Bab 2
Tak henti gedoran itu terus dilakukan. Perut yang tadinya begitu lapar, kini hilang seketika. Cacing dalam perut pun mendadak aman karena mendengar ketukan itu.
Sebelum membuka pintu, aku mengintipnya terlebih dahulu dari sebuah lubang dinding yang sedikit berlubang. Rasa penasaran semakin memuncak ketika pintu juga ditendang dengan kaki.
"Tunggu, Ayah," ucapku seraya membuka pintu.
Begitu terbuka, pintu itu langsung ditendang sekuatnya. Aku bingung kenapa Ayah terburu-buru seperti ketakutan. Tidak pernah terjadi sebelumnya, biasanya Ayah adalah tipe pria pemberani. Bingung dengan keadaan yang dialami olehnya. Diri ini jadi ikut takut dengan melihat gelagat pria pertama yang aku cintai itu melakukan hal aneh.
Beliau langsung masuk ke kamar. Setelah itu tak tahu lagi apa yang dilakukannya di dalam sana. Aku hanya menunggu kabar darinya. Ada apa sebenarnya yang baru terjadi?
Sebelum menutup daun pintu berwarna biru, aku ke halaman belakang untuk mengintai siapa kira-kira yang telah membuat Ayah ketakutan. Pelan-pelan sambil memicingkan mata sedikit. Namun, tak satu pun terlihat. Baik manusia atau hewan di pekarangan belakang.
Satu jam Ayah berada di kamar belum juga keluar. Sejak tadi aku menunggunya. Tak sabar rasanya hati ini ingin mengetahui kebenaran.
"Ayah .... Ada apa, sih? Ayah tidur?" tanyaku, sembari mengetuk pintu dengan pelan.
Tak ada sahutan dan jawaban diberikan ayah. Pintu masih tetap kuketuk, agar kiranya beliau keluar memberi penjelasan. Berulang-ulang kulakukan, tetapi tetap membisu. Bingung sekali, entah kenapa bulu kuduk merinding seketika.
Sudah berulang kali nama Ayah dipanggil, pun hasilnya tetap sama. Pikiran yang sedari tadi menghantui kini dibuang jauh-jauh. Berharap agar kiranya semua itu hanya ketakutanku semata tanpa beralasan.
Senja pun tiba menghampiri kota kecil, yaitu; Rantau Prapat kota idaman. Keramaian lalu lalang semakin memicu keributan dalam berkendara karena hari hampir Maghrib. Semakin malam semakin banyak yang menggunakan sepeda motor dengan kecepatan tinggi di jalanan.
Burung-burung berterbangan, ada juga yang berbaris di kabel listrik sebagai hiburan mata pada malam hari. Lampu berwarna ikut menghiasi untuk memperindah kota kian maju. Sejak usiaku dua tahun menginjak kota ini, sudah menjadi sebuah lokasi yang sangat strategis menjadi kota besar dengan memiliki gedung-gedung sesuai perkembangan.
Hingga kini, kota itu menjadi pusat pemerintahan kabupaten setempat. Kota dengan memiliki sungai yang menghubungkan antara kecamatan. Namanya Sungai Bilah.
Terdengar suara azan dari masjid yang tak jauh dari rumah. Pertanda bahwa salat Maghrib telah tiba. Tanpa menunda waktu, langsung menuju kamar mandi dan membuka keran air untuk segera berwudhu sebelum melaksanakan salat.
Cuaca yang panas dan gerah kini berubah menjadi sejuk saat air masuk ke mulut untuk berkumur-kumur dan disiram ke wajah. Mengikuti rukun wudu secara berurutan. Jiwa dan pikiran tenang, tak ada lagi yang mengganggu pikiran. Semua harus menerima dengan ikhlas atas apa yang diberikan Tuhan.
Nikmatilah apa yang telah dia berikan padamu. Bersabarlah jika kebutuhanmu masih kurang. Jangan pernah mengeluh, sebab Tuhan masih merahasiakan yang terbaik untuk kehidupanmu.
Hindari perbuatan menjadikan diri penuh dosa. Lakukan hal-hal ke arah yang lebih baik. Cintai, hormati, serta hargai semua yang engkau miliki. Niscaya dirimu termasuk insan dengan derajat tinggi.
