POV Puspa.
Aku masih terduduk lemas di ruang tunggu. Kudengar tangis haru Desi dan Abi di ruang pemeriksaan. Namun, bukan bahagia yang aku rasakan, justru rasa sakit yang kian menyayat hati, kenapa aku tidak bisa seperti itu, rutukku pada diri yang menyedihkan ini.
Kuseka air mata yang memenuhi sudut netra. Aku tidak mau ada satupun yang melihat lukaku. Aku berjalan menuju ruang pemeriksaan yang hanya disekat oleh kain berwarna hijau dari ruang tunggu. Kulihat Abi menghujani ciuaman di wajah Desi yang masih berbaring di badpasien. Nyeri! Aku masih menyentuh dadaku yang sekarat melihat suamiku menciumi wanita pilihanku itu.
"Uma, Desi hamil Uma!" ucap Abi penuh binar melihat kedatanganku.
"Iya Abi, selamat ya!" balasku dengan tersenyum bahagia menatap ke arah Desi yang masih terharu.
Beberapa hari setelah kejadian itu. Abi semakin mengabaikanku dan lebih memperhatikan Desi. Bahk
Sayu sayu suara adzan subuh membuatku terbangun, entah sejak kapan aku tertidur. Yang aku ingat semalam Abi meninggalkanku karena pertengkaran kami. Baru pertama kali ini selama pernikahanku terjadi keributan. Biasanya kami saling mengalah satu sama lain setiap ada masalah diantara kami.Aku menuruni ranjangku, melangkahkan kakiku menuju pintu kamar. Hatiku terus penasaran dengan siapa Abi melewati malamnya semalam. Kubuka pintu kamarku, kulihat pintu kamar Desi yang terletak berhadapan dengan kamarku masih tertutup. Aku memutar tubuhku hendak masuk kembali ke dalam kamar. Batinku masih sakit saat Gus Al lebih mementingkan Desi daripada aku. Namun aku juga sangat merindukan pria itu."Teteh!" panggil Desi sontak membuatku terkesiap.Kulihat wanita itu baru saja datang dari arah dapur membawa segelas susu hangat di tangannya. Terlihat dari kepulan asap yang menyeruak ke udara.'Tumben, Desi bikin susu
"Kalau datang bulan ibu terakhir kapan?" tanyanya lagi padaku.Aku diam sejenak mendengar pertanyaan Dokter itu. Sepertinya aku tau kemana arah pembicaraannya kali ini. Tapi bukankah Dokter spesialis kandungan telah memvonisku bahwa aku tidak akan bisa memiliki anak."Ibu!" Panggilnya lagi membuatku tersadar dari lamunan.Tersadar kalau aku sudah hampir seminggu lebih belum datang bulan."Sepertinya semingguan, Dok!" ucapku seraya menatap manik coklat pada wanita itu.Jantungku terus bergemuruh, menanti aksara yang akan diucapkan wanita yang sedang tersenyum ramah kepadaku."Selamat ya ibu, anda positif hamil."Deg!"Dok, anda tidak sedang bercanda kan?" tegasku masih tidak percaya dengan apa yang baru saja Dokter katakan padaku."Tidak Bu, ibu memang positif hamil," tukasnya menujukan sebuah alat tes keh
Masih POV Desi.Kulalui hari-hariku dengan bahagia. Menikmati kehamilanku yang kian membesar. Tidak ada lagi rasa iri atau penyakit hati lainnya yang menyelinap masuk di dalam hatiku. Yang ada hanya rasa syukur atas segala nikmat yang Allah berikan kepadaku dan mengumpulkanku dengan orang-orang yang sholehSemenjak Puspa hamil, Abi meminta gadis berkulit putih itu untuk berhenti dulu dari aktivitas bekerjanya. Alasannya sama, Abi hanya ingin menjaga kandungan Puspa dan juga ibunya.Semakin hari Puspa semakin baik kepadaku. Begitu juga denganku. Bagaikan memiliki seorang kakak perempuan yang saling menyayangi.Tetapi perhatian Umi masih tetap sama. Mertuaku itu lebih menyayangi Puspa daripada aku. Tidak apalah, semua ini hanyalah butuh waktu saja.Seperti halnya suatu pagi beberapa hari yang lalu. Saat itu aku sedang sibuk menonton televisi di ruang tengan rumah kami. Perutku yang mulai membesar memang paling nyaman untuk bermalas malasa
