"Oh, my God. You look .... like Elsa?" Star tertawa mendengar komentar suaminya itu. Komentar itu tidak salah memang. Model dan warna gaun Star memang mirip dengan punya Elsa yang ada di Frozen pertama. Yang membedakan hanyalah punya Star bermodel empire waist, dengan warna lebih ke arah pastel. "Apa itu pujian?" tanya Star pura-pura cemberut. "Tentu saja. Siapa yang tidak menyukai Elsa?" Harvie balas bertanya. Harvie sudah rapi dengan setelan jas armani berwarna senada miliknya. Kali ini tanpa dasi, tetapi ada sapu tangan yang berwarna gelap di kantong jasnya. Acara hari ini semi formal saja sebenarnya, makanya Star tidak memilih baju yang terlalu heboh. Gaun Star sendiri tidak seblink-blink punya Elsa. "Mau pergi sekarang?" Harvie bertanya dan Star mengangguk. Tanpa ragu, Harvie meraih tangan Star dan menaruhnya di lengannya sendiri. Menuntun istrinya yang hari ini persis memasuki usia kehamilan lima bulan. "Ini benar ayahmu mau sekalian baby shower?" tanya Harvie den
“Gimana cara gendongnya sih?” Harvie mulai terlihat kesal karena terus-terusan ditegur.“Seperti ini Daddy.” Star mengambil Amora dari Harvie dan memberinya contoh cara menggendong yang baik.“Bukan begitu Papa. Itu tangan Benedict tertekuk dan keluar dari bedongnya tuh.” Baru saja Star memberi arahan pada Harvie, sekarang giliran Zeus yang ditegur. "Kamu cerewet banget sih." Zeus juga jadi kesal ditegur oleh Star. "Dengarkanlah anakmu kalau bicara. Memangnya kamu tahu apa soal mengasuh anak?" Kini giliran Hera yang menegur Zeus, membuat pria itu terdiam dengan bibir menipis. "Berikan dia padaku." Hera meminta anaknya dengan wajah kesal Wajar saja sih Hera kesal. Setelah pulang ke rumah paska melahirkan, Zeus nyaris tidak membantu Hera mengurus si kembar karena memilih menyibukkan diri dengan pekerjaan. Hanya sabtu dan minggu Zeus bisa menemani Hera. Untungnya saja si kembar belum pernah terbangun saat tengah malam, jadinya Hera bisa tidur dengan nyenyak "Tapi untung gak perlu
Star berikir kalau sakit yang dirasakannya beberapa waktu lalu sudah hilang sepenuhnya, tapi mendekati tengah malam sakit itu datang lagi. Rasanya seperti nyeri haid, tapi berkali lipat lebih sakit. Sakit itu datang dan pergi begitu saja. Pada awalnya hanya tersa sesekali saja, tapi lama kelaman makin sering dan makin sakit. Tidak lagi bisa menahan rasa sakit, Star membangunkan Harvie. "Daddy." Suara rintihan pelan Star tentu tidak didengar oleh Harvie yang sudah lelap. Rasa sakit yang tiba-tiba berhenti, membuat Star buru-buru mengguncang tubuh Harvie sekeras yang dia mampu. "Hah. Ada apa? Kenapa?" Harvie tersetak bangun dalam keadaan linglung. "Perutku sakit," bisik Star berusaha untuk mengumpulkan tenaganya kembali. Rasa sakit sungguh menguras tenaganya. "Sakit perut?" Harvie masih terlihat linglung dan itu membuat Star kesal. "Aku akan melahirkan brengsek," teriak Star cukup keras, tapi Harvie masih terlihat bingung. "Kamu mau melahi ... WHAT?" Tiba-tiba saja Harvie be
