Rara terbangun keesokan paginya dalam pelukan Ryu. Suara napas Ryu yang halus, suaminya masih asik terlelap, mendekapnya hangat. Ada potongan-potongan mimpi baru yang muncul dalam tidur Rara, membuatnya bergidik, takut untuk menghadapi hari baru. Benarkah itu hanya mimpi? Atau kenyataan yang sebenarnya ia lupakan dan membuatnya sangat trauma hingga sekarang? Tangan Rara terangkat, ia usap lembut wajah tampan suaminya. Ryu tidak pernah mengeluhkan masa lalu yang Rara lupakan, lelaki ini begitu legowo menerima apapun yang tidak Rara ingat tentangnya. Namun, dihantui potongan-potongan mimpi yang tampak sangat nyata beberapa hari belakangan ini membuat Rara merasa kotor untuk Ryu. "Mas," bisik Rara, Ryu bergeming. Tak ada respon dari Ryu, Rara perlahan bangun. Ia bergerak hati-hati sekali, sengaja membiarkan Ryu menikmati tidurnya. Hari masih pagi, adzan subuh baru saja selesai berkumandang. "Argh," Rara mengerang kecil, ia berjongkok spontan. Pasalnya, ada rasa nyeri yang timbul dar
Rara mengangguk, ia kenakan mukenanya, melebarkan sajadahnya, mengambil posisi di belakang suaminya. Ini adalah kali pertama keduanya salat berjamaah, betapa syahdu dan merdunya suara Ryu saat melantunkan ayat-ayat Al-Qur'an, hal yang belum pernah Rara dengar. Dua rakaat salat singkat itu terlalui begitu kusyu, sangat menyentuh kalbu Rara. Ryu bak pengganti Pak Darwis yang sempurna baginya. "Mas, nanti kalau mau naik ke kebun, boleh saya mampir ke Desa Adat?" pinta Rara sambil mencium punggung telapak tangan suaminya. Ryu mengernyit, ada tanda tanya besar di matanya saat tajam menatap Rara. Apa yang sedang terjadi? Rara selalu menolak untuk diajak ke sana sejauh ini, ia sangat anti mengunjungi Desa Adat, salah satu tempat kenangan penting bagi mereka berdua. "Saya mau nyoba ke sana lagi setelah sekian lama, boleh Mas?" ulang Rara tak sabar menunggu jawaban Ryu. "Kamu ada keperluan di sana?" tanya Ryu berpaling, p
Ryu menatap lekat pada punggung istrinya yang turun dari mobil dan langsung berjalan menuju dermaga. Dulu, saat mereka remaja, Rara juga pernah mengajak Ryu mampir di dermaga indah ini. Selain mencoba mengenang masa lalu, Ryu juga berjaga-jaga, berharap Rara tidak histeris seperti saat pergi bersama Arum ke sana hingga harus dilarikan ke rumah sakit setelahnya. "Mas, ayok!" ajak Rara melambai, meminta Ryu mengikutinya. "Ya," balas Ryu mengangguk, menyambar rokok dari dashboard mobil. Melihat Ryu setengah berlari ke arahnya, Rara tersenyum. Sekelebat bayangan asing muncul, membuat Rara spontan memegangi kepalanya yang terasa berputar. Sosok Ryu dewasa seakan berganti dengan tubuh lelaki remaja, serupa dengannya, adalah Ryu muda yang tampak di mata Rara, tengah berjalan menghampirinya.***the past*** "Di sana ya kalau kamu naik klotok? Emang nggak horor nyeberang danau seluas ini?" tanya Ryu yang membawa sebungkus es teh itu, ia mendekat dan bersandar pada pembatas kayu dermaga. "
