Malam terus bergulir, menggulung keheningan yang terasa menyesakkan. Di dalam tempat penampungan itu, api kecil di sudut ruangan memancarkan cahaya hangat, namun tidak cukup untuk mengusir kegelapan yang bersemayam di hati mereka. Lia terjaga, matanya terpaku pada anak kecil yang masih tertidur lelap di sudut ruangan. Sesuatu tentang kehadiran anak itu terus mengusik pikirannya.Dean duduk di dekat pintu dengan tubuh tegap, matanya memandangi kegelapan luar. Sementara itu, Raka, meskipun masih lemah, bersandar di dinding kayu, mencoba mengatur napas yang berat."Dean," bisik Lia, suaranya nyaris tidak terdengar.Dean menoleh, tetapi tidak menjawab. Sorot matanya tetap tajam, penuh kewaspadaan.Lia menggigit bibirnya, mencoba menyusun kata-kata. "Apa kau benar-benar berpikir anak itu bisa menjadi ancaman?"Dean mendesah pelan, tidak ingin memulai perdebatan. "Aku tidak tahu, Lia. Tapi aku tidak ingin mengambil risiko. Dalam situasi seperti ini, kita tidak bisa mempercayai siapa pun."L
Langit pagi itu terasa mendung, seolah alam turut merasakan ketegangan yang sedang dirasakan Lia. Di sebuah ruangan kecil di rumahnya, seorang anak laki-laki duduk di sofa, matanya menatap lantai tanpa ekspresi. Dean berdiri di sudut ruangan, tangannya terlipat di dada, sementara Raka mondar-mandir di depan jendela yang sedikit terbuka.“Lia, kamu yakin dia mau bicara hari ini?” Dean memecah keheningan. Suaranya datar, tetapi ada nada cemas yang tak bisa disembunyikan.Lia mengangguk pelan. “Kita harus sabar. Dia sudah melalui banyak hal.”Anak laki-laki itu mengangkat pandangannya sejenak, menatap Lia dengan mata yang penuh ketakutan. Lia tersenyum lembut, mencoba memberikan rasa aman.“Kamu tidak apa-apa di sini,” katanya dengan suara pelan.Anak itu mengangguk sedikit, lalu menelan ludah. “Aku... aku gak tahu harus mulai dari mana,” katanya pelan, suaranya nyaris seperti bisikan.“Mulai saja dari apa yang kamu rasakan,” ujar Lia. Ia duduk di lantai, sejajar dengan anak itu, menunju
Pagi yang masih diselimuti kabut dingin terasa sepi. Langit abu-abu seperti enggan membiarkan matahari menyelinap. Lia duduk di teras rumah kecil mereka, menatap kosong ke halaman yang dipenuhi dedaunan basah. Gelas teh di tangannya sudah dingin, namun dia tak berniat menyeruputnya. Pikirannya melayang pada peristiwa semalam, pada wajah Dean yang penuh luka, dan pada Raka yang diam-diam memalingkan tatapannya darinya."Kenapa mereka mengincar Arvin?" gumamnya pada diri sendiri.Pintu di belakangnya terbuka pelan. Dean muncul dengan kemeja yang kusut dan wajah yang belum sepenuhnya terjaga. “Kau baik-baik saja?” tanyanya sambil duduk di sampingnya.Lia mengangguk pelan. “Aku hanya tidak bisa berhenti memikirkan apa yang terjadi.”Dean menatapnya, matanya seperti mencoba menyelami isi hati Lia. “Aku juga tidak bisa. Tapi yang penting, kalian berdua selamat. Itu yang utama.”Suara langkah kaki Raka terdengar dari dalam rumah. Dia keluar dengan jaket yang dikenakannya sembarangan, rambutn
