Marcus duduk di meja kerjanya dengan menopangkan dagu di tangan kanannya. Sudah sejak pertama dirinya melihat Star, Marcus memiliki ketertarikan pada gadis itu. Tapi sekarang gadis itu akan segera menjadi milik sahabatnya. Sungguh, Marcus rasanya ingin merebut Star dari Harvie. Walau sepertinya Harvie berniat serius dengan gadis itu, tapi dia masih sangsi Harvie akan setia. "Jadi aku harus gimana nih?" bisik Marcus pada dirinya sendiri. "Sadar Mark. Harvie itu sahabatmu, keluarga jauhmu. Jangan bikin susah diri sendiri." Marcus mencoba menyadarkan dirinya sendiri. Sayangnya, setelah dari luar kota tempo hari. Marcus gagal menahan dirinya sendiri untuk tidak menganggu kehidupan percintaan Harvie. Star terlalu luar biasa untuk tidak diperjuangkan, tapi Marcus juga tidak boleh buru-buru. Dia tidak bisa sembarang bertindak karena nanti Harvie bisa mencurigainya. Belum lagi keluarga besar Arwen yang mungkin akan mengincarnya jika kurang hati-hati. Marcus harus mulai dari hal-hal dasa
"Apa Star sudah pulang?" Harvie bertanya. "Belum Tuan." Irina yang menjawab. Karena Star tidak mengangkat telepon, Harvie memutuskan untuk menelepon Irina. Sudah hampir jam enam sore, tapi Star belum minta dijemput. Memangnya, orang ospek mau sampai jam berapa? Mana dua hari lagi. Kemarin bahkan Star baru sampai di rumah jam tujuh malam. Pergi subuh pulang malam, keterlaluan sekali kan? Bahkan aktivitas Star melebihi orang kantoran. "Biar aku yang menjemput Star. Kalau dia telepon padamu, katakan saja aku sudah dalam perjalanan." "Baik, Tuan." Irina sama sekali tidak membantah. Padahal sedari tadi pagi, dirinya tidak beranjak dari kampus Star. Atau lebih tepatnya di sebuah cafe dekat kampus. "Aku akan menuntut kampus sialan itu karena ospek tidak jelas ini. Kenapa juga sih Star gak bolos saja dengan alasan kesehatan? Padahal bikin surat sakit kan mudah." Harvie ngomel-ngomel sendiri sepanjang perjalanan. Gara-gara acara tidak jelas ini kemarin dia jadi tidak bisa bertemu denga
“Kau tidak apa-apa kan?” tanya Harvie setelah mobilnya membelah jalanan. “Saya baik-baik saja,” jawab Star jujur. Nick memang tidak melakukan apa-apa selain memaksanya ikut. “Jangan terlalu dekat dengannya. Bisa-bisanya juga aku lupa dia di kampus yang sama denganmu.” Harvie memperingati Star, kemudian mengoceh sendiri.“Memangnya dia kenapa?” “Nick itu pembuat onar. Anaknya baik sih, tapi suka berbuat onar. Intinya kau tidak usah terlalu dekat dengannya kalau tidak mau terlibat masalah di kampus.” Harvie melihat Star sekilas dan menemukan gadis itu mengangguk setuju. Tapi di dalam hatinya, Harvie mengumpat. Kenapa juga lelaki keluarga Langton terlihat tertarik dengan kepunyaan orang lain? Walau masih ragu, Harvie bisa merasakan kalau Marcus juga sepertinya tertarik pada Star. Kalau hanya Nick saja sih tidak akan ada masalah berarti, tapi kalau sampai Marcus juga, Harvie tidak tahu lagi harus berbuat apa. Biar bagaimanapun Marcus itu sahabatnya dan mereka tumbuh bersama. “Kita
