Mata Dinda terbuka lebar. Sejak semalam dia hanya berganti-ganti posisi di tempat tidur Bima tanpa benar-benar tertidur. Kepalanya mulai sakit dan lehernya terasa kaku. Percakapan dengan Bima semalam sungguh mengganggunya.Setelah untuk pertama kalinya menyatakan perasaannya pada Dinda, Bima meminta gadis itu untuk memikirkan kembali hubungan mereka. Tak punya jawaban lain, Dinda pun hanya mengangguk dan berjanji akan memikirkannya. Tapi dia tidak bilang pastinya berapa lama dia akan mempertimbangkan hubungan mereka.Dinda melihat jam di nakas, masih pukul lima pagi. Matahari belum sepenuhnya terbit dan masih cukup gelap. Tetapi Dinda tidak lagi bisa memejamkan matanya. Tempat tidur itu tidak asing. Dinda masih mengingat aroma tubuh Bima yang menempel di sana. Menenangkannya. Tapi itu dulu, saat Bima tidur bersamanya. Semalam pria itu memaksa Dinda untuk tidur di kamarnya sementara dia tidur di sofa. Setelah berdebat beberapa saat akhirnya Dinda setuju, dengan ancaman kalau dia terus
Dinda akhirnya punya keberanian untuk menyalakan ponselnya. Begitu banyak notifikasi yang masuk. Dia hanya melihat beberapa yang berkaitan dengan pekerjaan. Media sosialnya mendadak populer. Jumlah pengikutnya meningkat drastis meskipun dia hanya pernah mengunggah sebuah foto dirinya dan beberapa foto masakannya saja. Sebagian pesan masuk di media sosialnya berisi kata-kata makian dan hujatan karena telah merebut Bima dari Chelsea. Sebagian lain bahkan ada yang memintanya untuk bunuh diri agar tidak ada lagi wanita yang menjadi korban karena pasangannya direbut Dinda.Tetapi Dinda sudah membuat keputusan pagi tadi dan tidak akan mundur semudah itu.Setelah membaca beberapa, Dinda tidak lagi meneruskan membuka sisanya. Dia lalu memutuskan untuk menghapus akun media sosialnya, menyisakan aplikasi untuk bertukar pesan saja.Tidak banyak yang ia lakukan sepanjang hari. Dinda memutuskan untuk membaca buku di ruang kerja Bima karena tidak ada lagi yang bisa ia lakukan. Sebenarnya ia ingin k
Bima adalah yang pertama dalam banyak hal dalam hidup Dinda. Tetapi hanya dengan satu tindakan kecil, Kartika mampu menyaingi Bima dalam kategori yang pertama. Wanita itu membuat Dinda merasakan ditampar untuk yang pertama kalinya. Tangan Dinda naik memegangi bekas tamparan Kartika di pipi kirinya. Air matanya menggenang.“Mama!” Bima menyusul masuk dan berdiri sebagai perisai di antara Kartika dan Dinda. Dia menoleh kepada Dinda di belakangnya, “Kamu nggak apa-apa?”Dinda hanya mengangguk, tetapi Kartika tertawa mencela.“Jadi kalian tinggal bersama sekarang? Memalukan,” suara Kartika dingin dan tajam. Dia hanya membuat dugaan liar kalau Dinda ada di sana, mencari di setiap ruangan sambil berharap gadis itu tidak akan ia temukan. Tetapi Kartika mendapat kejutan luar biasa saat melihat gadis itu di ruang kerja putranya, dengan memakai baju dan celana milik Bima.“Dinda cuma tidur di sini satu malam, Ma. Dan kalau Mama penasaran, aku tidur di sofa,” balas Bima dengan rahang terkatup.“