Kuangkat takbir di depan sajadah berwarna hijau. Mengkhusyu'kan pikiran pada ibadah yang dilakukan, sampai ke tahiyat akhir. Tenang rasanya jiwa ini setelah melakukan salat. Beban pikiran hilang seketika. Itulah hebatnya perintah Tuhan jika dilakukan secara ikhlas meski jauh dari kata sempurna.
Setelah melakukan salat, Ayah memanggilku.
"Zeyn ... kamu sudah selesai salat?" tanya Ayah, sembari mengetuk daun pintu kamar.
"Ya, Ayah. Baru saja," jawabku, seraya keluar kamar.
"Masih ada kerjaan, Nak?"
"Ada apa, Ayah? Mau aku hidangkan makan malam?" tanyaku, dengan senyuman mengembang.
Ayah duduk di kursi tua peninggalan nenek. Sudah tampak lapuk, tetapi tetap kuat jika diduduki. Mak pernah bercerita kalau kursi itu lebih tua darinya. Bayangkan saja, jika Mak masih hidup, usianya sudah hampir empat puluh tahun.
Sudah setahun aku dan ayah ditinggal Mak. Benda itu masih awet bersama kami. Terlihat dari kayunya yang cukup kuat. Jati tempo dulu memang lumayan bagus. Hanya saja modelnya tidak sesuai jaman.
"Mmmm, anu--. Udahlah, gak usah. Yuk, kita makan. Ayah sudah laper," sahut Ayah.
Sepertinya bukan makan yang ingin Ayah sampaikan. Ada sesuatu telah beliau simpan, tetapi masih ragu untuk mengatakannya. Apa cerita siang tadi? Kutarik napas panjang, tak ingin kembali lagi mengingatnya. Terpaksa diabaikan.
Meja makan sudah terhidang nasi serta lauk. Ikan sambal goreng dicampur tempe dan tahu. Tak lupa dengan sayur gulai daun singkong ditumbuk sebagai penyelera makan. Jika lauknya seperti itu, nafsu makan Ayah meningkat. Makanya sering sekali memasaknya, agar kondisi tubuh pria tangguh itu sehat. Masakan ala kampung bergizi tinggi.
"Zeyn, sudah setahun Mak kamu pergi. Apa kamu nggak merasa kesepian?" tanya Ayah, di sela-sela nasi masih dalam mulut sedang dikunyah.
"Emang kenapa, Ayah? Ada niat menggantikan posisi Mak?" tanyaku balik pada Ayah.
"Enggaaak. Kok, kamu langsung ngomong begitu, sih? Kamu ingin Ayah melupakan Mak kamu? Jangan bercanda, deh, Zeyn." Ucapannya membuat hatiku lega.
"Ayah, sih. Ngomongnya aneh. Kek, gak ada bahasan lain aja. Udah, ah. Makan dulu, ntar keselek lagi," sahutku, sambil menuangkan air hangat dari ceret ke dalam cangkir besar miliknya.
Setelah makan malam, Ayah pergi ke warung kopi bersama tetangga. Biasa kalau malam mereka berkumpul sekedar berbagi cerita dan menonton bola di televisi. Sudah tradisi seperti itu.
Paling juga pulang sekitar jam sebelas. Kebetulan jam segitu aku belum tidur, masih berkutat dengan buku diary dan melap Vespa tua yang kini menjadi kesayanganku, agar bersih dan kinclong. Besok pagi tidak perlu lagi membersihkannya. Tinggal berangkat ke mana pun pergi.
Mata ini sudah tidak bisa lagi dikondisikan, sangat mengantuk. Semua sudah rapi dan bersih. Aku menghempaskan tubuh ke atas kasur. Si Mumus--kucing jantan berwarna hitam putih--telah mendahului. Kucing itu dipelihara sebelum Mak meninggal. Almarhumah senang memelihara kucing sejak masih kecil. Beliau bilang hidup akan diberi keberkahan bila menyayangi hewan itu. Sampai saat ini aku mengikuti jejak Mak.
