Langkah Lia bergema di lorong sekolah yang hampir sepi. Sepasang sepatu ketsnya menghantam lantai dengan ritme cepat, seolah mengikuti degup jantung yang berdentam penuh emosi. Seluruh kejadian tadi malam terus berputar di benaknya—kata-kata Raka, pengakuan Dean, dan kebenaran yang selama ini tersembunyi. Sepupu? pikirnya, kata itu berulang kali memukul pikirannya seperti gelombang yang tak pernah surut. Rasa marah dan kecewa bercampur menjadi satu. Di ujung lorong, matanya tertumbuk pada ruangan klub jurnalis. Ia tidak pernah benar-benar masuk ke sana, tetapi ia tahu ruangan itu sering menjadi tempat berkumpul siswa yang ingin menelusuri kebenaran. Tanpa ragu, ia membuka pintu. Di dalam, meja-meja berantakan dengan tumpukan kertas, kamera, dan laptop yang terbuka. Hanya ada satu orang di sana—Raisa, ketua klub jurnalis yang dikenal memiliki informasi tentang hampir semua hal di sekolah. Raisa mendongak dari laptopnya, alisnya terangkat begitu melihat Lia. "Wow, ini kejutan. Apa y
Bab 60Angin sore berhembus lembut melalui jendela ruang kelas yang setengah terbuka. Lia duduk di salah satu bangku dekat jendela, memandang langit senja dengan tatapan yang sulit diartikan. Sementara itu, Dean duduk di bangku yang sama, jaraknya hanya beberapa senti darinya. Ketegangan yang samar terasa di antara mereka.“Apa kamu yakin mau begini terus?” suara Dean memecah keheningan, nada suaranya tegas, namun ada jejak keraguan di sana.Lia mengalihkan pandangannya dari jendela dan menatap Dean. “Maksudmu apa?” tanyanya, suaranya bergetar sedikit, mencoba menutupi kegelisahan di hatinya.Dean mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, matanya tajam seperti mengupas lapisan pertahanan Lia satu per satu. “Aku tahu kamu bingung, Lia. Aku tahu kamu merasa terjebak. Tapi kita tidak bisa pura-pura lagi.”Kata-kata Dean menusuk, tapi Lia menahan diri untuk tidak bereaksi. Dia tahu dia harus menghadapi ini, tapi bagaimana caranya? Pilihan yang ada di depannya terasa terlalu berat.Di sudut
Pagi itu, langit tampak mendung, seperti mencerminkan suasana hati Lia yang penuh keraguan. Dia duduk di sudut kantin kampus, menyendiri dengan segelas kopi yang sudah mulai dingin. Hatinya terasa berat setelah pertemuan terakhirnya dengan Raka dan Dean.Suara langkah mendekat, lalu sebuah suara lembut membuyarkan lamunannya. “Lia, kamu baik-baik aja?”Lia mendongak dan mendapati wajah Sarah, sahabatnya, penuh kekhawatiran. Tanpa menunggu jawaban, Sarah langsung duduk di kursi di depannya.“Kayaknya kamu butuh cerita,” Sarah membuka percakapan dengan senyum kecil, mencoba mencairkan suasana.Lia menggenggam cangkir kopinya erat. “Aku... bingung, Sarah. Aku nggak tahu harus gimana.”“Ini soal Raka dan Dean lagi, kan?” Sarah menebak dengan nada tegas, meski ekspresinya tetap lembut.Lia mengangguk pelan, tidak bisa mengelak. “Mereka berdua... Aku nggak tahu apa yang sebenarnya aku rasain. Tapi aku juga nggak mau nyakitin mereka.”Sarah menghela napas, lalu meraih tangan Lia. “Lia, nggak