"Selamat pagi, putri tidur. Apa tidurmu nyenyak?" "Astaga!" Star tersentak karena kaget. Sama sekali tidak menyangka kehadiran Harvie di meja makannya. Begitu melihat majah pria itu, Star langsung mengingat kejadian kemarin malam. Membuat wajahnya memerah. "Apa yang kau lakukan disitu? Tidak mau sarapan?" tanya Harvie santai saja. "Ke-kenapa Daddy ada di sini?" Star bertanya dengan terbata-bata karena merasa malu. Star kan bisa dibilang korban saja dari kelakuan Harvie semalam, lalu kenapa dia yang harus gugup? Bukannya Harvie yang harusnya minta maaf karena sudah melanggar isi kontrak? "Ada apa denganmu sih? Kok tiba-tiba gugup begitu?" tanya Harvie dengan kekehan pelan. "Harusnya itu pertanyaan saya. Ada apa dengan Daddy? Kenapa bisa menginap di sini?" Star balik bertanya, masih berdiri tegak di tempatnya. Pertanyaan Star, membuat Harvie bingung sendiri. Baru sekarang ini Harvie memikirkan segala perilakunya dari kemarin. Setelah Harvie pikir-pikir lagi, kena
"Kenapa kau cemberut seperti itu?" Helena bertanya ketika datang menjemput Star di apartemen. "Daddy gak ngijinin Star kemah sama teman-teman sejurusan jumat ini. Katanya kalau mau pergi Irina, Karin dan Daddy harus ikut." Kali ini Star benar-benar terlihat sangat cemberut. Ekspresi yang sangat jarang diperlihatkan Star. Lebih tepatnya Star jarang mengekspresikan dirinya. Baru kali ini saja Helena melihat calon mantunya punya ekspresi lain selain wajah tenang dan senyum tipis yang terlatih. Ini merupakan sebuah kemajuan dan ini karena Harvie. "Memangnya apa yang Harvie bilang?" tanya Helena dengan senyum mengembang. Tadinya Helena sudah akan memukul Harvie karena seenaknya saja menginap di rumah anak gadis. Mana anak gadisnya tinggal sendirian lagi. Tapi setelah tahu tidak ada apa-apa. Juga setelah melihat perubahan Star hari ini, Helena tidak jadi marah pada anaknya. Ternyata anak playboynya juga bisa sedikit berguna di bidang selain bisnis dan merayu wanita tak jelas. Y
"Jadi sudah jelas ya. Kalian akan tidur di tenda, sementara panitia di hotel. Peraturannya masih sama, tidak ada yang boleh membantah." Nick menyelesaikan pidatonya dengan senyum jahil. Sebagian besar orang-orang langsung mengeluh begitu Nick selesai. Bagaimana tidak? Ternyata spot yang dikatakan menjadi tempat mereka berkemah tidak sesuai. Lokasinya memang tidak terlalu jauh, tapi tetap saja ini penipuan. Tidak ada pemberitahuan sebelumnya kalau para senior akan menginap di hotel, sementara mahasiswa baru sudah disiapkan tenda. Para senior bisa tidur nyaman, sementara para mahasiswa baru harus tidur berdesakan dalam tenda sempit. Satu tenda akan berisi tiga orang dan sudah ditentukan siapa yang akan berpasangan dengan siapa. Sebenarnya Star tidak masalah dengan pengaturan apa pun, tetapi ketika melihat nama Valery tertempel bersama namanya di depan tenda, membuat Star refleks menghela napas. "Dasar senior sialan. Bisa-bisanya aku disuruh tidur di dalam tenda sempit dan kumuh in
"Sepertinya memang banyak yang meninggalkan tenda."Kepala Star keluar dari dalam tenda dan melihat beberapa orang berjalan ke arah hotel. Tiga perempuan dan dua lelaki. Dengan orang yang sebanyak ini, tidak mungkin para senior berbuat macam-macam kan? Sayang sekali, kenyataan tidak seperti itu. Star bahkan merasa syok melihat pemandangan di dalam kamar 304. Dirinya tidak percaya dan pernah berpikir kalau yang seperti ini hanya ada di dalam film biru, tapi sekarang Star melihatnya secara langsung. This is the real sex party. Acaranya belum benar-benar di mulai, tapi Star bisa menebak apa yang akan terjadi. Ini terlalu mengerikan untuk acara berkedok ramah tamah jurusan. Apalagi dengan orang yang sepertinya berjumlah nyaris sepuluh, atau mungkin lebih. "Akhirnya kalian datang juga. Kupikir kalian tidak akan datang." Lelaki senior yang tadi mengajak, bersuara. "Maaf, tapi kurasa kami akan kembali saja." Star menyambar tangan Tere yang sudah terlihat takut, tapi tentu saja me
