"Loh, ada Star?" tanya Harvie ketika melihat Star di ruang makan rumah orang tuanya. "Wah, artinya hari ini makan enak lagi dong." Harvie langsung mendelik begitu mendengar sang papa yang pulang bersamanya bicara. Memangnya Star itu koki yang kau gaji? Enak sekali cara ngomongnya. "Ada apa dengan wajahmu?" tanya Peter terkekeh melihat wajah anaknya yang tiba-tiba cemberut. "Papa memperlakukan Star seolah dia koki pribadi di rumah ini. Aku tidak suka itu." Harvie tidak sungkan menunjukkan kekesalannya dan itu malah membuat Peter tertawa. "Sudah mulai bucin dia." Helena menambahkan membuat Harvie langsung protes. "Siapa juga yang bucin?" Protesan dari Harvie membuat Peter makin tertawa dan Helena juga mengikuti suaminya. Bahkan Star pun kesusahan menahan tawanya. Kehangatan keluarga kecil ini begitu luar biasa dan sanggup membuat Star yang tadinya masih canggung tersenyum. Ikut bahagia bahkan hanya dengan melihat Harvie yang marah-marah tidak jelas. Sangat menyenangkan.
"Mark?" Harvie memanggil sahabatnya itu dengan suara keras, tapi tidak ada jawaban. Dirinya bahkan sudah melambai tepat di depan wajah Mark, tapi tidak berhasil menyadarkan pria itu. Baru ketika Harvie menampar pelan pipi Marcus barulah pria itu sadar. "Apa-apaan sih, Vie?" Marcus memprotes kelakuan sahabatnya. "Makanya jangan melamun dong. Katanya mau mendiskusikan proyek baru, tapi malah melamun." "Sorry," jawab Marcus singkat. Marcus sebenarnya memikirkan pertemuannya dengan perempuan yang membuatnya jatuh hati pada pandangan pertama. Namanya panggilannya Star, sama dengan pacar sewaan Harvie. Umur juga sepertinya sama dan dia tinggal di apartemen Harvie. "Ehm, Vie. Kalau gak salah namanya pacarmu itu Star kan?" tanya Marcus hati-hati. "Itu hanya nama panggilannya saja sih. Memangnya kenapa?" "Tidak. Aku hanya pernah bertemu orang dengan nama dan perawakan yang sama, tapi dengan penampilan yang jauh berbeda." Havie mendengus pelan mendengar kata-kata sahabatnya itu. Dia
"Star?" Helena melambaikan tangannya di depan wajah Star yang tengah melamun dengan bibir sedikit terbuka. Sayangnya, Star tidak merespon sedikit pun. "Star, itu si Harvie sudah datang." "Hah?" Star kaget dan segera menoleh ke kiri dan kanan mencari sosok Harvie. Dan ketika menyadari Helena mengerjainya, dia langsung protes. "Mama." "Giliran dengar nama Harvie langsung sadar." Helena terbahak-bahak melihat wajah cemberut Star. "Siapa suruh melamun. Itu si Yvonne padahal sudah tarik-tarik rambutmu dari tadi. Minta perhatian dia." Helena menunjuk cucunya yang ada dalam gendongan Star. Tanpa banyak protes lagi, Star mengalihkan perhatiannya pada Yvonne. Namun, itu adalah hal yang sangat sulit. Pikirannya sulit dikendalikan dan terus-terusan terbang mengingat kejadian tadi siang. Star tidak henti-hentinya mengulang kejadian itu di dalam kepalanya. Membuat Star berualang kali ditegur Helena karena terus melamun, bahkan dia tidak sadar apa yang dilakukannya. Seperti ketika dia
