Pagi ini adalah sidang pertama perceraianku dengan Mas Rian. Sebelum berangkat aku masuk ke dalam kamar Bian. Anak usia 7 tahun itu masih berbaring di tempat tidurnya."Hei sayang," sapaku membuyarkan lamunanannya."Mamah," jawabnya tersenyum."Apakah kamu baik-baik saja jagoan?" Kutatap matanya untuk menyelami."Ya, Bian sangat baik," jawabnya tersenyum tipis."Apakah Bian masih memikirkan ucapan Papah kemarin?" tanyaku menebak. Matanya tidak bisa berbohong ia sedang memikirkan sesuatu."Mah, Papah kayanya sakit deh," jawab Bian serius, membalas tatapan mataku."Enggak kok, Papah sangat sehat," tuturku agar membuatnya tenang."Tidak, bukan itu Mah. Tapi, sakit yang lain ...," ujar Bian lagi."Sakit yang lain?" Aku menyipit dan pura-pura tak paham, ingin mendengar penjelasannya."Kemarin, Papah menatap Bian, mengelus tangan Bian seperti ini," ucapnya sembari memperagakan, "lalu dia berkata sembari menyentuh pipi Bian, ''Seburuk-buruknya Papah Nak, kenyataan bahwa Papah adalah orang tu
"Ibu, Zain suka hadiah ini, nanti Zain mau minta ayah beliin lagi warna yang lain," celoteh Zain tak henti. Sedangkan Riana sibuk dengan ponselnya.Pintu depan rumah mereka sedikit terbuka, aku masih berdiri memperhatikan."Ibu, Zain bahagia banget kita bisa sama-sama. Zain mau kita bisa terus bersama ya Bu," coletehnya lagi masih memainkan mainan robot yang dibelikan Mas Rian. "Zain tidak punya siapa-siapa lagi selain ibu dan ayah, Nenek tidak suka sama Zain, jadi Mamah sama ayah jangan pisah lagi," ucapnya sedikit merengut.Riana meletakkan ponselnya di atas meja, menghampiri Zain yang sedang bermain."Iya sayang kita akan terus sama-sama. Ibu tidak akan meninggalkan Zain sendirian," jawab Riana."Horeeee Zain suka punya Ibu dan Ayah Rian," Zain berteriak gembira, berdiri dan memainkan pesawat terbangnya."Meluncuuuuuur ...," celotehnya sembari berputar. Lalu, tubuhnya mematung menatapku. Riana yang tertawa melihat keceriaan Zain tiba-tiba merasa heran dengan perubahan raut wajah a
"Hei," panggil Radit. Aku menoleh lesu."Ada apa?" tanyanya lagi, matanya bolak balik memandangku dan jalanan di depan."Entahlah Dit, hatiku kosong dan terasa sakit. Apa yang aku lakukan ini salah?" Aku menghela napas dan membuang pandangan."Kenapa aku tidak merasa bahagia saat Riana mendapat balasan. Dia telah menghancurkan keluargaku, harusnya aku bahagia sekarang saat dia mendapat balasannya. Tapi ...." Aku menggigiti kuku, hatiku bimbang dan sedih."Hentikan Halwa! kamu akan melukai tanganmu," cegah Radit. Lalu, ia menepikan mobilnya."Aku merasa sangat iba pada Zain. Bagaimana pun dalam darahnya mengalir darah yang sama dengan Bian. Meskipun di lahirkan dengan status berbeda mereka adalah saudara," ucapku lagi penuh emosi. Rasa sedih, bimbang, dan marah yang menjadi satu."Rasa itu muncul karena hatimu baik Halwa. Seorang wanita yang telah dikhianati suaminya, apalagi sampai menyakiti anaknya ia akan menjadi lupa diri, sama seperti yang dilakukan Riana. Ia adalah orang baik awa