Setiap pesan orang terdekat sangat penting bagiku. Apalagi tentang ajaran dalam hidup. Satu-satunya nasihat terbaik adalah dari keluarga. Tidak ada orang tua yang ingin keturunannya terjerumus atau masuk ke lembah tak berguna.
Sudah saatnya menyelamatkannya karena jaman sudah berubah. Banyak sekali tingkah laku manusia yang tidak lagi sesuai aturan.
Terakhir jam dinding kulihat pada pukul setengah dua belas malam. Lalu aku tertidur dan lupa segalanya.
"Nek! Nenek! Tunggu, Nek!" teriakku, sembari berlari mengejar wanita tua yang persis kutemui di pinggir jalan waktu itu.
Nenek itu terus berjalan meninggalkanku tanpa menoleh ke belakang. Langkahnya semakin kencang seperti berlari kecil. Jelas saja aku merasa kesusahan mengejarnya karena menggunakan rok sempit.
"Nenek! Tunggu aku!" teriakku lagi.
Si Nenek tetap tak menghiraukan. Tubuhnya menjauh lalu hilang dari pandangan. Bola mata ini membulat sempurna ketika melihat sosoknya kembali ditemukan. Memastikan kalau dia mendengarkan panggilanku.
"Nek! Nenek!" Semakin kukencangkan langkahku, dia pun beranjak pergi lagi.
Bab 3Kakiku terasa lemas karena terus mengikutinya. Semakin dikejar sosok itu semakin jauh dan susah untuk diraih. Menyerah, kalah, dan mengalah sepertinya. Hanya untuk mengelabui saja. Selepas dari pandanganku ada sesuatu yang tersirat. Hanya saja belum mengetahui apa itu.Aku merasa ini sangat aneh. Ada antara nyata atau tidak. Sedikit pun tidak disadari."Zeyn, tunggu! Kamu mau kemana, Nak?" tanya Ayah, sembari mengejarku.Aku tetap saja tidak peduli dengan panggilan Ayah. Menurutku panggilan itu tak perlu aku dengarkan. Saat ini yang terpenting adalah bagaimana caranya agar bisa bertemu dengan sosok wanita tua.Kaki yang masih lelah dan lemas tetap dipaksa untuk melangkah mencari keberadaannya. Keinginan yang kuat itu sangat beralasan karena rasa penasaran yang tak kunjung padam. Ketika hendak berlalu lagi, tiba-tiba tanganku ditarik oleh Ayah. Aku melepaskan pegangan itu.
Bab 4Entah kenapa, ketika melihat cincin itu ada keanehan yang kurasa. Mulai dari jantung berdebar hingga darah di dada berdesir. Entah apa yang terjadi padaku. Sungguh semua ini murni tanpa kuduga.Andai saja cincin ini punya nilai yang tinggi mungkin aku bisa menjualnya untuk membeli keperluan. Namun, merasa tidak berhak melakukannya karena bukan milikku.Lama kupandangi benda yang bisa disematkan di jari. Memerhatikan bentuknya, di jaman begini masih ada saja cincin aneh seperti itu terlihat.'Pasti ini bukan cincin sembarangan,' gumamku, sembari memakaikannya di jari manisku.Indah sekali, tepat di jari manis yang begitu terlihat elegan. Tak ingin melepasnya, tetapi itu tak mungkin kulakukan. Ayah dan Mak berpesan, "Jangan pernah menikmati benda yang bukan milikmu, Nak. Tidak baik." Itulah sebabnya mengapa aku tidak mengambilnya. Hanya saja disimpan, mana tahu ada yang menca
Bab 5Bab 5Setelah kurir itu pergi, kotak kecil dibuka dengan tak sabar. Penasaran dengan isi dan siapa orang yang berbaik hati memberikan sesuatu padaku. Ada rasa takut bercampur senang. Kedua rasa itu bercampur aduk menjadi satu.Berlahan melepaskan perekat dari benda tersebut. Hati berdebar saat isi kotak kecil itu terlihat. Ternyata sebuah arloji mewah dan buku diary yang telah berisi catatan kecil.Sungguh aku terkejut dengan buku diary bertuliskan tentang kisah percintaan sama persis denganku dan seseorang. Di sana terpampang namaku dan beberapa sifat dan sikap yang aku miliki. Bukan hal yang aneh sebenarnya, akan tetapi heran siapa gerangan yang mengirimkan bingkisan ini.Sepertinya dia sudah mengenal dekat dan bahkan mengetahui semua karakter yang aku punya. Dari halaman depan hingga di lembar kelima sepertinya aku mulai mengetahui siapa kira-kira yang menulis diare itu.
