Pertanyaan Ranti yang begitu cepat dan bertubi-tubi, membuat Hendra mengerutkan dahi. Namun, dia segera mengerti apa yang terjadi. “Maksudmu Tuan tak ada di rumah?”
Melihat mata Hendra yang membelalak terkejut disertai pertanyaan seperti itu, Ranti malah makin cemas. Dia mengangguk tak berdaya. Artinya mereka berdua kehilangan Darius. Hendra menghentikan mobil di jalan masuk depan rumah. Dia memastikan bahwa pagar telah tertutup rapat.
“Bagaimana bisa kau kehilangan Tuan?” Suara Hendra sangat tajam menusuk. Menuduh gadis itu tak becus tanpa perlu mengatakannya secara langsung.
“Saya mengerjakan tugas yang Anda beri, menyiapkan sarapan. Saat saya mengantar makanan ke kamar, Tuan sudah tidak ada,” jelas Ranti sambil mengikuti langkah Hendra yang sangat cepat.
“Apa kau sudah memeriksa seluruh rumah?” tanya pria tua itu lagi.
“Sudah. Saya sudah memeriksa seluruh rumah dan halaman depan. Namun, saya tidak bisa memeriksa halaman belakang. Saya tidak menemukan kunci pintu menuju halaman belakang.” Ranti kembali menjelaskan.
Mendengar itu, Hendra langsung menghentikan langkahnya di teras depan. Dia berbalik dan menyusuri jalan setapak berbatu yang menuju halaman samping. Langkahnya yang panjang-panjang dan cepat, menyulitkan Ranti untuk mengikuti. Membuat gadis itu jadi setengah berlari.
“Saya sudah periksa tempat itu dan Tuan tidak ada di sana!” Ranti menjelaskan dengan napas terengah-engah. Kemudian dia langsung terdiam saat Hendra membuka kait pintu besi yang memisahkan halaman depan dengan taman samping.
“I—itu bisa dibuka?” tanyanya dengan wajah bodoh. Ranti benar-benar mengutuk kebodohannya yang tidak langsung memeriksa apakah pintu bersi berukir itu dikunci atau cuma dikaitkan saja.
Pak Hendra tak berkomentar apa pun atas sikap ceroboh yang ditunjukkan perawat baru itu. Jalannya makin cepat melewati halaman samping penuh bunga yang terawat rapi.
Ranti mengikuti dari belakang tanpa suara. Dia mengakui salah serta ceroboh. Gadis itu takut dipecat sekarang. Bayangan buruk menghampiri kepalanya. “Bagaimana kalau Darius jatuh ke kolam renang?” Ranti terkejut dengan pemikirannya sendiri. “Tamatlah aku kalau itu terjadi!”
Seperti yang tadi ditakutkannya, Pak Hendra juga memeriksa kolam renang. Meski airnya sedikit kotor karena tak pernah dipakai dalam waktu lama, tetapi tetap dapat dilihat jelas bahwa tak ada orang yang jatuh ke dalamnya. Ranti merasakan kelegaan saat tak ada Darius di dalam air. Namun, demi melihat langkah cepat Pak Hendra, ketakutannya datang lagi.
“Bukankah di sini tak mungkin, Pak? Di halaman berumput itu tak ada siapa pun!” kejar Ranti.
Hendra tak menjawab. Langkahnya makin cepat, menyusuri jalan setapak paving blok yang tertutup oleh rerimbunan pohon dan tanaman hias yang menjadi latar belakang area itu.
“Eh, di sini ada jalan lagi?” Ranti bertanya dengan bingung. Mereka menyusuri jalan setapak di belakang kerimbunan barisan pohon yang semula dikira gadis itu adalah batas tanah milik keluarga Darius.
Mereka menyusuri jalan yang mulai menurun dan sedikit berkelok-kelok menghindari beberapa batang pohon peneduh. Ranti tak sempat mengagumi ide orang yang membuat jalan taman seteduh ini. Dia hanya mengikutilangkah Hendra dengan beragam pertanyaan di kepalanya. “Mau apa Tuan Darius pergi ke sini?”
