"Sayang, aku sudah jalan pulang dari Pekalongan. Mau minta oleh-oleh apa?" ucap Gus Al di balik telepon.
"Nggak usah Abi, yang penting Abi cepat pulang aja!" sahutku manja dengan tersenyum kecil, meskipun aku yakin suamiku tidak akan pernah melihat senyuman itu.
"Cie, sudah rindu ni ye!" sahutnya meledek.
"Ih, Abi ni. Aku sholat subuh dulu ya bi. Aku tunggu Abi di rumah," ujarku seraya mengakhiri panggilan setelah kuucapan salam pada lelaki yang berada di balik telepon.
Subuh buta Gus Al telah menghubungiku. Mungkin pria itu sedang dilanda rindu berat sama halnya dengan diriku saat ini. Hampir dua minggu ia meninggalkanku di pondok dan selama itu pula aku menjalani pemulihanku semasa operasi pengangkatan indung telur. Beruntungnya ada Umi yang senantiasa menjagaku seperti halnya ibu kandungku sendiri.
Hampir menjelang sore, mobil Abi baru memasuki halaman pesantren. Aku yang baru pulang dari kantor travel ayah cabang Cilegon segera menyambut kedata
POV GUS ALAku sempat kecewa dengan keputusan Abah dan umi untuk menjodohkanku dengan Puspa. Wanita yang sama sekali belum pernah kutemui. Pernah, tapi dulu waktu kami masih kecil. Kata Umi dulu waktu Puspa masih kecil, Ayah Puspa yang saat itu masih orang biasa sering menitipkan gadis kecil itu kepada Umi. Wajar saja Ayah Puspa adalah seorang single parent. Namun roda hidup siapa yang tau, kini Ayah Puspa telah berubah menjadi orang yang sukses dan kaya raya. Bahkan ia memiliki peran yang sangat penting untuk pondok pesantren yang keluargaku dirikan. Tetapi aku sedikit heran dengan pria yang kini telah sah menjadi mertuaku itu. Entah apa yang membuatnya mampu bertahan hidup sendirian hingga detik ini."Jalani saja dulu, kamu bisa mencintai siapapun tapi kamu tidak akan pernah tau pada akhirnya dengan siapa kamu akan menikah, Gus!" Wejangan Abah ketika aku sempat menolak perjodohan itu. Yah, aku yakin segala yang terjadi di dalam hidupku ini bukanla
POV GUS AL"Sudah jangan menangis, aku tidak mau jika besok pengantin perempuanku datang dengan wajah yang sembab," hiburku kepada Desi yang seketika membelalak. Mungkin gadis itu terkejut atau Puspa yang lupa memberi tahu jika pernikahanku dan Desi akan dilaksanakan besok."Apa? Besok?" ucapnya terkejut. Kulihat wajah sembabnya sejenak mematung begitu mengemaskan. Rambunya yang terurai hingga ke pinggang membuat desiran halus menelusup ke dalam dadaku."Astaghfirullah! Pantas saja banyak pria yang menyukai Desi ternyata ia memang memiliki daya tarik yang kuat," gumanku dalam hati tak berhenti menatap Desi yang masih bengong."Ya sudah, cepat istirahat! Ini sudah larut malam," pintaku kepada Desi. Segera kutinggalkan wanita itu daripada aku dilanda pikiranku yang aneh aneh.****Aku telah siap duduk di depan penghulu. Jantungku masih berdebar kencang, meskipun
POV DESI"Kamu cantik sekali," ucap Gus Al membelai rambutku yang masih basah.Gus Al terus menatapku dan menyesap aroma shampoo dari rambutku. Membuat jantungku semakin cepat berpacu. Apakah Gus Al akan melakukannya malam ini? Kenapa aku segugup ini? Bukankah aku sudah sering melakukannya dengan pria-pria hidung belang di luar sana. Lalu kemana Puspa malam ini? Kenapa dia tak kunjung kembali ke rumah.Tiba-tiba pria itu mengangkat tubuhku dalam gendongannya. Wajahnya yang kini tampak lebih tampan tanpa bulu halus di sekitar rahangnya membuatku semakin terpesona.Gus Al menjatuhkan tubuhku di atas ranjang tanpa taburan bunga layaknya pengantin baru. Mungkin Puspa lupa menghias kamar pengantin kami."Akan aku bacakan doa pengantin baru untukmu juga, sama seperti yang kulakukan kepada Puspa," ucapnya kemudian merapalkan doa di atas ubun-ubunku dan kemudian mencium pucuk keningku.
