Bima hampir tidak mempercayai apa yang terjadi. Tangannya mengelus kepala Dinda, merasakan surai halusnya di antara jari-jarinya. Butuh beberapa detik baginya untuk yakin kalau ia tidak sedang tidur dan bermimpi. Bima membalas ciuman Dinda dengan seluruh perasaan dan rasa frustasinya. Ada begitu banyak yang ingin ia sampaikan lewat ciuman itu. Penyesalan, permintaan maaf, perasaannya, harapannya, rasa takutnya. Bima ingin Dinda mengerti.Ciuman Dinda terasa seperti kelegaan setelah keputusasaan. Seperti oasis di padang gurun. Seperti udara bebas setelah penjara.Dinda lalu mundur perlahan. Wajahnya tampak terkejut. Ia menangkupkan tangan ke mulutnya dan menahan teriakkannya.“Maaf,” gumamnya.Bima menatap Dinda dengan bingung. Mengapa Dinda begitu terkejut padahal dia yang memulai semuanya? Akan sangat konyol jika dia menganggap mereka ada di alam mimpi.“Aku.. aku tadi mimpi...”“Kamu mimpi kita ciuman?” Bima tak tahan untuk menggoda Dinda yang terlihat begitu menggemaskan. Gadis itu
Jantung Dinda hampir melompat dari rongganya saat dia membaca artikel itu di sebuah portal berita online. Di bawah artikel itu ada beberapa fotonya bersama Bima di lobi apartemennya. Foto itu diambil dari belakang sehingga wajahnya tidak terlihat. Tetapi tangan Bima menempel di punggungnya, membuat mereka terlihat seperti pasangan. Foto terakhir adalah saat mereka berdiri menunggu di depan lift.Dinda mendorong yogurtnya. Dia kehilangan selera makan meskipun perutnya berbunyi sejak tadi. Jari-jarinya menari di layar ponselnya, menutup berita itu dan melakukan panggilan pada Bima. Untung saja pria itu menganggat di deringan pertama.‘Ada urusan terkait pekerjaan seperti apa sampai kamu telepon sepagi ini?’Dinda menelan kembali kata-katanya. Ia masih ingat wajah Bima kemarin saat dia memutuskan agar mereka tidak perlu berhubungan lagi. Bima tidak menyukai ide itu dan menentangnya. Dia bilang akan membayar kesalahannya. Dinda bilang mereka impas jika Bima menyetujui permintaannya. Merek
“Maaf, Din.”Dinda membiarkan kedua tangannya tetap berada di sisi tubuhnya dan tidak membalas pelukan Bima betapapun dia ingin melakukannya. Dia menunggu selama beberapa saat sebelum mengurai kedua tangan Bima yang memeluknya dan mundur satu langkah.“Kamu lembur?” tanya Bima. Matanya memancarkan kekecewaan karena Dinda menjauh darinya.“Enggak,” jawab Dinda.“Kenapa baru pulang? Aku nunggu kamu dari sore.”Dinda merasa dejavu. Hanya saja keadaannya berbalik. Dulu ia yang sering menunggu Bima pulang kerja hingga larut.“Aku mampir ke kafe bareng yang lain. Kenapa nggak telepon?”“Telepon kamu nggak bisa dihubungi.”“Ah, iya.” Dinda baru ingat kalau dia mematikan ponselnya agar tidak tergoda untuk melihat perkembangan hubungan Chelsea dan Bima. “Hapeku mati. Ada apa?”Bima mengangguk. “Boleh aku masuk?”Meski ragu, Dinda mengangguk mengizinkan Bima masuk bersamanya. Dia memimpin dan membiarkan Bima masuk terlebih dulu sambil berpikir mengapa pria itu menunggunya begitu lama.“Silakan
Dinda panik. Dia memeriksa pakaiannya. Masih lengkap. Tatapannya lalu beralih pada pria di sampingnya yang menutup matanya kembali. Pakaiannya juga masih lengkap, hanya dua kancing kemejanya yang paling atas terlepas.Otak Dinda sibuk mengingat apa yang terjadi hingga Bima tidur di sampingnya. Yang dia ingat semalam pria itu bilang akan tidur di sofa. Mereka tidak melakukan apa-apa lagi. Dinda masuk ke kamarnya dan tidur.“Semalam kamu mimpi buruk lagi. Sampai teriak,” kata Bima. Matanya masih tertutup, tapi sebenarnya dia sudah bangun saat alarm Dinda berbunyi. “Aku khawatir, jadi aku masuk dan bangunin kamu. Tapi kamu malah meluk aku kenceng banget.”Dinda memukul lengan Bima dan membuat pria itu terlonjak duduk.“Sakit, Din,” ucapnya sambil mengelus lengannya yang dipukul.“Jangan bohong!”“Apanya yang bohong? Kamu beneran meluk aku semalam.”Pipi Dinda merona. Mungkin dia memang melakukannya, tapi Dinda tidak terlalu ingat. Dia bahkan tidak ingat mimpi itu datang.“Aku mandi dulu.