"Makan dulu." Radit menyodorkan sepiring makanan yang baru saja ia angkat dari wajan."Aku sudah tak selera," gumamku enggan, hanya menatapnya begitu saja.Radit menarik kursi, duduk di sebelah dan menungguku untuk mulai makan, tapi sungguh aku sudah tidak berselera."Heum ...." Terdengar suaranya menghembus berat, mengambil tanganku dan memberikannya sendok."Aku nggak mau makan Radit," ucapku lagi mengkerucutkan bibir."Aku tidak memintamu makan, tapi bayi di dalam perut itu kelaparan. Makan makanan ini atau aku pindahkan bayi itu ke dalam perutku," kelakarnya. Aku menatap wajahnya, ekspresi serius dengan kata-katanya yang seperti itu membuatku geli."Emang di dalam perutmu ada rahim?" tanyaku datar."Aku akan menelan balon sebagai gantinya," jawabnya lagi dingin.Aku kembali menatap wajahnya, dia pun terlihat sudah tak mampu menahan tawa."Haruskah kupinjamkan bersama rahimnya?" timpalku lagi."Haruskah tanganku pun melambai seperti ini?" ucapnya sembari memperagakan."Hiiiii! amit
Apa kamu sudah meminumnya?" tanyanya pelan."Aku hanya tidak ingin calon kekasihku menjadi gendut. Tenanglah, aku hanya berniat membersihkan perutmu," ucap Bastian santai."Hal-wa?" Suara Radit terdengar gamang.Aku menatap Radit, wajahnya yang putih berubah merah padam. Lalu, berbalik menatap Bastian, lelaki itu hanya tersenyum cilik.Saat kulihat tangan Radit siap melayang untuk memukulnya, aku beranjak dari duduk dan menahannya.Kucondongkan tubuh tepat di hadapan lelaki itu, ia masih terlihat santai bersandar di kursi.Bruuuuusss! kopi yang baru saja kusesap, keluar seperti air shower tepat di wajah angkuhnya."Sebelum kamu membersihkan perutku, bersihkan dulu wajahmu itu!" pekikku lantang.Wajahnya terbengong sesaat, lalu ia meneggakan tubuh, mengusap kasar wajahnya."Beraninya kamu?" sentaknya tak terima, lalu ia tertawa licik, "aku suka wanita yang berani seperti ini," ucapnya kemudian, hendak menyentuh wajahku."Jangan sentuh dia!" ancam Radit, menarik tubuhku dan menghadapi l
"Hal ... Halwa ... bangun.""Halwaaa ...."Aku mengerjap, "Astagfirullah, Dit ...."Aku terdiam sejenak, mengumpulkan nyawa yang masih tertinggal di alam mimpi."Kenapa semua gelap?" gumamku ketakutan. Berkali-kali mengucek mata, tapi tidak bisa kulihat sedikit pun cahaya."Radit ... Bian, kalian dimana?"Aku meraba sekitarku, ini adalah kursi tempatku tadi tidur, tapi kenapa sekarang semua jadi gelap."Bian ...." Aku berjalan merayap, hati terasa gundah, bagaimana mungkin saat ini aku tidak bisa melihat apapun?"Diamlah Halwa, kamu bisa jatuh." Suara Radit terdengar menggema di kegelapan."Kamu di mana Dit?""Aku di sini," jawab Radit sembari membawa lilin dari arah pintu."Alhamdulillah," ucapku lega. Aku kira mataku yang bermasalah."Ada pemadaman listrik untuk sementara, aku sengaja datang membawa lilin, pintu masih belum terkunci dan di rumahmu gelap gulita. Aku balik lagi karena koreknya ketinggalan," paparnya sembari mencari tempat untuk menyimpan beberapa lilin."Ini jam berap
"Hei ...." Radit membuyarkan lamunanku."Uang itu tidak seberapa, kamu bisa mendapatkan lebih," terang Radit."Bukan masalah uangnya Dit, tapi masalah hati. Selama 8 tahun aku yang menemani, melayani, mengurus segala keperluarnya, ikut menanggung kerugian di saat ia gagal. Tapi apa yang kudapat Dit, Mas Rian mengkhianatiku, diam-diam dia menyimpan uang buat Riana dan Zain. Apa menurutmu itu adil?" keluhku geram."Ok, aku paham masalah itu, tapi jangan sampai merusak pikiran dan kesehatanmu," saran Radit lagi."Mungkin itu sebagai bentuk tanggung jawab Rian pada Zain selama 8 tahun ini Hal," tambahnya.Aku berbalik dan menatap wajahnya, "Sebenarnya kamu bela siapa sih? apa begitu pikiran semua laki-laki? sok mau ngasih nafkah banyak orang, merasa uangnya dihasilkan sediri jadi seenaknya. Dalam hukum pernikahan uang suami itu uang istri Dit, sepeser apapun uang itu dibelanjakan harusnya sepengetahun istri, bukan ngumpet-ngumpet sok biayain orang, apalagi itu milyaran," pungkasku semakin