Hening menyelimuti taman yang mulai dipenuhi cahaya redup fajar. Lia masih duduk di bangku, pikirannya terombang-ambing di antara dua nama yang terus bermain di hatinya—Dean dan Raka. Napasnya terasa berat, seolah setiap tarikan membawa lebih banyak beban.Ia memejamkan mata, mencoba mencari kedamaian dalam keramaian pikirannya. Tetapi bayangan wajah mereka berdua tidak kunjung menghilang. Raka dengan tatapan teduh dan ketenangannya, Dean dengan sorot mata tajam penuh emosi.Namun, kesunyian itu pecah oleh suara langkah kaki. Lia membuka mata, mendapati sosok Tania berdiri di depannya dengan ekspresi cemas."Lia? Kamu di sini semalaman?" tanya Tania, suaranya nyaris berbisik.Lia tersenyum lemah. "Aku nggak bisa tidur."Tania duduk di sebelahnya, menggenggam tangan Lia dengan lembut. "Kamu kelihatan capek banget. Apa semua ini karena Dean dan Raka?"Lia mengangguk tanpa banyak kata. Air matanya mulai menggenang, tetapi ia menahannya. Ia sudah cukup menangis selama ini.Tania menatap s
Langit mendung menyelimuti suasana kampus. Lia berjalan melewati lorong panjang dengan buku-buku di pelukannya, sementara pikirannya berputar tanpa arah. Setiap langkah terasa berat, seperti menggiring beban yang tak kasatmata.Di depan perpustakaan, Dean berdiri bersandar pada dinding, menatap ke arah pintu masuk dengan raut wajah serius. Begitu melihat Lia mendekat, dia segera meluruskan tubuhnya. Ada sesuatu dalam tatapan Dean yang membuat Lia merasa perutnya melilit.“Lia,” panggilnya, suaranya rendah namun tegas.Lia berhenti, menarik napas dalam sebelum menjawab. “Ada apa, Dean?”Dia mendekat. Jarak mereka hanya beberapa langkah, tapi suasana di antara mereka terasa seperti samudra luas. Dean menatap Lia dengan mata yang penuh emosi, campuran antara harapan dan kecemasan.“Kita harus bicara,” katanya akhirnya.Lia mengangguk perlahan, tanpa kata, lalu mengikuti langkah Dean menuju bangku di bawah pohon besar di taman kampus. Tempat itu sepi, hanya suara angin yang menyelinap di
Langit pagi masih dihiasi sisa-sisa warna fajar ketika Lia tiba di perpustakaan sekolah. Sepi. Hanya suara halus AC yang memenuhi ruangan. Ia menghela napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan pikiran. Hari ini ia memutuskan untuk menghindari Dean dan Raka. Hanya untuk satu hari.Tapi rencananya buyar begitu ia membuka pintu ruang baca.“Lia?”Suara itu familiar. Raka.Ia berdiri di pojok, dikelilingi tumpukan buku yang berantakan. Kemeja putihnya sedikit kusut, tapi wajahnya tetap tenang, meski ada kantong mata kecil yang tak bisa ia sembunyikan.“Oh, hai,” jawab Lia gugup, merasa kehadirannya seperti gangguan.Raka tersenyum kecil, lalu melangkah mendekat. “Aku nggak tahu kamu suka datang pagi-pagi ke sini.”Lia mengangkat bahu. “Aku cuma… butuh tempat tenang.”“Kebetulan,” kata Raka sambil menunjuk tumpukan buku. “Aku lagi cari bahan untuk tugas sejarah. Tapi kayaknya lebih banyak bingungnya daripada dapet jawabannya.”Lia terkekeh kecil, meski rasa canggung masih terasa. “Sejarah? K
Hari itu, Lia merasa ada yang aneh. Seperti ada sesuatu yang menggantung di udara, sesuatu yang sedang menunggu untuk diungkapkan. Perasaan itu muncul begitu ia berjalan melewati ruang kelas, ketika ia melihat sebuah pesan di ponselnya.Pesan dari Raka."Bisakah kita bicara setelah sekolah?"Itu saja. Tidak ada penjelasan lebih lanjut. Tetapi cukup untuk membuat hati Lia berdegup lebih kencang. Seperti ada beban yang tertahan di dalam dirinya yang akhirnya harus dilepaskan.Setelah jam sekolah selesai, Lia berjalan dengan langkah perlahan menuju tempat yang telah mereka sepakati. Sebuah taman kecil di sudut sekolah yang biasanya jarang didatangi orang. Raka sudah menunggu di sana, tampak lebih serius daripada biasanya."Raka," sapa Lia pelan, mendekat.Raka menoleh, dan matanya langsung menangkap perhatian Lia. Ada sesuatu yang berbeda di mata laki-laki itu hari ini. Bukan hanya kecemasan, tapi juga keteguhan."Kita perlu bicara," kata Raka, suaranya lebih berat dari biasanya. “Tentan
