Persiapan makan malam sudah terhidang di meja, aku menunggu bersama Bian di meja makan.
Ini sudah pukul 19.00 kami hanya berdua karena Bi Asih pulang saat sore dan kembali pagi hari.
"Mah, Papah masih lama ya?" protes Bian nampak bosan.
"Bian lapar, Nak?"
Anak usia 7 tahun itu mengangguk, aku kembali menoleh jam. Sudah pukul 19.30 deru suara mobil Mas Rian masih belum terdengar.
Aku menatap Bian yang menahan rasa laparnya, lalu mengambil piring dan menyiduk makanan.
"Makanlah sayang," ucapku sembari menyodorkan piring.
Bian menatapku iba, "Mamah, nggak makan?"
"Hm ... Mamah belum lapar. Jadi, mau menunggu Papah pulang," jawabku dengan senyum yang mengembang, tepatnya dipaksakan.
Aku melihat bagaimana anak itu makan dengan lahap, menghabiskan makanannya dan mencium pipiku sebelum beranjak pergi dari meja makan.
"Terimakasih makanannya Mah, itu sangat enak dan Bian sangaaaat suka," pujinya.
Aku hanya menatapnya, merasakan apakah itu cinta atau hanya sebagai ucapan basa-basi saja.
"Sama-sama sayang," jawabku mengelus rambutnya.
Tepat pukul 20.15 menit aku mendengar seseorang mengetuk pintu. Bergegas aku berjalan ke pintu depan dan melihat laki-laki yang telah berjanji untuk datang tidak telat itu sudah ada di depan mata.
"Maaf ya, tadi ada klien yang harus mas temui dulu," ucapnya seolah merasa dirinya bersalah karena mengingkari janji.
"Bersihkan tubuhmu, Mas," titahku tanpa mempermasalahkan kedatangannya yang terlambat.
Ia masuk ke kamar mandi, sedangkan aku hendak menutup layar laptop yang dibuka saat menunggunya.
Pesan di layarnya masih terlihat jelas.
To :
Riana_Maharani
Aku sudah menunggumu di tempat biasa Riana, datanglah sebentar saja.
______
"Kamu belum makan kan, Mas?" tanyaku sembari memberikannya handuk wajah.
Dia menggeleng.
"Kalau begitu, mari makan," ajakku.
Mas Rian mengikuti, tertegun sebentar sebelum kulihat dahinya berkerut. Ia pasti heran dengan makanan yang terhidang begitu banyak dan istimewa.
"Mungkin makanannya sudah dingin, dan rasanya tidak seperti saat pertama di hidangkan. Tapi, akan tetap sama jika Mas menyukai makanannya. Betul kan Mas?"
"Heum ...." Ia nampak kaget dengan pertanyaanku yang terlontar secara tiba-tiba. Tersenyum tipis, lalu duduk di kursi biasa ia menikmati hidangan.
Aku menyiduk nasi dan lauk yang Mas Rian suka. Tanpa menolak atau pun meminta ia hanya menerima dan mulai menyuap. Tidak ada candaan, guyonan, apalagi pembahasan panjang, kami hanya sama-sama diam, membisu dan menghabiskan makanan. Dingin, sepi, baru kurasakan saat ini. Biasanya aku tidak merasakan apa-apa selain memaklumi, 'kami sedang makan jadi tidak perlu berbicara, apalagi hal yang tidak penting.' Tapi, entah kenapa kini aku menginginkannya.
Mas Rian menyeka mulutnya setelah merasa cukup, ia tersenyum dan berkata, "Makanannya sangat enak," lalu pergi lebih dulu meninggalkanku yang masih menatap piring-piring lauk yang masih penuh.