Tak lama Hendra berhenti di sisi jalan dan berjongkok melihat sebagian tanaman yang tercerabut. Dia menggeleng dan mendongak untuk melihat ke balik rumpun tanaman. Ranti hanya memperhatikan dengan heran.
“Tuan!” seru Hendra terkejut. Ranti juga tak kalah terkejut.
“Tuan di mana?” tanyanya bodoh.
“Ikuti jalan ini dan berputar ke bawah sini!” perintah Hendra dengan menunjuk memberi aba-aba.
Ranti mengangguk dan meneruskan langkah mengkuti jalur jalan setapak.
“Lari!”
Kali ini suara teriakan Hendra menggelegar. Ranti menoleh dan melihat pria tua itu melintasi rumpun tanaman. Sepertinya dia akan ke sebelah lewat jalur itu.
“Kenapa saya tak lewat sana saja?” tanya Ranti heran.
Tak lama dia mendengar bunyi bergedebuk orang jatuh di sebelah yang tak terlihat. Sekarang dia tahu kenapa Pak Hendra menyuruhnya mengikuti jalan setapak. Ranti berlari secepat yang dia bisa untuk mencapai tempat Hendra dan Darius mungkin jatuh di sebelah rumpun tanaman.
Setelah gadis itu melewati belokan yang ke sekian, dia akhirnya bisa melihat dua orang itu sekitar sepuluh meter di depan. Matanya hampir melompat melihat keadaan Darius. Kakinya langsung lari.
“Ya Tuhan .... Tuan!” serunya khawatir.
Hendra sedang memeriksa Darius yang tak memberi respon sedikit jua. Ranti merasa seperti sedang menunggu hukuman mati. Jika pasiennya kenapa-kenapa di bawah pengawasannya, jelas keluarga pria itu tidak akan tinggal diam. Kakinya seketika kehilangan tenaga, membuatnya ikut jatuh duduk di jalan setapak dengan wajah pucat.
“Apa yang kau lakukan?!” bentak Hendra marah. “Seharusnya kau segera memeriksa pasienmu atau memanggil dokter!” kecamnya kejam.
Ranti tak dapat lagi membela diri. Dia memang ceroboh dan tak siap mendapatkan kejutan seperti ini di awal dia bekerja.
“Pegangi!” perintah Hendra pada gadis itu. Pria itu tak peduli seberapa tak kometennya perawat baru itu. DIa butuh bantuan gadis itu sekarang.
Ranti memegangi Darius dengan sigap. Tangannya mencoba memeriksa deyut nadi di leher pria itu. Meski sangat sulit, karena harus bersaing dengan suara Hendra yang tengah menelepon rumah sakit dan ambulans, Akhirnya gadis itu berhasil merasakan denyut lemah di leher pasiennya.
“Saya menemukan denyut nadinya,” kata gadis itu lega.
“Apa kau pikir aku akan menyerahkan dia padamu sebelum yakin bahwa dia akan baik-baik saja?” Hendra kembali berkata ketus. Wajahnya sungguh tak enak dipandang saat ini. Keramahan dan ketenangan yang selalu ditampakkannya telah lenyap entah ke mana.
“Ayo bawa Tuan ke rumah!” Pria itu menggendong Darius dengan hati-hati dan mendudukkannya di kursi roda yang tadi terjungkal. Dua orang itu mendorong kursi roda itu dengan hati-hati menuju rumah. Tak lama ambulans datang dan membawa Darius ke rumah sakit.
Ranti yang ditinggalkan sendirian di rumah, hanya bisa menangis dan penuh rasa bersalah. Dia menyesali diri kenapa tidak memeriksa pintu ukir itu lebih teliti. Gadis itu juga terus bertanya-tanya, sudah berapa lama Darius tergeletak di balik pohon sampai mereka menemukannya?