"Harvie? Bagaimana?" Helena segera bangkit dari kursi panjang untuk menyambut anaknya yang baru keluar dari ruangan bersalin. Tidak ada jawaban dari Harvie yang melangkah gontai. Tatapannya kosong dan ekspresinya sendu. Harvie jatuh terduduk di kursi panjang terdekat dengan kepala menunduk. "Harvie ada apa?" Peter yang paling pertama menyadari keanehan pada putranya. Harvie masih tidak bisa menjawab dan kini dia malah menangis, membuat semua orang ketakutan. Bahkan Zeus sampai marah dibuatnya. "Berhentilah menangis brengsek dan katakan sesuatu." Zeus yang sudah tidak bisa menahan diri, meraih kaos Harvie dan mencengkrnya dengan kuat. Tapi Harvie masih bergeming. Dia ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak ada yang bisa keluar dari mulutnya. Dan suara pintu terbuka, membuat semua orang berbalik. "Maaf permisi." Dua orang perawat keluar dengan terburu-buru mendorong box bayi khas rumah sakit. Salah seorang diantara mereka, menggenggam alat bantu pernapasan manual yang menempe
Rasanya Star mengingat dirinya berada di ruang bersalin. Dia mengingat perasaan lega yang dirasakannya, namun sedetik kemudian ingatan itu menghilang. Tak ada lagi yang bisa dia ingat setelahnya. Sekarang ini hanya rasa pening dan lemas yang bisa dirasakan Star. Dengan sangat perlahan, Star membuka matanya. Dia berpikir akan menemui langit-langit rumah sakit sebagai hal pertama yang dilihatnya, tapi justru wajah Harvie lah yang pertama terlihat. Butuh waktu beberapa menit bagi Star untuk mencerna keadaannya. Sepertinya Harvie menyelinap naik ke atas ranjang pasien dan tidur sambil memeluk dirinya. Dan entah bagaimana Star juga melakukan hal yang sama, tidur dengan memeluk suaminya. Star yang tidak ingin membangunkan Harvie yang terlihat sangat lelah, pelan-pelan mengurai pelukan Harvie. "Hah, ada apa? Kenapa?" Harvie tiba-tiba saja terbangun dari tidurnya dengan terburu-buru, padahal gerakan tangan Star sangatlah halus. Harvie yang masih linglung menatap Star yang juga kaget
"Hai, jagoan." Star menyapa baby Marvel yang kali ini tidak tertidur. Setelah dirawat sekitar seminggu, bayi itu sudah terlihat lebih sehat sekarang. Begitupula dengan Star. Setelah dinyatakan seratus persen sehat, Star diizinkan untuk pulang. Sementara itu, Marvel masih harus menginap dan menunggu 'lubang' di jantungnya lebih menutup dan berat badannya naik sampai mencapai batas normal. "Mommy sebenarnya belum mau pulang. Mommy maunya nemenin kamu, tapi gimana dong? Mommy udah diusir." Star terkekeh pelan setelahnya. "Katanya mungkin satu atau dua minggu lagi baru Marvel bisa pulang." Kali ini Star memasang wajah cemberut. "Makanya Marvel makan yang banyak, rajin minum obat dan istirahat yang cukup. Biar nanti adek Marvel bisa cepat pulang dan ketemu Kakak Yvonne. Sama Tante Amora dan Om Benedict," Harvie melanjutkan. Star yang mentalnya sudah lebih baik setelah mencari tahu sendiri dan banyak bertanya tentang penyakit Marvel, merasa sedikit lebih lega dan sudah bisa bercanda.