Kartika, Chelsea, dan seorang wanita lainnya berdiri di samping meja Dinda dan Aldi.“Boleh saya duduk di sini?” tanya Kartika. “Tempat duduk lainnya agak terbuka dan kami nggak mau ada paparazzi yang ambil foto Chlesea sembarangan.”Aldi segera berdiri dan mengangguk hormat pada istri bosnya itu. “Bu Tika mau saya carikan private room?”“Nggak usah, Di. Di sini aja. Kalian nggak keberatan, kan?” Pertanyaan itu ditujukan pada Dinda, yang ikut berdiri karena alasan sopan santun.“Kami bisa pindah tempat duduk─”Kartika memotong ucapan Aldi. “Nggak perlu, Di. Kasian nanti waitress-nya bingung.”Rombongan wanita itu akhirnya duduk bergabung bersama Dinda dan Aldi. Kartika duduk di samping Aldi, bersebelahan dengan wanita lain yang datang bersama mereka. Sedangkan Chelsea duduk berhadapan dengan wanita itu, menyisakan sebuah kursi kosong di samping Dinda yang ia gunakan untuk meletakkan tas mewahnya.“Maaf, ya, jadi mengganggu kalian,” ucap wanita paruh baya yang datang bersama Kartika. “
“DASAR PELAKOR!”Dinda tidak bisa menghitung berapa banyak ponsel yang menyorot dan merekam semuanya. Mungkin dalam beberapa jam dia akan dikenal oleh banyak orang sebagai pelakor. Wajahnya akan muncul di mana-mana dan orang-orang di jalanan akan mengenalinya.Chelsea berteriak sambil menangis. Dia meneriakkan kata-kata lain tapi Dinda tidak bisa mendengarnya. Telinganya berdengung. Di depannya Chelsea masih berteriak tanpa suara sambil menunjukknya. Dinda berhitung di kepalanya. Menggumamkan mantra pernapasan yang menjadi andalannya.“Nggak tahu malu.”“Murahan.”“Pelakor.”Hanya beberapa kata yang bisa Dinda tangkap. Tapi dia bisa melihat gambaran besarnya. Orang-orang mulai berbisik-bisik membicarakannya dan memilih kubu.Pandangan Dinda mulai mengabur. Dia bisa merasakan air matanya menggenang dan bisa jatuh kapan saja.Tolong jangan sekarang, Dinda memohon pada dirinya sendiri.Apapun yang terjadi, dia tidak boleh terlihat lemah.Setelah beberapa saat akhirnya Chelsea berhenti. W
Tanpa perlu melihat Dinda tahu orang yang sedang memeluknya. Hidungnya mengenali aroma maskulin Bima yang tetap sama sejak dulu. Tangan Bima mengelus kepala Dinda dan turun hingga ke punggungnya.Dinda berusaha melepaskan diri dari pelukan Bima, mendorong dada pria itu sekuta tenaga dengan kedua tangannya. Tapi Bima tetap bergeming, terlalu kuat dan Dinda jelas bukan tandingannya.“Lepas,” bisik Dinda.“Nggak kulepas sebelum kamu berhenti nangis.”“Aku nggak nangis.”“Jangan bohong, Din.”Mereka beruntung hujan turun cukup lebat hingga tidak ada orang-orang yang berlalu lalang di sana. Halte pun kosong. Tidak ada yang memedulikan keduanya di tengah hujan seperti itu.“Mulai sekarang kamu jangan buka portal berita atau sosial media,” kata Bima.Dinda mendongak, tatapan basahnya bertemu dengan manik mata Bima. “Videonya udah nyebar?”Dengan berat Bima mengangguk mengiyakan.Kali ini, wajahnya akan terlihat dengan jelas internet. Mungkin mereka juga akan tahu namanya. Mereka akan tahu s