Panggilan telepon dari Hendra masuk siang itu. “Aku akan pulang dan membawamu ke rumah sakit. Tuan Besar Dharmajie ingin bertemu denganmu!”luarga besar D
“I—iya!” balas Ranti tergagap.
Tubuh gadis itu lemas seketika. Dia bisa membayangkan bagaimana kemarahan keluarga Darius pada perawat ceroboh sepertinya. “Ibu, maafkan Ranti ... mungkin Ranti harus jadi beban, karena akan jadi pengangguran sebentar lagi,” ujarnya dengan suara lirih.
Dipandangnya tas baju lusuh yang kemarin dia bawa. Isinya yang tak seberapa itu bahkan belum sempat dibongkarnya. Sekarang dia sudah harus membawa pulang lagi tas itu ke rumah. Dengan lesu dia bangkit dan merapikan tas itu untuk dibawa ke rumah sakit. Dia siap untuk dipecat.
“Pak, apakah saya akan dipecat?” tanya Ranti pada Hendra saat mereka sedang menuju ke rumah sakit.
“Saya tidak tahu!” Suara Hendra masih ketus.
Ranti yang masih dipenuhi rasa bersalah, akhirnya memilih diam. Pelayan tua itu sedang marah dan menimpakan kesalahan padanya. Dan Ranti juga menyadari bahwa dia memang lalai. Maka dia akhirnya pasrah menunggu keputusan Tuan Besar Dharmajie.
Sepanjang jalan di lorong dan lift rumah sakit, Ranti hanya berdiam diri. Dia menggenggam erat tas bajunya yang lusuh. Menghitung uang di dompetnya, semoga cukup untuk ongkos pulang ke rumahnya, karena rumah sakit besar itu lumayan jauh.
Hendra mengetuk pintu salah satu kamar rawat sebelum membukanya. “Saya membawa perawat itu,” ujarnya.
“Bawa masuk!”
Ranti bisa mendengar suara berat dan tegas seorang pria, menjawab dari dalam. Gadis itu memejamkan mata sampai merasakan sikunya digamit Pak Hendra. Pria itu memberi isyarat agar dia masuk ke dalam ruangan. Ranti mengangguk dan masuk.
Sampai di dalam ruangan, tempat itu penuh. Gadis itu mencari-cari di mana Darius. Tempat tidur pasien di sana masih kosong.
“Oh, ini perawatnya? Pantas saja tak becus!” Seorang pria berdiri bolak-baik di depan Ranti sembari menilai gadis itu. Matanya terlihat sinis dan bibirnya mengerucut penuh penghinaan.
Ranti membungkukkan sedikit badannya. “Saya Ranti!” ujarnya memperkenalkan diri.
Suara berat pria lain, kembali terdengar. “Kemari!”
Ranti mencari asal suara. Itu berasal dari seorang pria yang rambutnya sudah memutih seluruhnya. Ranti menduga, bahwa itu adalah ayah dari Darius. Dia bergegas berjalan ke sana sambil menunduk. Di samping pria itu, duduk seorang wanita cantik yang penampilan elegannya berhasil menyamarkan garis usia.“Saya, Tuan,” katanya menghadap.“Kenapa Darius bisa hilang dari pengawasanmu? Bukankah kau dipekerjakan untuk mengurusnya!” Wanita cantik itu langsung mencecar Ranti dengan pertanyaan telak.“Saya sedang menyiapkan sarapan untuk Tuan Darius, Nyonya,” jawab Ranti jujur.“Hah! Jangan banyak alasan! Kalau terbukti kau lalai dalam tugas, jangan mengira kami akan melepaskanmu begitu saja!” Pria lain di ruangan memberi ancaman.“Ya! Apa Hendra tidak ada menceritakan padamu bahwa kami telah enuntut salah seorang perawat ke muka hukum akibat melalaikan tugas?” Wanita cantik itu menambahkan informasi yang berrhasil membuat tengkuk Ranti meremang takut.“Maafkan saya, Nyonya. Saya memang mendapat