Tarik napas.Satu.Dua.Tiga.Hembuskan.Dinda merapalkan mantranya dalam hati sambil menunggu pintu lift terbuka. Tinggal beberapa lantai dan ia akan sampai di ruang kerjanya. Setelah Bima mengatakan ia tidak akan lagi berkantor di sana jantung Dinda berdetak dua kali lebih cepat. Rasa takutnya mendadak membesar berkali lipat.Untung saja hanya ada beberapa orang yang bersamanya di lift itu. Meskipun begitu, Dinda bisa merasakan tatapan dan bisikan sembunyi-sembunyi yang ditujukan padanya.Ting.Dalam hati Dinda bersyukur karena pintu lift terbuka. Dia segera keluar dan berjalan menuju ruangannya. Beberapa orang yang berpapasan dengannya menatapnya seperti yang terjadi di dalam lift. Tapi ini belum seberapa, pikir Dinda. Dia akan berada berjam-jam di dalam ruangan bersama dengan orang yang akan menggunjingkannya. Kalau dia tidak bisa bertahan karena tatapan seperti itu, dia tidak mungkin bisa melewati hari ini.Benar saja.Kedatangannya di ruangan membuat pandangan semua orang tertuj
Reva segera mematikan televisi saat melihat raut wajah Dinda. Dia mendekati gadis itu dengan hati-hati. “Din, lo nggak apa-apa?”“Kalo gue resign aja menurut lo gimana, Rev?” ucap Dinda hampa.“Kalo lo beneran resign, mereka akan semakin yakin kalo lo yang salah.”“Tapi kalo gue nggak resign, gue bakal jadi bulan-bulanan mereka terus.”“Kenapa lo nggak ikut bikin konferensi pers aja, Din? Biar lo bisa jelasin ke orang-orang,” Reva memberikan saran meskipun agak ragu.Dinda menggeleng. “Ini bukan cuma masalah gue, Rev. Ada keluarga besar Mas Bima juga. Gue nggak bisa asal ngomong di depan media. Bisa dirujak gue sama Bu Tika kalo sampai salah ngomong,” memikirkannya saja membuat Dinda ngeri.“Ya berarti lo harus tahan sama omongan orang-orang. Lama-lama juga mereka cape sendiri.”Mungkin memang tidak ada yang bisa dia lakukan untuk mengatasi omongan orang. Dinda sudah tidak lagi membuka media sosial sehingga ia tidak perlu menanggapi apa yang orang katakan tentangnya di sana. Dia hanya
Beberapa tangan dengan memegang ponsel naik, mulai merekam. Diam-diam Dinda mengutuk penemuan canggih itu. Apapun yang akan terjadi di ruangan itu, bisa dipastikan semua orang di gedung itu sudah melihatnya di jam makan siang.“Maaf, Pak. Apa benar Pak Bima dan Chelsea putus karena Dinda?”Dinda menutup wajahnya dengan kedua tangan, tidak sanggup melihat konferensi pers tidak resmi itu. Jantungnya berdebar kencang menanti jawaban Bima.“Tidak benar.”Tangan Dinda turun dari wajahnya, memastikan kalau Bima benar-benar mengatakannya.Devi belum menyerah. “Tapi foto-foto yang beredar menampilkan Pak Bima dan Dinda bersama. Dan Chelsea bilang Pak Bima lebih memilih Dinda.”Bima menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Dia merasa konyol menjelaskan hubungan pribadinya kepada para pegawainya. Tapi dia tetap melakukannya. Untuk Dinda.“Hubungan saya dan Dinda sudah dimulai sejak lama, jauh sebelum saya bertemu dengan Chelsea lewat perjodohan. Dan kalaupun saya tidak mengenal Dinda, pertun
Bima mengangkat kedua alisnya saat Dinda menolak untuk diantar pulang. Mereka baru menyelesaikan pekerjaan di ruangan Bima saat hari menjelang malam. Hanya tinggal beberapa orang yang sedang lembur termasuk mereka.“Kenapa?”“Ada janji sama orang,” jawab Dinda.“Siapa? Temen kantor? Reva?”Dinda menggigit bibir bawahnya. Ragu. “Bukan.”Pria itu hanya terus menatap Dinda tajam menanti jawabannya.Setelah memikirkan lagi, Kartika tidak mengatakan harus merahasiakannya dari Bima. Jadi mungkin tidak apa-apa kalau dia mengatakan yang sebenarnya. “Bu Tika minta ketemu. Katanya ada yang mau dibicarakan.”Wajah Bima menjadi tegang. “Soal apa?”Dinda mengangkat bahu. “Nggak tahu. Bu Tika nggak bilang apa-apa tentang itu.”“Kamu nggak perlu datang kalau memang nggak mau,” kata Bima sungguh-sungguh.“Tapi aku udah bilang kalau aku setuju untuk datang.”“Kamu yakin? Mau aku temani?”Dinda menggeleng pelan. “Nggak perlu, Mas. Bu Tika ngajak ketemunya di rumah, kok. Jadi aku rasa nggak akan ada apa