Lia duduk di kursi taman kampus, membiarkan angin pagi yang dingin menggoda rambutnya. Langit mendung di atasnya seperti mencerminkan pikirannya yang kacau. Beberapa mahasiswa berlalu-lalang, namun ia tidak memperhatikan mereka. Matanya tertuju pada buku catatan yang terbuka di pangkuannya, tetapi pikirannya jauh dari tulisan-tulisan yang memenuhi halaman itu.Dean menghampiri dari kejauhan, wajahnya terlihat serius. Tanpa banyak bicara, ia duduk di samping Lia. Aroma khas parfumnya menyapa hidung Lia, membuatnya sedikit tegang.“Lia,” Dean memulai, suaranya pelan namun tegas. “Kamu baik-baik saja?”Lia menoleh, mencoba menutupi emosi yang meluap dalam hatinya. “Aku baik,” jawabnya singkat, meski nada suaranya terdengar getir.Dean menarik napas panjang. Ia tahu Lia sedang berusaha keras menyembunyikan sesuatu. Selama ini, Lia selalu seperti itu—mencoba terlihat kuat meskipun hatinya sedang bergolak.“Kita nggak bisa terus kayak gini
Malam yang cerah menyelimuti kota, bulan menggantung sempurna di langit, memancarkan sinar lembut yang menembus tirai jendela kamar Lia. Di balkon, Lia berdiri dengan secangkir teh hangat di tangannya, menatap langit penuh bintang. Hatinya terasa lebih tenang setelah melewati minggu-minggu penuh kegelisahan. Keputusan yang ia buat telah menjadi titik balik dalam hidupnya, dan ia tahu ini adalah langkah awal dari perjalanan baru. Ponselnya yang tergeletak di meja berbunyi. Sebuah pesan dari Dean. “Ada waktu buat ngobrol? Aku di depan kosanmu.” Lia tersenyum tipis. Tanpa berpikir panjang, ia meraih jaketnya dan menuruni tangga. Di luar, Dean berdiri bersandar pada motornya. Ia mengenakan jaket kulit hitam yang membuatnya terlihat lebih santai dari biasanya. Ketika melihat Lia muncul, dia tersenyum hangat, menyembunyikan sedikit kegugupan di balik matanya. “Hai,” sapa Dean pelan. “Hai juga,” jawab Lia. “Kenapa nggak
Lia berdiri di depan cermin, tangannya merapikan rambut yang sedikit berantakan. Pikirannya sibuk memutar ulang percakapan terakhirnya dengan Raka beberapa hari lalu. Sesekali, ia menggigit bibir bawahnya, merasa bersalah atas keputusan yang ia buat. Tapi di saat yang sama, ada kelegaan. Dia memandangi pantulan dirinya dengan sorot mata yang penuh pertanyaan. Apakah ini jalan yang benar? Apakah keputusannya memilih Dean adalah langkah terbaik? Hatinya menggelayut di antara rasa percaya diri dan keraguan yang tak henti-henti menghantui. Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. “Lia, kita udah telat. Dean nunggu di bawah,” seru Ayu, teman sekamarnya, dengan nada ceria. Lia menarik napas dalam, mencoba menghapus pikiran-pikiran yang membebani. Dia melangkah keluar dengan senyum kecil, meskipun hatinya masih terasa berat. Di kafe kampus, Dean sudah duduk menunggu. Dia sedang sibuk memeriksa laptopnya, tetapi saat