POV UMI"Umi, umi!" panggil seorang wanita paruh baya datang menghampiriku yang sibuk menata buku-buku di perpustakaan pondok."Inah, ada apa? tidak salam tidak apa tiba-tiba bingung kaya begitu!" ucapku pada Inah yang baru datang dengan nafas tersengal.Inah adalah seorang janda miskin. Hidupnya yang bergonta ganti suami namun tidak ada satupun yang membuatnya bahagia. Hingga suatu ketika aku menolongnya yang hampir naas di bunuh oleh mantan suaminya yang seorang preman pasar. Dikarenakan Inah pada saat itu tidak mau memberikannya uang untuk berjudi. Dari situlah Inah janda miskin yang hidupnya sebatang kara memutuskan untuk mengabdikan hidupnya di pondok pesantren sembari menimba ilmu dan belajar menata hidupnya agar lebih baik."Iya Umi, aslamualaikum," ujarnya dengan mengatur nafasnya yang hampir putus."Wa'alaikum salam," sahutku kini menjatuhkan pandanganku kepada Inah.
POV DESIAku segera menjatuhkan tubuhku di atas kasur. Embun yang sedari tadi memenuhi pelupuk netraku akhirnya lolos berjatuhan membasi bantal dalam pelukanku.Masih terasa nyeri mengingat ucapan Umi barusan. Wanita yang seharusnya memberikan contoh yang baik itu justru hanya sebagai kedok belaka.Hampir setengah jam aku mengurung diri di dalam kamar. Entah dengan cara apalagi aku harus menaklukan hati mertuaku itu agar dapat bersikap lebih baik lagi kepadaku.Kulihat jam pada ponsel telah menunjukan pukul 9 pagi. Rasanya bosan juga sendirian di rumah ini. Aku berencana untuk berbelanja kebutuhan dapur, soalnya tadi pagi kulihat kulkas di rumah ini hampir kosong tinggal terisi beberapa botol air dingin.Tidak lupa aku mencuci mukaku terlebih dahulu kemudian mengambil tas belanjaan yang Puspa simpan di dalam lemari rak piring.Cekrek!Langkahku terhenti ke
POV DESITidak ada manusia yang mampu membagi hatinya dengan sempurna. Bagaimana mungkin satu hati dihuni oleh dua hati. Kamu tidak perlu memilih mana yang lebih kamu cintai. Tapi lepaskanlah satu diantaranya agar hatimu lebih tenang."Sun dulu dong!" pinta Abi manja sambil mendekatkan wajahnya ke arah Puspa dengan manja.Aku segera memalingkan wajahku dari arah pintu. Rasa sakit kian menyayat hatiku melihat Abi yang sedang bermesraan dengan Puspa di hadapanku."Desi!" panggil abi tersentak melihat diriku sedang berada di dalam kamar. Yang kebetulan terletak pada garis lurus dari tempatnya berada.Aku segera memalingkan wajahku menatapnya. Kulihat pria itu panik dan berjalan cepat masuk ke dalam kamarku. Diikuti Puspa yang mengekorinya dari belakang."Kamu kenapa?" tanya Abi kepadaku yang masih menyandarkan punggung pada bantal di ujung ranjang."Itu Abi, tadi Desi hampir saja nabrak Uma. Untung Uma buru-buru ngerem. Kalau engak, &nbs