Mata Dinda terbuka lebar. Sejak semalam dia hanya berganti-ganti posisi di tempat tidur Bima tanpa benar-benar tertidur. Kepalanya mulai sakit dan lehernya terasa kaku. Percakapan dengan Bima semalam sungguh mengganggunya.Setelah untuk pertama kalinya menyatakan perasaannya pada Dinda, Bima meminta gadis itu untuk memikirkan kembali hubungan mereka. Tak punya jawaban lain, Dinda pun hanya mengangguk dan berjanji akan memikirkannya. Tapi dia tidak bilang pastinya berapa lama dia akan mempertimbangkan hubungan mereka.Dinda melihat jam di nakas, masih pukul lima pagi. Matahari belum sepenuhnya terbit dan masih cukup gelap. Tetapi Dinda tidak lagi bisa memejamkan matanya. Tempat tidur itu tidak asing. Dinda masih mengingat aroma tubuh Bima yang menempel di sana. Menenangkannya. Tapi itu dulu, saat Bima tidur bersamanya. Semalam pria itu memaksa Dinda untuk tidur di kamarnya sementara dia tidur di sofa. Setelah berdebat beberapa saat akhirnya Dinda setuju, dengan ancaman kalau dia terus
“Kalian serius?” tanya Iskandar. Pandangannya tertuju pada sang putra. Balita di gendongannya merengek dan dia mengelus punggung anak kecil itu untuk menenangkannya. “Kalian nggak sedang main-main, kan?”Bima mengangkat satu alisnya. “Kenapa aku harus main-main dengan hal seperti ini, Pa?”“Karena kamu selalu menolak waktu Mama membahas pernikahan dan menghasilkan keturunan!” semprot Kartika. Wajahnya memerah, entah karena bahagia atau marah mendengar kabar itu. Dia lalu berjalan mendekati Bima hingga mereka berhadapan.“Mama nggak mau ngucapin selamat?” tanya Bima dengan senyum di bibirnya.Kartika memukul lengan putranya itu sebelum memeluknya. “Kenapa harus seperti ini, Bim? Kenapa kamu membuatnya jadi rumit?”“Aku bikin rumit?” Bima mendengus tak percaya. “Mama tuh, yang ribet,” gerutunya, yang membuatnya mendapat sebuah pukulan di punggung.“Mama cuma mau yang terbaik buat kamu, Sayang.” Kartika melepas pelukannya dan mundur satu langkah. Tubuhnya berputar hingga sekarang dia mena
Setelah mengucapkan terima kasih pada Cindy yang meresepkan obat dan suplemen untuk Dinda, Bima tidak mengatakan apa-apa lagi. Selama perjalanan pulang Dinda menahan dirinya untuk tidak menangis sementara Bima menyetir dalam diam. Bungkamnya Bima membuat dirinya takut dan khawatir.Seharusnya Dinda senang karena rencananya berhasil. Dia hamil. Tetapi melihat reaksi Bima─meski sudah ia bayangkan sebelumnya─tetap membuatnya takut dan khawatir. Dalam hatinya diam-diam Dinda berharap Bima telah berubah pikiran. Dinda membayangkan meskipun terkejut, Bima akan dengan gembira menerima kehamilannya. Setelah itu mereka akan menemui Kartika dan memberitahu kabar itu.“Bagaimana bisa?” tanya Bima dengan nada datar saat mereka tekah berada di ruang duduk apartemen. Dia duduk di samping Dinda yang sedang melepas sepatunya. Rambutnya berantakan karena beberapa waktu tadi dia berkali-kali mengusap kepalanya dengan kasar. “Aku selalu hati-hati.”Dinda tidak tahu mana yang lebih menyakitkan. Kehilanga
Dinda tahu cepat atau lambat hal seperti itu akan terjadi. Tetapi dia tidak berpikir malam ini, di tempat dengan orang-orang yang mengagungkan tata krama dan etika berkumpul. Dan tidak di depan Kartika.Sekilas Dinda bisa merasakan suasana di lingkaran itu menjadi hening dan canggung. Mereka menanti jawaban Felix dan bersiap menilainya.Tetapi pria itu tampak santai. Bahkan bibirnya masih menyunggingkan senyum tipis. “Memangnya Dinda sekontroversial apa, Bu Ratna?”“Merebut tunangan perempuan lain dan berhubungan dengan bos sendiri bukan sesuatu yang kontroversial?”Felix mengibaskan tangannya seperti mengusir lalat yang mengganggu. “Bu Ratna belum dengar berita terbaru? Atau mungkin Ibu Kartika belum menjelaskan?”Seketika semua orang di sana mengalihkan perhatian pada Kartika, menanti tanggapan dan reaksinya. Tentu saja. Topik seperti ini adalah sesuatu yang banyak diminati, hampir di semua kalangan.Dinda melihat kehebatan Kartika dalam mengontrol emosinya. Wajahnya tetap tidak ter