Bab 6Akhirnya sampai juga di rumah Tulang. Tulang adalah sapaan untuk saudara laki-laki dari Mak. Abang atau adiknya, maka dipanggil Tulang. Ya, namanya orang Sumatera Utara, sudah pasti memiliki sapaan khas karena juga memiliki marga dalam suku.Sepupu perempuan yang sebaya denganku, mengajak untuk pergi ke rumah temannya. Masih capek sebenarnya, tetapi demi dia aku menerima ajakan itu. Bosan juga dengan berbincang pada penghuni rumah.Kendaraan sepeda motor matic berwarna merah dilaju dengan kencang. Dina seorang gadis yang berprofesi sebagai dokter sangat ramah dan rendah hati. Tak pernah merasa kaya dan sok hebat karena telah menjadi seorang dokter muda cantik. Gadis sepertiku sangat dia hormati. Terlihat dari gerak-gerik bila bersamanya.Rumah mewah telah di depan mata. Mobil juga banyak yang terparkir di halaman. Sudah pasti bukan mobil biasa. Ada Fortuner, Pajero sport, dan lainnya yang tidak
Bab 7Ponsel berdering dan kuabaikan saja. Panggilan itu datang bertubi-tubi sampai akhirnya dia menyerah dan berhenti menghubungi lagi.Sebuah pesan singkat WhatsApp masuk. Sungguh terkejut dengan isi pesan itu. Hati gundah tidak karuan. Semudah itu Naya bisa mencerna suara orang lain."Papa ... siang ini aku dan Zeyn ke Aek Siraisan, ya? Udah lama gak ke sana. Boleh, Pa?" tanya Naya, dengan suara manja."Kalian berdua?" jawab Tulangku, tanpa melihat ke arah putrinya."Ya, iya lah. Sama siapa lagi? Papa ...," rengek Naya.Sedikit pun pria bertubuh kekar itu tak bergeming dengan rengekan Dina. Sebab masih asyik bercerita dengan ayahku. Begitu pun, dia tetap merengek dan berharap permintaannya diiyakan."Pa, Papa ...," rengek Dina pada papanya."Apa, Din? Ya, udah. Pergilah sama Zeyn, tapi ingat! Jangan macem-macem, ya
Bab 8"Kalau kamu suka, ya, ungkapkan. Toh, mereka masih calon tunangan kan? Masih ada kesempatan, tuh," pungkasku.Dina diam sambil tersenyum sendiri dengan apa yang dia pikirkan. Mungkin sudah terlalu cinta. Bodo amat menurutku, tidak ingin terlibat dengan ini.Setelah banyak bercerita tentang perasaan Dina ke Nunu, akhirnya mata ini mulai tak bisa dikondisikan. Lelah sekali, tidur salah satu solusinya karena sudah larut malam."Nak, ikut Nenek, yuk."Suara itu seperti tak asing lagi. Mata diliarkan mencari arah ucapan. Namun, belum tertangkap netra ini. Sungguh aneh."Nenek di mana? Nek ... Nenek!" teriakku."Nenek di sini, Nak. Ke marilah."Tiba-tiba dia sudah ada di hadapanku. Heran, siapa sebenarnya wanita tua itu? Selalu saja datang menemuiku dalam keheningan malam. Apa yang dia inginkan dariku?
