Bab 4
Entah kenapa, ketika melihat cincin itu ada keanehan yang kurasa. Mulai dari jantung berdebar hingga darah di dada berdesir. Entah apa yang terjadi padaku. Sungguh semua ini murni tanpa kuduga.
Andai saja cincin ini punya nilai yang tinggi mungkin aku bisa menjualnya untuk membeli keperluan. Namun, merasa tidak berhak melakukannya karena bukan milikku.
Lama kupandangi benda yang bisa disematkan di jari. Memerhatikan bentuknya, di jaman begini masih ada saja cincin aneh seperti itu terlihat.
'Pasti ini bukan cincin sembarangan,' gumamku, sembari memakaikannya di jari manisku.
Indah sekali, tepat di jari manis yang begitu terlihat elegan. Tak ingin melepasnya, tetapi itu tak mungkin kulakukan. Ayah dan Mak berpesan, "Jangan pernah menikmati benda yang bukan milikmu, Nak. Tidak baik." Itulah sebabnya mengapa aku tidak mengambilnya. Hanya saja disimpan, mana tahu ada yang mencarinya.
Vespa tua yang berwarna hijau tepat berada di sampingku, dibersihkan dengan sehelai kain. Berniat untuk pergi menikmati pagi hari sambil berbelanja ke pasar. Jiwa ini kupaksakan tenang, agar tidak ada yang mengganjal di hati.
Pagi ini sangat cerah, dedaunan terlihat hijau melambai terkena angin. Sungguh suasana yang sangat indah, terlihat beberapa jenis hewan hinggap di pohon. Kupu-kupu pun tak kalah cantik dengan sayapnya. Mereka hinggap pada bunga-bunga yang sedang mekar. Saling berlomba menikmati sari pada kuntum tersebut. Sungguh indah melihat pemandangan itu. Suasana kota seolah masih saja terlihat asri.
Kumasukkan kunci Vespa tua itu ke lubangnya. Lalu pergi ke rumah Naya, setelah membersihkan rumah dan memasak lauk bila Ayah pulang nantinya.
Sudah hampir sebulan tidak bertemu. Biasanya ada canda dan tawa yang sering kami lakukan. Kebahagiaan bila bersama sungguh membuat hati nyaman dan tenang. Persahabatan yang dimulai sejak kecil, kala itu masih menduduki bangku sekolah TK. Lucu, comel, dan banyak hal lain yang tak bisa dilupakan.
Naya telah menjadi gadis yang paling cantik dan beruntung. Orang tuanya sangat kaya raya dan baik hati. Tentunya semua keinginannya akan terpenuhi tanpa menunggu waktu. Keluarga yang baik dan ramah. Tidak pernah sekali pun menyinggung perasaan ekonomi rendah seperti aku.
Persahabatan terjalin begitu erat. Saling mengerti karakter antara aku dan dia. Banyak yang ingin dekat dan bersahabat dengannya, tetapi itu tak mudah. Sebab, beberapa dari mereka sekedar habis manfaat karena Naya gadis yang royal.
Suka memberikan sesuatu pada orang yang dia sukai, termasuk aku. Benda mahal yang kupunya adalah pemberian darinya. Jika bukan dari dia, dari mana aku mendapatkannya. Itu jauh dari kemungkinan bila dibeli sendiri.
Vespa tua itu berhasil membawaku untuk sampai ke tempat tujuan. Rumah yang lumayan besar dan 'wow' menurutku. Seolah aku juga terkesan mewah bila sudah berada di dalam. Benda mahal dan mewah sudah tentu menjadi penghias tempat tinggal itu.
Seketika berandai-andai, menjadi seorang Naya yang sangat beruntung menurut pemikiranku. Namun, teringat dengan rumah yang hendak dijual tempo hari. Ucapan Pak Maman masih terngiang di telinga. "Rumah itu bertuah. Siapa pun yang membeli rumah itu, pasti hidupnya bahagia." Sungguh aku tergoda dengan kalimat Beliau.