Aku berjalan gontai memperhatikan penampakan keluargaku yang sebenarnya, kutengok Bian sedang sibuk dengan mainannya di kamar, Mas Rian berada di ruang tengah di depan layar laptopnya, biasanya aku bersantai di sofa dan berselancar di medsos. Tertawa, bersedih melihat dan membaca kabar yang mereka bagikan. Sedangkan keluargaku yang begitu dekat, aku biarkan mereka sibuk dengan dunianya.
Selama delapan tahun aku tidak menyadari adanya lubang itu dalam keluarga kami, tidak adanya kehangatan, cinta dan rasa saling memiliki.
Aku mendekati Mas Rian, memeluknya dari belakang. Dia merasa kaget dan segera menutup laptopnya.
"Mas, masih sibuk ya?" tanyaku yang sudah jelas melihat apa yang sedang dilakukannya.
"Enggak, ada apa?" tanyanya terbata. Padahal aku melihat jelas ia sedang menunggu balasan e-mail dari Riana.
"Nggak apa-apa, hanya ingin memelukmu seperti ini saja," jawabku pelan.
Mas Rian terlihat kaku, hal ini memang sangat langka aku lakukan. Ia mengelusik tanda kurang nyaman. Itulah sebabnya aku tidak melakukannya, ia tidak senang saat aku bermanja dan lebih suka menyendiri.
Ternyata alasannya bukan karena ia lebih suka menyendiri, tapi ah ... sungguh sangat sakit.
"Mas."
"Heum."
"Nggak," jawabku lagi. Melepaskan pelukan.
Mas Rian masih diam tanpa merespon lebih. Aku berjalan menuju kamar Bian, memeluknya dengan erat. Lalu, ia berbalik, menatap sesaat dan menghujaniku dengan ciuman.
"Apakah Mamah kangen aku?" Matanya bergerak-gerak menelaah sikapku.
"Ya. Mamah sangat rindu, bukankah sangat jarang Mamah melakukan ini padamu?" tanyaku dengan tangis yang hampir pecah.
"Aku mengerti Mamah bekerja dan lelah. Tapi, aku tahu Mamah sangat mencintaiku," tuturnya.
"Apakah kamu mencintai Mamah?" tanyaku lagi dengan suara yang semakin berat.
"Tentu saja. Aku sangat mencintai Mamah."
Kupeluk Bian lebih erat, hati yang kupertahankan untuk kuat akhirnya luluh juga. Ia menumpahkan lava kesedihan yang sedari tadi berjejal ingin keluar.
"Papah, kemarilah," ajak Bian, mengulurkan tangan pada Mas Rian yang tidak kusadari dia sudah berdiri di depan pintu.
Aku segera menyeka air mata dan membuang pandangan.
Mas Rian duduk tepat di sampingku, sedangkan wajahnya berhadapan dengan Bian.
"Pah, Mamah sedang sedih. Aku sudah mengatakan kalau aku sangat mencintainya, tapi rasa sedihnya belum hilang. Katakanlah kalau Papah sangat mencintainya juga agar Mamah merasa senang dan bahagia," tutur Bian.
Mas Rian terdiam mendengar ocehan Bian dan menatapku, "Ada apa?" tanyanya. Mungkin dia merasakan ada hal yang tidak biasa dari diriku.
"Apa kamu lelah, dan ingin pergi liburan lebih awal," tanyanya. Tanpa memenuhi permintaan Bian yang sebenarnya lebih sederhana, tapi tidak pernah bisa Mas Rian berikan, ia malah menawari sesuatu yang lain sebagai penggantinya.
"Tidak, aku tidak ingin itu."
"Lalu?"
Kutatap bola mata itu, mencoba menyelami apa yang tersirat di dalamnya.
"Aku ingin sesuatu yang tidak bisa Mas berikan untukku, tapi bisa Mas berikan untuk orang lain."
Bersambung ....