"Yvonne. Adeknya mau minum susu dulu, Nak. Sebentar baru kita main lagi ya. Tunggu adek Marvel bobo dulu ya." "Mo main." Yvonne terus-terusan merengek dan menarik lengan baju Star. Sejak Marvel pulang ke rumah, Yvonne tiba-tiba saja jadi rewel. Dia sering sekali mengganggu Marvel atau mengganggu ketika Star sedang mengurusi putranya. Kata Mama Helena sih, 'Yvonne cemburu dengan adiknya. Biasa anak kecil memang gitu, merasa perhatian orang tuanya diambil oleh si adik.' Mau tidak mau Star mendesah mendengar perkataan ibu mertuanya. Hal ini mengingatkan Star pada Irish. Sedikit banyak Star takut Yvonne akan seperti Irish. Tapi bagaimana pun Star mencoba adil, Yvonne tetap rewel. Seperti sekarang ini. "Mo main." Yvonne makin berteriak keras. Suara cempreng nan keras Yvonne membuat Marvel terkejut. Alhasil, Marvel pun menangis. "Aduh, Yvonne. Kamu jangan berteriak dong. Lihat nih adek Marvel jadi nangis." Star spontan memarahi Yvonne. Wajah Yvonne perlahan-lahan berubah. Dari w
"Rasanya malas turun dari mobil," ucap Zeus sambil menghela napas. Sesunguhnya, Zeus sangat malas ikut acara keluarga seperti ini. Acara ini hanya menjadi ajang untuk ayah kandungnya merendahkan dirinya dan menyanjung orang lain. Suara getaran dari ponselnya, membuat Zeus terpaksa keluar dari lamunannya. Dia menatap ponselnya yang tergeletak di kursi penumpang sebelahnya. "Ya, Pa. Zeus baru sampai." Zeus berbohong pada ayahnya yang menelepon. "Aku akan segera naik." Segera setelah mematikan telepon, Zeus meraih paper bag yang ada di kusi penumpang dan segera turun dari mobil. Dia tidak bisa membuat ayahnya menunggu lebih lama lagi. Kalau tidak dia bisa dihukum. Zeus mendengkus mendengar pemikirannya sendiri. Sudah hampir umur dua enam, tapi masih diberi hukuman. Ayahnya benar-benar kuno. "Eh, tunggu dulu." Suara panik seorang perempuan membuat Zeus refleks menekan tombol lift untuk membuka kembali pintunya yang nyaris tertutup. "Terima kasih." Perempuan itu membun
Tidak ada satu manusia pun yang tahu apa yang direncanakan oleh Tuhan. Semisal tentang jangka waktu hidup seorang manusia. Setelah kematian Ronald Arwen yang sudah diprediksi. Berita duka yang lain datang dua tahun kemudian. Secara tiba-tiba Peter Carlton meninggal dalam kecelakaan kerja, saat sedang meninjau lokasi pembangunan. Tepat di saat cucu keempatnya lahir. Anak itu kemudian diberi nama Peter Carlton Jr. Ada juga kejadian tak terduga lain ditahun yang sama. Ketika Marvel Leonard Carlton masuk rumah sakit karena ada masalah pada jantungnya. Lubang di jantung yang dulu membuatnya harus masuk NICU, nyatanya tidak berhasil menutup sempurna. Hal itu baru diketahui ketika berumur tujuh tahun. Untungnya, tidak ada yang membuat nyawanya terancam. Marvel hanya perlu operasi untuk menyumbat lubang tersebut, setelahnya Marvel bisa hidup normal. Hal lain yang perlu dirawat dari Marel hanya matanya. Dari usia enam tahun dia sudah harus menggunakan kacamata tebal. Itu terjadi bukan
Marvel menunduk dengan wajah terpesona. Matanya dan bibirnya membuka dengan lucunya, saking terpesonanya dia pada adik bayinya yang baru lahir. Marvel tiap hari bertemu dengan adiknya, tapi tetap saja berekspresi seperti itu. "Eh, Marvel. Pipinya adiknya jangan ditusuk-tusuk gitu dong, Nak." Star mengambil tangan anaknya dengan lembut, agar tidak lagi menjahili si kecil July. Dilarang menggunakan jarinya, kini Marvel kembali mengganggu adiknya dengan cara lain. Kali ini si kecil marvel mengecup pipi July dengan gemas. "Astaga, kecil-kecil sudah ada bibit playboynya." Gumaman asal Helena membuat semua orang tertawa. Helena kembali mengadakan acara syukuran kecil-kecilan untuk cucu ketiganya yang cantik, tepat sebulan setelah kelahirannya. Seperti biasa, bukan hanya Carlton dan Arwen saja yang datang. Keluarga besar Langton juga datang. "Ma, tolong jangan didoaiin yang aneh-aneh dong." Harvie langsung protes mendengar Helena berkata seperti itu. Harvie mengakui kalau dulu dia m