"Aku harus pamit, Mas. Bian ada jadwal home schooling," ucapku memotong percakapannya dengan Bian."Belajar yang rajin ya sayang," pesannya, menatap bola mata Bian yang terlihat masih canggung dengan sikap Papahnya yang tiba-tiba berubah."Nanti Papah sering berkunjung buat nemenin Bian bermain," tambahnya, lalu mengecup tangan mungil itu.Bian hanya diam dan mengulas senyum sebelum pergi. Bi asih mendorong kursi rodanya keluar."Aku pun pamit, Mas," ucapku lagi hendak pergi."Hati-hati di jalan Hal, jaga anak-anak kita," pesannya lagi. Aku hanya tersenyum tipis sebelum berbalik, melirik Riana yang masih berdiri kokoh di sana meskipun seperti tak dianggap.Aku menutup pintu perlahan, sedikit ragu untuk melangkah. Aku sungguh penasaran ada apa dengan Mas Rian, apa ini hanya sebuah sandiwara?"Ada apa denganmu, Mas?" Samar kudengar suara Riana mulai berbicara.Tapi, sayangnya tidak kudengar jawaban dari Mas Rian. Apa mungkin terlalu jauh? dinding ruangan Mas Rian dibatasi oleh setengah
"Sudah bersih aja nih pengantin baru," goda Ibu saat aku menghampirinya di dapur.Aku hanya tersenyum kecut alias asem. Malam pertama yang gagal maning itu membuatku sedikit kurang mood."Ibu, pagi-pagi udah sibuk di dapur, nggak lelah?" tanyaku, sembari mengambil apel dan memotongnya dadu."Sudah biasa ibu menyiapkan makan sendiri, Hal," jawabnya sembari menyodorkan hasil masakannya pagi ini.Aku melihat banyak makanan yang sudah ibu siapkan, menunya persis sama seperti yang sering dimasak Radit. Buah kelapa jatuh tidak jauh dari pohonnya, keahlian memasak Radit sudah pasti di turunkan dari Ibu."Pagi semua?" sapa Radit bersama anak laki-lakinya.Aku dan ibu saling melirik dan menyipitkan mata. Lihatlah mereka, dari mulai gaya rambut sampai gaya pakaian hampir sama, udah kaya kembar beda usia."Berdoa nggak keramasnya?" tanya ibu tiba-tiba.Aku yang masih memotong buah-buahan hampir saja terpeleset pisau. Lalu, berbalik ke arah ibu.Ibu berdiri di depan Radit sekarang, saat kuperhat
Brugh! Aku menoleh, Bian menjatuhkan tubuhnya di atas kasur, tangan dan kakinya terlentang berusaha memenuhi ranjang."Bian mau bobo di sini," ujarnya.Aku menyipitkan mata, entah apa maksudnya karena dari pertama pindah ke rumah ini, tidak pernah sekali pun Bian meminta tidur di kamar ini.Tanganku yang sedang mengganti popok Khawla segera berhenti, meminta suster untuk meneruskannya."Apakah Bian lelah?" tanyaku.Dia mengangguk. Ini sudah pukul 21.00 namun tamu yang datang ke pernikahan kami masih saja ada. Radit bahkan belum terlihat, ia masih sibuk melayani tamu."Kenapa Bian mau tidur di kamar Mamah?" tanyaku penasaran."Papah, pasti tidur di sini kan Mah? jadi Bian mau tidur sama Papah," jawabnya polos."Ouh ...." Aku mengangguk.Ikut duduk di samping ranjang dan menatap bola mata Bian yang memandangku tanpa berkedip."Jadi, bukan mau tidur sama Mamah ya?" tanyaku lagi.Wajahnya menggeleng cepat."Baiklah," ucapku, hendak beranjak.Brugh! Suara itu membuatku terkejut.Saat meno