Aldi mendorong tubuhnya dari mobil dan menghampiri Dinda. “Butuh tumpangan?”Dinda menggigit bibirnya menimbang-nimbang. Dia tidak tahu keberadaan Bima saat ini. Kalau pria itu sudah pulang ke apartemennya maka akan sangat merepotkan jika harus kembali untuk menjemputnya. Naik taksi online pun harus menunggu ponselnya terisi daya. Sedangkan taksi konvensional tidak melewati kawasan mewah itu, sehingga Dinda harus keluar dari lingkungan perumahan untuk mendapatkannya. Tetapi Dinda merasa tidak enak jika harus diantar pulang oleh Aldi.“Emm, gimana, ya,” Dinda memindahkan berat tubuhnya ke satu kaki.“Bareng saya aja, Din,” kata Aldi. Dia bisa membaca keraguan di wajah Dinda. “Tadi kebetulan waktu saya mau pulang, saya lihat kamu dan Bu Tika di halaman belakang. Saya masih merasa nggak enak karena terakhir kali kita ketemu saya malah tiba-tiba pergi. Biar saya antar kamu pulang sebagai permintaan maaf.”Kedua alis Dinda terangkat, lalu dia tertawa kecil. “Nggak perlu minta maaf, Di. Kam
“Kalian serius?” tanya Iskandar. Pandangannya tertuju pada sang putra. Balita di gendongannya merengek dan dia mengelus punggung anak kecil itu untuk menenangkannya. “Kalian nggak sedang main-main, kan?”Bima mengangkat satu alisnya. “Kenapa aku harus main-main dengan hal seperti ini, Pa?”“Karena kamu selalu menolak waktu Mama membahas pernikahan dan menghasilkan keturunan!” semprot Kartika. Wajahnya memerah, entah karena bahagia atau marah mendengar kabar itu. Dia lalu berjalan mendekati Bima hingga mereka berhadapan.“Mama nggak mau ngucapin selamat?” tanya Bima dengan senyum di bibirnya.Kartika memukul lengan putranya itu sebelum memeluknya. “Kenapa harus seperti ini, Bim? Kenapa kamu membuatnya jadi rumit?”“Aku bikin rumit?” Bima mendengus tak percaya. “Mama tuh, yang ribet,” gerutunya, yang membuatnya mendapat sebuah pukulan di punggung.“Mama cuma mau yang terbaik buat kamu, Sayang.” Kartika melepas pelukannya dan mundur satu langkah. Tubuhnya berputar hingga sekarang dia mena
Setelah mengucapkan terima kasih pada Cindy yang meresepkan obat dan suplemen untuk Dinda, Bima tidak mengatakan apa-apa lagi. Selama perjalanan pulang Dinda menahan dirinya untuk tidak menangis sementara Bima menyetir dalam diam. Bungkamnya Bima membuat dirinya takut dan khawatir.Seharusnya Dinda senang karena rencananya berhasil. Dia hamil. Tetapi melihat reaksi Bima─meski sudah ia bayangkan sebelumnya─tetap membuatnya takut dan khawatir. Dalam hatinya diam-diam Dinda berharap Bima telah berubah pikiran. Dinda membayangkan meskipun terkejut, Bima akan dengan gembira menerima kehamilannya. Setelah itu mereka akan menemui Kartika dan memberitahu kabar itu.“Bagaimana bisa?” tanya Bima dengan nada datar saat mereka tekah berada di ruang duduk apartemen. Dia duduk di samping Dinda yang sedang melepas sepatunya. Rambutnya berantakan karena beberapa waktu tadi dia berkali-kali mengusap kepalanya dengan kasar. “Aku selalu hati-hati.”Dinda tidak tahu mana yang lebih menyakitkan. Kehilanga