Malam itu terasa begitu dingin, tetapi Lia tidak peduli. Taman kampus yang biasanya menjadi tempat tenang kini berubah menjadi arena penuh ketegangan. Di depannya, dua pria yang paling dekat dengannya, Dean dan Raka, saling beradu pandang dengan kebencian yang membara. "Aku sudah cukup muak dengan kalian berdua," kata Lia, matanya berkaca-kaca. "Kalau tidak ada yang mau memberitahuku kebenaran, lebih baik aku pergi." "Lia, tunggu!" Dean melangkah maju, tetapi Raka menahannya. "Jangan coba-coba mengalihkan perhatian Lia lagi, Dean. Kau sudah cukup memanipulasi keadaan selama ini." "Manipulasi?!" Dean mendengus. "Kalau aku memanipulasi sesuatu, itu untuk melindungi dia!" "Melindungi atau menyembunyikan kebenaran?" Raka mendekat, wajahnya tegang. "Aku tahu segalanya, Dean. Kau terlibat dalam insiden Rayhan Aditya, bukan?" Lia membeku di tempatnya. Nama itu lagi. Nama yang muncul di dokumen lama, nama yang membuatnya menggali lebih dalam. "Rayhan Aditya?" suara Lia bergetar. "Apa
Langkah Lia bergema di lorong sekolah yang hampir sepi. Sepasang sepatu ketsnya menghantam lantai dengan ritme cepat, seolah mengikuti degup jantung yang berdentam penuh emosi. Seluruh kejadian tadi malam terus berputar di benaknya—kata-kata Raka, pengakuan Dean, dan kebenaran yang selama ini tersembunyi. Sepupu? pikirnya, kata itu berulang kali memukul pikirannya seperti gelombang yang tak pernah surut. Rasa marah dan kecewa bercampur menjadi satu. Di ujung lorong, matanya tertumbuk pada ruangan klub jurnalis. Ia tidak pernah benar-benar masuk ke sana, tetapi ia tahu ruangan itu sering menjadi tempat berkumpul siswa yang ingin menelusuri kebenaran. Tanpa ragu, ia membuka pintu. Di dalam, meja-meja berantakan dengan tumpukan kertas, kamera, dan laptop yang terbuka. Hanya ada satu orang di sana—Raisa, ketua klub jurnalis yang dikenal memiliki informasi tentang hampir semua hal di sekolah. Raisa mendongak dari laptopnya, alisnya terangkat begitu melihat Lia. "Wow, ini kejutan. Apa y
Bab 60Angin sore berhembus lembut melalui jendela ruang kelas yang setengah terbuka. Lia duduk di salah satu bangku dekat jendela, memandang langit senja dengan tatapan yang sulit diartikan. Sementara itu, Dean duduk di bangku yang sama, jaraknya hanya beberapa senti darinya. Ketegangan yang samar terasa di antara mereka.“Apa kamu yakin mau begini terus?” suara Dean memecah keheningan, nada suaranya tegas, namun ada jejak keraguan di sana.Lia mengalihkan pandangannya dari jendela dan menatap Dean. “Maksudmu apa?” tanyanya, suaranya bergetar sedikit, mencoba menutupi kegelisahan di hatinya.Dean mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, matanya tajam seperti mengupas lapisan pertahanan Lia satu per satu. “Aku tahu kamu bingung, Lia. Aku tahu kamu merasa terjebak. Tapi kita tidak bisa pura-pura lagi.”Kata-kata Dean menusuk, tapi Lia menahan diri untuk tidak bereaksi. Dia tahu dia harus menghadapi ini, tapi bagaimana caranya? Pilihan yang ada di depannya terasa terlalu berat.Di sudut