Bola mata lelaki itu bergerak perlahan, mencoba memahami perasaan yang aku sembunyikan, lalu tatapannya meneduh, mengambil tanganku dan menggenggamnya."Tidak semua hal yang kita inginkan bisa dimiliki, kamu sudah mendapatkan banyak hal yang tak sebanding dengan apa yang kamu inginkan.""Tidurlah, ini sudah malam," ucapnya sebelum pergi, mengelus rambut Bian, dan berjalan keluar."Mah," panggil Bian membuyarkan lamunan. Aku baru saja mencoba memahami perkataan yang Mas Rian utarakan.Anak lelaki itu menyelusup dalam pangkuan, menempatkan dirinya agar bisa berbaring."Aku punya Papah dan Mamah, itu jauh lebih berarti dari segalanya," ucapnya sembari memandang wajahku yang masih memikirkan perkataan Mas Rian.Tak bisa disangkal Bian anak yang cerdas, ia pandai membaca situasi, memahami perasaan orang tuanya."Tidurlah sayang." Aku mengelus
Mendengar ucapan Bian, Riana terlihat kaget sama sepertiku, namun ia segera menyunggingkan senyum indahnya."Kamu anak yang manis dan baik sayang," jawab Riana menanggapi, "kalian akan jadi teman yang saling menguatkan." Lanjutnya.Aku melihat kebaikan dan kasih sayang yang dipancarkan Riana. Ia sosok wanita yang baik, seandainya ia bukan wanita yang menempati hati suamiku. Kami pasti akan sangat dekat.Aku menitipkan Bian pada Riana dan meninggalkan mereka sebentar karena ada hal yang harus diselesaikan di cafe.Riana setuju dan berkata agar aku tidak khawatir, di cafe ada seorang wanita yang membuat keributan, menumpahkan makanan pada wanita lain yang lebih awal datang dengan seorang pria."Kamu sudah gila, hah!" sentak sang pria."Kamu yang gila Mas, bermain wanita di belakangku. Kamu lupa aku baru saja melahirkan anakmu!" teriaknya, meraih rambut wanita i
"Mas," gumamku lagi tak percaya. Kedua bulu alisnya yang terbal menyatu seperti ulat bulu. Tubuhnya yang tinggi berdiri tepat di hadapanku."Apa yang terjadi?""Tidak." Gelengku cepat."Ini sungguh kamu kan, Mas?" Kali ini bukan hanya bulu alisnya yang menyatu, dahinya pun ikut berkerut."Dari mana kamu, Mas?""Aku?""Iya, Mas, dari mana?""Dari gedung sebelah, ada rapat.""Oh, ya," jawabku menggaruk kepala yang tidak gatal."Kamu mau makan?" tanyanya, setelah ia menyadari kami berdiri di depan resto saat ini."Nggak." Aku kembali menggeleng. Memegangi wajahnya yang akan melihat ke dalam restoran."Mas bisa menemani sebentar jika kamu ingin makan," ucapnya lagi hendak berbalik badan. Sigap aku segera mengalungkan tangan ke lehernya. Melirik ke arah r
Mendengar kebohongan Mas Rian aku enggan menanggapi, membiarkannya berbicara sendiri."Bu, kerusakannya cukup parah, mobil harus kami bawa ke bengkel," seorang petugas derek tiba-tiba memberitahu."Oh begitu.""Terus ke rumah Kakeknya gimana Mah? Papah juga nggak datang," ucap Bian terdengar sedih.Aku memeluk Bian, mengikuti petugas derek untuk melihat kerusakan ban mobil."Mamah juga bingung sayang," jawabku pelan. Sungguh Mas Rian benar-benar tega membiarkan kami terlantar di jalanan seperti ini dan dia lebih mementingkan bertemu dengan wanita yang sangat ingin ditemuinya itu."Halwa."Seseorang memanggil dari arah samping. Aku segera menoleh."Radit, kok bisa di sini?""Kebetulan lewat, perasaan kenal, jadi aku memutuskan untuk turun," jelasnya sembari melihat mobilku yang sedang berusaha di angkat petugas derek."Kenapa mobilnya?" tanyanya lagi."Aku hilang fokus, mobil oleng masuk gorong-g
