Dinda mengeluh dalam hati. Baru hari pertama saja Bima sudah berkali-kali muncul di depannya. Dinda tidak yakin apakah hatinya akan sanggup jika terus-terusan bertemu Bima seperti ini.“Ada apa, Pak?”Bima mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Ruangan itu hanya berukuran sepuluh kali sepuluh meter dengan depalan set meja kursi yang dijejer berhadapan. Di ujung ruangan ada meja yang lebih besar milik Indra selaku ketua tim.“Ini jam makan siang. Semuanya sedang keluar, Pak,” Dinda memberikan penjelasan.“Saya tahu,” jawab Bima singkat.“Kalau begitu Pak Bima bisa kembali lagi nanti kalau jam makan sudah selesai.”“Kenapa kamu nggak makan siang?”“Saya banyak kerjaan. Bapak yang kasih saya kerjaan, masih ingat, kan?”Bibir Bima tertarik membentuk senyum tipis. Ah, ternyata menggoda Dinda masih terasa menyenangkan, pikirnya saat melihat Dinda berusaha keras menekan kekesalannya.“Jangan lupa makan siang.”“Saya bukan anak kecil yang harus diingatkan untuk makan,” balas Dinda ketus
Tatapan Dinda mengabur. Dia menghambur keluar dari ruangan Bima sebelum air matanya menetes dan kembali ke mejanya.Tarik napas. Tahan. Hembuskan.Dinda mencoba mengingat apa yang diajarkan pelatih yoganya saat mengajarinya meditasi. Setelah membuang beberapa menit dan pikirannya masih dipenuhi Bima, gadis itu menyerah. Selama ini, dia dibutakan oleh ketampanan dan kebaikan pria itu. Dinda menutup mata dan hatinya, meyakinkan diri kalau Bima juga menyayangi dan mencintainya. Meski tidak lagi bersama, Dinda masih berharap Bima memberikan alasan semacam tidak ada restu orang tua dan bahwa sebenarnya dia juga ingin mereka tetap bersama saat meminta maaf.Seharusnya Dinda tahu dia hanya akan kecewa karena mengharapkannya. Bima tidak pernah serius berhubungan dengannya. Dia tidak ingin membawa hubungan mereka ke tempat yang lebih jauh. Bima tahu masa depannya sudah ditentukan. Bersama Dinda hanyalah salah satu caranya memuaskan diri sebelum dia terikat. Bodohnya Dinda baru menyadarinya sek
Satu.Dua.Tiga.Bima tidak merasakan penolakan dari Dinda. Meski gadis itu diam saja, dia juga tidak mendorongnya menjauh. Merasa mendapat sinyal positif, Bima memagut bibir Dinda dan menciumnya dalam-dalam. Dia merasakan bibir Dinda bergerak setelah beberapa saat. Dipakainya kesempatan itu untuk menangkup wajah Dinda dan memperdalam ciumannya.Sebuah desahan lolos dari mulut Bima. Dia baru menyadari betapa dirinya merindukan Dinda. Dilepaskannya semua yang rasa yang tidak bisa dia ucapkan lewat ciuman itu.Di tengah ciuman mereka, tiba-tiba saja Dinda mendorong Bima menjauh. Gadis itu segera bangkit dan berlari keluar.Bima berdiri mematung. Kedua tangannya naik dan mengusap wajahnya furstasi. Dia masih belum mengerti apa yang baru saja terjadi. Bagaimana bisa dia membiarkan dirinya mencium Dinda? Mengapa dia tidak bisa menahan diri saat berada di dekat gadis itu?Getaran ponselnya yang berada di saku celana membuat lamunan Bima buyar. Bima membaca nama di layarnya dan mengeluh dala