Dinda tahu cepat atau lambat hal seperti itu akan terjadi. Tetapi dia tidak berpikir malam ini, di tempat dengan orang-orang yang mengagungkan tata krama dan etika berkumpul. Dan tidak di depan Kartika.Sekilas Dinda bisa merasakan suasana di lingkaran itu menjadi hening dan canggung. Mereka menanti jawaban Felix dan bersiap menilainya.Tetapi pria itu tampak santai. Bahkan bibirnya masih menyunggingkan senyum tipis. “Memangnya Dinda sekontroversial apa, Bu Ratna?”“Merebut tunangan perempuan lain dan berhubungan dengan bos sendiri bukan sesuatu yang kontroversial?”Felix mengibaskan tangannya seperti mengusir lalat yang mengganggu. “Bu Ratna belum dengar berita terbaru? Atau mungkin Ibu Kartika belum menjelaskan?”Seketika semua orang di sana mengalihkan perhatian pada Kartika, menanti tanggapan dan reaksinya. Tentu saja. Topik seperti ini adalah sesuatu yang banyak diminati, hampir di semua kalangan.Dinda melihat kehebatan Kartika dalam mengontrol emosinya. Wajahnya tetap tidak ter
Bima selalu berhati-hati saat berhubungan dengan Dinda. Selain di waktu-waktu saat Dinda tidak dalam masa ovulasi, Bima selalu menggunakan pengaman. Tujuannya sudah jelas. Walapun status mereka telah berubah, Bima sepertinya masih tidak menginginkan kehadiran seorang anak.Tetapi yang Dinda rasakan justru sebaliknya. Dari ucapan beberapa orang termasuk Daniel, Dinda menyimpulkan keinginan terbesar Kartika saat ini adalah memiliki cucu dari putra satu-satunya. Untuk sekali ini, Dinda berada di kubu yang sama dengan ibu mertuanya itu. Terlepas dari masa lalunya, Dinda ingin mencoba lagi. Dia menginginkan sebuah keluarga.Jadi rencananya adalah menggoda Bima hingga ia terlena dan lengah hingga pria itu tidak lagi bisa berpikir jernih untuk memakai pengaman atau menggunakan pencegahan lainnya. Sebenarnya tidak sulit. Dinda hanya perlu memberanikan diri dan menebalkan muka.Seperti saat ini.Dia menyambut kepulangan Bima─yang akhir-akhir ini selalu pulang larut─dengan mengenakan lingerie b
Setelah menjadi istri seorang Bima Sakti Iskandar, ternyata tidak banyak yang berubah dalam rutinitas sehari-hari Dinda. Dia masih mengambil beberapa tawaran pemotretan iklan yang datang padanya. Meski Daniel ingin Dinda melebarkan sayap ke bidang lain setelah kesuksesan debut sebagai model video musik, Bima tidak menyetujui ide itu. Akhirnya setelah perdebatan panjang dan melelahkan─antara Bima dan Daniel tentu saja, karena Dinda hanya duduk diam menonton mereka berdua─Dinda hanya akan menjadi foto model.Dinda hanya mengangguk setuju saat Bima menanyakan pendapatnya karena ia sudah bertekad untuk mengikuti apapun keputusan pria itu tentang pekerjaannya. Bima berkali-kali mengatakan dia sanggup menanggung hidup Dinda sehingga dia tidak perlu bekerja. Tetapi Daniel tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada di depannya. Jalan Dinda sudah terbentang dengan mulus dan Daniel tidak bisa membiarkan dia berpindah halauan begitu saja.“Tunggu sampai agensi gue lumayan gede ya, Din. Abis
“Kamu yakin?” Bima menatap Dinda sambil mengelus sisi wajahnya. Betapapun besar keinginannya saat ini untuk berada di dalam tubuh Dinda, dia akan menghentikan semua yang membuat sang istri tidak nyaman.Dinda mengangguk. Napasnya berangsur stabil. “Please.”Tanpa menunggu lagi Bima kembali mencium bibir Dinda dengan semua tekad hatinya. Dia bersumpah akan membuat Dinda hanya mengingat sentuhannya, ciumannya, mendesah karenanya, dan memanggil namanya saat berada di puncak.Dengan sabar dan penuh kelembutan Bima menjelajahi seluruh tubuh Dinda. Menciuminya, menghisapnya hingga meninggalkan jejak di beberapa tempat. Sentuhan-sentuhannya di beberapa tempat seringkali membuat wanita itu menggigil. Setiap desahan yang keluar dari mulut Dinda adalah pelecut semangatnya.“Look at me, Din,” bisik Bima serak. “Keep looking at me.”Dinda menurut. Dia menatap Bima yang membayangi di atasnya.“Jangan tutup mata kamu.”Dinda hanya mengangguk.Puas dengan jawaban Dinda, Bima membenamkan dirinya dala