POV UMIKabar kehamilan Puspa bagaikan mukjizat yang Allah berikan kepada keluargaku. Setelah harapanku untuk menimang cucu pupus. Justru Allah menunjukkan kebesarannya lewat kehamilan Puspa yang serasa tidak mungkin namun justru terjadi.Aku berjanji pada diriku sendiri akan menjaga kehamilan Puspa sebaik mungkin. Karena anak yang terlahir dari keturunan keluarga yang baik pasti akan tumbuh menjadi anak yang baik pula.Maka dari itu, dulu aku begitu selektif memilihkan jodoh untuk Al. Mulai dari agamanya, kekayaanya, kecantikannya, serta nasabnya yang jelas. Dan semua itu ada dalam diri Puspa. Agar jika mereka memiliki keturunan dapat terlahir anak anak yang baik pula akhlaknya.Sementara Desi, tetap saja aku tidak menyukai wanita itu. Mungkin setelah bayi itu lahir, aku akan tetap mengambil anak itu sekalipun Puspa telah memiliki anak bersama Al. Bagaimanapun bayi itu tidak memiliki dosa sedikitpun. Dan nasib Desi tetap dengan keputusan awalku. M
"Sudahlah mi, untuk apa Umi ikut campur urusan rumah tangga Al. Al sudah dewasa, toh kita sudah membekali Al dengan ilmu agama yang mumpuni. Pasti dia bisa memilah mana yang baik untuknya dan mana yang tak baik untuknya," ucap Abah sambil mengusap lembut pada punggung tanganku.Dadaku masih bergemuruh. Rasa kesal karena sudah ditipu oleh anak dan pelacur murahan membuatku susah untuk melupakan."Abah, jika Al memang sudah memiliki bekal agama yang mumpuni, tapi kenapa dia masih membohongi Umi, Bah. Dia membawa masuk pelacur itu ke dalam lingkungan pesantren kita diam-diam," cetusku dengan suara serak dengan air tangis yang tersisa isakan. Kulihat Abah yang duduk berjongkok di hadapanku itu menatapku sendu."Aku tidak mau pondok pesantren kita ini tercemar hanya gara-gara pelacur murahan itu. Apa kata orang Abah?" pekikku kesal pada Abah yang juga terkesan sangat santai sekali."Umi, setiap orang berhak unt
Malam kian merangkak naik. Keheningan malam semakin merajam hatiku yang merana. Memikirkan Desi dan janin yang berada dalam kandungannya. Bukankah ibu hamil dilarang stres. Namun justru aku yang sedang dibuat stres dengan keadaan ini.Kulepas perlahan pelukan Puspa yang melingkar pada pinggangku. Wanita berkulit putih ini memang menyukai tidur dalam pelukanku. Suara nafasnya terdengar beraturan. Manandakan saat ini Puspa sudah memasuki alam bawah sadarnya.Aku berjalan menuju kamar Desi, untuk melihat keadaannya yang sedari pagi mengurung diri di dalam kamar.Tok! Tok!Kuketuk pelan pintu kamar Desi. Hening. Tidak ada jawaban atau gerakan yang terdengar. Apakah Desi sudah tertidur?Kulirik jam pada dinding telah menunjukkan pukul 11 malam. Tapi mana mungkin Desi sudah tertidur, biasanya sebelum dia tidur, dia akan mengulang kembali hafalannya. Agar jika tiba gilirannya tidur be
POV Gus AlHari ini adalah hari yang kupilih untuk acara nujuh bulan kehamilan Desi. Semua orang tengah sibuk di rumahku. Kupasang tenda di halaman rumah untuk menampung tamu undangan yang nanti sore akan datang. Karena akan diadakan acara pengajian yang diisi oleh sahabat Abah.Kulihat Desi yang tengah sibuk membantu Puspa di dapur. Kandungan Puspa pun sudah mulai membesar, kini janin dalam rahim Puspa telah menginjak hampir lima bulan. Jadi dua bulan lagi aku pun akan mengadakan acara yang sama untuk Puspa."Teh, nggak usah ngangkat yang berat-berat, biar santriwati yang lain saja yang ngangkat itu!" cegah Desi yang melihat Puspa mengangkat ember berisi kentang."Iya deh!" sahut Puspa meringis meletakkan ember itu."Izah," panggil Puspa pada seorang santri Wati yang tengah sibuk di dapur.Gadis dengan kulit sawo matang itu segera menghampiri Puspa.