Vespa tua berwarna hijau akhirnya bisa membawaku ke rumah Naya, sahabatku baikku. Kuparkirkan benda itu tepat di halaman rumahnya. Kuketuk daun pintu dengan menggunakan besi pengetuk yang melekat di dinding pintu tersebut. Namun, tak ada sahutan. Lupa kalau bel ada di dinding, lalu kutekan.
"Assalamualaikum," sapaku melalui salam.
"Wa'alaikumussalam," sahut seseorang dari dalam.
Pintu dibuka dengan berlahan. Aku tak mengenal siapa pria itu. Berkulit putih, warna rambut sedikit pirang, tinggi berisi, pokoknya tampan. Mataku sungguh terpesona melihat wajah dan tubuh itu. Wow menurutku.
"Nyari siapa, Kak?" tanyanya, dengan senyuman mengembang.
"Mmm ... ada Naya, Bang?" Entah kenapa aku sedikit malu dan gugup.
"Dari siapa, ya?" Dia kembali bertanya.
"Owh, mmm ... bilang aja Zeyn. Ya, Zeyndra." Terpaksa menyebutkan nama lengkapku.
Tanpa pamit, dia berlalu pergi dan masuk kembali ke dalam rumah. Tak berapa lama, Naya keluar dan kegirangan dengan kehadiranku. Sungguh membuat senang hati ini.
"Zeyn .... Aku kangen banget sama kamu tau. Ehh, apa kabar? Sudah punya pacar, ya? Masuk, yuk," ledeknya sembari mempersilakan masuk.
Aku hanya tersenyum. Sedikit pun tak menjawab pertanyaan Naya karena ada pria itu bersama kami duduk di atas sofa, sambil menonton televisi. Merasa canggung dengan keadaan. Padahal belum mengenalnya dan tak penting sebenarnya.
"Hei, Zeyn! Kok, melongo, sih? Tumben diem aja," tegur Naya.
"O--owh, iya, Nay. Apa tadi?" Aku benar-benar konyol. Pertanyaan yang baru didengar saja bisa lupa.
"Huh! Udahlah. Owh, iya. Pergi, yuk. Kebetulan aku punya calon tunangan. Kita mau ke taman bawa ponakan juga. Mau, ya, Zeyn?" ajaknya sedikit memaksa.
'Apa? Tunangan? Mana mungkin aku bisa pergi dengan sahabat yang akan bersama pria idamannya. Bisa-bisa aku mengganggu kenyamanan mereka,' batinku. Aku tak menjawab.
"Zeyn! Ikutan, yuk," ajaknya sekali lagi.
"Mmm ... enggak, deh. Keknya aku ganggu, ya, Nay?" tanyaku, sembari mengerutkan kening.
"Apaan ganggu, aneh, deh," tukas Naya.
Sebuah pesan singkat dari aplikasi berwarna hijau masuk melalui ponsel. Pesan itu dari Ayah.
[Zeyn, kamu di mana, Nak?]
[Ayah sudah di rumah.]
[Aku di rumah Naya, Ayah.]
[Ya, udah. Aku pulang sekarang.]
Aku berpamitan pada Naya. Syukur Ayah mengirim pesan singkat padaku. Ada alasan untuk tidak ikut bersama mereka. Naya dan pria itu mengiyakan. Aku pulang dengan kendaraan yang tak layak dipakai untuk wanita muda seperti aku. Untung saja masih kinclong. Jadi masih bisa diandalkan.
***
Sudah dua bulan menunggu panggilan kerja. Entah kapan bisa menikmati jerih payah sendiri. Apa-apa mesti meminta dari Ayah. Malu dan segan sebenarnya.
Ada kalanya kejenuhan dibiarkan berkuasa. Hati gelisah sudah saatnya merajalela. Rasa pilu menyelimuti bahagia. Tangisan dan air mata selalu menemani perjalanan menuju yang tak tak tahu arah tujuan.
Kupandangi beberapa pohon yang ada disekitar. Di antaranya ada dihinggapi oleh burung-burung kecil berwarna hijau. "Cit-cit-cit" bunyi khas darinya. Indah dan mampu melupakan masalah. Namun, itu hanya sementara. lumayanlah masih ada saja hiburan yang sesuai kodrat alam. Tentunya, banyak hal harus disyukuri.