Dengan setengah berlari Dinda masuk ke ruang rapat. Pil tidur itu membuatnya bangun kesiangan. Timnya menjadwalkan rapat pagi itu untuk membahas kelanjutan rencana produk baru mereka. Seluruh anggota timnya sudah ada di sana saat Dinda membuka pintu. Tetapi ada wajah yang tidak ingin Dinda lihat duduk di ujung.Dia masih belum mengerti mengapa Bima memimpin rapat itu. Sebuah senyum kaku terbentuk di wajah gadis itu.“Maaf, saya terlambat,” katanya. Dia meninggalkan tempatnya di pintu dan berjalan menuju kursi paling jauh dari Bima.Ruangan itu hening. Dinda merasa ada yang salah. Dia meletakkan catatannya di meja dan menurunkan tubuhnya untuk duduk.“Apa di sini nggak ada yang bisa bikin kopi?”Bentakan Bima membuat Dinda terlonjak tepat sebelum pantatnya menyentuh kursi. Dia memandang sekelilingnya, tak mengerti apa yang sedang terjadi.“Ada yang bisa bikin kopi dengan benar?” tanya Bima lagi, dengan nada lebih rendah.Tidak ada jawaban. Mereka hanya saling berpandangan dalam diam.A
Dinda menarik lepas tangannya dari genggaman Bima begitu menyadari kedua orang tua pria itu ada di sana. Meskipun begitu, dia terlambat. Kartika sudah sempat melihat tangan Bima yang memegang miliknya.“Sedang apa kamu di sini?” Kartika menghambur masuk diikuti suaminya. Dia begitu terkejut melihat Dinda di sana, bersama dengan Bima. Setelah tidak mengetahui kabar Dinda lebih dari dua tahun, bertemu dengan gadis itu lagi di kantor anaknya adalah hal yang tak pernah terlintas di kepala Kartika.Bima berpaling menghadapi ibunya, maju selangkah dan membuat Dinda terlindung di belakangnya. “Kenapa Mama kemari tanpa pemberitahuan?” tanya Bima.“Jangan mengalihkan pembicaraan. Mama tanya sedang apa dia di sini?” Kartika menunjuk Dinda yang ada di belakang Bima.“Ma!”“Saya bekerja di sini, Bu,” jawab Dinda. Dia melangkah keluar dari persembunyiannya di balik punggung Bima. “Saya sedang melaporkan progress dari proyek peluncuran produk yang sedang kami kerjakan.”“Di jam makan siang?” sergah
“Dua tahun lalu,” Bima memulai dengan suara tegang, “kamu hamil dan keguguran. Benar?”Dinda merasa lantai tempatnya berpijak lenyap dan ia terhempas ke dalam lubang yang dalam. Kakinya tak kuat lagi menopang berat tubuhnya. Tangannya lalu bersandar pada punggung sofa agar dia tetap bisa berdiri. Terlalu banyak yang terjadi hari ini. Mimpi buruk, serangan panik, dan Bima yang mengetahui rahasianya.“Jawab, Din.”Bima menatap tajam gadis di depannya. Ia ingin berlari dan meraih Dinda yang pucat ke pelukannya. Tetapi Bima ingin tahu apa yang telah terjadi.“Din...”“Mas Bima mendengar semua itu dari siapa? Pak Iskandar?” Dinda balik bertanya dengan suara bergetar.“Iya. Dan kalau kamu berbohong, saya akan tahu.”Dinda tidak punya pilihan. Lebih baik Bima mendengar dari mulutnya sendiri daripada versi orang lain yang mungkin berbeda. “Yang Mas Bima dengar itu benar. Saya memang hamil dan akhirnya keguguran.”“Bagaimana...,” Bima tak sanggup menyelesaikan kalimatnya.“Bagaimana saya kegug
Dinda mengeluh dalam hati. Tidak mungkin baginya untuk mengabaikan Chelsea. Dia mengangkat kepalanya dan tersenyum formal pada sang bintang.“Halo, Mbak,” kata Dinda.“Saya nggak tahu kamu kerja di sini,” ucap Chelsea sambil mengernyit. Tidak ada yang mengatakan padanya kalau Dinda dan Bima berada di kantor yang sama. “Udah lama?”“Sudah dua tahun, Mbak.”Mata mereka beradu, saling menilai. Chelsea masih tampak seperti dulu. Cantik dan modis. Dinda sudah bisa menebaknya. Justru mata Chelsea yang melebar saat melihat Dinda sekarang. Gadis itu sungguh berbeda dengan yang ia temui dulu. Di depannya bukan lagi gadis malu-malu yang tidak berani menatap mata orang yang berbicara padanya. Gadis itu telah menjelma menjadi wanita muda yang cantik, percaya diri, dan berani.Chelsea menjadi tidak tenang. Ia tidak pernah tahu apa yang terjadi pada Dinda dua tahun lalu. Kartika hanya mengatakan kalau Dinda ingin berhenti bekerja pada keluarganya dan meninggalkan rumah. Tentu saja dia senang menden