Pagi itu, langit tampak mendung, seperti mencerminkan suasana hati Lia yang penuh keraguan. Dia duduk di sudut kantin kampus, menyendiri dengan segelas kopi yang sudah mulai dingin. Hatinya terasa berat setelah pertemuan terakhirnya dengan Raka dan Dean.Suara langkah mendekat, lalu sebuah suara lembut membuyarkan lamunannya. “Lia, kamu baik-baik aja?”Lia mendongak dan mendapati wajah Sarah, sahabatnya, penuh kekhawatiran. Tanpa menunggu jawaban, Sarah langsung duduk di kursi di depannya.“Kayaknya kamu butuh cerita,” Sarah membuka percakapan dengan senyum kecil, mencoba mencairkan suasana.Lia menggenggam cangkir kopinya erat. “Aku... bingung, Sarah. Aku nggak tahu harus gimana.”“Ini soal Raka dan Dean lagi, kan?” Sarah menebak dengan nada tegas, meski ekspresinya tetap lembut.Lia mengangguk pelan, tidak bisa mengelak. “Mereka berdua... Aku nggak tahu apa yang sebenarnya aku rasain. Tapi aku juga nggak mau nyakitin mereka.”Sarah menghela napas, lalu meraih tangan Lia. “Lia, nggak
Hening menyelimuti taman yang mulai dipenuhi cahaya redup fajar. Lia masih duduk di bangku, pikirannya terombang-ambing di antara dua nama yang terus bermain di hatinya—Dean dan Raka. Napasnya terasa berat, seolah setiap tarikan membawa lebih banyak beban.Ia memejamkan mata, mencoba mencari kedamaian dalam keramaian pikirannya. Tetapi bayangan wajah mereka berdua tidak kunjung menghilang. Raka dengan tatapan teduh dan ketenangannya, Dean dengan sorot mata tajam penuh emosi.Namun, kesunyian itu pecah oleh suara langkah kaki. Lia membuka mata, mendapati sosok Tania berdiri di depannya dengan ekspresi cemas."Lia? Kamu di sini semalaman?" tanya Tania, suaranya nyaris berbisik.Lia tersenyum lemah. "Aku nggak bisa tidur."Tania duduk di sebelahnya, menggenggam tangan Lia dengan lembut. "Kamu kelihatan capek banget. Apa semua ini karena Dean dan Raka?"Lia mengangguk tanpa banyak kata. Air matanya mulai menggenang, tetapi ia menahannya. Ia sudah cukup menangis selama ini.Tania menatap s
Langit sore itu terlihat begitu cerah. Cahaya matahari yang lembut menyelimuti kampus, menciptakan suasana yang tenang meski ada banyak orang berlalu-lalang. Lia berjalan di samping Dean, langkah mereka seakan seirama meskipun kadang Lia terhenti, menatap langit dengan pikiran yang penuh."Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Dean, matanya memandang Lia dengan penuh perhatian. Tangannya yang besar menggenggam tangan Lia dengan lembut, seakan memberinya kekuatan.Lia menarik napas dalam-dalam, merasa tenang di dekatnya. "Aku hanya berpikir, apakah ini keputusan yang tepat. Mengakhiri masa lalu dan memulai sesuatu yang baru."Dean tersenyum, senyum yang selalu bisa membuat Lia merasa lebih ringan. "Keputusan itu tak pernah mudah, Lia. Tapi aku yakin kau sudah memilih dengan hati. Kau tak perlu ragu lagi."Lia mengangguk, meskipun ada sedikit rasa khawatir yang masih menghantuinya. Meninggalkan masa lalu memang bukan hal yang mudah. Namun, apa y
Lia berjalan pelan di lorong kampus, matanya menatap lurus ke depan, meskipun pikirannya berkecamuk. Hari-hari terakhir terasa begitu berbeda. Kehadiran Dean yang semakin dekat membuatnya merasa nyaman, tetapi di sisi lain, bayang-bayang Raka masih mengintai di setiap langkahnya.Hari itu, Lia memutuskan untuk bertemu Dean setelah kuliah. Ia ingin berbicara lebih banyak, mengungkapkan perasaannya yang telah lama terpendam. Mereka sudah melewati banyak hal bersama, dan sepertinya inilah saat yang tepat untuk mengungkapkan segala sesuatunya dengan jelas.Sementara itu, Dean yang telah menunggu di taman kampus tersenyum ketika melihat Lia mendekat. Seperti biasa, senyum itu menghangatkan hati Lia. Ia tahu Dean adalah sosok yang selalu bisa membuatnya merasa tenang. Tak ada yang memaksanya untuk menjadi sesuatu yang bukan dirinya."Lia, kau datang juga," ujar Dean dengan suara lembut, namun penuh kehangatan. Matanya yang teduh menatap Lia dengan penuh per