Indahnya kebersamaan membuat nyaman. hewan, tumbuhan, dan benda lainnya. Saling berbagi, itulah kebaikan. Sesungguhnya bagi setiap yang hidup di dunia harus ikut menikmati segala ciptaan Tuhan.
Alam akan segera berakhir bila Tuhan menghendaki-Nya. Pastinya akan datang bencana untuk mengusir semua makhluk. Perbanyaklah ibadah, aku juga bertekad untuk menjadi hamba yang beriman. Setiap doa dan usaha bagiku adalah kebaikan.
Kulihat Ayah terlalu sibuk mencari sesuatu dengan membuka laci dan beberapa lemari yang ada di kamar dan ruang tamu. Sepertinya beliau sedang mencari benda yang sangat penting, terlihat dari mimik wajahnya dan terlalu tergesa-gesa.
Inginku tegur Ayah, tetapi segan karena begitu serius dengan yang dilakukan. Bukan hanya lemari saja yang Ayah bongkar, tetapi juga ruangan yang tidak lagi digunakan. Kucoba untuk memberanikan diri bertanya.
"Ayah mencari apa?" tanyaku, sembari ikut mencari di ruangan yang sedang ayah lakukan.
Sungguh Ayah terkejut dengan pertanyaanku. Beliau berhenti melakukannya seketika. Memandangi sekitar, sembari duduk di atas kursi kayu yang hampir reot.
"Ehh, kamu, Nay? Kok, ngagetin aja?" Ayah kelihatan seperti orang bingung.
Belum sempat menjawab pertanyaan itu, Ayah pergi meninggalkanku. Terdengar suara Vespa dikendarai olehnya.
Hari ini terasa panas. Cuaca begitu gerah, tak tahan dengan keringat bercucuran. Belum lagi sedang mati listrik. Kipas angin sepertinya tiada guna. Kubersandar pada sebuah tembok. Sambil mengoceh tak hentinya mengeluh. Sesekali angin berembus sepoi-sepoi. Namun, tetap tak tahan.
***
Terkenang ketika malam hari tiba. Kuambil ponsel dari atas nakas. Ingin rasanya mendengar suara seseorang yang teramat aku rindukan. Saat ini dia jauh dan tak tahu di mana rimbanya.
"Assalamualaikum," sapaku melalui salam di balik ponsel.
"Wa'alaikumussalam," jawabnya dengan suara lembut dan halus.
"Lagi apa?" Pertanyaan itu membuat aku gemetaran. Belum pernah kulakukan sebelumnya. Biasanya dia yang memulai.
"Lagi nyantai aja," jawabnya.
Tiba-tiba sebuah paket datang dibawa oleh kurir ekspedisi. Panggilan terputus dan pembicaraan terhenti. Ada apa malam-malam begini masih ada kurir yang bekerja?
Aneh menurutku, tetapi tidak kutanya kenapa sampai malam begini masih sibuk melaksanakan tugas. Bingkisan kecil berukuran kotak sepatu anak-anak. Kuterima dan bertuliskan nama yang sama sekali tidak pernah kukenal.
Bab 5Bab 5Setelah kurir itu pergi, kotak kecil dibuka dengan tak sabar. Penasaran dengan isi dan siapa orang yang berbaik hati memberikan sesuatu padaku. Ada rasa takut bercampur senang. Kedua rasa itu bercampur aduk menjadi satu.Berlahan melepaskan perekat dari benda tersebut. Hati berdebar saat isi kotak kecil itu terlihat. Ternyata sebuah arloji mewah dan buku diary yang telah berisi catatan kecil.Sungguh aku terkejut dengan buku diary bertuliskan tentang kisah percintaan sama persis denganku dan seseorang. Di sana terpampang namaku dan beberapa sifat dan sikap yang aku miliki. Bukan hal yang aneh sebenarnya, akan tetapi heran siapa gerangan yang mengirimkan bingkisan ini.Sepertinya dia sudah mengenal dekat dan bahkan mengetahui semua karakter yang aku punya. Dari halaman depan hingga di lembar kelima sepertinya aku mulai mengetahui siapa kira-kira yang menulis diare itu.