Ranti mendapat tugas untuk menjaga Darius yang dirawat di rumah sakit malam itu. Semua orang telah keluar dari ruangan dan meninggalkannya sendirian. Pak Hendra juga telah pergi setelah memberikan bekal makanan untuknya.Tak banyak yang dilakukan gadis muda itu malam hari karena Darius sepenuhnya tertidur dan perawat yang datang memeriksa di beberapa waktu, tidak mengatakan apapun.“Bagaimana keadaan Tuan Darius?” tanya Ranti ingin tahu.“Dia sedang tidur. Akan bangun setelah pengaruh obat habis.”Begitulah jawaban yang diterima Ranti. Akhirnya, gadis itu bisa beristirahat dengan tenang di sofa panjang yang ada di ruang perawatan. Gadis itu membayangkan keluarga dengan perasaan gamang. Betapa kini dia seperti didorong pada sesuatu yang sangat berbahaya.Sejak ayahnya yang bekerja sebagai Ojol meninggal sepulang mengojek, Ranti memang mau tak mau mengambil alih tanggung jawab biaya keluarganya. Karena sang ibu hanyalah penjual gado-gado kecil di depan rumah kontrakan mereka. Adiknya y
Mata Ranti terlihat khawatir. Meskipun begitu, dia merasa ragu jika itu adalah tugas para perawat. “Tuan Darius mungkin ingin ke kamar mandi. Dia mencari Pak Hendra. Mungkinkah ada perawat pria yang bisa menolongnya ke kamar mandi?”Dua perawat itu saling pandang sebelum menatap Ranti heran. Gadis itu memahami arti tatapan itu. Kemudian dia menjawab tanpa perlu ditanya. “Tuan tak mau dibantu oleh pekerja wanita seperti saya.” Gadis itu menunduk. Dia merasa tak berguna sama sekali.Sebelum ada siapapun yang bereaksi, kembali terdengar teriakan keras suara Darius yang memanggil Pak Hendra. Kali ini disertai nada marah yang mungkin mengagetkan semua pasien di lantai itu. Seorang perawat buru-buru lari ke sana dan yang lainnya mengangkat gagang telepon. Ranti ikut mengejar ke ruang rawat tuannya.“Di mana Hendra!” bentak Darius kasar. “Apa dia sudah bosan kerja?!”“Pak, ini rumah sakit. Pelayan Anda tidak ada di sini. Katakan apa yang harus kami bantu,” katanya menenangkan.Darius menata
Ranti berdiri kaku di balik daun pintu, mendengar umpatan tak pantas itu. Bagaimana mereka berharap kakaknya segera mati? Seburuk apa pun sikap Darius, dia tetaplah anak tertua keluarga Dharmajie.“Mau apa kau di sana!”Seruan Darius menyadarkan Ranti. Tangannya masih gemetar saat menutup rapat pintu ruangan. Segera dia menghampiri tempat tidur. “Apa Tuan butuh sesuatu?” tanya Ranti sigap.“Buang saja kue itu. Mereka telah meracuninya!” perintah Darius.“Tuan, jangan terus berprasangka buruk. Kue ini dari toko. Saya sendiri yang membuka kemasannya,” bujuk Ranti.“Kalau kau mau, makan saja! Tapi aku tidak bertanggung jawab jika kau tiba-tiba sakit atau mati!” ujarnya masih degan suara ketus.Ranti akhirnya diam. Dia tak mau berdebat lagi. Itu hanya akan membangkitkan kemarahan pria itu. Dia menyingkirkan kue itu dan meletakkannya di atas meja untuk dinikatinya nanti. Kue spesial dari toko kue terkenal. Belum tentu Ranti bisa membelinya. Alangkah sayang untuk dibuang.“Telepon Hendra un