"Apa kau bilang?" tanya Harvie dengan wajah memerah menahan amarah. "Menurut laporan pengawal yang anda minta untuk mengikuti Nona Star, busnya mengarah ke tempat yang berbeda dari yang disebutkan Nona tempo hari." Brian mengulang kata-katanya. "Nick sialan." Harvie menggeram. Entah mengapa dia merasa bahwa ini adalah ulah Nick. Tentu saja Harvie tidak tahu kalau hal seperti ini sudah sering terjadi. "Berapa orang yang mengikuti Star?" "Ada tiga orang yang mengikuti Nona Star. Tiga lainnya berangkat duluan ke lokasi baru yang sudah diketahui," Brian menjawab sesuai dengan laporan yang tadi di bacanya. Harvie mengangguk mengerti. Harusnya jika seperti itu sih tidak akan ada masalah, tapi dia merasa tidak tenang. Dia perlu melihat keadaan Star denga mata kepalanya sendiri. "Padatkan jadwalku. Aku akan menyusul Star secepat mungkin." Harvie memberi perintah. "Kalau begitu saya permisi untuk memberitahu orang-orang kalau rapat akan dimajukan." Brian tidak menunggu jawaban da
Tidak ada satu manusia pun yang tahu apa yang direncanakan oleh Tuhan. Semisal tentang jangka waktu hidup seorang manusia. Setelah kematian Ronald Arwen yang sudah diprediksi. Berita duka yang lain datang dua tahun kemudian. Secara tiba-tiba Peter Carlton meninggal dalam kecelakaan kerja, saat sedang meninjau lokasi pembangunan. Tepat di saat cucu keempatnya lahir. Anak itu kemudian diberi nama Peter Carlton Jr. Ada juga kejadian tak terduga lain ditahun yang sama. Ketika Marvel Leonard Carlton masuk rumah sakit karena ada masalah pada jantungnya. Lubang di jantung yang dulu membuatnya harus masuk NICU, nyatanya tidak berhasil menutup sempurna. Hal itu baru diketahui ketika berumur tujuh tahun. Untungnya, tidak ada yang membuat nyawanya terancam. Marvel hanya perlu operasi untuk menyumbat lubang tersebut, setelahnya Marvel bisa hidup normal. Hal lain yang perlu dirawat dari Marel hanya matanya. Dari usia enam tahun dia sudah harus menggunakan kacamata tebal. Itu terjadi bukan
Marvel menunduk dengan wajah terpesona. Matanya dan bibirnya membuka dengan lucunya, saking terpesonanya dia pada adik bayinya yang baru lahir. Marvel tiap hari bertemu dengan adiknya, tapi tetap saja berekspresi seperti itu. "Eh, Marvel. Pipinya adiknya jangan ditusuk-tusuk gitu dong, Nak." Star mengambil tangan anaknya dengan lembut, agar tidak lagi menjahili si kecil July. Dilarang menggunakan jarinya, kini Marvel kembali mengganggu adiknya dengan cara lain. Kali ini si kecil marvel mengecup pipi July dengan gemas. "Astaga, kecil-kecil sudah ada bibit playboynya." Gumaman asal Helena membuat semua orang tertawa. Helena kembali mengadakan acara syukuran kecil-kecilan untuk cucu ketiganya yang cantik, tepat sebulan setelah kelahirannya. Seperti biasa, bukan hanya Carlton dan Arwen saja yang datang. Keluarga besar Langton juga datang. "Ma, tolong jangan didoaiin yang aneh-aneh dong." Harvie langsung protes mendengar Helena berkata seperti itu. Harvie mengakui kalau dulu dia m