Sampai di rumah ayah dan ibu mertua, kami disambut dengan bahagia oleh mereka.Kebahagiaan itu terpancar jelas dari wajah ayah menyambut kedatangan Bian. Sedangkan aku mengobrol bersama ibu dan Sindi."Ibu sangat senang kamu datang," ucap ibu berkali-kali, matanya hampir berkaca-kaca saat melihat Bian tumbuh sehat dan ceria."Meski ...." Ucapannya terjeda. Aku tahu, ibu pasti mengharapkan Mas Rian datang."Besok, Mas Rian akan datang untuk menjemput Bu," jawabku membesarkan hatinya."Untuk apa? kalau dia datang hanya untuk sekedar menjemput dan langsung pergi," ucap Ibu lagi. Nampak terlihat kekecewaan dari raut wajahnya."Ini sudah malam Bu, biarkan Mbak Halwa beristirahat." Sindi menimpali, mengelus lengan ibunya."Ya sudah, kamu istirahat ya." Ibu akhirnya keluar dari kamar. Aku tidur di kamar Mas Rian saat ia masih di rumah ini, masih nampak rapi dan terurus."Mbak kasian sama Ibu, ia pasti sangat merindukan anaknya.
"Ini hanya masa lalu," ucapnya pelan. Mengumpulkan lembaran foto itu dan menyimpannya di atas nakas.Ia berjalan mendekat, duduk di ujung tempat tidur.Aku masih diam, menyembunyikan tangisku dalam sunyi."Hei, sudahlah, itu hanya foto lama yang lupa aku buang," lanjutnya lagi, beringsut mendekat."Lepaskan!" Aku menepis tangannya yang mencoba menyentuh lengan."Bukankah sudah kubilang jangan ke rumah ini," ujarnya lantang tak ingin menerima penolakan.Aku terbangun dan menatapnya, "Kenapa? agar aku tidak tahu kelakuanmu?""Kelakuan apa? sudah kukatakan foto itu hanya masa lalu.""Masa lalu yang sengaja Mas simpan dengan baik di hati dan kamar ini?" jawabku memalingkan wajah."Aku hanya lupa membuangnya Halwa, itu saja," belanya lagi."Heum! lupa." Aku berdecak.
Deru suara mobil terdengar di halaman, aku segera membawa Bian keluar."Hentikan Halwa!" Tanganya mencoba meraih."Ayo sayang kita pulang," ajakku pada Bian."Kamu mau pulang? mari pulang sama Mas, bukan sama orang lain." Tangan Mas Rian menarik lengan Bian."Mamah," rengek Bian mencoba menolak."Lepaskan Bian Mas, dia kesakitan!""Aku tidak akan melepaskan kalian."Aku kembali menghampiri, menatap bola matanya."Kalau begitu lupakan Riana, dan cintai aku!" ucapku menekan."Aku tidak bisa.""Heum. Egois kamu Mas!" Kutarik Bian dan melangkah lebar menuju mobil Radit."Halwa, kamu mash istriku!" cegatnya lagi."Tinggalkan dia! jangan ikut campur urusan keluargaku," sentak mas Rian pada Radit agar ia kembali.Radit ya
Aku menengok celah pintu, Mas Rian dan ayah duduk berhadapan di ruang tamu. Mereka terlihat sedang berbicara serius, aku ingin mendengarnya meski samar."Berkacalah dari masalalu, jangan lakukan kesalahan yang sama," ujar ayah menerawang."Aku tidak akan melakukan kesalahan kalau ayah tidak bersikeras melarangku saat itu," jawab Mas Rian tegas."Pelankan suaramu Rian! Hargai perasaan istrimu saat ini. Apakah memiliki dua anak tidak cukup mampu membuatmu berubah?" tanya ayah. Aku semakin menajamkan pendengaran, mendengar suara ayah yang semakin pelan."Kami harus menanggung akibat keegoisan ayah, dan Riana yang paling menderita," bela Mas Rian seakan kebencian masalalu itu tidak pernah lenyap."Apa yang membuatnya menderita? dia menikah dan bahagia. Kamu saja yang terlalu berpikir dangkal sampai tidak bisa melihat orang di sampingmu yang setia memberi kebahagiaan.