Bab 6Akhirnya sampai juga di rumah Tulang. Tulang adalah sapaan untuk saudara laki-laki dari Mak. Abang atau adiknya, maka dipanggil Tulang. Ya, namanya orang Sumatera Utara, sudah pasti memiliki sapaan khas karena juga memiliki marga dalam suku.Sepupu perempuan yang sebaya denganku, mengajak untuk pergi ke rumah temannya. Masih capek sebenarnya, tetapi demi dia aku menerima ajakan itu. Bosan juga dengan berbincang pada penghuni rumah.Kendaraan sepeda motor matic berwarna merah dilaju dengan kencang. Dina seorang gadis yang berprofesi sebagai dokter sangat ramah dan rendah hati. Tak pernah merasa kaya dan sok hebat karena telah menjadi seorang dokter muda cantik. Gadis sepertiku sangat dia hormati. Terlihat dari gerak-gerik bila bersamanya.Rumah mewah telah di depan mata. Mobil juga banyak yang terparkir di halaman. Sudah pasti bukan mobil biasa. Ada Fortuner, Pajero sport, dan lainnya yang tidak
Bab 7Ponsel berdering dan kuabaikan saja. Panggilan itu datang bertubi-tubi sampai akhirnya dia menyerah dan berhenti menghubungi lagi.Sebuah pesan singkat WhatsApp masuk. Sungguh terkejut dengan isi pesan itu. Hati gundah tidak karuan. Semudah itu Naya bisa mencerna suara orang lain."Papa ... siang ini aku dan Zeyn ke Aek Siraisan, ya? Udah lama gak ke sana. Boleh, Pa?" tanya Naya, dengan suara manja."Kalian berdua?" jawab Tulangku, tanpa melihat ke arah putrinya."Ya, iya lah. Sama siapa lagi? Papa ...," rengek Naya.Sedikit pun pria bertubuh kekar itu tak bergeming dengan rengekan Dina. Sebab masih asyik bercerita dengan ayahku. Begitu pun, dia tetap merengek dan berharap permintaannya diiyakan."Pa, Papa ...," rengek Dina pada papanya."Apa, Din? Ya, udah. Pergilah sama Zeyn, tapi ingat! Jangan macem-macem, ya
Bab 8"Kalau kamu suka, ya, ungkapkan. Toh, mereka masih calon tunangan kan? Masih ada kesempatan, tuh," pungkasku.Dina diam sambil tersenyum sendiri dengan apa yang dia pikirkan. Mungkin sudah terlalu cinta. Bodo amat menurutku, tidak ingin terlibat dengan ini.Setelah banyak bercerita tentang perasaan Dina ke Nunu, akhirnya mata ini mulai tak bisa dikondisikan. Lelah sekali, tidur salah satu solusinya karena sudah larut malam."Nak, ikut Nenek, yuk."Suara itu seperti tak asing lagi. Mata diliarkan mencari arah ucapan. Namun, belum tertangkap netra ini. Sungguh aneh."Nenek di mana? Nek ... Nenek!" teriakku."Nenek di sini, Nak. Ke marilah."Tiba-tiba dia sudah ada di hadapanku. Heran, siapa sebenarnya wanita tua itu? Selalu saja datang menemuiku dalam keheningan malam. Apa yang dia inginkan dariku?