Bima hampir tidak mempercayai apa yang terjadi. Tangannya mengelus kepala Dinda, merasakan surai halusnya di antara jari-jarinya. Butuh beberapa detik baginya untuk yakin kalau ia tidak sedang tidur dan bermimpi. Bima membalas ciuman Dinda dengan seluruh perasaan dan rasa frustasinya. Ada begitu banyak yang ingin ia sampaikan lewat ciuman itu. Penyesalan, permintaan maaf, perasaannya, harapannya, rasa takutnya. Bima ingin Dinda mengerti.Ciuman Dinda terasa seperti kelegaan setelah keputusasaan. Seperti oasis di padang gurun. Seperti udara bebas setelah penjara.Dinda lalu mundur perlahan. Wajahnya tampak terkejut. Ia menangkupkan tangan ke mulutnya dan menahan teriakkannya.“Maaf,” gumamnya.Bima menatap Dinda dengan bingung. Mengapa Dinda begitu terkejut padahal dia yang memulai semuanya? Akan sangat konyol jika dia menganggap mereka ada di alam mimpi.“Aku.. aku tadi mimpi...”“Kamu mimpi kita ciuman?” Bima tak tahan untuk menggoda Dinda yang terlihat begitu menggemaskan. Gadis itu
“Kalian serius?” tanya Iskandar. Pandangannya tertuju pada sang putra. Balita di gendongannya merengek dan dia mengelus punggung anak kecil itu untuk menenangkannya. “Kalian nggak sedang main-main, kan?”Bima mengangkat satu alisnya. “Kenapa aku harus main-main dengan hal seperti ini, Pa?”“Karena kamu selalu menolak waktu Mama membahas pernikahan dan menghasilkan keturunan!” semprot Kartika. Wajahnya memerah, entah karena bahagia atau marah mendengar kabar itu. Dia lalu berjalan mendekati Bima hingga mereka berhadapan.“Mama nggak mau ngucapin selamat?” tanya Bima dengan senyum di bibirnya.Kartika memukul lengan putranya itu sebelum memeluknya. “Kenapa harus seperti ini, Bim? Kenapa kamu membuatnya jadi rumit?”“Aku bikin rumit?” Bima mendengus tak percaya. “Mama tuh, yang ribet,” gerutunya, yang membuatnya mendapat sebuah pukulan di punggung.“Mama cuma mau yang terbaik buat kamu, Sayang.” Kartika melepas pelukannya dan mundur satu langkah. Tubuhnya berputar hingga sekarang dia mena
Setelah mengucapkan terima kasih pada Cindy yang meresepkan obat dan suplemen untuk Dinda, Bima tidak mengatakan apa-apa lagi. Selama perjalanan pulang Dinda menahan dirinya untuk tidak menangis sementara Bima menyetir dalam diam. Bungkamnya Bima membuat dirinya takut dan khawatir.Seharusnya Dinda senang karena rencananya berhasil. Dia hamil. Tetapi melihat reaksi Bima─meski sudah ia bayangkan sebelumnya─tetap membuatnya takut dan khawatir. Dalam hatinya diam-diam Dinda berharap Bima telah berubah pikiran. Dinda membayangkan meskipun terkejut, Bima akan dengan gembira menerima kehamilannya. Setelah itu mereka akan menemui Kartika dan memberitahu kabar itu.“Bagaimana bisa?” tanya Bima dengan nada datar saat mereka tekah berada di ruang duduk apartemen. Dia duduk di samping Dinda yang sedang melepas sepatunya. Rambutnya berantakan karena beberapa waktu tadi dia berkali-kali mengusap kepalanya dengan kasar. “Aku selalu hati-hati.”Dinda tidak tahu mana yang lebih menyakitkan. Kehilanga