"Sudah bersih aja nih pengantin baru," goda Ibu saat aku menghampirinya di dapur.Aku hanya tersenyum kecut alias asem. Malam pertama yang gagal maning itu membuatku sedikit kurang mood."Ibu, pagi-pagi udah sibuk di dapur, nggak lelah?" tanyaku, sembari mengambil apel dan memotongnya dadu."Sudah biasa ibu menyiapkan makan sendiri, Hal," jawabnya sembari menyodorkan hasil masakannya pagi ini.Aku melihat banyak makanan yang sudah ibu siapkan, menunya persis sama seperti yang sering dimasak Radit. Buah kelapa jatuh tidak jauh dari pohonnya, keahlian memasak Radit sudah pasti di turunkan dari Ibu."Pagi semua?" sapa Radit bersama anak laki-lakinya.Aku dan ibu saling melirik dan menyipitkan mata. Lihatlah mereka, dari mulai gaya rambut sampai gaya pakaian hampir sama, udah kaya kembar beda usia."Berdoa nggak keramasnya?" tanya ibu tiba-tiba.Aku yang masih memotong buah-buahan hampir saja terpeleset pisau. Lalu, berbalik ke arah ibu.Ibu berdiri di depan Radit sekarang, saat kuperhat
Brugh! Aku menoleh, Bian menjatuhkan tubuhnya di atas kasur, tangan dan kakinya terlentang berusaha memenuhi ranjang."Bian mau bobo di sini," ujarnya.Aku menyipitkan mata, entah apa maksudnya karena dari pertama pindah ke rumah ini, tidak pernah sekali pun Bian meminta tidur di kamar ini.Tanganku yang sedang mengganti popok Khawla segera berhenti, meminta suster untuk meneruskannya."Apakah Bian lelah?" tanyaku.Dia mengangguk. Ini sudah pukul 21.00 namun tamu yang datang ke pernikahan kami masih saja ada. Radit bahkan belum terlihat, ia masih sibuk melayani tamu."Kenapa Bian mau tidur di kamar Mamah?" tanyaku penasaran."Papah, pasti tidur di sini kan Mah? jadi Bian mau tidur sama Papah," jawabnya polos."Ouh ...." Aku mengangguk.Ikut duduk di samping ranjang dan menatap bola mata Bian yang memandangku tanpa berkedip."Jadi, bukan mau tidur sama Mamah ya?" tanyaku lagi.Wajahnya menggeleng cepat."Baiklah," ucapku, hendak beranjak.Brugh! Suara itu membuatku terkejut.Saat meno
Ayah menatap kami sesaat, lalu berjalan mendekat.Hatiku sudah tidak karuan, keringat dingin menjalar ke tangan. Radit memegang tanganku yang bergetar."Tenanglah," ucapnya pelan.Ayah berhenti di hadapanku sekarang, berdiri dan menatap. Aku dan Radit ikut berdiri untuk menghormatinya. Mata itu menatap lekat, mencoba menyelami perasaanku saat ini."Nak," sapanya.Hatiku bergemuruh, entah kapan sapaan itu terucap dari bibirnya. Bahkan ketika aku terpukul akan kepergian ibu, ayah tidak pernah menyapaku sehangat ini."Selama kamu ada, entah kapan aku pernah menjadi seorang ayah untukmu.Keterpaksaan ayah menikahi ibumu membuatku terpaksa harus menerimamu juga. Ayah tidak pernah berencana untuk memiliki anak dari ibumu karena pernikahan kami hanya untuk sementata. Namun takdir berkata lain, kamu tiba-tiba lahir dan membuatku terpaksa bertahan dengan pernikahan itu.Kebaikan dan ketulusan Dinda yang diturunkannya padamu, tidak membuatku lantas bisa menerima kalian, hingga aku benar-benar p