Dinda tidak mengenakan gaun putih dan membawa buket mawar di tangannya. Dia tidak berjalan didampingi ayahnya menuju altar. Tidak ada tamu undangan yang memberinya selamat. Tetapi statusnya kini telah berubah. Ia sudah menjadi istri seseorang.Semua terjadi begitu cepat, seperti mimpi yang mengabur di mata Dinda. Setelah melakukan pernikahan secara agama yang hanya disaksikan oleh Daniel, Ryan, dan Kevin, Bima mendaftarkan pernikahan mereka ke catatan sipil. Dengan gemetar Dinda meletakkan kembali dokumen pernikahannya di nakas dan menghela napas panjang. Mantranya bergema dalam hati. Tarik napas lalu keluarkan.Setelah merasa sedikit lebih tenang Dinda bangkit dan keluar dari kamar. Suara-suara dari ruang tengah terdengar samar. Saat Dinda menampakkan diri di sana, dia siambut dengan tepukan tangan dan ucapan selamat. Hanya ada empat orang, tapi Dinda harus menutup telinganya untuk menghindari kerusakan pada pendengarannya.Saat mereka puas membunyikan terompet, Daniel berada di bari
Sekali lagi, Dinda menjadi orang paling banyak dicari di internet setelah videonya dan Bima di rumah sakit menyebar. Tentu saja berita-berita itu muncul dengan berbagai judul yang penuh kehebohan dan kontroversi. Ada satu media menyebutkan Dinda sakit keras dan Bima melamarnya agar mereka menikah sebelum Dinda meninggal. Yang lain menyebutkan hubungan mereka seperti Cinderella di dunia nyata. Beberapa bahkan mulai menghitung aset yang akan Dinda dapatkan jika ia menikahi Bima.Dinda memijit kepalanya saat membaca berita-berita itu. Semakin lama terdengar semakin aneh. Entah dia harus bangga atau sedih karena orang-orang lebih tertarik pada kehidupan pribadinya daripada pekerjaan Dinda sebenarnya.“Yang ini setuju. Tapi ada yang maki-maki lo lagi, Din. Oh, pantesan. Fans Chelsea ternyata,” Reva sibuk membaca komentar-komentar di bawah berita Dinda dan Bima. Mereka bertiga─Dinda, Reva, dan Tania─sedang berada di apartemen Dinda. Reva sengaja datang setelah membaca berita kalau Dinda sed
Jika Bima melamarnya dua tahun lalu, Dinda akan menjadi orang yang paling bahagia di dunia. Dia akan dengan senang hati menerima pinangan itu. Tetapi keadaannya tidak sama lagi. Ada kemungkinan Dinda mengandung bayi pria lain. Dia tidak bisa membuat Bima menerima bayi itu juga. Rasanya sangat tidak adil bagi Bima jika Dinda menerima lamarannya dalam kondisi mengandung.Entah berapa banyak air mata yang ia keluarkan selama beberapa hari terakhir. Dinda menangis berhari-hari hingga rasanya tidak ada lagi yang tersisa. Hanya ada kekosongan di dalam hatinya. Bahkan dia tidak merasakan apapun saat melihat cincin permata di depannya.Tetapi jurang antara dirinya dan Bima justru semakin lebar dan dalam. Rasanya memang semesta tidak merestui mereka.“Aku akan menjawab setelah hasi tes keluar.”Bagi Dinda itulah yang paling masuk akal. Jika memang dia terbukti mengandung, jawabannya sudah jelas. Dinda akan menolak Bima. Tetapi jika hasilnya negatif, mungkin masih ada sedikit harapan bagi merek