Bab 9[P.][P.][P.]Tidak juga berubah, tetap centang satu. Ponsel diletakkan di atas meja makan. Rumah yang sudah lebih seminggu kutinggalkan, akan segera dibersihkan karena debu sudah berkuasa menyelimuti beberapa benda yang ada. Terutama si Vespa kesayangan. Sudah tak sabar mengajaknya raun berkeliling sekedar menghilangkan rasa jenuh.Ponsel berbunyi, kuraih benda pipih berwarna hitam itu dan melihat panggilan dari siapa. Ternyata Naya."Zeyn, maaf, ya. Tadi lagi nelepon Nunu. Maklumlah, calon tunangan yang terganteng sedunia. Hahaha," ucapnya, sembari tertawa kecil."Owh, ya, udah. Eh, emangnya kapan, sih, tunangannya? Lama amat, deh," tanyaku, sebab Nunu mulai tak serius menanggapi hubungannya dengan gadis yang sangat mencintainya itu."Tau, tuh. Ya, menunggu keputusan dari Nunu. Toh, semua dia yang memutuskan, bukan aku atau siapa pun, Z
Bab 10Naya mengangguk tanda mengerti. Gadis itu tersenyum manis, terlihat rasa percaya atas apa yang disampaikan oleh calon tunangannya itu. Sungguh mereka berdua pasangan serasi. Kadang muncul sifat iri karena ingin memiliki seorang kekasih. Ah, itu masih lama kudapatkan sepertinya karena sadar siapa diri ini.Berusaha untuk tidak dekat dengan Naya dan calonnya. Supaya apa yang pernah Dina sampaikan kala itu tidak benar adanya. Sementara sepupuku berwajah muram. Dia tidak terima dan sakit hati melihat keduanya bermesraan melalui canda.Dari pada memandangi orang pacaran, mending membuka Facebook melihat beranda. Layar ponsel digeser untuk melihat postingan teman-teman dunia maya. Kebetulan saat ini sedang mengikuti program lowongan kerja online."Zeyn, lagi apa?" Suara itu mengejutkanku. Pria yang sudah kuhindari sejak tadi."Owh, ini aku lagi scroll beranda. Kali
Bab 61Sebelum dibuka, aku duduk di sofa. Dengan berlahan membuka kertas kado. Dirobek dan perekatnya diambil agar secepatnya bisa melihat isinya. Gladis juga sibuk membantuku. Aku jadi tersenyum melihat kelakuan putri kami yang mulai aktif-aktifnya bergerak.Mata yang tadinya memandang biasa saja, kini membulat sempurna karena tidak percaya dengan apa yang dilihat. Apakah aku bermimpi? Dari mana Jafra tahu kalau pandangan mataku tadinya ke arah benda ini?"Gimana, Sayang? Kamu suka?" tanya Jafra memegang benda ini."Mas, ini terlalu mahal untukku. Aku nggak enak.""Jangankan benda semahal ini, hatiku saja akan Mas berikan padamu. Bahkan bila kau kehilangan bagian dari tubuhmu, Mas rela memberikannya. Karena apa? Mas sangat mencintaimu, Zeyn.""Tapi, Mas ...."Aku salut dengan cintanya melebihi cintanya Arul sewaktu masih hidup bersamaku."Selamat sore," ucap seseorang dari luar. Kami kedatangan tamu sore ini.
Bab 60Aku diam dan tak ingin lagi bicara. Terlebih karena awal pernikahanku sudah ada wanita lain selain aku. Apa ini memang sudah nasibku? Ya, Allah ... jangan beri aku ujian yang kesekian kalinya. Aku memohon pada-Mu, ya, Allah.Gladis yang mulai bosan di dalam showroom, mengajakku keluar. Sementara Jafra masih ragu dengan pilihanku."Sayang, tunggu, dong. Kok, pergi?""Pilih aja sendiri, Mas. Lagian Gladis udah bosen di sini. Aku keluar aja, ya." Terlihat kalau aku mulai akrab dengan sapaan mas dan kata aku, bukan saya lagi.Hati yang sudah menaruh rasa cemburu, rasanya pengin pulang saja dan berdiam di rumah. Abang dan adik sama saja. Tidak bisa dengan satu wanita. Heran aku."Zeyn, kasi aja sama Husna. Setelah itu kamu masuk lagi, ya. Mas mau kamu yang milih," imbuhnya sembari memegang pundakku.Aku berlalu keluar ruangan dan memberikan putriku pada Husna. Kembali menemui Jafra sesuai permintaan suamiku."Ze