Ranti akhirnya mengeluarkan tantangan untuk dirinya sendiri. Jika dia tak mampu membuat Darius bersikap lebih baik dari ini, maka dia lebih baik mengundurkan diri, sebab tugasnya sudah gagal.Wajah Darius benar-benar tak sedap dipandang, tapi dia menjawab dengan sangat cepat. “Aku terima tantanganmu!”Sekarang, bantu akau ke kursi roda sialan itu!” ujar pria itu kasar.Ranti bergerak cepat membantu Darius ke kursi roda dan membantunya ke kamar mandi. Gadis itu mendorong kursi roda hingga masuk ke kamar mandi, mendudukkan pria itu di toilet, baru keluar dan menutup pintu.“Jika sudah selesai, Tuan bisa berteriak memanggil saya,” ujarnya satar.Darius mendengus dengan wajah memerah. Sekarang, dia harus berusaha keras untuk bisa melepaskan pakaian bagian bawahnya. Ternyata itu tidak semudah yang dia kira. Gerak tangannya yang sedikit gemetar, memperlambat kerjanya.“Hendra! Akan kupotong gajimu sebulan!” umpatnya kesal.Ranti menunggu cukup lama di depan pintu. Dia sebenarnya khawatir de
Wajah Hendra terkejut, senang, dan berseri-seri. Bahkan meskipun sudah bertahun-tahun berlalu, dia tak akan melupakan suara itu.“Tuan Muda! Saya Hendra, pelayan di rumah Anda!”“Pak Hendra? Ah ... ada apakah meneleponku? Biasanya hanya Kakek yang menanyakan kabarku. Bagaimana keadaan Papa?” terdengar suara khawatir dari seberang telepon.“Tuan yang meminta saya menghubungi Anda, Tuan Muda. Sebentar ....”Pak Hendra mengubah tampilan ponselnya agar menjadi panggilan video, lalu mengarahkan pada Darius. “Ini Tuan Muda, jika Anda ingin bicara, Tuan.”Darius bisa melihat seorang pria muda tampil di layar ponsel. “Kau siapa? Di mana putraku, Oscar? Minta dia segera pulang sebelum mamanya marah!” perintah Darius dengan ekspresi serius.Lama tak ada jawaban dari telepon. Ranti mencoba memasang telinga untuk mendengar jawaban Oscar mendengar kata-kata Darius. Gadis itu dapat membayangkan reaksi putra sang majikan menghadapi kenyataan bahwa ayahnya sendiri tidak lagi mengenalinya.“Apa kau ta
Ranti tak tahu harus merespon seperti apa. Jadi gadis itu hanya mengangguk dari tempatnya berdiri.“Bisakah kau duduk di sini dan mendengarkanku?” pinta Darius.Ranti bisa merasakan kesungguhan dalam suara pria itu. Tiada amarah meledak seperti beberapa hari terakhir. Dengan tenang, gadis itu duduk dengan patuh di meja lain yang mengelilingi meja bundar di teras. Dia siap untuk mendengarkan apa pun yang ingin dicurahkan sang majikan.“Sudah berapa lama kau bekerja di sini?” tanya Darius sambil terus membaca buku catatannya.“Belum seminggu, Tuan,” jawab Ranti jujur.“Hemm ... menurutmu, salahkah jika aku ingin mempercepat waktu kematianku? Aku tak ingin menyusahkan semua orang. Aku juga sudah tak mungkin menemukan otak pembunuh Evelyn.” Darius melempar pandangan ke arah taman dan kolam di sana. Pandangannya menerawang, untuk sesaat, dia seperti tidak menyadari kehadiran Ranti.Gadis itu tidak dapat menjawab pertanyaan seperti itu. Jadi, dia memilih diam dan ikut menerawang melihat dah