Hujan turun deras malam itu, menambah keheningan yang menyelimuti kamar Lia. Ia duduk di dekat jendela, memeluk lututnya sambil memandangi tetesan air yang membasahi kaca. Bayangan Raka masih terngiang di kepalanya, begitu pula kata-kata terakhir yang ia ucapkan.“Aku ingin kamu bahagia, Lia.”Namun, bahagia seperti apa yang sebenarnya ia inginkan? Apakah ia benar-benar tidak bisa bahagia tanpa Raka?Pikirannya berkecamuk. Ia merasa seperti tersesat di persimpangan jalan. Tapi di tengah kebingungannya, ada satu nama lain yang terus menyelinap masuk ke dalam hatinya: Dean.Dean, dengan senyumannya yang selalu memberi rasa hangat. Dean, yang meski tidak pernah ia duga, selalu berada di saat ia membutuhkan seseorang.Keesokan harinya, Lia memutuskan untuk pergi ke perpustakaan kampus. Ia membutuhkan ketenangan, atau setidaknya tempat di mana ia bisa mengalihkan pikirannya dari semua kekacauan ini.Langkahnya terhenti ketik
Langit kampus dipenuhi awan kelabu, mencerminkan suasana hati Lia yang tak menentu. Langkahnya terasa berat ketika ia memasuki taman di depan gedung utama, tempat Raka biasa menunggu. Namun hari ini berbeda. Tidak ada Raka yang tersenyum hangat menyapanya. Yang ada hanya bangku kosong dan udara dingin menusuk.Lia merapatkan jaketnya, matanya menyapu sekitar, berharap ia hanya terlambat beberapa menit. Namun, semakin lama ia berdiri di sana, semakin nyata kenyataan bahwa Raka tidak datang.“Lia.”Suara itu membuatnya menoleh. Dean berdiri tak jauh darinya, mengenakan hoodie abu-abu dan jeans. Rambutnya berantakan seperti baru berlari, dan ada senyuman kecil yang menggantung di bibirnya.“Aku kira kamu nggak ke sini,” katanya sambil melangkah mendekat.Lia menatapnya dengan ekspresi campur aduk. “Aku nunggu Raka.”Dean mengangguk pelan, meski ada sesuatu di matanya yang sulit diterjemahkan. “Raka nggak bilang apa-apa ke kamu?
Bab 68Malam itu, hujan turun dengan deras, menciptakan irama alami yang menenangkan. Lia duduk di dekat jendela kamarnya, menatap tetesan air yang berlomba-lomba menuruni kaca. Pikirannya melayang, mencoba mencerna peristiwa yang baru saja terjadi.Pertemuan dengan Raka di kafe sore tadi masih terngiang jelas di benaknya. Tatapan mata Raka yang penuh harap, kata-kata yang terucap dengan hati-hati, dan keheningan yang sesekali menyelimuti percakapan mereka."Lia, aku tahu ini sulit untukmu," kata Raka sambil menatap langsung ke matanya. "Tapi aku ingin kamu tahu, perasaanku padamu tulus. Aku siap menunggumu sampai kamu benar-benar yakin."Lia hanya bisa tersenyum tipis saat itu, tanpa mampu memberikan jawaban pasti. Hatinya masih bimbang antara perasaannya pada Raka dan Dean.Keesokan harinya, Lia memutuskan untuk berjalan-jalan di taman kota, berharap udara segar bisa membantunya berpikir lebih jernih. Langit cerah dengan awan putih berarak, angin sepoi-sepoi meniup lembut rambutnya.