"Mari kita dengar sambutan dari siswa paling berprestasi kita." Seseorang diatas podium mempersilakan Star bergabung. Star berdiri dari tempatnya duduk di barisan paing depan. Dia tersenyum lebar dan berjalan pelan ke atas podium dengan perutnya yang sudah mulai membuncit. "Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih pada Tuhan Yang Maha Esa." Star memulai pidatonya dengan ucapan terima kasih pada berbagai pihak. "Terakhir terima kasih untuk keluargaku. Papa, Mama, adik-adik, Mertua, serta suami dan anak-anakku." Star tersenyum penuh haru ke arah keluarganya duduk. Hanya ada Harvie dan kedua orang tua Star di sana, tapi itu saja sudah lebih dari cukup. Lagi pula akan sangat merepotkan kalau anak-anak juga ikut ke acara wisudanya, jadi Helena dan Peter yang mendapat jatah menjaga anak-anak. "Mungkin banyak yang bingung bagaimana saya membagi waktu jadi ibu rumah tangga dan kuliah, tapi ... Saya bisa jadi seperti ini karena keluarga saya. Karena punya suami yang mendukung ser
"Star ada diatas main sama anak-anak." Hera memberitahu ketika melihat Harvie. "Thank you, Ma." Harvie segera berlari ke lantai atas, tempat anak-anak biasa bermain. Ini sudah hari ketiga sejak Star menginap di rumah orang tuanya dan dia sudah amat sangat rindu dengan keluarga kecilnya. "Star?" Harvie membuka pintu ruang bermain dengan pelan dan menemukan kalau semua penghuninya tengah tertidur di atas karpet tebal. Star tertidur dengan laptop yang terbuka, dikelilingi oleh Yvonne, Marvel, Amora dan Benedict. Pemandangan yang sangat manis dan Harvie sungguh berharap bisa punya keluarga besar seperti ini. Tidak ingin mengganggu istirahat mereka, Harvie mengendap-ngendap untuk mematikan laptop Star. Dan dia mulai memindahkan satu persatu manusia itu ke kamar masing-masing. *** "Sudah bangun?" Star mengerjap perlahan mendengar suara Harvie yang sudah dia rindukan. Star pikir dia masih bermimpi dan mengeratkan pelukannnya pada Harvie. "Masih ngantuk ya?" Harvie bertanya de
Star mengetukkan kaki ke teras rumah dengan wajah amat kesal. Irina yang berdiri di sebelahnya dengan memegang setumpuk kertas, tidak berani menatap bosnya itu. "Daddy ke mana sih?" tanya Star dengan ketus. "Biar saya teleponkan." Irina segera bergerak cepat mengambil ponselnya dan menyerahkannya pada Star untuk bicara. "Daddy tahu sudah berapa lama aku nungguin?" tanya Star dengan luar biasa ketusnya. "Maaf, Sayang. Rapatnya selesai lebih lama dar ..." "I don't care. Kan aku sudah bilang berhenti kerja dan suruh Brian yang urus semuanya. Susah banget ya gak kerja selama beberapa bulan?" "Gak bisa gitu, Sayang. Soalnya ini proyek be ...." "Lebih penting proyek atau anakmu? Datang dalam lima menit atau aku pulang ke rumah Mama." Star mematikan sambungan secara sepihak. Setelah penolakan yang dilakukan Star tempo hari, dia akhirnya melakukan test kehamilan karena merasa khawatir. Tentu saja hasilnya positif, dan membuat Star mengamuk. Sekali lagi, Star bukannya tidak mau punya
