POV PUSPA
Aku mulai merasakan sakit yang menjalar di sekujur tubuhku. Bunyi patient monitor mendengung memenuhi pendengaranku. Ku rasakan seseorang sedang menggenggam erat tanganku. Apakah itu Abi? Batinku.
Ku buka perlahan kedua mataku, hanya langit-langit kamar yang nampak dalam pandanganku.
"Sayang, kamu sudah sadar!" Ucap ayah yang terus memegangi tanganku. Wajahnya terlihat pias dengan netra yang sembab.
Ku ukir senyuman disudut bibirku. Melihat pria yang sudah beberapa bulan tak pernah ku temui itu.
Wajah ayah terlihat lelah, mungkin ayah dan Abi bergantian menjagaku disini. Tapi dimana dirinya, kenapa diruangan ini hanya ada ayah dan tidak ada siapapun lagi.
"Yah, Abi mana?" tanyaku lirih.
Bibir ini terasa sulit untuk ku gerakan, sebuah alat masuk melalui mulutku dan itu sangat sakit sekali
POV Gus AlAku masih duduk di sofa televisi. Menatap wajah Desi yang terlihat berisi. Wanita itu tersenyum lebar melihat tayangan yang menontonkan aksi pelawak dengan rambut pirang. Sementara tangannya tidak henti mengusap perutnya yang telah membesar. Mungkin akhir bulan depan Desi akan segera melahirkan bayi kami yang berjenis kelamin perempuan dari rahimnya."Abi, kok bengong!"Sejenak aku terdiam, bingung mau menjawab apa kepada Desi. Pikiranku terus mengembara mengingat Puspa yang sudah seminggu lebih terus memenuhi benakku. "Ehm!" ucapku berdehem dengan wajah lelah."Abi kengen sama Teteh?" Desi menatap lekat padaku. "Bagaimana kalau besok kita nengok Teteh di rumah sakit. Bunda kan belum pernah sekalipun melihat keadaan, Teteh," beo Desi.Aku memang tidak memberi tahu tentang keadaan Puspa kepada Desi. Aku hanya menyampaikan jika anak Puspa tidak dapat terselamatkan. Selebihny
Aku berjalan gontai memasuki halaman rumah. Netraku terus menelisik mencari keberadaan Desi di dalam rumah. Aroma masakan menyeruak masuk ke dalam indra penciumanku ketika pintu rumah telah kubuka. Pasti Desi sedang berada di dapur.Kulingkarkan pelukanku pada perut Desi yang membesar. Membuatnya terkesiap akan kehadiranku."Abi!" ucapnya kamayu. Desi membalikan tubuhnya menghadapku.Bug!Kujatuhkan tubuhku memeluk erat Desi. Aku ingin melewati hari-hari indah yang tersisa bersama Desi. Agar jika nanti perpisahan kami telah tiba. Setidaknya aku sudah pernah membuatnya bahagia."Baiklah Ayah, setelah Desi melahirkan aku akan membawa bayi itu kepada Puspa, dan aku akan segera menceriakan Desi," ucapku dengan nada dingin kepada ayah Puspa yang menyungingkan ulasan senyuman.Rasa sakit semakin menusuk-nusuk ke dalam hatiku. Bagaimana bisa aku berucap seperti itu, yang ada dalam pikiranku saat ini adalah Puspa dan Puspa. Wanita