Ranti sibuk mencari pekerjaan baru setelah kembali ke rumah. Ibunya merasa lega saat mengetahui bagaimana berat dan beresiko pekerjaan sang putri. “Cari pekerjaan biasa saja. Pekerjaan bergaji besar, memang selalu lebih berat dan beresiko,” nasehat wanita parobaya itu.“Iya, Ranti berangkat dulu. Kemarin teman bilang ada lowongan di kafe di sebuah mall.” Gadis itu mengangguk, menenangkan hati ibunya.“Pergilah dan hati-hati!” pesan ibunya lagi.Setelah mencium tangan sang ibu, Ranti berangkat untuk mencari pekerjaan. Dia harus segera mendapatkan pekerjaan baru, sebelum uang gaji seminggu itu habis terpakai.Dua hari Ranti mencari pekerjaan tak kenal lelah. Dia bahkan melamar pekerjaan sebagai helper di sebuah kios loundry. Namun sayang, masih tidak ada lowongan untuknya. Seperti memang bukan takdirnya, karena jawaban pemilik usaha selalu hampir sama. “Kami baru saja menerima pekerja. Anda terlambat beberapa jam!”Saat malam menjelang dan pekerjaan masih belum didapat, Ranti akhirnya p
Juliano menatapnya sejenak dengan pandangan tajam, kemudian mengangguk. “Bagus! Nanti kau akan diantar ke tempat kerjamu oleh sekretaris di luar.”Pria itu segera mengakhiri perbincangan mereka dan Oscar keluar dengan santai, sambil menenteng kota makannya. Setelah menerima surat penugasan dari sekretaris, seorang OB kembali mengantarnya ke tempat yang diperintahkan. Oscar mengikutinya.“Apakah kali ini Anda sudah memeriksa di mana akan ditempatkan?” tanya OB itu.“Kenapa?” tanya Oscar heran.“Saya tidak mau Anda membanting berkas-berkas itu di tempat lain dan menyulitkan orang lain seperti di basement waktu itu!”Oscar mengamati pria itu dengan seksama dan kemudian dia tertawa. Dia ingat bahwa pria itu adalah OB yang sama yang pertama kali mengantarkannya ke basement untuk bekerja sebagai petugas parkir.“Jangan kkhawatir ....”Oscar kembali tertawa. Hari ini hatinya sama sekali tidak akan terganggu oleh insiden apapun. Hingga mereka sampai di ruangan HRD dan Oscar menyerahkan surat
Oscar menatap kakeknya dengan pandangan tak percaya. “Jika Kakek punya kecurigaan, bagaimana Kakek bisa sangat tenang menghadapi mereka? Bagaimana Kakek bisa terus hidup bersama mereka?” tanya Oscar dengan suara rendah.“Kematian ibumu tak ada hubungannya denganku!” balas Dharmajie Pambudi enteng.“Kakek!” seru Oscar lagi. Dia sama sekali tak senang mendengar hal itu.“Bagaimana dengan perkataan Papa bahwa istri cantik Kakek itu berselingkuh di belakang? Bagaimana kalau dua Paman jahat itu ternyata bukan putra Kakek? Itulah sebabnya mereka ingin merebut perusahaan utama dari tangan keluargaku! Makanya mereka membunuh Mama! Apa Kakek rela harta yang Kakek usahakan justru dikuasai oleh putra entah siapa!”Suara rendah dan sengit itu membuat panas telinga Dharmajie Pambudi. “Papamu itu sakit. Kenapa kau masih mendengarkan ucapan orang sakit? Aku terus mengabaikan hal itu, karena kasihan dengan penyakit yang dia derita. Aku tak mau membuatnya lebih sulit lagi.”Pria itu melemparkan pandan
Hendra terheran-heran dengan sikap pria muda di depannya ini. Sejak anak muda itu kembali dari pendidikannya di luar negeri, sikap curiganya sangat mendominasi. Kepolosan masa remajanya telah hilang tak berbekas. Jelas sekali kalau mata itu menuntut penjelasan.“Tidak terjadi hal yang aneh, Tuan Muda,” sahut Hendra.“Keputusan aneh atau tidak itu, hanya bisa aku yang memutuskan., bukan Pak Hendra!” Suara itu begitu ketus. Mengingatkan pelayan tua itu tentang siapa yang berkuasa di kediaman megah tersebut.Maka pelayan itu duduk dengan tegak dan menceritaan semua kejadian di rumah Ranti dan membiarkan pria muda itu menngambil kesimpulan sendiri. Dia tak peduli akan seperti apa keputusan itu nanti. Bukankah itu bukanlah urusannya!Oscar duduk di teras belakang setelah berenang siang itu. Dia masih belum menemukan celah untuk memecat perawat itu. Dia mencurigai ada sesuatu, namun dia sendiri tidak tahu itu apa. Dia belum menemukan bukti untuk menguatkan kecurigaan hatinya. Entah kenapa d