Ayah menatap kami sesaat, lalu berjalan mendekat.Hatiku sudah tidak karuan, keringat dingin menjalar ke tangan. Radit memegang tanganku yang bergetar."Tenanglah," ucapnya pelan.Ayah berhenti di hadapanku sekarang, berdiri dan menatap. Aku dan Radit ikut berdiri untuk menghormatinya. Mata itu menatap lekat, mencoba menyelami perasaanku saat ini."Nak," sapanya.Hatiku bergemuruh, entah kapan sapaan itu terucap dari bibirnya. Bahkan ketika aku terpukul akan kepergian ibu, ayah tidak pernah menyapaku sehangat ini."Selama kamu ada, entah kapan aku pernah menjadi seorang ayah untukmu.Keterpaksaan ayah menikahi ibumu membuatku terpaksa harus menerimamu juga. Ayah tidak pernah berencana untuk memiliki anak dari ibumu karena pernikahan kami hanya untuk sementata. Namun takdir berkata lain, kamu tiba-tiba lahir dan membuatku terpaksa bertahan dengan pernikahan itu.Kebaikan dan ketulusan Dinda yang diturunkannya padamu, tidak membuatku lantas bisa menerima kalian, hingga aku benar-benar p
"Dit.""Heum."Radit yang sedang memegang ponsel berbalik melihatku, matanya seolah terpesona dan takjub. Aku berjalan anggun memakai gaun putih mendekatinya."Bagaimana?" tanyaku malu-malu. Pipi terasa panas, bisa kuperkirakan ia memerah saat ini. Aku segera menundukkan wajah saat tatapan Radit membuatnya semakin merona."Eits."Ponsel yang dipegang Radit hampir saja jatuh, ia tersenyum kecut dan segera mengantonginya.Tatapannya begitu beda, ia nampak seperti orang yang baru saja melihatku setelah begitu lama kami tidak bertemu, entah apa yang ada dalam pandangannya saat ini.Wajahku semakin tertunduk malu, kenapa dia memandangku seperti itu?Radit menghela napas bahagia hingga terdengar suara yang tidak bisa disembunyikannya.Ia berdiri kikuk menghampiri. Mengangkat wajahku lembut."Bagaimana kamu bisa secantik ini Halwa?" ucapnya dengan mata berkaca-kaca."Aku serasa menemukan Halwa 8 tahun yang lalu, saat jiwaku remuk karena mimpi menikahimu lenyap tergerus penyesalan.Tidak ada
"Kenapa kamu sudah pulang, Mas?" Suara Sarah_istri Bagus yang dinikahinya 13 tahun yang lalu terdengar menggema dari ruangan tv.Melihat suaminya yang hanya menundukkan kepala tanpa merespon membuat Sarah geram."Mas, kau jangan coba-coba mulai males ya bekerja!" sentaknya.Ia bangkit dari duduk, meninggalka film kesukaannya dan menghentakkan kaki di lantai. Menghampiri Bagus yang masih berjalan menunduk tanpa merespon."Mas!" Tangannya membalikan tubuh Bagus kasar.Bagus berbalik, wajahnya sayu dan lelah, dasi di kemejanya sudah melonggar dan berantakan."Ada apa Mas?"Mata Sarah mulai menyelidik, melihat wajah suaminya yang tak biasa."Ada apa Mas, katakan!"Sarah menggoncang-goncangkan tubuh suaminya kasar.Mata Bagus mendelik melihat istrinya. "Hentikan Sarah! ini semua salahmu!"Bagus melempar sebuah amplop surat yang sudah dibuka. Sarah yang melihat itu segera memungutnya.'Surat Pemberhentian Kerja?' gumam Sarah."Bagaimana bisa Mas? Kamu melakukam kesalahan apa?" sentak Sara
[Kamu tidak bisa menikah tanpa wali, Halwa,] teriak ayah.[Orang yang mati tidak bisa menjadi wali. Ayahku sudah mati. Raganya yang dirasuki iblis tidak bisa menjadi wali!]Tubuhku bergetar dengan tangan yang terjuntai, Radit bergeming dari depan pintu.Braakk! ponsel yang kupegang jatuh dengan sendirinya.Tubuhku seperti batu yang berjalan, kaku dan dingin. Berjalan perlahan menuju balkon. Sebenarnya aku ingin meraung-raung saat ini, menumpahkan marah yang tak terbendung, tapi mengingat ada orang lain di kamar, aku malu melakukannya."Suster, bisa tolong bawa Khawla ke kamar Bian sebentar," pinta Radit."Iya Pak."Aku mendengar pintu kamar tertutup bersama dengan suara langkah kaki yang mendekat."Masuklah, Hal."Tangan Radit menelukup di pundak, air mataku sudah jatuh dalam diam, hanya pundak yang terasa naik turun. Pegangannya melebar hingga merangkul dari belakang, mengajakku untuk masuk."Banyak orang yang melihatmu di sini," lirihnya.Aku menurut dan mengikutinya masuk, menjatuh