Abi masih memegang erat kedua tanganku. Menumpu tubuhku yang setengah membungkuk. Sementara pria itu dengan setia berada di belakang punggungku dan terus mengusap-usapnya."Tarik nafas yang panjang lagi ya ibu!" Seorang Dokter memberikanku aba-aba untuk kedua kalinya padaku."Em ...!" Aku pun mengejan seperti yang Dokter perintahkan.Pingang yang sakit serta kemaluan yang mulai terasa mengganjal membuatku semakin tersiksa. Sungguh ini sangat menyakitkan."Sabar ya sayang!" ucap Abi mengusap peluh pada keningku."Udah kelihatan rambutnya loh, Bu! Ayo mengejan sekali lagi ya, Bu!" titahnya sambil melihat ke arah selangkanganku."Tarik nafas, mengejang!""Em ....,"Oek! Oek! Oek!Tangis bayi mungil yang telah menghuni rahimku selama sembilan bulan sembilan hari itu pecah.Airmataku pun jatuh
POV PUSPADreg! Dreg! DregBenda berbentuk pipih itu terus bergetar tanpa jeda. Layarnya berkedip menampakan nama Umi sebagai panggilan masuk. Kuraih benda pipih itu dari atas meja kemudian menekan tombol hijau pada sudut kiri layar."Assalamualaikum, Puspa," ucap umi dari ujung telepon."Wa'alaikum salam, umi!" sahutku."Puspa, ada kabar gembira untukmu. Desi sudah melahirkan," ucap Umi terdengar begitu bahagia. Pastilah rasa bahagia itu adalah untukku bukan untuk Desi."Benarkah Umi?" Kupertegas ucapan Umi untuk meyakinkan kabar bahagia itu."Iya Puspa, cepat kamu datang ke Cilegon ya!" pinta Umi bersemangat."Baik Umi, nanti Puspa jemput Umi di rumah," sahutku antusias.Umi segera mengakhiri panggilan setelah mengucapkan salam kepadaku.Wajahku tersenyum lebar, tidak bisa aku sembunyikan rasa baha
"Suster di mana bayi di dalam box ini, Suster?" tanya Abi panik. Netranya terlihat memanas menahan airmata dengan rahang mengeras.Suster yang baru datang segera melihat ke dalaman box Mariah yang telah kosong. Wanita dengan seragam putih itu sama terkejutnya dengan diriku dan Abi."Kok hilang Pak? Padahal baru saja saya meletakkannya di sini!" kilah Suster itu dengan raut wajah panik.Mendengar penjelasan suster, aku segera bangkit dari posisiku. Pasti saat ini Desi belum pergi terlalu jauh dari tempat ini.Aku segera bangkit dan berjalan menuju lantai Dasar. Supaya lebih cepat sampai di lantai dasar, aku putuskan untuk menaiki lift. Kuremas ujung jilbabku seraya terus berdoa memohon pertolongan Allah.Ting!Bunyi pintu ajaib itu telah terbuka. Kulangkahkan kakiku dengan cepat menuju pintu utama, netraku tetap menelisik siapa tau Desi masih berada di sekitaran sini.
POV GUS ALAku diam membisu seperti lelaki bodoh. Puspa terus meluapkan emosinya membalas makian Desi yang ditunjukkan kepadanya.Bukan aku tidak mau melerai, aku hanya takut jika aku memilih salah satu diantara mereka, pasti akan ada hati yang akan terluka nantinya.Puspa meninggalkan Desi setelah wanita itu menghujani umpatan demi umpatan kepada Desi. Sungguh kedua istriku sedang tidak menujukkan sikap seorang yang berilmu dan semua itu adalah salahku, salahku karena aku tidak mampu membimbing mereka untuk menjadi manusia yang lebih baik.Desi tergugu memeluk erat bayi Mariyah di sudut kios. Kutarik tubuh Desi ke dalam pelukanku. Pasti saat ini wanita sebatang kara itu sedang tidak baik-baik saja."Maafkan Abi, bunda!" lirihku frustasi. Satu tanganku mengusap pucuk kerudung yang Desi kenakan."Mariyah adalah anakku Abi, dia adalah miliku." Desi tergugu dalam peluka