"Dit.""Heum."Radit yang sedang memegang ponsel berbalik melihatku, matanya seolah terpesona dan takjub. Aku berjalan anggun memakai gaun putih mendekatinya."Bagaimana?" tanyaku malu-malu. Pipi terasa panas, bisa kuperkirakan ia memerah saat ini. Aku segera menundukkan wajah saat tatapan Radit membuatnya semakin merona."Eits."Ponsel yang dipegang Radit hampir saja jatuh, ia tersenyum kecut dan segera mengantonginya.Tatapannya begitu beda, ia nampak seperti orang yang baru saja melihatku setelah begitu lama kami tidak bertemu, entah apa yang ada dalam pandangannya saat ini.Wajahku semakin tertunduk malu, kenapa dia memandangku seperti itu?Radit menghela napas bahagia hingga terdengar suara yang tidak bisa disembunyikannya.Ia berdiri kikuk menghampiri. Mengangkat wajahku lembut."Bagaimana kamu bisa secantik ini Halwa?" ucapnya dengan mata berkaca-kaca."Aku serasa menemukan Halwa 8 tahun yang lalu, saat jiwaku remuk karena mimpi menikahimu lenyap tergerus penyesalan.Tidak ada
"Kenapa kamu sudah pulang, Mas?" Suara Sarah_istri Bagus yang dinikahinya 13 tahun yang lalu terdengar menggema dari ruangan tv.Melihat suaminya yang hanya menundukkan kepala tanpa merespon membuat Sarah geram."Mas, kau jangan coba-coba mulai males ya bekerja!" sentaknya.Ia bangkit dari duduk, meninggalka film kesukaannya dan menghentakkan kaki di lantai. Menghampiri Bagus yang masih berjalan menunduk tanpa merespon."Mas!" Tangannya membalikan tubuh Bagus kasar.Bagus berbalik, wajahnya sayu dan lelah, dasi di kemejanya sudah melonggar dan berantakan."Ada apa Mas?"Mata Sarah mulai menyelidik, melihat wajah suaminya yang tak biasa."Ada apa Mas, katakan!"Sarah menggoncang-goncangkan tubuh suaminya kasar.Mata Bagus mendelik melihat istrinya. "Hentikan Sarah! ini semua salahmu!"Bagus melempar sebuah amplop surat yang sudah dibuka. Sarah yang melihat itu segera memungutnya.'Surat Pemberhentian Kerja?' gumam Sarah."Bagaimana bisa Mas? Kamu melakukam kesalahan apa?" sentak Sara
[Kamu tidak bisa menikah tanpa wali, Halwa,] teriak ayah.[Orang yang mati tidak bisa menjadi wali. Ayahku sudah mati. Raganya yang dirasuki iblis tidak bisa menjadi wali!]Tubuhku bergetar dengan tangan yang terjuntai, Radit bergeming dari depan pintu.Braakk! ponsel yang kupegang jatuh dengan sendirinya.Tubuhku seperti batu yang berjalan, kaku dan dingin. Berjalan perlahan menuju balkon. Sebenarnya aku ingin meraung-raung saat ini, menumpahkan marah yang tak terbendung, tapi mengingat ada orang lain di kamar, aku malu melakukannya."Suster, bisa tolong bawa Khawla ke kamar Bian sebentar," pinta Radit."Iya Pak."Aku mendengar pintu kamar tertutup bersama dengan suara langkah kaki yang mendekat."Masuklah, Hal."Tangan Radit menelukup di pundak, air mataku sudah jatuh dalam diam, hanya pundak yang terasa naik turun. Pegangannya melebar hingga merangkul dari belakang, mengajakku untuk masuk."Banyak orang yang melihatmu di sini," lirihnya.Aku menurut dan mengikutinya masuk, menjatuh