Pagi telah tiba dan sinar matahari masuk melewat celah tirai yang menutupi jendela. Star yang biasanya selalu bangun pagi-pagi di jam tujuh lewat, masih terlihat lelap. Suara ketukan pintu yang terdengar samarlah yang membuatnya sedikit tersadar. Mata Star masih terpejam rapat. Dia enggan bangun dari tidurnya yang sangat nyenyak. Padahal biasanya Star tidak pernah tertidur selelap ini, tapi bantal di rumah ini sangat nyaman, membuatnya belum ingin bangkit dari tempat tidur. "Aku masih mau tidur," gumam Star dengan pelan. Star mengeratkan pelukannya pada gulingnya dan menyadari dua hal. Rasa-rasanya guling yang dipeluknya ini terlalu besar untuk disebut guling. Bantal kepalanya juga terasa lebih kecil dari bantal pada umumnya. Kening Star berkerut ketika merasakan sarung bantal gulingnya terlalu halus untuk ukuran kain. Penasaran dengan bentuk guling yang dipeluknya, Star membuka matanya pperlahan. "'Morning Baby. Nyenyak tidurnya?" Suara bariton serak khas bangun tidur menyapa ge
Star tersentak mundur begitu mendengar suara Helena, sementara Harvie yang tidak percaya dengan pendengarannya, malah melangkah maju berharap pendengarannya salah. Pergerakan itu justru mwmbuat punggung Star dan dada telanjang Harvie menempel. "Ini gak seperti yang Mama bayangin. Star bisa jelasin kok," ucap Star sedikit terbata. "Apa yang mau dijelasin ketika penampilan kalian begitu?" hardik Helena kesal. Penampilan? Kenapa dengan penampilan kami? Star yang tidak mengerti malah mengerutkan kening dengan bingungnya. "Ma, serius. Ini gak seperti kelihatannya. Ini cuma salah paham." Kali ini Harvie yang mencoba menenangkan ibunya. "Eh, kamu pikir Mama gak ada mata gitu? Kamu gak pakai baju, Star juga berantakan. Kalaupun gak sampai bercinta, pasti kalian make out kan?" Mendengar kata-kata Helena, Star refleks menurunkan pandangannya. Memperhatikan bagaimana penampilannya sampai Helena bisa berpikir seperti itu. Dan seperti kata Helena, Star memang 'sedikit' berantakan. Da
Helaan napas Derina terdengar di telinga Star. Bagi dua orang ini, situasi sekarang sangatlah canggung. Bagaimana tidak? Acara menginap mereka mengharuskan keduanya untuk satu kamar. "Males banget deh. Kenapa juga harus sekamar dengan cewek murahan sih?" Star sama sekali tidak peduli dengan kata-kata Derina. Dia masih terus melakukan ritual malamnya, yang pagi tadi diantarkan oleh Irina bersama dengan koper kecil berisi perlengkapan menginap. Star mengacuhkan Derina dan sedang berpikir soal olahraga pagi. Beberapa hari ini Star sering makan makanan tidak sehat, jadi dia harus rajin olahraga. "Skincarenya mahal juga. Dibeliin Harvie ya? Atau dibeliin sama Daddy yang sebelumnya?" Derina benar-benar menguji kesabaran Star, tapi sayangnya Star terlalu ahli mengatur emosi. "Ini memang dibeli dengan uang pemberian papaku. Ada masalah dengan itu?" Tentu saja Star berkata jujur. Semua barang-barang itu dibeli dengan sisa uang jajan Star dan uang jajannya berasal dari ayah kandungnya
Marcus duduk di meja kerjanya dengan menopangkan dagu di tangan kanannya. Sudah sejak pertama dirinya melihat Star, Marcus memiliki ketertarikan pada gadis itu. Tapi sekarang gadis itu akan segera menjadi milik sahabatnya. Sungguh, Marcus rasanya ingin merebut Star dari Harvie. Walau sepertinya Harvie berniat serius dengan gadis itu, tapi dia masih sangsi Harvie akan setia. "Jadi aku harus gimana nih?" bisik Marcus pada dirinya sendiri. "Sadar Mark. Harvie itu sahabatmu, keluarga jauhmu. Jangan bikin susah diri sendiri." Marcus mencoba menyadarkan dirinya sendiri. Sayangnya, setelah dari luar kota tempo hari. Marcus gagal menahan dirinya sendiri untuk tidak menganggu kehidupan percintaan Harvie. Star terlalu luar biasa untuk tidak diperjuangkan, tapi Marcus juga tidak boleh buru-buru. Dia tidak bisa sembarang bertindak karena nanti Harvie bisa mencurigainya. Belum lagi keluarga besar Arwen yang mungkin akan mengincarnya jika kurang hati-hati. Marcus harus mulai dari hal-hal dasa