Raka berjalan perlahan meninggalkan taman kampus, langkahnya berat seperti menahan beban tak kasatmata. Suara tawa kecil yang samar terdengar dari arah belakang membuat dadanya terasa sesak, tapi ia tidak menoleh. Angin sore menerpa wajahnya, menyapu rambutnya yang sedikit berantakan.Pikirannya bercampur aduk. Antara menyesali apa yang tidak pernah ia lakukan dan mencoba menerima kenyataan bahwa Lia telah memilih.Sesampainya di parkiran, ia duduk di jok motornya tanpa menyalakan mesin. Wajahnya menghadap ke langit yang semakin gelap, seakan mencari jawaban dari kekosongan yang tiba-tiba menyelimutinya.Dia memejamkan mata, mencoba mengingat senyum Lia, suara lembutnya, dan momen-momen kecil yang dulu terasa berarti. Namun, bayangan itu kini terasa seperti serpihan kaca yang menyakitkan saat disentuh.Suara dering ponsel membuyarkan lamunannya. Raka membuka layar, nama “Arin” tertera di sana.Ia menghela napas sebelum menjawab. “Hal
Langit sore mulai berubah jingga saat Lia berdiri di depan gedung kampus. Angin berembus lembut, menggoyangkan helaian rambutnya yang terurai. Tatapannya menerawang jauh, seakan pikirannya berada di tempat lain.“Lia.”Suara itu memecah lamunannya. Ia menoleh dan menemukan Dean berdiri tak jauh darinya. Senyum tipis terukir di wajah lelaki itu, meski ada sesuatu di matanya—sesuatu yang membuat dada Lia sedikit bergetar.“Aku sudah menunggumu.”Lia menarik napas dalam-dalam. Ia tahu percakapan ini tak bisa dihindari. Setelah semua yang terjadi, setelah kebingungan yang selama ini menghantuinya, mungkin ini saatnya mengambil keputusan.“Kita bicara di taman belakang?” usul Dean.Lia mengangguk. Mereka berjalan berdampingan, namun ada jarak tipis di antara mereka—seperti tembok tak kasatmata yang memisahkan perasaan mereka.Saat mereka tiba di taman, senja sudah hampir tenggelam. Langit berubah menjadi ungu keemasan, m
Senja mulai turun saat Lia duduk di bangku kayu di bawah pohon rindang di taman kampus. Angin sepoi-sepoi mengibaskan ujung rambutnya, namun ia tak peduli. Tatapannya tertuju pada secarik kertas yang ia genggam erat—surat dari Raka.Ia membaca ulang tulisan tangan yang familiar itu, berusaha memahami isi hati Raka yang terukir dalam kata-kata."Lia,Aku tahu hubungan kita telah melalui banyak pasang surut. Aku berterima kasih untuk setiap momen yang pernah kita bagi. Tapi aku sadar, terkadang cinta adalah tentang melepaskan. Aku ingin kamu bahagia, Lia, meskipun itu berarti aku harus mundur. Dean adalah orang yang tepat untukmu, dan aku yakin dia bisa memberikan kebahagiaan yang selama ini kamu cari.Aku akan baik-baik saja. Jangan khawatirkan aku. Kamu selalu ada di hatiku, tapi aku harus melangkah maju.Terima kasih untuk segalanya.-Raka"Hati Lia mencelos membaca baris terakhir itu. Ada rasa haru, bersamaan dengan rasa lega. Ia tah
Langit pagi terasa cerah, dengan sinar matahari lembut menyinari jalanan kampus yang mulai ramai oleh mahasiswa yang berlalu-lalang. Suara tawa dan percakapan ringan menggema di lorong-lorong, menyelimuti suasana kampus yang penuh kehidupan. Lia berjalan pelan menuju kelasnya, dengan tas selempang tergantung di bahu. Namun, di tengah keramaian itu, pikirannya melayang, terjebak dalam euforia percakapannya dengan Dean semalam.Ia tidak bisa berhenti tersenyum. Segala yang terjadi antara dirinya dan Dean terasa seperti mimpi. Setelah sekian lama berada dalam kebingungan tentang perasaan mereka, akhirnya semuanya jelas. Tapi di balik kebahagiaannya, ada perasaan lain yang berusaha ia sembunyikan—rasa bersalah pada Raka.“Lia!” Sebuah suara memanggilnya dari kejauhan.Lia menoleh dan melihat Dean berlari kecil ke arahnya, dengan senyuman khas yang selalu berhasil membuatnya merasa tenang.“Hai,” sapa Lia, berhenti di depan pintu kelas.“