POV PUSPAAku mulai merasakan sakit yang menjalar di sekujur tubuhku. Bunyi patient monitor mendengung memenuhi pendengaranku. Ku rasakan seseorang sedang menggenggam erat tanganku. Apakah itu Abi? Batinku.Ku buka perlahan kedua mataku, hanya langit-langit kamar yang nampak dalam pandanganku."Sayang, kamu sudah sadar!" Ucap ayah yang terus memegangi tanganku. Wajahnya terlihat pias dengan netra yang sembab.Ku ukir senyuman disudut bibirku. Melihat pria yang sudah beberapa bulan tak pernah ku temui itu.Wajah ayah terlihat lelah, mungkin ayah dan Abi bergantian menjagaku disini. Tapi dimana dirinya, kenapa diruangan ini hanya ada ayah dan tidak ada siapapun lagi."Yah, Abi mana?" tanyaku lirih.Bibir ini terasa sulit untuk ku gerakan, sebuah alat masuk melalui mulutku dan itu sangat sakit sekali
Enam tahun kemudianMeskipun masih berusia tujuh tahun. Tapi kemampuan Ais menjadi hafiz Alquran tidak perlu diragukan lagi. Gadis kecil itu pernah menjuarai lomba Hafiz tingkat nasional dan mendapatkan juara satu."Ais, jangan lupa beroda ya!" tuturku seraya mengusap kerudung yang Ais kenakan."Iya Bude," sahutnya dengan nada semangat.Tangan Ais menggapai-gapai ke arahku yang duduk di sampingnya."Ais mau apa?" tanyaku menyetuh tangan Ais."Aku ingin memegang perut Bude!" sahutnya.Aku tersenyum lebar pada Ais, lalu mengarahkan tangan kecilnya menyentuh perutku yang sudah membesar."Adek, doakan Kakak Ais ya!" ucap gadis kecil yang mengenakan kerudung berwarna merah muda itu.Aku tersenyum kecil, megusap perutku yang membesar. Kemungkinan beberapa hari lagi aku akan segera melahirkan.