Bab 59"Apa? Jangan suka buat orang penasaran," ucapku.Papa dan mama mertuaku tertawa pelan melihat mimik wajahku setelah mengucapkan kalimat itu. Jafra juga menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Aku jadi malu karena merasa bertingkah seperti anak kecil."Santai, dong, Sayang," ucap Jafra dengan menyapa sayang. Astaga. Apa dia tidak segan pada orangtuanya dengan kata sayang? Apalagi belum resmi menjadi suamiku."Sayang? Huss! Sembarangan Anda," marahku, kupalingkan wajahku ke arah Gladis yang masih makan disuapi Husna dan Titin secara bergantian."Ha-ha-ha-ha, okelah, Bu Zeyn yang saya hormati. Begini, saya nggak mau mendengar kalau Ibu berteman dengan orang yang tidak dikenal sama sekali. Dan saya nggak mau Anda terus terlarut dalam kejadian yang telah menimpa rumah tangga Ibu. Hati-hatilah pada siapa pun. Terutama saudara sendiri, Bu.""Biasa aja, nggak usah panggil Ibu," sahutku, lalu memandang ke langit-langit restoran dengan menaik
Bab 58"A-apa lagi? Jangan nakut-nakuti, ya?""Saat ini Naya ingin menghancurkan bisnis Arul yang sekarang dikelola oleh papa mertuamu. Kamu tahu atas nama siapa semua wisma dan hotel milik Arul?""Ya, atas nama papanya lah.""Ha-ha-ha-ha, Zeyn ... Zeyn ... polos bener kamu." Dia tertawa sambil menutupi mulutnya."Nggak usah sok akrab!""Ya, udah. Aku pergi aja. Dan aku nggak akan temui dan kasi tau apa pun rahasia jahat mereka ke kamu.""Aduuuh, apaan, sih? Aneh!""Ok. Ya, atas nama kamulah. Ih!""Parah Anda. Saya nggak percaya kalau masalah nama. Oya, kenapa ... Naya dan Dina menyarankan Meta untuk meminta pertanggungjawaban pada Arul. Kan dia tau siapa yang menghamilinya.""Gini, awalnya Meta menolak saran Naya. Tapi tidak ada satu pun laki-laki yang dia kencani menanggungjawabinya. Terpaksa dia datang pada Arul. Nah, saat Meta meninggal, anak ada pada kamu kan? Dina dan Naya tepuk tangan, Zeyn. M
Bab 57Di hari yang sama, aku ke kamar Husna dan Titin untuk menanyakan perihal tentang isi chat dari Dina."Husna, Titin, saya mau bicara sesuatu. Ayo, ke depan TV," ucapku dengan pelan agar mereka tidak tersinggung.Setelah mereka duduk di atas karpet, aku bertanya, "Kalian jawab dengan jujur, ya. Siapa yang menyampaikan pada Dina kalau saya dan Naya berkelahi di pasar?"Husna dan Titin saling pandang dan sama-sama menceritakan kening. Aku tidak tahu apakah mereka pura-pura heran atau memang tidak tahu."Maksudnya, Bu?" Husna masih mengernyitkan keningnya."Baca," ucapku, sembari memberikan ponselku pada mereka untuk menunjukkan isi chat dari Dina."Lho, kok, Bu Dina tau?" Titin kembali heran. "Apa kau yang ngasi tau, Na?""Mana ada, Tin. Sumpah mati aku, iya. Paling haram samaku nyampein cerita apa pun tentang Bu Zeyn. Nggak ada untungnya samaku, Tin."Aku percaya dengan omongan Husna. Lalu siapa? Nah, aku yakin ini p