“Baik, Tuan!” Pelayan Tua itu tersadar dan segera menjawab. Dia mengenal tuannya sejak lama. Kebaikan hatinya tak perlu dipertanyakan lagi. Kembali didorongnya lagi kursi roda saat melihat seorang wanita parobaya keluar dan melihat mereka dengan heran.“Mereka siapa, Nduk?” tanya sang ibu.Ranti melepas pelukan dari adiknya dan mencium tangan sang ibu. Dia menoleh ke belakang. “Itu majikan Ranti, Bu.”“Salam,” sapa Darius ramah. Suaranya sangat sopan. “Maaf, kami tidak minta ijin dulu untuk datang.”“Oh, tidak apa-apa. Ayo silakan masuk. Tempat kami seadanya saja.” Wanita paro baya itu terlihat malu dan wajahnya memerah. Kediamannya bukanlah tempat yang layak dikunjungi orang sekaya majikan sang putri.Darius cepat tanggap dan membuat keputusan tepat. “Saya rasa, duduk di teras ini akan menyenangkan. Saya ingin melihat suasana setelah terkur
Ranti melongo dan Oscar ternganga mendengar kata-kata itu. Pak Hendra menggeleng-gelengkan kepala tak berdaya. Semula dia mengira bahwa Darius akan melupakan pembicaraan kemarin pagi. Tak diduga, ternyata Darius mencatat hal itu di buku agar tidak terlupa.“Apa maksudnya ini?” Oscar yang pertama bereaksi. Dia tidak mengetahui apa yang dimaksud sang papa.“Aku akan pergi dengannya!” kata Darius dengan ekspresi tak bersalah.“Untuk apa? Lagi pula, Papa tidak mengatakan padaku lebih dulu tentang ini,” protes anaknya.“Sejak kapan aku harus melapor padamu?” Darius bertanya dengan ekspresi keheranan yang nyata. Pria itu tampak tidak suka mendengar kata-kata yang dilontarkan putranya.Ocsar kebingungan bagaimana menjawab kata-kata itu. Jika dia salah merangkai kata, maka papanya akan tersinggung dan hubungan mereka bisa rusak.“Maksudnya, aku punya rencana untuk Papa hari ini. Tapi ternyata Papa membuat rencana lain. Ini bagaimana jadinya?” Anak muda itu mencoba menjelaskan dengan versi yan
Gadis itu menarik sebuah kursi lagi dan duduk di depan Darius. Dia menurut saja meskipun perutnya sudah merasa lapar. Yang ada di pikiran Ranti hanya agar pria itu lebih tenang setelah fase emosionalnya tadi.Gadis itu tersenyum penuh candaan, “Kalau saya tidak bisa membantu banyak jangan marahi saya, Tuan.”Terbukti, Darius bisa ikut tersenyum mendengar kata-kata gadis itu. “Aku hanya sedang tak ingin sendirian,” jawabnya jujur.Jawaban itu merubah raut wajah Ranti seketika. Rasa iba muncul ke permukaan, dan dia tak suka itu. Darius telah berusaha sangat keras melawan penyakitnya. Dia tak butuh rasa iba, namun penghormatan yang dalam. Dengan menelan ludah kasar, gadis itu menepis rasa itu dari hatinya.“Anda punya saya, Pak Hendra dan Tuan Muda Oscar di rumah ini. Jangan pernah merasa sendirian. Jangan melemah, karena kami semua mendukung Anda.”Darius yang siap untuk menulis huruf demi huruf di kertas, terhenti mendengar kata-kata yang dilontarkan Ranti. Pria itu mengangkat kepala d