Mataku menerawang jauh keluar, melihat pepohonan yang nampak bergerak padahal mobil kami lah yang meluncur di aspal.Semenjak kapan ayah berubah begitu dingin? Sebelumnya, saat ibu masih ada meski jarang berbicara ayah tidak sedingin dan secuek itu padaku, tapi semenjak ibu pergi dan ia memutuskan untuk menikah lagi. Mulailah hubungan kami menjadi renggang, apalagi saat aku menikah, kami seperti orang asing di belahan dunia yang berbeda."Ibu punya tabungan, simpanlah ini," ucapnya sembari menyodorkan sebuah amplop."Hubungi orang yang ada di kartu itu, ia adalah teman Ibu di sana. Kamu bisa belajar usaha dan membiayai hidup sendiri. Mungkin saja setelah ini ayah ....""Kenapa ayah, Bu?"Sesaat ibu diam, lalu menggeleng pelan."Kamu harus jadi wanita mandiri, ibu tidak bisa memberi apapun hanya ini sebagai bekalmu. Jangan sampai kamu menjualnya, sebisa mungkin tetap bisa menghasilkan uang sendiri meski kamu menikah nanti," paparnya.Aku ingat betul kesedihan itu, setelah ibu benar-ben
Kami sangat bahagia setelah menceritakan semua pada ibu. Beliau sungguh luar biasa. Wanita yang begitu tangguh di luar dan lembut di dalam. Membesarkan anak laki-lakinya sendirian hingga menjadi seorang pria bertanggung jawab dan penyayang. Itu tidak mudah, kebanyakan anak korban perceraian akan menjadi brutal dan haus kasih sayang hingga melampiskannya di jalanan.Aku akan mengikuti jejaknya, bagaimana beliau memperlakukan dan membimbing anaknya hingga seperti Radit sekarang. Bian harus seperti Papahnya meski tidak ada darah yang mengalir ketubuh itu, cinta Radit akan membentuk karakternya menjadi laki-laki yang kuat, bertanggung jawab dan berani, serta memiliki jiwa lembut dan penyayang di dalam hatinya."Sudah siap?"Radit menjegal di pintu, memperhatikan aku yang masih ragu untuk pergi."Hei ... kita harus pergi. Tanpa ayah kita tidak bisa menikah."Lelaki itu berjalan masuk dan menghampiriku yang masih duduk di meja rias. Tangannya menelukungkup di pundak menatap wajahku melalui
Aku berjalan perlahan mengelilingi kamar besar yang Radit sediakan untukku dan Khawla, semuanya nampak baru dan tertata rapih. Begitu sempat ia menyiapkan ini semua. Pria itu benar-benar telah memikirkannya dengan matang, menyambut kedatangan kami dengan hangat.Sesekali aku melihat Khawla mengeliat, menangis sebentar kemudian terlelap. Nampaknya ia sangat senang dengan kamarnya, semenjak datang Khawla selalu menyamankan dirinya dan tertidur lelap. Hanya terbangun saat lapar, atau pun saat popoknya basah.Bayi empat hari itu sungguh sudah tahu di mana ia merasa nyaman dengan lingkungannya."Mamah ...."Bian mengucek matanya di depan pintu."Sayang, kok belum tidur sih?"Anak lelaki itu berjalan masuk dan duduk di atas ranjang. Bibirnya mengkerucut nampak kesal."Ada apa sih jagoan Mamah?" Usapku pada rambutnya. Wajahnya semakin dibuat merengut.Tidak biasanya Bian merajuk seperti ini, pasti ada sesuatu."Hei, Mamah kan nggak paham kalau Bian tidak berbicara," pancingku menatap wajahn