"Apa Star sudah pulang?" Harvie bertanya. "Belum Tuan." Irina yang menjawab. Karena Star tidak mengangkat telepon, Harvie memutuskan untuk menelepon Irina. Sudah hampir jam enam sore, tapi Star belum minta dijemput. Memangnya, orang ospek mau sampai jam berapa? Mana dua hari lagi. Kemarin bahkan Star baru sampai di rumah jam tujuh malam. Pergi subuh pulang malam, keterlaluan sekali kan? Bahkan aktivitas Star melebihi orang kantoran. "Biar aku yang menjemput Star. Kalau dia telepon padamu, katakan saja aku sudah dalam perjalanan." "Baik, Tuan." Irina sama sekali tidak membantah. Padahal sedari tadi pagi, dirinya tidak beranjak dari kampus Star. Atau lebih tepatnya di sebuah cafe dekat kampus. "Aku akan menuntut kampus sialan itu karena ospek tidak jelas ini. Kenapa juga sih Star gak bolos saja dengan alasan kesehatan? Padahal bikin surat sakit kan mudah." Harvie ngomel-ngomel sendiri sepanjang perjalanan. Gara-gara acara tidak jelas ini kemarin dia jadi tidak bisa bertemu denga
Tidak ada satu manusia pun yang tahu apa yang direncanakan oleh Tuhan. Semisal tentang jangka waktu hidup seorang manusia. Setelah kematian Ronald Arwen yang sudah diprediksi. Berita duka yang lain datang dua tahun kemudian. Secara tiba-tiba Peter Carlton meninggal dalam kecelakaan kerja, saat sedang meninjau lokasi pembangunan. Tepat di saat cucu keempatnya lahir. Anak itu kemudian diberi nama Peter Carlton Jr. Ada juga kejadian tak terduga lain ditahun yang sama. Ketika Marvel Leonard Carlton masuk rumah sakit karena ada masalah pada jantungnya. Lubang di jantung yang dulu membuatnya harus masuk NICU, nyatanya tidak berhasil menutup sempurna. Hal itu baru diketahui ketika berumur tujuh tahun. Untungnya, tidak ada yang membuat nyawanya terancam. Marvel hanya perlu operasi untuk menyumbat lubang tersebut, setelahnya Marvel bisa hidup normal. Hal lain yang perlu dirawat dari Marel hanya matanya. Dari usia enam tahun dia sudah harus menggunakan kacamata tebal. Itu terjadi bukan
Marvel menunduk dengan wajah terpesona. Matanya dan bibirnya membuka dengan lucunya, saking terpesonanya dia pada adik bayinya yang baru lahir. Marvel tiap hari bertemu dengan adiknya, tapi tetap saja berekspresi seperti itu. "Eh, Marvel. Pipinya adiknya jangan ditusuk-tusuk gitu dong, Nak." Star mengambil tangan anaknya dengan lembut, agar tidak lagi menjahili si kecil July. Dilarang menggunakan jarinya, kini Marvel kembali mengganggu adiknya dengan cara lain. Kali ini si kecil marvel mengecup pipi July dengan gemas. "Astaga, kecil-kecil sudah ada bibit playboynya." Gumaman asal Helena membuat semua orang tertawa. Helena kembali mengadakan acara syukuran kecil-kecilan untuk cucu ketiganya yang cantik, tepat sebulan setelah kelahirannya. Seperti biasa, bukan hanya Carlton dan Arwen saja yang datang. Keluarga besar Langton juga datang. "Ma, tolong jangan didoaiin yang aneh-aneh dong." Harvie langsung protes mendengar Helena berkata seperti itu. Harvie mengakui kalau dulu dia m