"Azura, Ra!" panggil Ryu mengguncang-guncang tubuh istrinya, membuat Rara kembali sadar dari lamunannya. "Mas," desis Rara berusaha menguasai diri, kepalanya terasa berat tapi ia tak mau mengeluh pada sang suami."Coba duduk dulu, aku ngerasa lemes banget ini," ucapnya. Ryu mengangguk. Ia papah Rara duduk di kursi kayu yang menghadap langsung ke danau. Suasana danau di sore hari seperti ini memang sangat tenang, terpaan anginnya terasa syahdu sekali. Rara sengaja menyandarkan kepalanya di pundak Ryu, matanya terpejam. Ia ingin berusaha mengingat semua kenangan itu, terutama semua memori di mana ada Ryu di dalamnya.***the past*** "Kamu berharga Azura," ucap Ryu seraya menyeka jemari Rara dengan kain basah yang hangat. Di depannya, Rara nampak menatap nanar ke sembarang arah, tak memedulikan keberadaan Ryu. "Jangan pernah nyoba buat ninggalin kami semua lagi," pintanya. "Dia udah mulai stabil, Bang," ucap
"Udah enakan?" Ryu menarik gelas teh hangat yang baru saja diteguk oleh Rara. Karena melihat kondisi Rara yang lemas dan mengeluh pusing, Ryu segera membopong Rara pergi dari dermaga, ia lajukan mobilnya ke Simpang Selatan, menghindar sejauh mungkin dari Desa Adat. Agar Rara merasa tenang, sengaja Ryu ajak istrinya ke sebuah warung makan, lalu dipesannya segelas teh untuk Rara. "Lumayan, Mas," jawab Rara menghela napas panjang lantas mengembuskannya perlahan. Tatapannya tak lepas dari wajah Ryu, kenangan lama itu kini menari-nari di kepalanya. "Kamu mau makan?" tawar Ryu. "Nanti dulu Mas," tahan Rara. "Nggak pa-pa kan kita nggak buru-buru naik kebun?" "Nggak pa-pa," ucap Ryu. "Take your time," katanya. Rara mengangguk, senyumnya terkembang. Sungguh, setelah menghadirkan Ryu dalam ingatannya lagi, rasa bersalah itu hinggap dan terasa sakit sekali. Sesak itu menghimpit dadanya, membuat Rara kesulitan untuk memulai pembicaraan tentang kenangan mereka berdua. "Aku udah nem
"Karena Mas cinta sama aku jadi Mas bertindak sejauh ini? Mas nggak pergi pas kuminta pergi, Mas nggak ngelupain pas kuminta ngelupain?" "Gimana aku bisa begitu pas kamu bahkan hampir membunuh dirimu sendiri 4 kali dalam sehari, Azura," jakun Ryu naik turun, ia tiba-tiba menyulut rokok, perasaannya benar-benar tengah diaduk-aduk sekarang. "Karena takut hidup, aku bahkan takut mengingat. Kubuat diriku sendiri ngelupain semuanya, termasuk ngelupain Mas," lirih Rara, setitik air matanya jatuh. "Sekarang kamu udah inget semuanya, aku harus bersyukur dan berterima kasih, juga minta maaf," air mata Ryu ikut menetes, tapi cepat ia mengalihkan pandangan. "Kita obrolin ini di rumah lagi nanti, kamu makan dulu, jangan sampe kamu sakit. Aku nggak mau kamu kenapa-napa lagi kalau maksain buat bahas soal ini," pintanya. "Terakhir Mas," tahan Rara. "Kenapa Mas nggak jujur aja dari awal? Kenapa Mas nggak coba ngingetin aku soal kenangan kita? Mas justru bersikap galak dan jahat di tempat kerja,
"Mas udah kenyang kan? Aku nggak perlu masak lagi kan?" tanya Rara ketika keluar dari kamarnya seusai mandi. "Nggak usah, nanti bikin mie instan aja kalau laper," jawab Ryu. "Kamu nggak laper lagi?" "Nggak lah, aku makan banyak tadi kan," balas Rara. "Istirahat deh kalau gitu, besok kerja, takut dimarahin Pak GM kalau telat masuk," sindirnya. "Hei! Hukuman telat kerja itu 5 kali cium," kekeh Ryu. "Apaan! Bosnya centil gini ih!" "Baru sadar? Kamu pikir aku cuma bisa galak? Bisa nakal juga kok." "Mas," Rara terbahak, ia ikut duduk di sofa sebelah suaminya. "Boleh ya tidur di kamar Mas?" godanya. "Silakan, kan bukannya dari awal aku udah bilang kamu bebas akses semua bagian rumah ya?" "Eh iya, asik!" sorak Rara senang. "Aku tu takut sebenernya tidur di kamarku, kan sebelah jendela langsung hutan tuh," keluhnya jujur. "Kenapa nggak bilang dari awal?" gemas Ryu. "Gengsi dong, aku kan malu," kata Rara. Tawa Ryu berderai, "Tidur di kamarku dapet bonus banyak," godanya