Prank!Ponsel yang menempel pada telinga Bilal tiba-tiba terjatuh. Begitu juga dengan tongkat yang menyangga tubuh Bilal. Lelaki itu terhuyun jatuh bersandar dari pada dinding tembok dan terisak."Bilal!" Uma berhambur menghampiri Bilal. Begitu juga dengan aku dan Dejah. Serta beberapa orang yang sedang membantu di rumah untuk mempersiapkan pesta pertunangan adik bungsuku, Dejah."Bilal, ada apa?" Uma panik melihat keringat dingin bercucuran dari tubuh Bilal yang menangis."Abang, ada apa Bang!" Dejah yang berada di samping kanan Bilal pun terlihat panik."Mang sholeh, tolong ambilkan minum! Kalian mundur berikan udara untuk Bilal," ucapku pada beberapa orang yang mengerumuni Bilal.Beberapa saat kemudian mang Soleh menyodorkan segelas air putih kepadaku dan aku segera memberikannya kepada Bilal."Minum dulu Bilal!" ucapku membantu Bilal untuk meneguk air
Aku berdiri di samping ranjang Bang Arsya. Menjatuhkan tatapan lekat pada lelaki bertubuh kurus yang terbaring lemas di atas ranjang. Sementara Yuma, terus saja terisak melihat' kondisi Bang Arsya yang semakin kritis."Kata Dokter, Bang Arsya masih terpengaruh dengan obat bius. Bersabarlah dulu, nanti setelah efek dari obat bius itu habis pasti Bang Arsya akan siuman," dustaku menenangkan Yuma. Aku tidak ingin Yuma semakin menyiksa dirinya jika mengetahui keadaan Bang Arsya yang sesungguhnya.Wanita dengan gamis lusuh berwarna kecoklatan itu mengangguk lembut seraya mengusap pipinya yang basah."Makanlah dulu, pasti Ais juga lapar," ucapku mengingat Yuma pada balita yang masih menggantungkan air susunya."Tapi Bang Arsya!" Yuma menjatuhkan tatapan ragu padaku. Rasa sayang pada Bang Arsya tergambar jelas pada wajah Yuma."Tenang saja! Biar aku yang menjaga Bang Arsya," sahutku tersenyum pad
Keadaan Bilal masih sama seperti dulu. Seumur hidupnya ia akan menjadi seorang lelaki yang lumpuh. Tapi sedikitpun Bilal tidak pernah mengeluhkan keadaannya. Lelaki yang menjadi tongkat estafet pondok harus berganti padaku. Kini akulah yang meneruskan dakwah keluar kota setiap kali ada undangan yang datang."Kak!" Bilal yang berjalan menghampiriku menuju teras rumah."Apa Bilal!" sahutku masih berfokus pada layar ponsel. Mengecek jadwal undangan yang sudah masuk."Sepertinya kakak harus menghentikan dakwah kakak!" tutur Bilal dengan suara parau.Seketika aku mengalihkan tatapanku pada lelaki yang duduk pada bangku di sampingku."Kakak butuh seorang pendamping. Kakak adalah wanita, dan sebaik-baiknya wanita adalah berada di dalam rumah," imbuh Bilal terdengar seperti sedang menasehatiku.Aku meletakkan ponsel di atas meja yang membelah antara aku dan Bilal. "Bilal, ini buka
"Yuma!" Bang Arsya tercekat melihat kehadiran wanita berbadan dua yang berjalan menuju ke arah meja kami.Yuma menjatuhkan tubuh duduk pada bangku. Wajahnya terus saja menunduk tidak berani menatap kepadaku ataupun Bang Arsya."Maksud kamu apalagi, Mariyah?" Rahang Bang Arsya mengertak menatap tajam kepadaku.Aku membisu dengan membalas tatapan datar pada Bang Arsya. "Beberapa waktu lalu vonis mengejutkan datang dari Bilal. Dokter Iman mengatakan bahwa Bilal mengalami kelainan genetik. Dimana Bilal di katakan mandul seumur hidup.""Apa?" Bang Arsya mengerang menekan meja dengan kedua tangannya. Menatap padaku dan juga Arsya dengan tatapan tajam."Jangan gila kamu, Mariyah?" desis Bang Arsya bangkit dengan wajah merah menyala."Gila bagaimana, Bang?" sergahku mendongak dengan rahang menggertak."Apakah kamu saat ini sedang menuduhku?" kelakar Bang Arsya. Ur