"Mari kita dengar sambutan dari siswa paling berprestasi kita." Seseorang diatas podium mempersilakan Star bergabung. Star berdiri dari tempatnya duduk di barisan paing depan. Dia tersenyum lebar dan berjalan pelan ke atas podium dengan perutnya yang sudah mulai membuncit. "Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih pada Tuhan Yang Maha Esa." Star memulai pidatonya dengan ucapan terima kasih pada berbagai pihak. "Terakhir terima kasih untuk keluargaku. Papa, Mama, adik-adik, Mertua, serta suami dan anak-anakku." Star tersenyum penuh haru ke arah keluarganya duduk. Hanya ada Harvie dan kedua orang tua Star di sana, tapi itu saja sudah lebih dari cukup. Lagi pula akan sangat merepotkan kalau anak-anak juga ikut ke acara wisudanya, jadi Helena dan Peter yang mendapat jatah menjaga anak-anak. "Mungkin banyak yang bingung bagaimana saya membagi waktu jadi ibu rumah tangga dan kuliah, tapi ... Saya bisa jadi seperti ini karena keluarga saya. Karena punya suami yang mendukung ser
"Star ada diatas main sama anak-anak." Hera memberitahu ketika melihat Harvie. "Thank you, Ma." Harvie segera berlari ke lantai atas, tempat anak-anak biasa bermain. Ini sudah hari ketiga sejak Star menginap di rumah orang tuanya dan dia sudah amat sangat rindu dengan keluarga kecilnya. "Star?" Harvie membuka pintu ruang bermain dengan pelan dan menemukan kalau semua penghuninya tengah tertidur di atas karpet tebal. Star tertidur dengan laptop yang terbuka, dikelilingi oleh Yvonne, Marvel, Amora dan Benedict. Pemandangan yang sangat manis dan Harvie sungguh berharap bisa punya keluarga besar seperti ini. Tidak ingin mengganggu istirahat mereka, Harvie mengendap-ngendap untuk mematikan laptop Star. Dan dia mulai memindahkan satu persatu manusia itu ke kamar masing-masing. *** "Sudah bangun?" Star mengerjap perlahan mendengar suara Harvie yang sudah dia rindukan. Star pikir dia masih bermimpi dan mengeratkan pelukannnya pada Harvie. "Masih ngantuk ya?" Harvie bertanya de
Star mengetukkan kaki ke teras rumah dengan wajah amat kesal. Irina yang berdiri di sebelahnya dengan memegang setumpuk kertas, tidak berani menatap bosnya itu. "Daddy ke mana sih?" tanya Star dengan ketus. "Biar saya teleponkan." Irina segera bergerak cepat mengambil ponselnya dan menyerahkannya pada Star untuk bicara. "Daddy tahu sudah berapa lama aku nungguin?" tanya Star dengan luar biasa ketusnya. "Maaf, Sayang. Rapatnya selesai lebih lama dar ..." "I don't care. Kan aku sudah bilang berhenti kerja dan suruh Brian yang urus semuanya. Susah banget ya gak kerja selama beberapa bulan?" "Gak bisa gitu, Sayang. Soalnya ini proyek be ...." "Lebih penting proyek atau anakmu? Datang dalam lima menit atau aku pulang ke rumah Mama." Star mematikan sambungan secara sepihak. Setelah penolakan yang dilakukan Star tempo hari, dia akhirnya melakukan test kehamilan karena merasa khawatir. Tentu saja hasilnya positif, dan membuat Star mengamuk. Sekali lagi, Star bukannya tidak mau punya
"Mami. Mami." Marvel berlari-lari untuk menghampiri ibunya yang sedang mengerjakan tugas akhir kuliahnya. Star yang sedang sakit kepala pun refleks tersenyum melihat bocah empat tahun itu. "Kenapa sayang?" Star mengangkat Marvel dan mendudukkan anak yang kini sudah membulat itu di pangkuannya. "Vel mo ade." Usia Marvel sudah empat tahun lebih, tapi belum bisa bicara lancar seperti Yvonne dulu. Dia memang terlambat mulai bicara, jadi kosakatanya masih minim. "Marvel mau adek?" tanya Star dengan ekspresi sedikit horor. "Maksudnya mau punya adek?" Ekspresi Star terlihat makin horor saja ketika anak bungsunya ini mengangguk. Kenapa juga si Marvel bisa tiba-tiba minta adek? "Kenapa Marvel mau minta adek?" tanya Star penasaran. "Lion punya ade," jawab Marvel dengan senyum mengembang. Sepertinya pria kecil Star itu mulai memikirkan indahnya punya adik lagi. “Rion?” Star mengumpat dalam hati. Lain kali Star tidak akan membiarkan Marvel main dengan Rion. “Kakak Von uga.” "Ka