"Lima orang!" sambar Ryu memejamkam matanya sambil menelan ludah. "Semuanya pemanen lepas. Motor yang kamu pake tiba-tiba habis bensin, mereka dateng nolong tapi ...," helaan napasnya nampak berat terdengar, "kamu justru jadi korban kebejatan mereka," lanjutnya lirih. Air mata Rara mengalir tak terbendung lagi. Ia sampai harus menangkup wajahnya sendiri untuk menahan perasaan yang meluap-luap. Beruntung ia lupa pada situasinya saat kejadian mengerikan itu menimpanya. Jika ia mengingatnya, entah seperti apa kegilaannya sekarang. "Terus gimana pelakunya?" tanya Rara parau, masih sesenggukan. "Papa langsung bisa nemuin pelakunya 2x24 dari waktu kejadian, mereka hampir nyeberang ke Jawa pake kapal," urai Ryu. "Sementara kamu dilarikan ke rumah sakit, sekarat," desisnya. "Mas juga ada?" "Aku balik ke Indonesia secepat yang kubisa setelah denger kabar dari Mama. Selama seminggu penuh, aku selalu mantau kondisimu. Kamu lupa semuanya, cuma kenangan sampai kamu SMP kelas 7 yang ter
Ryu beranjak ke dapur, mengambilkan permintaan istrinya. Ia kembali sambil membawa kotak obat milik Rara. "Diminum obatnya ya," pinta Ryu. Rara tak menolak, ia teguk air putih yang Ryu bawakan, juga ia telan obat yang Luna resepkan. Rasa sesak masih kuat menghimpit dadanya, marah dan kecewa pada sang ayah masih terus menghantui pikirannya. "Mas, boleh ajak aku ke Jakarta?" celetuk Rara tiba-tiba, menatap suaminya dengan sorot memohon. "Boleh, aku emang ada rencana ajak kamu ke sana." "Dalam waktu dekat, besok atau lusa," tuntut Rara. "Hem?" kedua alis Ryu bertaut. "Kamu kangen sama Mama?" candanya. "Aku pengin melarikan diri dari sini dulu. Liat pohon sawit di sana-sini, dadaku kayak dihimpit excavator, sesak Mas." "Ya oke, nanti kuurus kerjaan di kebun dulu sama yang laen. Kuusahain secepatnya kita ke Jakarta," putus Ryu berjanji.
Ryu menyesap rokoknya dalam-dalam, tatapannya tak beralih dari gelas es kopinya yang tinggal menyisakan jelaga. Di seberangnya, Rara juga memilih untuk diam, tangannya sibuk mengaduk-aduk es teh miliknya dengan sedotan, minuman yang warnanya sudah memutih karena esnya mencair. Sedangkan Pak Darwis diminta Rara pulang lebih dulu, Rara tidak ingin hatinya tambah kalut dan sakit hati. "Hatiku berusaha memahami kalau apa yang Ayah lakuin itu sebenernya karena Ayah nggak mau liat aku menderita karena dihina," sebut Rara setelah berdiam lama. "Tapi aku yakin, Ibuk pasti mempengaruhi Ayah biar berani begitu. Sejauh Ayah menikah sama Bunda, aku tau Ayah nggak pernah gegabah begitu, Mas," ungkapnya. "Kalau kami laporin Bu Endah waktu itu sebagai percobaan pembunuhan, Ayah bakalan keseret juga karena Ayah yang nyediain air itu," desah Ryu menjentik abu rokoknya di asbak. "Dan kalau Ayah kena persoalan hukum, kamu nggak punya pegangan. Keluargaku masih orang asing waktu itu, keluarga Bundamu