"Des aku titip Abi ya, paling aku di saudi cuma satu bulan saja," ucap Puspa yang sibuk memasukan seluruh perlengkapannya ke dalam koper."Satu bulan, Teh?" sahutku yang masih duduk di tepi ranjang Puspa, memperhatikan gerak gerik wanita dengan gamis berwarna salem itu dengan seksama."Iya Des, biasanya sih malah lebih!" jelasnya sambil menutup koper besar yang berada di atas ranjang. Sekilas ia melihat padaku sebelum menjatuhkan tatapannya pada koper.Aku hanya mengaguk mengiyakan permintaan Kakak maduku, Puspa.'Pantas saja Gus Al suka rindu pada Puspa. Terang saja Puspa suka pergi lama seperti ini.'"Kamu mau oleh-oleh apa, Des?" tanya Puspa kepadaku yang mematung."Oleh-oleh? Ngak usah Teh. Desi ngak mau ngerepotin Teteh," sahutku dengan tersenyum kecil pada Puspa yang kini sedang melihat ke arahku."Ya sudah kalau kamu ngak mau. Tolong aku titip
Jantungku semakin berdebar kencang. Pria itu terus mengeratkan genggamannya pada pergelangan tanganku. Meskipun aku terus berusaha mengibaskan tanganku kuat. Namun pria itu justru menarik tubuhku ke tepi jalan hingga hampir menabrak dinding halte bus."Mau lari kemana kamu, Desi!" ucapnya dengan tersenyum sinis. Membuat jantungku berdebar kencang saat melihat siapa lelaki itu."Lepaskan ayah!" pintaku dengan suara bergetar. Wajahku pasti terlihat ketakutan saat ini.Ingin rasanya aku berteriak sekeras mungkin untuk meminta pertolongan. Namun, aku takut jika reaksiku justru menimbulkan pusat perhatian warga. Apalagi jarakku dengan pesantren kali ini tidak terlalu jauh."Diam Desi, diam! Atau aku akan mengatakan pada semua orang yang berada di sini tentang siapa kamu sebenarnya," ancamnya dengan suara setengah berbisik.Aku segera menghentikan reaksiku. Meskipun jantungku masih berdeta
Enam tahun kemudianMeskipun masih berusia tujuh tahun. Tapi kemampuan Ais menjadi hafiz Alquran tidak perlu diragukan lagi. Gadis kecil itu pernah menjuarai lomba Hafiz tingkat nasional dan mendapatkan juara satu."Ais, jangan lupa beroda ya!" tuturku seraya mengusap kerudung yang Ais kenakan."Iya Bude," sahutnya dengan nada semangat.Tangan Ais menggapai-gapai ke arahku yang duduk di sampingnya."Ais mau apa?" tanyaku menyetuh tangan Ais."Aku ingin memegang perut Bude!" sahutnya.Aku tersenyum lebar pada Ais, lalu mengarahkan tangan kecilnya menyentuh perutku yang sudah membesar."Adek, doakan Kakak Ais ya!" ucap gadis kecil yang mengenakan kerudung berwarna merah muda itu.Aku tersenyum kecil, megusap perutku yang membesar. Kemungkinan beberapa hari lagi aku akan segera melahirkan.