Mataku menerawang jauh keluar, melihat pepohonan yang nampak bergerak padahal mobil kami lah yang meluncur di aspal.Semenjak kapan ayah berubah begitu dingin? Sebelumnya, saat ibu masih ada meski jarang berbicara ayah tidak sedingin dan secuek itu padaku, tapi semenjak ibu pergi dan ia memutuskan untuk menikah lagi. Mulailah hubungan kami menjadi renggang, apalagi saat aku menikah, kami seperti orang asing di belahan dunia yang berbeda."Ibu punya tabungan, simpanlah ini," ucapnya sembari menyodorkan sebuah amplop."Hubungi orang yang ada di kartu itu, ia adalah teman Ibu di sana. Kamu bisa belajar usaha dan membiayai hidup sendiri. Mungkin saja setelah ini ayah ....""Kenapa ayah, Bu?"Sesaat ibu diam, lalu menggeleng pelan."Kamu harus jadi wanita mandiri, ibu tidak bisa memberi apapun hanya ini sebagai bekalmu. Jangan sampai kamu menjualnya, sebisa mungkin tetap bisa menghasilkan uang sendiri meski kamu menikah nanti," paparnya.Aku ingat betul kesedihan itu, setelah ibu benar-ben
Kami sangat bahagia setelah menceritakan semua pada ibu. Beliau sungguh luar biasa. Wanita yang begitu tangguh di luar dan lembut di dalam. Membesarkan anak laki-lakinya sendirian hingga menjadi seorang pria bertanggung jawab dan penyayang. Itu tidak mudah, kebanyakan anak korban perceraian akan menjadi brutal dan haus kasih sayang hingga melampiskannya di jalanan.Aku akan mengikuti jejaknya, bagaimana beliau memperlakukan dan membimbing anaknya hingga seperti Radit sekarang. Bian harus seperti Papahnya meski tidak ada darah yang mengalir ketubuh itu, cinta Radit akan membentuk karakternya menjadi laki-laki yang kuat, bertanggung jawab dan berani, serta memiliki jiwa lembut dan penyayang di dalam hatinya."Sudah siap?"Radit menjegal di pintu, memperhatikan aku yang masih ragu untuk pergi."Hei ... kita harus pergi. Tanpa ayah kita tidak bisa menikah."Lelaki itu berjalan masuk dan menghampiriku yang masih duduk di meja rias. Tangannya menelukungkup di pundak menatap wajahku melalui
Aku berjalan perlahan mengelilingi kamar besar yang Radit sediakan untukku dan Khawla, semuanya nampak baru dan tertata rapih. Begitu sempat ia menyiapkan ini semua. Pria itu benar-benar telah memikirkannya dengan matang, menyambut kedatangan kami dengan hangat.Sesekali aku melihat Khawla mengeliat, menangis sebentar kemudian terlelap. Nampaknya ia sangat senang dengan kamarnya, semenjak datang Khawla selalu menyamankan dirinya dan tertidur lelap. Hanya terbangun saat lapar, atau pun saat popoknya basah.Bayi empat hari itu sungguh sudah tahu di mana ia merasa nyaman dengan lingkungannya."Mamah ...."Bian mengucek matanya di depan pintu."Sayang, kok belum tidur sih?"Anak lelaki itu berjalan masuk dan duduk di atas ranjang. Bibirnya mengkerucut nampak kesal."Ada apa sih jagoan Mamah?" Usapku pada rambutnya. Wajahnya semakin dibuat merengut.Tidak biasanya Bian merajuk seperti ini, pasti ada sesuatu."Hei, Mamah kan nggak paham kalau Bian tidak berbicara," pancingku menatap wajahn