"Iyah," ucap Rara mantap. "Kayaknya Ayah udah sampe," bisiknya melihat ada sebuah motor yang terparkir di mana nomor polisinya sangat familiar. Beriringan, Ryu dan Rara masuk ke dalam rumah makan setelah mencari tempat parkir yang teduh lebih dulu. Nampak Pak Darwis berdiri untuk menyambut, ada rindu di mata tuanya yang sendu. Senyum simpul Pak Darwis terkembang, ia datang sendirian. "Rara," ucap Pak Darwis spontan memeluk anak perempuan tercintanya. "Ayah udah pesen minum?" tanya Rara setelah melepas pelukannya. "Udah, kalian udah pesen makanannya juga ya?" tanya Pak Darwis balik. "Sudah Yah, tadi lewat WA," Ryu yang menjawab sembari menyodorkan minuman yang dibawakan seorang pelayan. "Aku udah inget semuanya, Yah," ungkap Rara tanpa basa-basi. "Semuanya, nggak ada yang terlewatkan," sebutnya. Pak Darwis terpana. Ia yang semula siap meneguk teh manisnya, memilih meletakkan kemba
"Alhamdulillah Rara," Luna meremas lembut kedua sisi pundak Rara. "Makasih udah berjuang bareng kita," ucapnya. "Makasih juga Dokter Luna, Dokter yang selalu sabar dampingi saya," jawab Rara mematri senyum cantiknya. "Apa ke depannya ada kemungkinan saya bakalan lupa sama kenangan saya lagi, Dok?" tanyanya. Luna menoleh Ryu dulu sebelum menjawab pertanyaan Rara. Ryu hanya mengangguk dengan senyum simpul yang menghiasi wajah setampan dewanya. Semua pengobatan Rara termasuk penyembuhan kejiwaannya Ryu serahkan sepenuhnya pada Luna. "Semua itu tergantung sama diri kamu sendiri, Rara. Tapi kalau kamu sekuat ini, saya yakin kamu bakalan baik-baik aja. Ada keluhan lain nggak?" tanya Luna sambil kembali duduk lagi di kursinya. "Masih suka sesak dada saya kalau secara nggak sengaja saya keinget kejadian itu. Kepala tiba-tiba pusing, kayak saya jadi menggigil ketakutan, panik gitu, Dok," sebut Rara. "Nggak pa-pa. Kamu penyintas PTSD, wajar masih ada gejala begitu. Tapi perkembangan kamu
Keduanya lantas bangkit, mereka keluar dari kamar beriringan, Ryu merangkul pundak istrinya mesra. Melihat atmosfer itu, Susi terpaku takjub. Ditatapnya Rara dan Ryu bergantian, tak percaya bahwa Rara akan dengan santainya menerima perlakuan manis sang suami. "Mbak Rara, udah enakan?" tanya Susi reflek mengambilkan piring untuk Rara. "Nggak saya suapin di kamar?" tawarnya. "Aku mau disuapin suamiku, Mbak," kata Rara nyengir. "Hah?" Susi terpana. "Bu GM udah inget saya, Mbak," ucap Ryu. "Tolong ambilin obatnya Azura aja ya Mbak, di kamar, saya lupa bawa karena saking senengnya," pintanya. "Ehm, iya Pak, siap," sahut Susi tergagap tapi tetap bergegas beranjak ke kamar Ryu. "Makasih kalian, orang-orang hebat yang dikasih banyak kesabaran buat ngehadapin kegilaanku," desis Rara sambil menatap punggung Susi yang berjalan ke kamarnya. "Ini bukti kalau setelah hujan badai halilintar, T
"Mas," bisik Rara, ia usap punggung Ryu yang masih memeluknya erat. "Mas Ryu," panggilnya lembut. "Inget aku? Inget suamimu?" tanya Ryu masih terlihat gugup, ia lepas pelukannya. Rara nampak membasahi bibirnya, "Aku nggak lupa rasanya," bisiknya seraya meraba bibir. "Maafin aku Mas, maaf aku lupain Mas segitu gampangnya," katanya. "Enggak, nggak pa-pa," balas Ryu menggeleng-geleng. Ia kecup mesra kening istrinya, "makasih Azura," tukasnya. "Semua udah terkumpul Mas, semua kepingan ingatanku yang hilang, puzzle di kepalaku udah tersusun rapi," aku Rara. "Azura," lirih Ryu menundukkan kepala. "Istriku," desahnya penuh rasa syukur. "Mas nangis?" tanya Rara menaikkan pandangan suaminya dengan menangkup rahang Ryu. "Jangan nangis," pintanya. "Aku lega, lega banget." "Maafin aku ya Mas. Maaf karena udah bikin Mas secapek ini. Aku tau seminggu belakangan ini aku ngrepotin banget kan Mas? Aku teriak-teriak histeris, nggak mau dipegang Mas Ryu, maafin aku ya Mas." "Aku masih belom pe