Mariyah terus menangis sepanjang malam. Aku yang tidak pernah mengurus bayi sebelumnya merasa sangat kesusahan menghadapi Mariyah."Diem ya Nak! Cup, cup, cup," ucapku kepada Mariyah yang semakin mengencangkan tangisannya. Tapi perintahku sama sekali tidak didengar oleh Mariyah. Mungkin karena bayi mungilku tidak mengerti dengan apa yang barusan aku katakan kepadanya.Kulihat popoknya tidak basah, sepertinya Mariyah menangis karena sedang kelaparan. Kuletakan bayi kecil itu di atas box bayi, tangisannya melengking memekikan pendengaran dan semakin kencang.Aku harus segera membuatkan susu untuk Mariyah agar berhenti manangis.Beberapa saat Kemudian setalah aku selesai membuatkan susu, aku segera memberikan dot berisi susu itu kepada Mariyah. Seketika bayi perempuan itupun diam dengan mengeyot botol susu. Perlahan kedua mata jeli itu mulai meredup dengan bibir yang masih terus mengeyot."Ma
Satu tahun setelah aku menjatuhkan talak satu kepada Puspa, akhirnya aku resmi menceraikan Puspa secara negara maupun agama. Setelah melewati proses yang cukup panjang mulai dari sholat istikharah untuk memutuskan pilihan ini agar Allah memberikan petunjuknya untukku. Namun yang ada dalam bayanganku hanyalah Desi, dan Desi. Wanita yang kini telah menghilang bagiankan di telan bumi. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk mengakhiri pernikahanku dengan Puspa.Pernikahan yang dibangun hanya karena rasa kasian, tidak mungkin menemukan sebuah kebahagiaan yang sesungguhnya.Umi sempat jatuh sakit karena keputusan yang telah aku ambil untuk mengakhiri rumah tanggaku dengan Puspa. Hingga membuat penyakit darah tinggi Umi berakhir dengan struk ringan.Banyak hal yang telah berubah setelah kepergian Desi dalam hidupku. Umi yang kini mulai menerima kehadiran Mariyah, Puspa yang masih tetap baik kepadaku dan juga Mariyah meskipun
Enam tahun kemudianMeskipun masih berusia tujuh tahun. Tapi kemampuan Ais menjadi hafiz Alquran tidak perlu diragukan lagi. Gadis kecil itu pernah menjuarai lomba Hafiz tingkat nasional dan mendapatkan juara satu."Ais, jangan lupa beroda ya!" tuturku seraya mengusap kerudung yang Ais kenakan."Iya Bude," sahutnya dengan nada semangat.Tangan Ais menggapai-gapai ke arahku yang duduk di sampingnya."Ais mau apa?" tanyaku menyetuh tangan Ais."Aku ingin memegang perut Bude!" sahutnya.Aku tersenyum lebar pada Ais, lalu mengarahkan tangan kecilnya menyentuh perutku yang sudah membesar."Adek, doakan Kakak Ais ya!" ucap gadis kecil yang mengenakan kerudung berwarna merah muda itu.Aku tersenyum kecil, megusap perutku yang membesar. Kemungkinan beberapa hari lagi aku akan segera melahirkan.