Bab 9[P.][P.][P.]Tidak juga berubah, tetap centang satu. Ponsel diletakkan di atas meja makan. Rumah yang sudah lebih seminggu kutinggalkan, akan segera dibersihkan karena debu sudah berkuasa menyelimuti beberapa benda yang ada. Terutama si Vespa kesayangan. Sudah tak sabar mengajaknya raun berkeliling sekedar menghilangkan rasa jenuh.Ponsel berbunyi, kuraih benda pipih berwarna hitam itu dan melihat panggilan dari siapa. Ternyata Naya."Zeyn, maaf, ya. Tadi lagi nelepon Nunu. Maklumlah, calon tunangan yang terganteng sedunia. Hahaha," ucapnya, sembari tertawa kecil."Owh, ya, udah. Eh, emangnya kapan, sih, tunangannya? Lama amat, deh," tanyaku, sebab Nunu mulai tak serius menanggapi hubungannya dengan gadis yang sangat mencintainya itu."Tau, tuh. Ya, menunggu keputusan dari Nunu. Toh, semua dia yang memutuskan, bukan aku atau siapa pun, Z
Bab 10Naya mengangguk tanda mengerti. Gadis itu tersenyum manis, terlihat rasa percaya atas apa yang disampaikan oleh calon tunangannya itu. Sungguh mereka berdua pasangan serasi. Kadang muncul sifat iri karena ingin memiliki seorang kekasih. Ah, itu masih lama kudapatkan sepertinya karena sadar siapa diri ini.Berusaha untuk tidak dekat dengan Naya dan calonnya. Supaya apa yang pernah Dina sampaikan kala itu tidak benar adanya. Sementara sepupuku berwajah muram. Dia tidak terima dan sakit hati melihat keduanya bermesraan melalui canda.Dari pada memandangi orang pacaran, mending membuka Facebook melihat beranda. Layar ponsel digeser untuk melihat postingan teman-teman dunia maya. Kebetulan saat ini sedang mengikuti program lowongan kerja online."Zeyn, lagi apa?" Suara itu mengejutkanku. Pria yang sudah kuhindari sejak tadi."Owh, ini aku lagi scroll beranda. Kali
Bab 11Mak pernah berpesan semasa hidupnya: jangan suka membuang sisa makanan bila masih bagus. Diolah kembali agar tidak terbuang.Pesan itu selalu diingat karena membuang makanan adalah perbuatan tercela. Suatu saat kita pasti merasakan kekurangan ekonomi. Meski tanpa disadari nantinya.Nasi goreng sudah terhidang di meja makan lengkap dengan teh manis. Sudah menjadi kebiasaan Ayah kalau pagi hari mesti ada minuman berwarna agak kemerahan masuk ke tubuhnya. Beda dengan aku, paling tidak bisa. Kepala pusing dan perut tidak karuan.***Siang ini Dina mengajakku ke Tugu Juang 45, tepatnya di Lobusona. Gadis itu mengetahui tempat itu karena viral dari Facebook. Aku sendiri jarang ke sana, mungkin karena daerah sendiri. Padahal sangat bagus untuk bersantai ria sambil menikmati pemandangan bukit barisan dan jurang yang indah karena terlihat aliran sungai.Keingin
Bab 12 "Zeyn, kamu kenapa?" Tiba-tiba Dina menghampiri sembari memegang pundakku. "Ish, kaget aku. Aku kenapa? Kenapa gimana, Din? Aneh, ah," elakku. "Jujur saja, Zeyn. Apa kamu juga menyukai Nunu? Maaf," ucapnya, dengan dugaan salah. Setiap ucapan telah membuat pikiran kembali lagi. Dina terlalu memperhatikan gelagatku. Entah apa maksudnya, bingung. Mencoba membenahi diri, agar tidak menyalahkan. Bukan hanya sekedar ingin ketenangan, tetapi juga bahagia ada bersamaku. "Aku gak apa-apa, kok, Din. Percayalah." Lagi-lagi aku berbohong untuk menenangkan Dina. Sepertinya Dina merasakan kegundahan hatiku. Terlihat dari gelagat dan mimik wajah yang tak bisa dibohongi. Itulah seorang Zeyndra. Gadis aneh pemilik Vespa tua berhati mulia, baik, ramah, juga perhatian. Ah, pujian itu terlalu berlebihan. Hujan turun membasahi bumi. Rintiknya membuat cu
Bab 61Sebelum dibuka, aku duduk di sofa. Dengan berlahan membuka kertas kado. Dirobek dan perekatnya diambil agar secepatnya bisa melihat isinya. Gladis juga sibuk membantuku. Aku jadi tersenyum melihat kelakuan putri kami yang mulai aktif-aktifnya bergerak.Mata yang tadinya memandang biasa saja, kini membulat sempurna karena tidak percaya dengan apa yang dilihat. Apakah aku bermimpi? Dari mana Jafra tahu kalau pandangan mataku tadinya ke arah benda ini?"Gimana, Sayang? Kamu suka?" tanya Jafra memegang benda ini."Mas, ini terlalu mahal untukku. Aku nggak enak.""Jangankan benda semahal ini, hatiku saja akan Mas berikan padamu. Bahkan bila kau kehilangan bagian dari tubuhmu, Mas rela memberikannya. Karena apa? Mas sangat mencintaimu, Zeyn.""Tapi, Mas ...."Aku salut dengan cintanya melebihi cintanya Arul sewaktu masih hidup bersamaku."Selamat sore," ucap seseorang dari luar. Kami kedatangan tamu sore ini.