Bima selalu berhati-hati saat berhubungan dengan Dinda. Selain di waktu-waktu saat Dinda tidak dalam masa ovulasi, Bima selalu menggunakan pengaman. Tujuannya sudah jelas. Walapun status mereka telah berubah, Bima sepertinya masih tidak menginginkan kehadiran seorang anak.Tetapi yang Dinda rasakan justru sebaliknya. Dari ucapan beberapa orang termasuk Daniel, Dinda menyimpulkan keinginan terbesar Kartika saat ini adalah memiliki cucu dari putra satu-satunya. Untuk sekali ini, Dinda berada di kubu yang sama dengan ibu mertuanya itu. Terlepas dari masa lalunya, Dinda ingin mencoba lagi. Dia menginginkan sebuah keluarga.Jadi rencananya adalah menggoda Bima hingga ia terlena dan lengah hingga pria itu tidak lagi bisa berpikir jernih untuk memakai pengaman atau menggunakan pencegahan lainnya. Sebenarnya tidak sulit. Dinda hanya perlu memberanikan diri dan menebalkan muka.Seperti saat ini.Dia menyambut kepulangan Bima─yang akhir-akhir ini selalu pulang larut─dengan mengenakan lingerie b
Setelah menjadi istri seorang Bima Sakti Iskandar, ternyata tidak banyak yang berubah dalam rutinitas sehari-hari Dinda. Dia masih mengambil beberapa tawaran pemotretan iklan yang datang padanya. Meski Daniel ingin Dinda melebarkan sayap ke bidang lain setelah kesuksesan debut sebagai model video musik, Bima tidak menyetujui ide itu. Akhirnya setelah perdebatan panjang dan melelahkan─antara Bima dan Daniel tentu saja, karena Dinda hanya duduk diam menonton mereka berdua─Dinda hanya akan menjadi foto model.Dinda hanya mengangguk setuju saat Bima menanyakan pendapatnya karena ia sudah bertekad untuk mengikuti apapun keputusan pria itu tentang pekerjaannya. Bima berkali-kali mengatakan dia sanggup menanggung hidup Dinda sehingga dia tidak perlu bekerja. Tetapi Daniel tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada di depannya. Jalan Dinda sudah terbentang dengan mulus dan Daniel tidak bisa membiarkan dia berpindah halauan begitu saja.“Tunggu sampai agensi gue lumayan gede ya, Din. Abis
“Kamu yakin?” Bima menatap Dinda sambil mengelus sisi wajahnya. Betapapun besar keinginannya saat ini untuk berada di dalam tubuh Dinda, dia akan menghentikan semua yang membuat sang istri tidak nyaman.Dinda mengangguk. Napasnya berangsur stabil. “Please.”Tanpa menunggu lagi Bima kembali mencium bibir Dinda dengan semua tekad hatinya. Dia bersumpah akan membuat Dinda hanya mengingat sentuhannya, ciumannya, mendesah karenanya, dan memanggil namanya saat berada di puncak.Dengan sabar dan penuh kelembutan Bima menjelajahi seluruh tubuh Dinda. Menciuminya, menghisapnya hingga meninggalkan jejak di beberapa tempat. Sentuhan-sentuhannya di beberapa tempat seringkali membuat wanita itu menggigil. Setiap desahan yang keluar dari mulut Dinda adalah pelecut semangatnya.“Look at me, Din,” bisik Bima serak. “Keep looking at me.”Dinda menurut. Dia menatap Bima yang membayangi di atasnya.“Jangan tutup mata kamu.”Dinda hanya mengangguk.Puas dengan jawaban Dinda, Bima membenamkan dirinya dala