"Mami. Mami." Marvel berlari-lari untuk menghampiri ibunya yang sedang mengerjakan tugas akhir kuliahnya. Star yang sedang sakit kepala pun refleks tersenyum melihat bocah empat tahun itu. "Kenapa sayang?" Star mengangkat Marvel dan mendudukkan anak yang kini sudah membulat itu di pangkuannya. "Vel mo ade." Usia Marvel sudah empat tahun lebih, tapi belum bisa bicara lancar seperti Yvonne dulu. Dia memang terlambat mulai bicara, jadi kosakatanya masih minim. "Marvel mau adek?" tanya Star dengan ekspresi sedikit horor. "Maksudnya mau punya adek?" Ekspresi Star terlihat makin horor saja ketika anak bungsunya ini mengangguk. Kenapa juga si Marvel bisa tiba-tiba minta adek? "Kenapa Marvel mau minta adek?" tanya Star penasaran. "Lion punya ade," jawab Marvel dengan senyum mengembang. Sepertinya pria kecil Star itu mulai memikirkan indahnya punya adik lagi. “Rion?” Star mengumpat dalam hati. Lain kali Star tidak akan membiarkan Marvel main dengan Rion. “Kakak Von uga.” "Ka
“DONI.” Doni menggeram kesal mendengar suara ayahnya yang menggelegar. Dengan sangat terpaksa, dia meninggalkan permainan game onlinenya dan menghampiri sang ayah. “Kamu ini sebenranya ngapain sih?” tanya sang ayah dengan wajah terlihat sedikit kesal. “Maksud Ayah apaan sih?” tanya Doni bingung. Tapi tiba-tiba saja ayahnya tersenyum. “Kita sekeluarga diundang untuk grand opening mal. Kerjasama Olympus Grup dan Constate Enterprise.” Ayah Doni berteriak riang sambil memeluk anaknya. Bagi para pengusaha, diundang oleh perusahaan kondang saja merupakan suatu kebanggaan. Apalagi yang mengundang ini merupakan perusahaan kelas dunia. “Lalu? Hubungannya denganku apa?” tanya Doni makin bingung. “Katanya pimpinan Constate dan anak tertua dari Olympus Grup mengenalmu secara pribadi, makanya mereka mau mengundang. Ini kesempatan yang sangat baik Doni.” “Apanya?” tanya Doni makin bingung. “Kamu ini gimana sih? Kuliah bisnis, tapi tidak tahu apa-apa soal bisnis. Katanya pemimpin Olympus,
Waktu bergulir dengan cepat. Tidak terasa ujian semester pertama sudah dekat dan Star mah didera banyak masalah yang membuatnya tidak fokus. Marvel terserang flu berat dan menulari Yvonne. Karena Marvel punya masalah pada jantungnya, dia terpaksa harus diinapkan di rumah sakit. Lalu karena Yvonne juga merengek ingin menginap di rumah sakit, dia juga terpaksa dirawat. Kata dokter sih tidak ada masalah karena Star dan Harvie membawa mereka ke rumah sakit tepat waktu, tapi tetap saja Star khawatir dan mempengaruhi fokusnya untuk kuliah. Belum lagi gosip-gosip yang mulai bermunculan. Sama seperti dulu, banyak yang menggosipkannya sebagai wanita panggilan, hamil diluar nikah, peliharaan om-om dan lain sebagainya. Kehadiran Yvonne dan Marvel yang selalu datang menjemput jadi pemicunya. Bukan berarti Star menyalahkan anak-anak. Dia dulu juga sudah digosipkan seperti itu dan kebetulan saja kemunculan anak-anak seolah jadi pembenar gosip itu. Selain itu, Doni yang sudah lama tidak me
"Kok sedari tadi kamu cemberut sih?" Harvie yang baru pulang langsung mengecup puncak kepala Star yang masih menemani anak-anak main. Dua anak kecil itu juga ikut-ikutan minta dikecup oleh ayah mereka. Hanya dikecup, tidak di peluk apalagi digendong karena Harvie belum mandi. "Tante Nadine udah mau balik ke Inggris." Star menjawab dengan jujur. "Terus?" "Terus aku jadi gak punya teman ngobrol seasik dia lagi. Jadinya kalau lagi pusing urusin anak-anak, gak ada teman curhat." Bibir Star maju sedikit, membuat wajahnya makin cemberut saja. "Kalau cuma curhat kan ada banyak orang yang bisa ditemani curhat. Lagi pula kan masih bisa saling telepon atau chat. Beda waktu Indonesia - Inggris kan tidak terlalu jauh." "Oh, iya juga ya. Baru sadar." Cengiran Star membuat Harvie menggeleng pelan. "Tapi kalau kamu memang butuh pengalihan ketika merasa lelah dengan anak-anak, Daddy punya ide yang bagus untuk itu." Harvie tersenyum melihat wajah bingung Star yang selalu membuatnya gemas