Prank!Ponsel yang menempel pada telinga Bilal tiba-tiba terjatuh. Begitu juga dengan tongkat yang menyangga tubuh Bilal. Lelaki itu terhuyun jatuh bersandar dari pada dinding tembok dan terisak."Bilal!" Uma berhambur menghampiri Bilal. Begitu juga dengan aku dan Dejah. Serta beberapa orang yang sedang membantu di rumah untuk mempersiapkan pesta pertunangan adik bungsuku, Dejah."Bilal, ada apa?" Uma panik melihat keringat dingin bercucuran dari tubuh Bilal yang menangis."Abang, ada apa Bang!" Dejah yang berada di samping kanan Bilal pun terlihat panik."Mang sholeh, tolong ambilkan minum! Kalian mundur berikan udara untuk Bilal," ucapku pada beberapa orang yang mengerumuni Bilal.Beberapa saat kemudian mang Soleh menyodorkan segelas air putih kepadaku dan aku segera memberikannya kepada Bilal."Minum dulu Bilal!" ucapku membantu Bilal untuk meneguk air
Aku berdiri di samping ranjang Bang Arsya. Menjatuhkan tatapan lekat pada lelaki bertubuh kurus yang terbaring lemas di atas ranjang. Sementara Yuma, terus saja terisak melihat' kondisi Bang Arsya yang semakin kritis."Kata Dokter, Bang Arsya masih terpengaruh dengan obat bius. Bersabarlah dulu, nanti setelah efek dari obat bius itu habis pasti Bang Arsya akan siuman," dustaku menenangkan Yuma. Aku tidak ingin Yuma semakin menyiksa dirinya jika mengetahui keadaan Bang Arsya yang sesungguhnya.Wanita dengan gamis lusuh berwarna kecoklatan itu mengangguk lembut seraya mengusap pipinya yang basah."Makanlah dulu, pasti Ais juga lapar," ucapku mengingat Yuma pada balita yang masih menggantungkan air susunya."Tapi Bang Arsya!" Yuma menjatuhkan tatapan ragu padaku. Rasa sayang pada Bang Arsya tergambar jelas pada wajah Yuma."Tenang saja! Biar aku yang menjaga Bang Arsya," sahutku tersenyum pad
Keadaan Bilal masih sama seperti dulu. Seumur hidupnya ia akan menjadi seorang lelaki yang lumpuh. Tapi sedikitpun Bilal tidak pernah mengeluhkan keadaannya. Lelaki yang menjadi tongkat estafet pondok harus berganti padaku. Kini akulah yang meneruskan dakwah keluar kota setiap kali ada undangan yang datang."Kak!" Bilal yang berjalan menghampiriku menuju teras rumah."Apa Bilal!" sahutku masih berfokus pada layar ponsel. Mengecek jadwal undangan yang sudah masuk."Sepertinya kakak harus menghentikan dakwah kakak!" tutur Bilal dengan suara parau.Seketika aku mengalihkan tatapanku pada lelaki yang duduk pada bangku di sampingku."Kakak butuh seorang pendamping. Kakak adalah wanita, dan sebaik-baiknya wanita adalah berada di dalam rumah," imbuh Bilal terdengar seperti sedang menasehatiku.Aku meletakkan ponsel di atas meja yang membelah antara aku dan Bilal. "Bilal, ini buka
"Yuma!" Bang Arsya tercekat melihat kehadiran wanita berbadan dua yang berjalan menuju ke arah meja kami.Yuma menjatuhkan tubuh duduk pada bangku. Wajahnya terus saja menunduk tidak berani menatap kepadaku ataupun Bang Arsya."Maksud kamu apalagi, Mariyah?" Rahang Bang Arsya mengertak menatap tajam kepadaku.Aku membisu dengan membalas tatapan datar pada Bang Arsya. "Beberapa waktu lalu vonis mengejutkan datang dari Bilal. Dokter Iman mengatakan bahwa Bilal mengalami kelainan genetik. Dimana Bilal di katakan mandul seumur hidup.""Apa?" Bang Arsya mengerang menekan meja dengan kedua tangannya. Menatap padaku dan juga Arsya dengan tatapan tajam."Jangan gila kamu, Mariyah?" desis Bang Arsya bangkit dengan wajah merah menyala."Gila bagaimana, Bang?" sergahku mendongak dengan rahang menggertak."Apakah kamu saat ini sedang menuduhku?" kelakar Bang Arsya. Ur