"Mari kita dengar sambutan dari siswa paling berprestasi kita." Seseorang diatas podium mempersilakan Star bergabung. Star berdiri dari tempatnya duduk di barisan paing depan. Dia tersenyum lebar dan berjalan pelan ke atas podium dengan perutnya yang sudah mulai membuncit. "Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih pada Tuhan Yang Maha Esa." Star memulai pidatonya dengan ucapan terima kasih pada berbagai pihak. "Terakhir terima kasih untuk keluargaku. Papa, Mama, adik-adik, Mertua, serta suami dan anak-anakku." Star tersenyum penuh haru ke arah keluarganya duduk. Hanya ada Harvie dan kedua orang tua Star di sana, tapi itu saja sudah lebih dari cukup. Lagi pula akan sangat merepotkan kalau anak-anak juga ikut ke acara wisudanya, jadi Helena dan Peter yang mendapat jatah menjaga anak-anak. "Mungkin banyak yang bingung bagaimana saya membagi waktu jadi ibu rumah tangga dan kuliah, tapi ... Saya bisa jadi seperti ini karena keluarga saya. Karena punya suami yang mendukung ser
"Star ada diatas main sama anak-anak." Hera memberitahu ketika melihat Harvie. "Thank you, Ma." Harvie segera berlari ke lantai atas, tempat anak-anak biasa bermain. Ini sudah hari ketiga sejak Star menginap di rumah orang tuanya dan dia sudah amat sangat rindu dengan keluarga kecilnya. "Star?" Harvie membuka pintu ruang bermain dengan pelan dan menemukan kalau semua penghuninya tengah tertidur di atas karpet tebal. Star tertidur dengan laptop yang terbuka, dikelilingi oleh Yvonne, Marvel, Amora dan Benedict. Pemandangan yang sangat manis dan Harvie sungguh berharap bisa punya keluarga besar seperti ini. Tidak ingin mengganggu istirahat mereka, Harvie mengendap-ngendap untuk mematikan laptop Star. Dan dia mulai memindahkan satu persatu manusia itu ke kamar masing-masing. *** "Sudah bangun?" Star mengerjap perlahan mendengar suara Harvie yang sudah dia rindukan. Star pikir dia masih bermimpi dan mengeratkan pelukannnya pada Harvie. "Masih ngantuk ya?" Harvie bertanya de
Star mengetukkan kaki ke teras rumah dengan wajah amat kesal. Irina yang berdiri di sebelahnya dengan memegang setumpuk kertas, tidak berani menatap bosnya itu. "Daddy ke mana sih?" tanya Star dengan ketus. "Biar saya teleponkan." Irina segera bergerak cepat mengambil ponselnya dan menyerahkannya pada Star untuk bicara. "Daddy tahu sudah berapa lama aku nungguin?" tanya Star dengan luar biasa ketusnya. "Maaf, Sayang. Rapatnya selesai lebih lama dar ..." "I don't care. Kan aku sudah bilang berhenti kerja dan suruh Brian yang urus semuanya. Susah banget ya gak kerja selama beberapa bulan?" "Gak bisa gitu, Sayang. Soalnya ini proyek be ...." "Lebih penting proyek atau anakmu? Datang dalam lima menit atau aku pulang ke rumah Mama." Star mematikan sambungan secara sepihak. Setelah penolakan yang dilakukan Star tempo hari, dia akhirnya melakukan test kehamilan karena merasa khawatir. Tentu saja hasilnya positif, dan membuat Star mengamuk. Sekali lagi, Star bukannya tidak mau punya
"Mami. Mami." Marvel berlari-lari untuk menghampiri ibunya yang sedang mengerjakan tugas akhir kuliahnya. Star yang sedang sakit kepala pun refleks tersenyum melihat bocah empat tahun itu. "Kenapa sayang?" Star mengangkat Marvel dan mendudukkan anak yang kini sudah membulat itu di pangkuannya. "Vel mo ade." Usia Marvel sudah empat tahun lebih, tapi belum bisa bicara lancar seperti Yvonne dulu. Dia memang terlambat mulai bicara, jadi kosakatanya masih minim. "Marvel mau adek?" tanya Star dengan ekspresi sedikit horor. "Maksudnya mau punya adek?" Ekspresi Star terlihat makin horor saja ketika anak bungsunya ini mengangguk. Kenapa juga si Marvel bisa tiba-tiba minta adek? "Kenapa Marvel mau minta adek?" tanya Star penasaran. "Lion punya ade," jawab Marvel dengan senyum mengembang. Sepertinya pria kecil Star itu mulai memikirkan indahnya punya adik lagi. “Rion?” Star mengumpat dalam hati. Lain kali Star tidak akan membiarkan Marvel main dengan Rion. “Kakak Von uga.” "Ka