Dinda tidak mengenakan gaun putih dan membawa buket mawar di tangannya. Dia tidak berjalan didampingi ayahnya menuju altar. Tidak ada tamu undangan yang memberinya selamat. Tetapi statusnya kini telah berubah. Ia sudah menjadi istri seseorang.Semua terjadi begitu cepat, seperti mimpi yang mengabur di mata Dinda. Setelah melakukan pernikahan secara agama yang hanya disaksikan oleh Daniel, Ryan, dan Kevin, Bima mendaftarkan pernikahan mereka ke catatan sipil. Dengan gemetar Dinda meletakkan kembali dokumen pernikahannya di nakas dan menghela napas panjang. Mantranya bergema dalam hati. Tarik napas lalu keluarkan.Setelah merasa sedikit lebih tenang Dinda bangkit dan keluar dari kamar. Suara-suara dari ruang tengah terdengar samar. Saat Dinda menampakkan diri di sana, dia siambut dengan tepukan tangan dan ucapan selamat. Hanya ada empat orang, tapi Dinda harus menutup telinganya untuk menghindari kerusakan pada pendengarannya.Saat mereka puas membunyikan terompet, Daniel berada di bari
Sekali lagi, Dinda menjadi orang paling banyak dicari di internet setelah videonya dan Bima di rumah sakit menyebar. Tentu saja berita-berita itu muncul dengan berbagai judul yang penuh kehebohan dan kontroversi. Ada satu media menyebutkan Dinda sakit keras dan Bima melamarnya agar mereka menikah sebelum Dinda meninggal. Yang lain menyebutkan hubungan mereka seperti Cinderella di dunia nyata. Beberapa bahkan mulai menghitung aset yang akan Dinda dapatkan jika ia menikahi Bima.Dinda memijit kepalanya saat membaca berita-berita itu. Semakin lama terdengar semakin aneh. Entah dia harus bangga atau sedih karena orang-orang lebih tertarik pada kehidupan pribadinya daripada pekerjaan Dinda sebenarnya.“Yang ini setuju. Tapi ada yang maki-maki lo lagi, Din. Oh, pantesan. Fans Chelsea ternyata,” Reva sibuk membaca komentar-komentar di bawah berita Dinda dan Bima. Mereka bertiga─Dinda, Reva, dan Tania─sedang berada di apartemen Dinda. Reva sengaja datang setelah membaca berita kalau Dinda sed
Jika Bima melamarnya dua tahun lalu, Dinda akan menjadi orang yang paling bahagia di dunia. Dia akan dengan senang hati menerima pinangan itu. Tetapi keadaannya tidak sama lagi. Ada kemungkinan Dinda mengandung bayi pria lain. Dia tidak bisa membuat Bima menerima bayi itu juga. Rasanya sangat tidak adil bagi Bima jika Dinda menerima lamarannya dalam kondisi mengandung.Entah berapa banyak air mata yang ia keluarkan selama beberapa hari terakhir. Dinda menangis berhari-hari hingga rasanya tidak ada lagi yang tersisa. Hanya ada kekosongan di dalam hatinya. Bahkan dia tidak merasakan apapun saat melihat cincin permata di depannya.Tetapi jurang antara dirinya dan Bima justru semakin lebar dan dalam. Rasanya memang semesta tidak merestui mereka.“Aku akan menjawab setelah hasi tes keluar.”Bagi Dinda itulah yang paling masuk akal. Jika memang dia terbukti mengandung, jawabannya sudah jelas. Dinda akan menolak Bima. Tetapi jika hasilnya negatif, mungkin masih ada sedikit harapan bagi merek