Kuedarkan pandanganku ke sekeliling kafe tempatku berada. Pesan yang sudah kukirimkan pada Bang Arsya masih saja bercentang satu. Apakah Bang Arsya membohongiku lagi. Aku mendengus berat, aku harap ini hanyalah rasa kekhawatiranku saja.Sebuah tangan tiba-tiba menutup kedua mataku. Aku terkejut untuk sesaat. Aroma maskulin yang bergitu akrab dengan indera penciumanku membuatku tidak kesulitan untuk menebak siapa yang berada di belakang punggungku."Abang!" ucapku."Mariyah!" Bang Arsya melepaskan tangan yang menutupi kedua mataku. "Kok kamu tahu kalau itu, Abang!" serunya memutar tubuh bejalan menuju bangku yang berada di samping kiriku. Senyuman merekah pada kedua sudut bibir Bang Arsya.Meja kafe yang berbetuk persegi memiliki empat bangku pada setiap mejanya. Dengan beberapa lampu yang menggantung di setiap atas meja. Jika malam, kafe ini akan terlihat semakin indah dengan beberapa lampu hias yang lainy
"Baiklah jika Kakak sudah siap untuk mendengarkan!" Ucapan Bilal terdengar bagitu aneh sekali. Membuat jantungku semakin berdebar karena penasaran."Lelaki yang sudah menghamili Yuma adalah suami Kak Mariyah, Bang Arsya!""Apa?" Aku tercekat, jantungku seperti copot dari tempurungnya. Tubuhku bergetar hebat dan lidahku pun terasa kelu. Hal ini sungguh sangat sulit untuk dipercaya.Aku kira perselingkuhan Bang Arsya dengan wanita asing itu sudah cukup mengguncang diriku. Kini sebuah fakta baru yang lebih buruk dari apa yang terlintas dalam benakku membuat aku semakin hancur.***"Bagaimana pengacara Ruhut, semua pelimpahan berkas atas nama saya sudah selesai kan?" tanyaku pada pengacara yang sudah membantuku untuk melimpahkan berkas perusahaan atas namaku. Karena, meskipun berkas-berkas itu ada di tanganku. Tapi berkas-berkas itu atas nama Bang Arsya, sesuai pemilik pertama.
"Untuk mendapatkan surga bagi seorang wanita itu menurutku sangat mudah. Hanya perlu taat pada suami, menjaga harta dan kehormatannya saat suami tidak ada, lalu melaksanakan salat lima waktu dan puasa." Aku melirik kepada Yuma yang mulai gelisah dengan nasehatku."Tapi pada kenyataannya masih banyak wanita yang gugur menjalankan hal ini." imbuhku tersenyum sinis, mungkin lebih menertawai diriku sendiri."Maaf Bang, mungkin aku belum bisa melakukan yang seperti Abang mau," tutur Yuma terdengar sendu."Kamu tidak perlu memikirkan hal itu, Yuma. Aku sudah menimbang semuanya. Aku sudah menjalankan salat istikharah agar aku tidak salah dalam melangkah dan aku sudah memutuskan semuanya dengan matang dan terbaik," ucapku dengan suara bergetar menahan tangis.Yuma menaikkan kedua alisnya menatap kepadaku. "Keputusan tentang apa, Bang!" tanya Yuma dengan sorot mata penasaran."Maaf jika beberapa wa
POV BILAL"Bapak sudah bisa pindah dari kursi roda! Tapi Bapak harus tetap berhati-hati ya jika menggunakan tongkat ini!" tutur suster Hani kepadaku dengan ramah.Aku mengangguk lembut. Wanita yang mengenakan seragam putih itu membantuku kembali duduk di tepi ranjang.Semenjak kejadian itu, aku kehilangan banyak hal. Aku harus kehilangan satu kakiku yang mendadak lumpuh, sebuah kenyataan bahwa aku mandul, dan kenyataan yang lebih pahit adalah bahwa wanita yang sangat aku sayangi ternyata sudah berkhianat kepada aku. Allah seperti membuka mataku, bahwa hanya pada Allah lah sebaik-baiknya tempat bergantung, bukan manusia."Baik suster Hani. Percayalah padaku, pasti aku akan sangat berhati-hati sekali," tuturku membalas ucapan suster Hani dengan senyuman."Kita tinggal menunggu kabar dari Dokter Iman. Jika beliau sudah mengizinkan Bapak Bilal pulang. Kemungkinan besok Bapak sudah diperbolehka