Bab 56Sebuah benda berbahan dasar tanah liat yang ada di dekatku kulemparkan. Emosiku semakin memuncak karena ucapannya. Tidak seharusnya dia mengatakan itu pada sahabatnya. Sudah menyakiti, ditambah lagi akan berbuat kasar."Wadawwww ...."Benda itu mengenai kepalanya. Lalu kuseret dia ke luar rumah. Najis kalau wanita yang tidak berakhlak dan jauh dari sopan santun masuk ke rumahku.Kujambak rambutnya dengan kencang dan berkata, "Sekali lagi kau datang padaku dengan niat buruk, kubunuh kau! Paham!""Lepaskan! SAKIT, ZEYN! LEPAAAS!" teriaknya sembari memegang tanganku agar terlepas dari rambutnya."Nggak akan kulepas sebelum kau iyakan permintaanku!""I-iya, iya!""Jawab yang tulus biadab!""Iyaaa!"Barulah kulepaskan jambakanku. Kudorong dia ke luar pagar, lalu kututup kembali pagarnya. Saat berbalik arah, dia malah berteriak seperti orang gila. Anak orang tajir dan punya pendidikan tinggi, bisa-bisanya s
Bab 55 [Ya, ini aku. D I N A.][Kaget?] 'Sepupu tidak berakhlak!' makiku dalam hati. Aku mengabaikan chat Dina dengan tidak membalasnya. Masih ada duka dalam hatiku, tapi Dina setega itu padaku. Bukannya ikutan bersedih, malah mengucapkan selamat dan memberikan react ketawa. Dokter gila! [Zeyn, balas, dong.][Owh, aku tau kalau kamu lagi nangis, ya.][Cup-cup-cup-cup.][Mirip dengan bayi yang bukan anakmu.][Ahhaaayy.] [Nggak pantes!] Celaan demi celaan terus dilontarkan Dina melalui pesan singkat. Aku memblokir nomor itu dengan terpaksa. Biar saja Dina bingung dengan keegoisannya. Aku tidak menyangka kalau Dina setega itu. Bukankah selama ini dia baik-baik saja padaku? Ponsel Arul yang ditinggalkannya, kini untukku. Sayangnya, aku tidak tahu kode membuka kunci kedua ponsel ini. Aku tidak pernah menyentuh barang-barang miliknya. Termasuk ponsel. Di keheningan, aku teringat dengan suaranya y
Bab 54Wanita ini selalu saja mengganggu konsentrasiku dalam segala hal. Cocoknya, orang seperti ini dimusnahkan dari permukaan bumi. Agar tidak ada lagi yang terluka selain aku. Dia bagaikan racun bagiku dan rumah tanggaku. Dia adalah sahabat dekat yang tega merampas kebahagiaanku bersama suami. Siapa lagi kalau bukan Naya. Anak orang tajir, miskin hati."Ya, ini aku, Zeyn. A-aku banyak salah sama kamu," akunya."Ngapain kau ke mari! Haa?!" bentakku di depan jenazah Arul."Ma-maafkan aku. Siksa saja aku, Zeyn. Siksa.""Aku bukan manusia laknat seperti kau! Aku masih punya hati nurani. Tau kau!""Zeyn, sudah berapa kali kubilang, maafkan aku. Ini memang salahku. Tapi, semua ini karena harta. Ya, aku nggak mau kau merasakan nikmatnya dunia. Aku nggak ingin kekayaan yang kau miliki melebihi yang dimiliki ayahku. Ka-karena, akulah yang selama ini di atasmu, Zeyn." Dia tertunduk dan meneteskan air mata."Nggak usah menyesal
Bab 53"Aduh kenapa? Halaaaahhhh, basa-basi!"Arul pergi ke arah mobilnya, lalu membawa dua kotak kecil. Dia memberikannya pada Gladis dan aku. Kubuka kotak untuk Gladis, isinya ada seperangkat perhiasan. Gelang tangan, anting, cincin, dan kalung. Setelah itu, kotak untukku juga kubuka, isinya sama juga bentuknya. Aku memakainya. Kalau urusan perhiasan mahal, istri mana yang menolak? Pertengkaran hebat pun bisa aman."Zeyn, maaf, ya. Cuma itu yang bisa aku berikan saat ini ke kalian berdua. Tadinya aku bingung mau ngasi apa. Kalau ngajak kamu, pasti kamu bawaannya marah terus. Males berantem sama perempuan yang mudah emosian, kek, kamu.""Apaan, sih? Kek, aku tukang marah aja. Gini-gini aku punya sisi lembut, lho." Aku memiringkan bibirku. Sambil bersungut-sungut."Ya udah, aku ngalah. Kan kata orang di pasar, yang waras ngalah. Ha-ha-ha," ledek Arul memancing tawa.Entah sudah berapa lama candaan seperti ini hilang. Aku juga tidak tahu kapa