Prank!Ponsel yang menempel pada telinga Bilal tiba-tiba terjatuh. Begitu juga dengan tongkat yang menyangga tubuh Bilal. Lelaki itu terhuyun jatuh bersandar dari pada dinding tembok dan terisak."Bilal!" Uma berhambur menghampiri Bilal. Begitu juga dengan aku dan Dejah. Serta beberapa orang yang sedang membantu di rumah untuk mempersiapkan pesta pertunangan adik bungsuku, Dejah."Bilal, ada apa?" Uma panik melihat keringat dingin bercucuran dari tubuh Bilal yang menangis."Abang, ada apa Bang!" Dejah yang berada di samping kanan Bilal pun terlihat panik."Mang sholeh, tolong ambilkan minum! Kalian mundur berikan udara untuk Bilal," ucapku pada beberapa orang yang mengerumuni Bilal.Beberapa saat kemudian mang Soleh menyodorkan segelas air putih kepadaku dan aku segera memberikannya kepada Bilal."Minum dulu Bilal!" ucapku membantu Bilal untuk meneguk air
Aku berdiri di samping ranjang Bang Arsya. Menjatuhkan tatapan lekat pada lelaki bertubuh kurus yang terbaring lemas di atas ranjang. Sementara Yuma, terus saja terisak melihat' kondisi Bang Arsya yang semakin kritis."Kata Dokter, Bang Arsya masih terpengaruh dengan obat bius. Bersabarlah dulu, nanti setelah efek dari obat bius itu habis pasti Bang Arsya akan siuman," dustaku menenangkan Yuma. Aku tidak ingin Yuma semakin menyiksa dirinya jika mengetahui keadaan Bang Arsya yang sesungguhnya.Wanita dengan gamis lusuh berwarna kecoklatan itu mengangguk lembut seraya mengusap pipinya yang basah."Makanlah dulu, pasti Ais juga lapar," ucapku mengingat Yuma pada balita yang masih menggantungkan air susunya."Tapi Bang Arsya!" Yuma menjatuhkan tatapan ragu padaku. Rasa sayang pada Bang Arsya tergambar jelas pada wajah Yuma."Tenang saja! Biar aku yang menjaga Bang Arsya," sahutku tersenyum pad
Keadaan Bilal masih sama seperti dulu. Seumur hidupnya ia akan menjadi seorang lelaki yang lumpuh. Tapi sedikitpun Bilal tidak pernah mengeluhkan keadaannya. Lelaki yang menjadi tongkat estafet pondok harus berganti padaku. Kini akulah yang meneruskan dakwah keluar kota setiap kali ada undangan yang datang."Kak!" Bilal yang berjalan menghampiriku menuju teras rumah."Apa Bilal!" sahutku masih berfokus pada layar ponsel. Mengecek jadwal undangan yang sudah masuk."Sepertinya kakak harus menghentikan dakwah kakak!" tutur Bilal dengan suara parau.Seketika aku mengalihkan tatapanku pada lelaki yang duduk pada bangku di sampingku."Kakak butuh seorang pendamping. Kakak adalah wanita, dan sebaik-baiknya wanita adalah berada di dalam rumah," imbuh Bilal terdengar seperti sedang menasehatiku.Aku meletakkan ponsel di atas meja yang membelah antara aku dan Bilal. "Bilal, ini buka
"Yuma!" Bang Arsya tercekat melihat kehadiran wanita berbadan dua yang berjalan menuju ke arah meja kami.Yuma menjatuhkan tubuh duduk pada bangku. Wajahnya terus saja menunduk tidak berani menatap kepadaku ataupun Bang Arsya."Maksud kamu apalagi, Mariyah?" Rahang Bang Arsya mengertak menatap tajam kepadaku.Aku membisu dengan membalas tatapan datar pada Bang Arsya. "Beberapa waktu lalu vonis mengejutkan datang dari Bilal. Dokter Iman mengatakan bahwa Bilal mengalami kelainan genetik. Dimana Bilal di katakan mandul seumur hidup.""Apa?" Bang Arsya mengerang menekan meja dengan kedua tangannya. Menatap padaku dan juga Arsya dengan tatapan tajam."Jangan gila kamu, Mariyah?" desis Bang Arsya bangkit dengan wajah merah menyala."Gila bagaimana, Bang?" sergahku mendongak dengan rahang menggertak."Apakah kamu saat ini sedang menuduhku?" kelakar Bang Arsya. Ur