Bab 60Aku diam dan tak ingin lagi bicara. Terlebih karena awal pernikahanku sudah ada wanita lain selain aku. Apa ini memang sudah nasibku? Ya, Allah ... jangan beri aku ujian yang kesekian kalinya. Aku memohon pada-Mu, ya, Allah.Gladis yang mulai bosan di dalam showroom, mengajakku keluar. Sementara Jafra masih ragu dengan pilihanku."Sayang, tunggu, dong. Kok, pergi?""Pilih aja sendiri, Mas. Lagian Gladis udah bosen di sini. Aku keluar aja, ya." Terlihat kalau aku mulai akrab dengan sapaan mas dan kata aku, bukan saya lagi.Hati yang sudah menaruh rasa cemburu, rasanya pengin pulang saja dan berdiam di rumah. Abang dan adik sama saja. Tidak bisa dengan satu wanita. Heran aku."Zeyn, kasi aja sama Husna. Setelah itu kamu masuk lagi, ya. Mas mau kamu yang milih," imbuhnya sembari memegang pundakku.Aku berlalu keluar ruangan dan memberikan putriku pada Husna. Kembali menemui Jafra sesuai permintaan suamiku."Ze
Bab 59"Apa? Jangan suka buat orang penasaran," ucapku.Papa dan mama mertuaku tertawa pelan melihat mimik wajahku setelah mengucapkan kalimat itu. Jafra juga menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Aku jadi malu karena merasa bertingkah seperti anak kecil."Santai, dong, Sayang," ucap Jafra dengan menyapa sayang. Astaga. Apa dia tidak segan pada orangtuanya dengan kata sayang? Apalagi belum resmi menjadi suamiku."Sayang? Huss! Sembarangan Anda," marahku, kupalingkan wajahku ke arah Gladis yang masih makan disuapi Husna dan Titin secara bergantian."Ha-ha-ha-ha, okelah, Bu Zeyn yang saya hormati. Begini, saya nggak mau mendengar kalau Ibu berteman dengan orang yang tidak dikenal sama sekali. Dan saya nggak mau Anda terus terlarut dalam kejadian yang telah menimpa rumah tangga Ibu. Hati-hatilah pada siapa pun. Terutama saudara sendiri, Bu.""Biasa aja, nggak usah panggil Ibu," sahutku, lalu memandang ke langit-langit restoran dengan menaik
Bab 58"A-apa lagi? Jangan nakut-nakuti, ya?""Saat ini Naya ingin menghancurkan bisnis Arul yang sekarang dikelola oleh papa mertuamu. Kamu tahu atas nama siapa semua wisma dan hotel milik Arul?""Ya, atas nama papanya lah.""Ha-ha-ha-ha, Zeyn ... Zeyn ... polos bener kamu." Dia tertawa sambil menutupi mulutnya."Nggak usah sok akrab!""Ya, udah. Aku pergi aja. Dan aku nggak akan temui dan kasi tau apa pun rahasia jahat mereka ke kamu.""Aduuuh, apaan, sih? Aneh!""Ok. Ya, atas nama kamulah. Ih!""Parah Anda. Saya nggak percaya kalau masalah nama. Oya, kenapa ... Naya dan Dina menyarankan Meta untuk meminta pertanggungjawaban pada Arul. Kan dia tau siapa yang menghamilinya.""Gini, awalnya Meta menolak saran Naya. Tapi tidak ada satu pun laki-laki yang dia kencani menanggungjawabinya. Terpaksa dia datang pada Arul. Nah, saat Meta meninggal, anak ada pada kamu kan? Dina dan Naya tepuk tangan, Zeyn. M