Dinda tahu cepat atau lambat hal seperti itu akan terjadi. Tetapi dia tidak berpikir malam ini, di tempat dengan orang-orang yang mengagungkan tata krama dan etika berkumpul. Dan tidak di depan Kartika.Sekilas Dinda bisa merasakan suasana di lingkaran itu menjadi hening dan canggung. Mereka menanti jawaban Felix dan bersiap menilainya.Tetapi pria itu tampak santai. Bahkan bibirnya masih menyunggingkan senyum tipis. “Memangnya Dinda sekontroversial apa, Bu Ratna?”“Merebut tunangan perempuan lain dan berhubungan dengan bos sendiri bukan sesuatu yang kontroversial?”Felix mengibaskan tangannya seperti mengusir lalat yang mengganggu. “Bu Ratna belum dengar berita terbaru? Atau mungkin Ibu Kartika belum menjelaskan?”Seketika semua orang di sana mengalihkan perhatian pada Kartika, menanti tanggapan dan reaksinya. Tentu saja. Topik seperti ini adalah sesuatu yang banyak diminati, hampir di semua kalangan.Dinda melihat kehebatan Kartika dalam mengontrol emosinya. Wajahnya tetap tidak ter
Bima selalu berhati-hati saat berhubungan dengan Dinda. Selain di waktu-waktu saat Dinda tidak dalam masa ovulasi, Bima selalu menggunakan pengaman. Tujuannya sudah jelas. Walapun status mereka telah berubah, Bima sepertinya masih tidak menginginkan kehadiran seorang anak.Tetapi yang Dinda rasakan justru sebaliknya. Dari ucapan beberapa orang termasuk Daniel, Dinda menyimpulkan keinginan terbesar Kartika saat ini adalah memiliki cucu dari putra satu-satunya. Untuk sekali ini, Dinda berada di kubu yang sama dengan ibu mertuanya itu. Terlepas dari masa lalunya, Dinda ingin mencoba lagi. Dia menginginkan sebuah keluarga.Jadi rencananya adalah menggoda Bima hingga ia terlena dan lengah hingga pria itu tidak lagi bisa berpikir jernih untuk memakai pengaman atau menggunakan pencegahan lainnya. Sebenarnya tidak sulit. Dinda hanya perlu memberanikan diri dan menebalkan muka.Seperti saat ini.Dia menyambut kepulangan Bima─yang akhir-akhir ini selalu pulang larut─dengan mengenakan lingerie b
Setelah menjadi istri seorang Bima Sakti Iskandar, ternyata tidak banyak yang berubah dalam rutinitas sehari-hari Dinda. Dia masih mengambil beberapa tawaran pemotretan iklan yang datang padanya. Meski Daniel ingin Dinda melebarkan sayap ke bidang lain setelah kesuksesan debut sebagai model video musik, Bima tidak menyetujui ide itu. Akhirnya setelah perdebatan panjang dan melelahkan─antara Bima dan Daniel tentu saja, karena Dinda hanya duduk diam menonton mereka berdua─Dinda hanya akan menjadi foto model.Dinda hanya mengangguk setuju saat Bima menanyakan pendapatnya karena ia sudah bertekad untuk mengikuti apapun keputusan pria itu tentang pekerjaannya. Bima berkali-kali mengatakan dia sanggup menanggung hidup Dinda sehingga dia tidak perlu bekerja. Tetapi Daniel tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada di depannya. Jalan Dinda sudah terbentang dengan mulus dan Daniel tidak bisa membiarkan dia berpindah halauan begitu saja.“Tunggu sampai agensi gue lumayan gede ya, Din. Abis
“Kamu yakin?” Bima menatap Dinda sambil mengelus sisi wajahnya. Betapapun besar keinginannya saat ini untuk berada di dalam tubuh Dinda, dia akan menghentikan semua yang membuat sang istri tidak nyaman.Dinda mengangguk. Napasnya berangsur stabil. “Please.”Tanpa menunggu lagi Bima kembali mencium bibir Dinda dengan semua tekad hatinya. Dia bersumpah akan membuat Dinda hanya mengingat sentuhannya, ciumannya, mendesah karenanya, dan memanggil namanya saat berada di puncak.Dengan sabar dan penuh kelembutan Bima menjelajahi seluruh tubuh Dinda. Menciuminya, menghisapnya hingga meninggalkan jejak di beberapa tempat. Sentuhan-sentuhannya di beberapa tempat seringkali membuat wanita itu menggigil. Setiap desahan yang keluar dari mulut Dinda adalah pelecut semangatnya.“Look at me, Din,” bisik Bima serak. “Keep looking at me.”Dinda menurut. Dia menatap Bima yang membayangi di atasnya.“Jangan tutup mata kamu.”Dinda hanya mengangguk.Puas dengan jawaban Dinda, Bima membenamkan dirinya dala