Malam itu, angin berhembus lembut, membawa aroma khas hujan yang baru saja reda. Lia duduk di teras rumahnya, menatap langit yang mulai cerah, dengan bintang-bintang yang bermunculan satu per satu. Pikirannya melayang, merenungkan pertemuannya dengan Raka dan Dean beberapa hari lalu.Ia telah menyampaikan keputusannya untuk tidak memilih salah satu dari mereka saat ini, dan meminta waktu untuk memahami perasaannya sendiri. Keduanya menerima keputusan itu dengan lapang dada, meskipun Lia bisa melihat kekecewaan di mata mereka.Sejak saat itu, Lia merasa ada jarak yang tercipta antara dirinya dengan Raka dan Dean. Mereka masih berkomunikasi, namun tidak seintens dulu. Lia memahami bahwa mereka memberi ruang baginya untuk berpikir, namun ia tak bisa menghindari rasa kesepian yang mulai menyelimuti hatinya.Suatu hari, saat berjalan-jalan di taman kota, Lia melihat seorang gadis kecil yang sedang bermain dengan anjing peliharaannya. Tawa riang gadis itu mengingatkannya pada masa kecilnya
Langit mendung menggantung di atas kampus, memberikan suasana muram yang terasa selaras dengan perasaan Lia. Ia berjalan di koridor panjang menuju perpustakaan, mencoba mengalihkan pikirannya. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah beban keputusan yang ia hadapi menekan pundaknya.Pintu perpustakaan berderit saat ia membukanya. Di dalam, aroma buku tua langsung menyergap indra penciumannya. Tempat ini biasanya menjadi pelariannya, namun hari ini, ketenangan perpustakaan terasa terlalu sunyi.Lia melangkah menuju rak bagian belakang, tempat paling sepi yang biasa ia pilih untuk menyendiri. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat seorang pria yang sangat dikenalnya duduk di sudut ruangan, sibuk dengan laptopnya.Dean.Pria itu tampak tenggelam dalam pekerjaannya, wajahnya serius, jemarinya bergerak lincah di atas keyboard. Lia ragu sejenak, namun akhirnya mendekat. Ketukan kecil pada meja membuat Dean menoleh.“Oh, Lia,” ucapnya
Lia duduk di kursi taman kampus, membiarkan angin pagi yang dingin menggoda rambutnya. Langit mendung di atasnya seperti mencerminkan pikirannya yang kacau. Beberapa mahasiswa berlalu-lalang, namun ia tidak memperhatikan mereka. Matanya tertuju pada buku catatan yang terbuka di pangkuannya, tetapi pikirannya jauh dari tulisan-tulisan yang memenuhi halaman itu.Dean menghampiri dari kejauhan, wajahnya terlihat serius. Tanpa banyak bicara, ia duduk di samping Lia. Aroma khas parfumnya menyapa hidung Lia, membuatnya sedikit tegang.“Lia,” Dean memulai, suaranya pelan namun tegas. “Kamu baik-baik saja?”Lia menoleh, mencoba menutupi emosi yang meluap dalam hatinya. “Aku baik,” jawabnya singkat, meski nada suaranya terdengar getir.Dean menarik napas panjang. Ia tahu Lia sedang berusaha keras menyembunyikan sesuatu. Selama ini, Lia selalu seperti itu—mencoba terlihat kuat meskipun hatinya sedang bergolak.“Kita nggak bisa terus kayak gini
Hari itu, Lia merasa ada yang aneh. Seperti ada sesuatu yang menggantung di udara, sesuatu yang sedang menunggu untuk diungkapkan. Perasaan itu muncul begitu ia berjalan melewati ruang kelas, ketika ia melihat sebuah pesan di ponselnya.Pesan dari Raka."Bisakah kita bicara setelah sekolah?"Itu saja. Tidak ada penjelasan lebih lanjut. Tetapi cukup untuk membuat hati Lia berdegup lebih kencang. Seperti ada beban yang tertahan di dalam dirinya yang akhirnya harus dilepaskan.Setelah jam sekolah selesai, Lia berjalan dengan langkah perlahan menuju tempat yang telah mereka sepakati. Sebuah taman kecil di sudut sekolah yang biasanya jarang didatangi orang. Raka sudah menunggu di sana, tampak lebih serius daripada biasanya."Raka," sapa Lia pelan, mendekat.Raka menoleh, dan matanya langsung menangkap perhatian Lia. Ada sesuatu yang berbeda di mata laki-laki itu hari ini. Bukan hanya kecemasan, tapi juga keteguhan."Kita perlu bicara," kata Raka, suaranya lebih berat dari biasanya. “Tentan