“DONI.” Doni menggeram kesal mendengar suara ayahnya yang menggelegar. Dengan sangat terpaksa, dia meninggalkan permainan game onlinenya dan menghampiri sang ayah. “Kamu ini sebenranya ngapain sih?” tanya sang ayah dengan wajah terlihat sedikit kesal. “Maksud Ayah apaan sih?” tanya Doni bingung. Tapi tiba-tiba saja ayahnya tersenyum. “Kita sekeluarga diundang untuk grand opening mal. Kerjasama Olympus Grup dan Constate Enterprise.” Ayah Doni berteriak riang sambil memeluk anaknya. Bagi para pengusaha, diundang oleh perusahaan kondang saja merupakan suatu kebanggaan. Apalagi yang mengundang ini merupakan perusahaan kelas dunia. “Lalu? Hubungannya denganku apa?” tanya Doni makin bingung. “Katanya pimpinan Constate dan anak tertua dari Olympus Grup mengenalmu secara pribadi, makanya mereka mau mengundang. Ini kesempatan yang sangat baik Doni.” “Apanya?” tanya Doni makin bingung. “Kamu ini gimana sih? Kuliah bisnis, tapi tidak tahu apa-apa soal bisnis. Katanya pemimpin Olympus,
Waktu bergulir dengan cepat. Tidak terasa ujian semester pertama sudah dekat dan Star mah didera banyak masalah yang membuatnya tidak fokus. Marvel terserang flu berat dan menulari Yvonne. Karena Marvel punya masalah pada jantungnya, dia terpaksa harus diinapkan di rumah sakit. Lalu karena Yvonne juga merengek ingin menginap di rumah sakit, dia juga terpaksa dirawat. Kata dokter sih tidak ada masalah karena Star dan Harvie membawa mereka ke rumah sakit tepat waktu, tapi tetap saja Star khawatir dan mempengaruhi fokusnya untuk kuliah. Belum lagi gosip-gosip yang mulai bermunculan. Sama seperti dulu, banyak yang menggosipkannya sebagai wanita panggilan, hamil diluar nikah, peliharaan om-om dan lain sebagainya. Kehadiran Yvonne dan Marvel yang selalu datang menjemput jadi pemicunya. Bukan berarti Star menyalahkan anak-anak. Dia dulu juga sudah digosipkan seperti itu dan kebetulan saja kemunculan anak-anak seolah jadi pembenar gosip itu. Selain itu, Doni yang sudah lama tidak me
"Kok sedari tadi kamu cemberut sih?" Harvie yang baru pulang langsung mengecup puncak kepala Star yang masih menemani anak-anak main. Dua anak kecil itu juga ikut-ikutan minta dikecup oleh ayah mereka. Hanya dikecup, tidak di peluk apalagi digendong karena Harvie belum mandi. "Tante Nadine udah mau balik ke Inggris." Star menjawab dengan jujur. "Terus?" "Terus aku jadi gak punya teman ngobrol seasik dia lagi. Jadinya kalau lagi pusing urusin anak-anak, gak ada teman curhat." Bibir Star maju sedikit, membuat wajahnya makin cemberut saja. "Kalau cuma curhat kan ada banyak orang yang bisa ditemani curhat. Lagi pula kan masih bisa saling telepon atau chat. Beda waktu Indonesia - Inggris kan tidak terlalu jauh." "Oh, iya juga ya. Baru sadar." Cengiran Star membuat Harvie menggeleng pelan. "Tapi kalau kamu memang butuh pengalihan ketika merasa lelah dengan anak-anak, Daddy punya ide yang bagus untuk itu." Harvie tersenyum melihat wajah bingung Star yang selalu membuatnya gemas