Asep melebarkan matanya tak mengerti maksud perkataan pria itu. Dia menunggu Darius untuk melanjutkan ucapannya. Kepalanya bahkan sedikit miring setelah mengangguk pelan, dan melempar pertanyaan lewat manik matanya.Karena tak mendapatkan penjelasan, akhirnya Asep menyerah. “Anda ingin mengatakan apa, Tuan?” tanyanya sopan,Darius masih mengamatinya dengan mata disipitkan. Tampak sekali pria itu sedang berpikir keras. Kemudian dia menyerah dan kembali duduk seelegan yang dia bisa. “Kau siapa?”Asep tak dapat menahan rasa terkejut mendengar pertanyaan itu. Mereka baru saja membicarakan hal penting bersama-sama, dan sekarang Darius sudah melupakannya. Pria itu tak tahu harus menjawab apa. Dilihatnya Darius bahkan sudah melupakan pertanyaan tadi. Pria itu terlihat gelisah dan melihat ke kanan dan kiri seperti mencari sesuatu, namun dia sendiri tidak ingat apa yang sedang dicarinya.“Tuan, hari sudah sore. Sebaiknya Anda kembali ke kamar.”Suara Pak Hendra menyelamatkan suasana yang cang
Asep menoleh sebentar pada Oscar, meminta persetujuan. Pemuda itu mengangguk. Dia merasa, papanya besok juga akan melupakan apa yang barusan mereka bicarakan. Jadi, biarkan saja.“Malam itu, saya mengantar Nyonya pulang dari kantor. Di tengah jalan, Nyonya minta mobil berhenti di depan apotik untuk membeli obat Anda. Saya lihat apotik itu sepi, jadi saya turun dan berharap transaksi akan selesai dengan cepat. Nyonya tinggal di mobil berdua dengan sopir Rahmat!”Pria itu memejamkan matanya sejenak, mengingat kejadian yang telah bertahun lalu lewat. “Tak saya duga, lima menit kemudian saat saya keluar dari apotik, mobil Nyonya sudah tidak ada. Saya menghubungi Rahmat, namun dia tidak mengangkat telepon. Saya melacak nomor ponsel Nyonya dan mengikuti dengan taksi.”“Jadi, kau meninggalkannya sendiri?” Darius memotong penjelasan dan bertanya dengan suara penuh tuduhan.“Nyonya yang meminta saya turun.” Asep menjawab dengan tenang. Dia bisa memaklumi bahwa konsektrasi Darius bisa mudah ter
Asep diam dan menunduk sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan tak kentara. “Saya hanya mempertimbangakan keselamatan Anda, Tuan Muda. Tapi jelas, saya mendapat amanat untuk menjaga Anda!”“Bagus! Setelah ini, mari ikut ke rumah. Aku ingin kita membahas beberapa hal!” Orscar berdiri dari duduk dan pergi dari sana. Asep segera bangkit dan mengikutinya dengan tenang.Pak Hendra terkejut saat pukul sebelas siang, tuan mudanya sudah kembali dengan wajah buruk. Dia mengerti bahwa pasti telah terjadi sesuatu di perusahaan. Dan lebih terkejut lagi saat melihat seorang pria mengikuti langkah Oscar hingga ke lantai dua.“Siapa dia?” tanya Ranti melihat seorang pria asing langsung ikut naik ke lantai dua, di mana Oscar tinggal sendiri di sana.“Sstt ...!” Pak Hendra meletakkan jari di bibir, mengisyaratkan agar Ranti tidak banyak bertanya. “Siapakan saja makan siang untuk Tuan!”Sudah hampir selesai!” sahut gadis itu, kembali ke pekerjaannya. Pak Hendra membuatkan minuman dingin untuk diantar