Kuedarkan pandanganku ke sekeliling kafe tempatku berada. Pesan yang sudah kukirimkan pada Bang Arsya masih saja bercentang satu. Apakah Bang Arsya membohongiku lagi. Aku mendengus berat, aku harap ini hanyalah rasa kekhawatiranku saja.Sebuah tangan tiba-tiba menutup kedua mataku. Aku terkejut untuk sesaat. Aroma maskulin yang bergitu akrab dengan indera penciumanku membuatku tidak kesulitan untuk menebak siapa yang berada di belakang punggungku."Abang!" ucapku."Mariyah!" Bang Arsya melepaskan tangan yang menutupi kedua mataku. "Kok kamu tahu kalau itu, Abang!" serunya memutar tubuh bejalan menuju bangku yang berada di samping kiriku. Senyuman merekah pada kedua sudut bibir Bang Arsya.Meja kafe yang berbetuk persegi memiliki empat bangku pada setiap mejanya. Dengan beberapa lampu yang menggantung di setiap atas meja. Jika malam, kafe ini akan terlihat semakin indah dengan beberapa lampu hias yang lainy
"Baiklah jika Kakak sudah siap untuk mendengarkan!" Ucapan Bilal terdengar bagitu aneh sekali. Membuat jantungku semakin berdebar karena penasaran."Lelaki yang sudah menghamili Yuma adalah suami Kak Mariyah, Bang Arsya!""Apa?" Aku tercekat, jantungku seperti copot dari tempurungnya. Tubuhku bergetar hebat dan lidahku pun terasa kelu. Hal ini sungguh sangat sulit untuk dipercaya.Aku kira perselingkuhan Bang Arsya dengan wanita asing itu sudah cukup mengguncang diriku. Kini sebuah fakta baru yang lebih buruk dari apa yang terlintas dalam benakku membuat aku semakin hancur.***"Bagaimana pengacara Ruhut, semua pelimpahan berkas atas nama saya sudah selesai kan?" tanyaku pada pengacara yang sudah membantuku untuk melimpahkan berkas perusahaan atas namaku. Karena, meskipun berkas-berkas itu ada di tanganku. Tapi berkas-berkas itu atas nama Bang Arsya, sesuai pemilik pertama.
"Untuk mendapatkan surga bagi seorang wanita itu menurutku sangat mudah. Hanya perlu taat pada suami, menjaga harta dan kehormatannya saat suami tidak ada, lalu melaksanakan salat lima waktu dan puasa." Aku melirik kepada Yuma yang mulai gelisah dengan nasehatku."Tapi pada kenyataannya masih banyak wanita yang gugur menjalankan hal ini." imbuhku tersenyum sinis, mungkin lebih menertawai diriku sendiri."Maaf Bang, mungkin aku belum bisa melakukan yang seperti Abang mau," tutur Yuma terdengar sendu."Kamu tidak perlu memikirkan hal itu, Yuma. Aku sudah menimbang semuanya. Aku sudah menjalankan salat istikharah agar aku tidak salah dalam melangkah dan aku sudah memutuskan semuanya dengan matang dan terbaik," ucapku dengan suara bergetar menahan tangis.Yuma menaikkan kedua alisnya menatap kepadaku. "Keputusan tentang apa, Bang!" tanya Yuma dengan sorot mata penasaran."Maaf jika beberapa wa
POV BILAL"Bapak sudah bisa pindah dari kursi roda! Tapi Bapak harus tetap berhati-hati ya jika menggunakan tongkat ini!" tutur suster Hani kepadaku dengan ramah.Aku mengangguk lembut. Wanita yang mengenakan seragam putih itu membantuku kembali duduk di tepi ranjang.Semenjak kejadian itu, aku kehilangan banyak hal. Aku harus kehilangan satu kakiku yang mendadak lumpuh, sebuah kenyataan bahwa aku mandul, dan kenyataan yang lebih pahit adalah bahwa wanita yang sangat aku sayangi ternyata sudah berkhianat kepada aku. Allah seperti membuka mataku, bahwa hanya pada Allah lah sebaik-baiknya tempat bergantung, bukan manusia."Baik suster Hani. Percayalah padaku, pasti aku akan sangat berhati-hati sekali," tuturku membalas ucapan suster Hani dengan senyuman."Kita tinggal menunggu kabar dari Dokter Iman. Jika beliau sudah mengizinkan Bapak Bilal pulang. Kemungkinan besok Bapak sudah diperbolehka