuk kertas, tidak berani menatap bosnya itu. "Daddy ke mana sih?" tanya Star dengan ketus. "Biar saya teleponkan." Irina segera bergerak cepat mengambil ponselnya dan menyerahkannya pada Star untuk bicara. "Daddy tahu sudah berapa lama aku nungguin?" tanya Star dengan luar biasa ketusnya. "Maaf, Sayang. Rapatnya selesai lebih lama dar ..." "I don't care. Kan aku sudah bilang berhenti kerja dan suruh Brian yang urus semuanya. Susah banget ya gak kerja selama beberapa bulan?" "Gak bisa gitu, Sayang. Soalnya ini proyek be ...." "Lebih penting proyek atau anakmu? Datang dalam lima menit atau aku pulang ke rumah Mama." Star mematikan sambungan secara sepihak. Setelah penolakan yang dilakukan Star tempo hari, dia akhirnya melakukan test kehamilan karena merasa khawatir. Tentu saja hasilnya positif, dan membuat Star mengamuk. Sekali lagi, Star bukannya tidak mau punya
"Mami. Mami." Marvel berlari-lari untuk menghampiri ibunya yang sedang mengerjakan tugas akhir kuliahnya. Star yang sedang sakit kepala pun refleks tersenyum melihat bocah empat tahun itu. "Kenapa sayang?" Star mengangkat Marvel dan mendudukkan anak yang kini sudah membulat itu di pangkuannya. "Vel mo ade." Usia Marvel sudah empat tahun lebih, tapi belum bisa bicara lancar seperti Yvonne dulu. Dia memang terlambat mulai bicara, jadi kosakatanya masih minim. "Marvel mau adek?" tanya Star dengan ekspresi sedikit horor. "Maksudnya mau punya adek?" Ekspresi Star terlihat makin horor saja ketika anak bungsunya ini mengangguk. Kenapa juga si Marvel bisa tiba-tiba minta adek? "Kenapa Marvel mau minta adek?" tanya Star penasaran. "Lion punya ade," jawab Marvel dengan senyum mengembang. Sepertinya pria kecil Star itu mulai memikirkan indahnya punya adik lagi. “Rion?” Star mengumpat dalam hati. Lain kali Star tidak akan membiarkan Marvel main dengan Rion. “Kakak Von uga.” "Ka
“DONI.” Doni menggeram kesal mendengar suara ayahnya yang menggelegar. Dengan sangat terpaksa, dia meninggalkan permainan game onlinenya dan menghampiri sang ayah. “Kamu ini sebenranya ngapain sih?” tanya sang ayah dengan wajah terlihat sedikit kesal. “Maksud Ayah apaan sih?” tanya Doni bingung. Tapi tiba-tiba saja ayahnya tersenyum. “Kita sekeluarga diundang untuk grand opening mal. Kerjasama Olympus Grup dan Constate Enterprise.” Ayah Doni berteriak riang sambil memeluk anaknya. Bagi para pengusaha, diundang oleh perusahaan kondang saja merupakan suatu kebanggaan. Apalagi yang mengundang ini merupakan perusahaan kelas dunia. “Lalu? Hubungannya denganku apa?” tanya Doni makin bingung. “Katanya pimpinan Constate dan anak tertua dari Olympus Grup mengenalmu secara pribadi, makanya mereka mau mengundang. Ini kesempatan yang sangat baik Doni.” “Apanya?” tanya Doni makin bingung. “Kamu ini gimana sih? Kuliah bisnis, tapi tidak tahu apa-apa soal bisnis. Katanya pemimpin Olympus,
Waktu bergulir dengan cepat. Tidak terasa ujian semester pertama sudah dekat dan Star mah didera banyak masalah yang membuatnya tidak fokus. Marvel terserang flu berat dan menulari Yvonne. Karena Marvel punya masalah pada jantungnya, dia terpaksa harus diinapkan di rumah sakit. Lalu karena Yvonne juga merengek ingin menginap di rumah sakit, dia juga terpaksa dirawat. Kata dokter sih tidak ada masalah karena Star dan Harvie membawa mereka ke rumah sakit tepat waktu, tapi tetap saja Star khawatir dan mempengaruhi fokusnya untuk kuliah. Belum lagi gosip-gosip yang mulai bermunculan. Sama seperti dulu, banyak yang menggosipkannya sebagai wanita panggilan, hamil diluar nikah, peliharaan om-om dan lain sebagainya. Kehadiran Yvonne dan Marvel yang selalu datang menjemput jadi pemicunya. Bukan berarti Star menyalahkan anak-anak. Dia dulu juga sudah digosipkan seperti itu dan kebetulan saja kemunculan anak-anak seolah jadi pembenar gosip itu. Selain itu, Doni yang sudah lama tidak me
"Kok sedari tadi kamu cemberut sih?" Harvie yang baru pulang langsung mengecup puncak kepala Star yang masih menemani anak-anak main. Dua anak kecil itu juga ikut-ikutan minta dikecup oleh ayah mereka. Hanya dikecup, tidak di peluk apalagi digendong karena Harvie belum mandi. "Tante Nadine udah mau balik ke Inggris." Star menjawab dengan jujur. "Terus?" "Terus aku jadi gak punya teman ngobrol seasik dia lagi. Jadinya kalau lagi pusing urusin anak-anak, gak ada teman curhat." Bibir Star maju sedikit, membuat wajahnya makin cemberut saja. "Kalau cuma curhat kan ada banyak orang yang bisa ditemani curhat. Lagi pula kan masih bisa saling telepon atau chat. Beda waktu Indonesia - Inggris kan tidak terlalu jauh." "Oh, iya juga ya. Baru sadar." Cengiran Star membuat Harvie menggeleng pelan. "Tapi kalau kamu memang butuh pengalihan ketika merasa lelah dengan anak-anak, Daddy punya ide yang bagus untuk itu." Harvie tersenyum melihat wajah bingung Star yang selalu membuatnya gemas