Kuedarkan pandanganku ke sekeliling kafe tempatku berada. Pesan yang sudah kukirimkan pada Bang Arsya masih saja bercentang satu. Apakah Bang Arsya membohongiku lagi. Aku mendengus berat, aku harap ini hanyalah rasa kekhawatiranku saja.Sebuah tangan tiba-tiba menutup kedua mataku. Aku terkejut untuk sesaat. Aroma maskulin yang bergitu akrab dengan indera penciumanku membuatku tidak kesulitan untuk menebak siapa yang berada di belakang punggungku."Abang!" ucapku."Mariyah!" Bang Arsya melepaskan tangan yang menutupi kedua mataku. "Kok kamu tahu kalau itu, Abang!" serunya memutar tubuh bejalan menuju bangku yang berada di samping kiriku. Senyuman merekah pada kedua sudut bibir Bang Arsya.Meja kafe yang berbetuk persegi memiliki empat bangku pada setiap mejanya. Dengan beberapa lampu yang menggantung di setiap atas meja. Jika malam, kafe ini akan terlihat semakin indah dengan beberapa lampu hias yang lainy
"Baiklah jika Kakak sudah siap untuk mendengarkan!" Ucapan Bilal terdengar bagitu aneh sekali. Membuat jantungku semakin berdebar karena penasaran."Lelaki yang sudah menghamili Yuma adalah suami Kak Mariyah, Bang Arsya!""Apa?" Aku tercekat, jantungku seperti copot dari tempurungnya. Tubuhku bergetar hebat dan lidahku pun terasa kelu. Hal ini sungguh sangat sulit untuk dipercaya.Aku kira perselingkuhan Bang Arsya dengan wanita asing itu sudah cukup mengguncang diriku. Kini sebuah fakta baru yang lebih buruk dari apa yang terlintas dalam benakku membuat aku semakin hancur.***"Bagaimana pengacara Ruhut, semua pelimpahan berkas atas nama saya sudah selesai kan?" tanyaku pada pengacara yang sudah membantuku untuk melimpahkan berkas perusahaan atas namaku. Karena, meskipun berkas-berkas itu ada di tanganku. Tapi berkas-berkas itu atas nama Bang Arsya, sesuai pemilik pertama.
"Untuk mendapatkan surga bagi seorang wanita itu menurutku sangat mudah. Hanya perlu taat pada suami, menjaga harta dan kehormatannya saat suami tidak ada, lalu melaksanakan salat lima waktu dan puasa." Aku melirik kepada Yuma yang mulai gelisah dengan nasehatku."Tapi pada kenyataannya masih banyak wanita yang gugur menjalankan hal ini." imbuhku tersenyum sinis, mungkin lebih menertawai diriku sendiri."Maaf Bang, mungkin aku belum bisa melakukan yang seperti Abang mau," tutur Yuma terdengar sendu."Kamu tidak perlu memikirkan hal itu, Yuma. Aku sudah menimbang semuanya. Aku sudah menjalankan salat istikharah agar aku tidak salah dalam melangkah dan aku sudah memutuskan semuanya dengan matang dan terbaik," ucapku dengan suara bergetar menahan tangis.Yuma menaikkan kedua alisnya menatap kepadaku. "Keputusan tentang apa, Bang!" tanya Yuma dengan sorot mata penasaran."Maaf jika beberapa wa
POV BILAL"Bapak sudah bisa pindah dari kursi roda! Tapi Bapak harus tetap berhati-hati ya jika menggunakan tongkat ini!" tutur suster Hani kepadaku dengan ramah.Aku mengangguk lembut. Wanita yang mengenakan seragam putih itu membantuku kembali duduk di tepi ranjang.Semenjak kejadian itu, aku kehilangan banyak hal. Aku harus kehilangan satu kakiku yang mendadak lumpuh, sebuah kenyataan bahwa aku mandul, dan kenyataan yang lebih pahit adalah bahwa wanita yang sangat aku sayangi ternyata sudah berkhianat kepada aku. Allah seperti membuka mataku, bahwa hanya pada Allah lah sebaik-baiknya tempat bergantung, bukan manusia."Baik suster Hani. Percayalah padaku, pasti aku akan sangat berhati-hati sekali," tuturku membalas ucapan suster Hani dengan senyuman."Kita tinggal menunggu kabar dari Dokter Iman. Jika beliau sudah mengizinkan Bapak Bilal pulang. Kemungkinan besok Bapak sudah diperbolehka