“DONI.” Doni menggeram kesal mendengar suara ayahnya yang menggelegar. Dengan sangat terpaksa, dia meninggalkan permainan game onlinenya dan menghampiri sang ayah. “Kamu ini sebenranya ngapain sih?” tanya sang ayah dengan wajah terlihat sedikit kesal. “Maksud Ayah apaan sih?” tanya Doni bingung. Tapi tiba-tiba saja ayahnya tersenyum. “Kita sekeluarga diundang untuk grand opening mal. Kerjasama Olympus Grup dan Constate Enterprise.” Ayah Doni berteriak riang sambil memeluk anaknya. Bagi para pengusaha, diundang oleh perusahaan kondang saja merupakan suatu kebanggaan. Apalagi yang mengundang ini merupakan perusahaan kelas dunia. “Lalu? Hubungannya denganku apa?” tanya Doni makin bingung. “Katanya pimpinan Constate dan anak tertua dari Olympus Grup mengenalmu secara pribadi, makanya mereka mau mengundang. Ini kesempatan yang sangat baik Doni.” “Apanya?” tanya Doni makin bingung. “Kamu ini gimana sih? Kuliah bisnis, tapi tidak tahu apa-apa soal bisnis. Katanya pemimpin Olympus,
Waktu bergulir dengan cepat. Tidak terasa ujian semester pertama sudah dekat dan Star mah didera banyak masalah yang membuatnya tidak fokus. Marvel terserang flu berat dan menulari Yvonne. Karena Marvel punya masalah pada jantungnya, dia terpaksa harus diinapkan di rumah sakit. Lalu karena Yvonne juga merengek ingin menginap di rumah sakit, dia juga terpaksa dirawat. Kata dokter sih tidak ada masalah karena Star dan Harvie membawa mereka ke rumah sakit tepat waktu, tapi tetap saja Star khawatir dan mempengaruhi fokusnya untuk kuliah. Belum lagi gosip-gosip yang mulai bermunculan. Sama seperti dulu, banyak yang menggosipkannya sebagai wanita panggilan, hamil diluar nikah, peliharaan om-om dan lain sebagainya. Kehadiran Yvonne dan Marvel yang selalu datang menjemput jadi pemicunya. Bukan berarti Star menyalahkan anak-anak. Dia dulu juga sudah digosipkan seperti itu dan kebetulan saja kemunculan anak-anak seolah jadi pembenar gosip itu. Selain itu, Doni yang sudah lama tidak me
"Kok sedari tadi kamu cemberut sih?" Harvie yang baru pulang langsung mengecup puncak kepala Star yang masih menemani anak-anak main. Dua anak kecil itu juga ikut-ikutan minta dikecup oleh ayah mereka. Hanya dikecup, tidak di peluk apalagi digendong karena Harvie belum mandi. "Tante Nadine udah mau balik ke Inggris." Star menjawab dengan jujur. "Terus?" "Terus aku jadi gak punya teman ngobrol seasik dia lagi. Jadinya kalau lagi pusing urusin anak-anak, gak ada teman curhat." Bibir Star maju sedikit, membuat wajahnya makin cemberut saja. "Kalau cuma curhat kan ada banyak orang yang bisa ditemani curhat. Lagi pula kan masih bisa saling telepon atau chat. Beda waktu Indonesia - Inggris kan tidak terlalu jauh." "Oh, iya juga ya. Baru sadar." Cengiran Star membuat Harvie menggeleng pelan. "Tapi kalau kamu memang butuh pengalihan ketika merasa lelah dengan anak-anak, Daddy punya ide yang bagus untuk itu." Harvie tersenyum melihat wajah bingung Star yang selalu membuatnya gemas