Dinda tidak mengenakan gaun putih dan membawa buket mawar di tangannya. Dia tidak berjalan didampingi ayahnya menuju altar. Tidak ada tamu undangan yang memberinya selamat. Tetapi statusnya kini telah berubah. Ia sudah menjadi istri seseorang.Semua terjadi begitu cepat, seperti mimpi yang mengabur di mata Dinda. Setelah melakukan pernikahan secara agama yang hanya disaksikan oleh Daniel, Ryan, dan Kevin, Bima mendaftarkan pernikahan mereka ke catatan sipil. Dengan gemetar Dinda meletakkan kembali dokumen pernikahannya di nakas dan menghela napas panjang. Mantranya bergema dalam hati. Tarik napas lalu keluarkan.Setelah merasa sedikit lebih tenang Dinda bangkit dan keluar dari kamar. Suara-suara dari ruang tengah terdengar samar. Saat Dinda menampakkan diri di sana, dia siambut dengan tepukan tangan dan ucapan selamat. Hanya ada empat orang, tapi Dinda harus menutup telinganya untuk menghindari kerusakan pada pendengarannya.Saat mereka puas membunyikan terompet, Daniel berada di bari
Sekali lagi, Dinda menjadi orang paling banyak dicari di internet setelah videonya dan Bima di rumah sakit menyebar. Tentu saja berita-berita itu muncul dengan berbagai judul yang penuh kehebohan dan kontroversi. Ada satu media menyebutkan Dinda sakit keras dan Bima melamarnya agar mereka menikah sebelum Dinda meninggal. Yang lain menyebutkan hubungan mereka seperti Cinderella di dunia nyata. Beberapa bahkan mulai menghitung aset yang akan Dinda dapatkan jika ia menikahi Bima.Dinda memijit kepalanya saat membaca berita-berita itu. Semakin lama terdengar semakin aneh. Entah dia harus bangga atau sedih karena orang-orang lebih tertarik pada kehidupan pribadinya daripada pekerjaan Dinda sebenarnya.“Yang ini setuju. Tapi ada yang maki-maki lo lagi, Din. Oh, pantesan. Fans Chelsea ternyata,” Reva sibuk membaca komentar-komentar di bawah berita Dinda dan Bima. Mereka bertiga─Dinda, Reva, dan Tania─sedang berada di apartemen Dinda. Reva sengaja datang setelah membaca berita kalau Dinda sed
Jika Bima melamarnya dua tahun lalu, Dinda akan menjadi orang yang paling bahagia di dunia. Dia akan dengan senang hati menerima pinangan itu. Tetapi keadaannya tidak sama lagi. Ada kemungkinan Dinda mengandung bayi pria lain. Dia tidak bisa membuat Bima menerima bayi itu juga. Rasanya sangat tidak adil bagi Bima jika Dinda menerima lamarannya dalam kondisi mengandung.Entah berapa banyak air mata yang ia keluarkan selama beberapa hari terakhir. Dinda menangis berhari-hari hingga rasanya tidak ada lagi yang tersisa. Hanya ada kekosongan di dalam hatinya. Bahkan dia tidak merasakan apapun saat melihat cincin permata di depannya.Tetapi jurang antara dirinya dan Bima justru semakin lebar dan dalam. Rasanya memang semesta tidak merestui mereka.“Aku akan menjawab setelah hasi tes keluar.”Bagi Dinda itulah yang paling masuk akal. Jika memang dia terbukti mengandung, jawabannya sudah jelas. Dinda akan menolak Bima. Tetapi jika hasilnya negatif, mungkin masih ada sedikit harapan bagi merek