Matahari pagi menyinari halaman kampus yang mulai ramai oleh para mahasiswa. Suara riuh dari para mahasiswa baru yang berlatih drama di aula terdengar sampai ke sudut taman kampus. Lia duduk di bangku kayu dengan sebuah buku terbuka di pangkuannya. Namun, pikirannya tidak sepenuhnya ada di sana.Ia menoleh ke kanan, tempat Dean tengah berbicara dengan beberapa temannya. Sesekali tawa Dean terdengar, dan itu cukup untuk membuat jantung Lia berdegup sedikit lebih cepat. Sejak kompetisi debat kemarin, hubungan mereka semakin terasa berbeda. Ada kehangatan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya, dan ia tahu, perlahan perasaannya terhadap Dean menjadi lebih jelas.“Lia!” Sebuah suara memanggilnya.Lia menoleh dan melihat Raka berjalan ke arahnya, membawa dua gelas kopi di tangan. Ada senyum kecil di wajah Raka, tetapi ia terlihat lebih tenang daripada sebelumnya.“Hai, Raka,” sapa Lia, memberikan ruang di bangku untuknya. “Kopi untukku?”
Hujan gerimis turun membasahi kota di sore itu. Langit tampak kelabu, seperti cerminan suasana hati Raka. Ia duduk di sebuah kedai kopi kecil yang berada di pinggir jalan, memandangi orang-orang yang berlalu lalang dengan payung warna-warni. Secangkir kopi hitam di depannya sudah mulai dingin, tapi ia tidak peduli.Pikirannya melayang pada kejadian pagi tadi. Ia sempat melihat Lia dan Dean berjalan bersama di koridor kampus, dengan senyum yang begitu tulus di wajah mereka. Meski sudah bertekad untuk menerima kenyataan, ada bagian kecil di hatinya yang masih terasa perih."Kenapa masih terasa sulit?" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar di tengah suara rintik hujan.Pintu kedai terbuka, mengundang angin dingin masuk ke dalam. Raka mendongak, dan matanya bertemu dengan seorang gadis berambut panjang yang basah kuyup karena hujan. Ia mengenakan mantel kuning cerah, tapi rambutnya yang meneteskan air menunjukkan bahwa payung yang ia bawa tidak banyak me
Langit pagi masih dipenuhi rona oranye ketika Lia melangkahkan kaki ke taman kota. Ia sengaja datang lebih awal, mencari ketenangan sebelum menghadapi hari yang penuh keraguan. Aroma embun pagi bercampur dengan harum bunga mawar yang bermekaran di sekeliling membuatnya sedikit lebih tenang.Di tengah hamparan rumput, Lia duduk di bangku kayu yang menghadap kolam kecil. Ia menggenggam secangkir cokelat hangat yang dibawanya dari rumah, sesekali menyeruputnya perlahan. Pandangannya menerawang, memikirkan dua orang yang selama ini mengisi dunianya."Dean..." gumamnya pelan, suaranya tenggelam di antara kicauan burung.Dean, dengan segala ketulusannya, selalu ada untuknya, bahkan di saat Lia sendiri merasa sulit memahami dirinya. Namun, ada Raka, sahabat yang sudah menjadi bagian dari hidupnya sejak kecil, yang kehadirannya begitu akrab hingga kadang terasa seperti udara—penting, tapi sering kali terlupakan.Lia menarik napas panjang, mencoba men