"Aku emang punya mimpi untuk bisa hidup normal sebelum memutuskan untuk memilih mati. Tapi mimpi seindah ini, apa boleh aku minta selamanya aja terjadi? Aku nggak boleh bangun kan?" gumam Rara. Ryu meraih jemari Rara, dibawanya agar bisa menyentuh pipinya. Senyum Ryu melebar, sebelah tangannya yang lain meraba kepala Rara, mengusapnya penuh cinta. "Apa kamu nggak bisa ngerasain kalau ini nyata? Aku nyata, Azura. Suamimu, Ryu Raiden Dhananjaya, orang yang selama 10 tahun belakangan ini cuma ngeliat ke kamu aja, cinta sama kamu," terang Ryu tak lagi memikirkan resiko akibat kalimatnya. Benar kata Luna, Rara masih tetap tenang, tidak histeris atau menolak fakta yang Ryu ungkapkan. Senyum Rara justru terkembang, ia sendiri yang menangkup kedua pipi Ryu tanpa ragu. "Kamu suamiku? Kenapa aku nggak punya ingatan sedikitpun tentang kamu kalau kamu emang nyata? Dari dunia mana kamu berasal? Dunia Rara yang berantakan?" desis Rara bingung, matanya berkaca-kaca. "Dari dunia Lembayung Azura
"Ini kemajuan, Ryu," ucap Luna tersenyum lega. "Tapi dia lupa semuanya tentang pernikahan kami, Mbak," tandas Ryu tak mengerti. Ditolehnya Rara yang tengah tertidur pulas, kelelahan. "Dia bisa nerima kenyataan yang kamu kasih tau, soal Bu Endah, soal status kamu, itu adalah momen baru yang jadi bukti kalau emosinya berkembang, dia membentuk pertahanan yang udah bagus banget. Kepingan kenangan yang dia blokir karena dia trauma, lama-lama bisa dia terima tanpa harus bikin pertahanan apa-apa," terang Luna. Ryu mengurut tengkuknya, sebenarnya ia tak berharap apapun lagi setelah tahu bahwa Rara justru melupakan seluruh kenangan mereka. Namun, jika bagi Rara melupakannya berarti sebuah kemajuan dari pertahanan dirinya, Ryu tidak punya pilihan kecuali menerimanya. Bukankah semua yang ia lakukan untuk sang istri adalah demi kesembuhan? "Mbak, dia bisa hidup normal lagi kan meski dia punya semua kenangan menyakitkan dan mengingatnya?" tanya Ryu. Luna mengangguk, "Rara bakalan lebih resist
"Aku nggak ngerti," lirih Rara, tatapannya nanar ke arah jalanan di luar sana di mana pintu utama memang sudah sengaja dibuka oleh Susi. "Aku nggak ngerti," ucapnya lagi, memegangi kepalanya. "Kepalaku sakit," rintihnya tiba-tiba menangis, kesulitan bernapas. Cepat-cepat Ryu membopong istrinya. Namun, bukannya dibawa masuk ke dalam kamar, Ryu justru membawa istrinya keluar rumah menuju dermaga kecil di dekat guest house. Beruntung ini adalah akhir pekan, tetangga sekitar banyak yang sudah turun ke Sampit sore kemarin. Jadi, suasana di sekitar rumah Ryu cukup sepi dan Rara tak mendapat banyak perhatian. Air danau yang sedikit surut juga membuat tak banyak pencari ikan mendatangi sekitar guest house. "Yang tenang ya, kamu nggak harus memaksa diri kamu, Azura," ucap Ryu menurunkan Rara di ujung dermaga. Ia ikut duduk di lantainya sambil memeluk sang istri. "Liat, duniamu luas Azura, kamu nggak boleh terjebak sama masa lalu gila yang nggak perlu kamu inget," ujarnya. Rara masih ber