Bab 57Di hari yang sama, aku ke kamar Husna dan Titin untuk menanyakan perihal tentang isi chat dari Dina."Husna, Titin, saya mau bicara sesuatu. Ayo, ke depan TV," ucapku dengan pelan agar mereka tidak tersinggung.Setelah mereka duduk di atas karpet, aku bertanya, "Kalian jawab dengan jujur, ya. Siapa yang menyampaikan pada Dina kalau saya dan Naya berkelahi di pasar?"Husna dan Titin saling pandang dan sama-sama menceritakan kening. Aku tidak tahu apakah mereka pura-pura heran atau memang tidak tahu."Maksudnya, Bu?" Husna masih mengernyitkan keningnya."Baca," ucapku, sembari memberikan ponselku pada mereka untuk menunjukkan isi chat dari Dina."Lho, kok, Bu Dina tau?" Titin kembali heran. "Apa kau yang ngasi tau, Na?""Mana ada, Tin. Sumpah mati aku, iya. Paling haram samaku nyampein cerita apa pun tentang Bu Zeyn. Nggak ada untungnya samaku, Tin."Aku percaya dengan omongan Husna. Lalu siapa? Nah, aku yakin ini p
Bab 56Sebuah benda berbahan dasar tanah liat yang ada di dekatku kulemparkan. Emosiku semakin memuncak karena ucapannya. Tidak seharusnya dia mengatakan itu pada sahabatnya. Sudah menyakiti, ditambah lagi akan berbuat kasar."Wadawwww ...."Benda itu mengenai kepalanya. Lalu kuseret dia ke luar rumah. Najis kalau wanita yang tidak berakhlak dan jauh dari sopan santun masuk ke rumahku.Kujambak rambutnya dengan kencang dan berkata, "Sekali lagi kau datang padaku dengan niat buruk, kubunuh kau! Paham!""Lepaskan! SAKIT, ZEYN! LEPAAAS!" teriaknya sembari memegang tanganku agar terlepas dari rambutnya."Nggak akan kulepas sebelum kau iyakan permintaanku!""I-iya, iya!""Jawab yang tulus biadab!""Iyaaa!"Barulah kulepaskan jambakanku. Kudorong dia ke luar pagar, lalu kututup kembali pagarnya. Saat berbalik arah, dia malah berteriak seperti orang gila. Anak orang tajir dan punya pendidikan tinggi, bisa-bisanya s
Bab 55 [Ya, ini aku. D I N A.][Kaget?] 'Sepupu tidak berakhlak!' makiku dalam hati. Aku mengabaikan chat Dina dengan tidak membalasnya. Masih ada duka dalam hatiku, tapi Dina setega itu padaku. Bukannya ikutan bersedih, malah mengucapkan selamat dan memberikan react ketawa. Dokter gila! [Zeyn, balas, dong.][Owh, aku tau kalau kamu lagi nangis, ya.][Cup-cup-cup-cup.][Mirip dengan bayi yang bukan anakmu.][Ahhaaayy.] [Nggak pantes!] Celaan demi celaan terus dilontarkan Dina melalui pesan singkat. Aku memblokir nomor itu dengan terpaksa. Biar saja Dina bingung dengan keegoisannya. Aku tidak menyangka kalau Dina setega itu. Bukankah selama ini dia baik-baik saja padaku? Ponsel Arul yang ditinggalkannya, kini untukku. Sayangnya, aku tidak tahu kode membuka kunci kedua ponsel ini. Aku tidak pernah menyentuh barang-barang miliknya. Termasuk ponsel. Di keheningan, aku teringat dengan suaranya y
Bab 54Wanita ini selalu saja mengganggu konsentrasiku dalam segala hal. Cocoknya, orang seperti ini dimusnahkan dari permukaan bumi. Agar tidak ada lagi yang terluka selain aku. Dia bagaikan racun bagiku dan rumah tanggaku. Dia adalah sahabat dekat yang tega merampas kebahagiaanku bersama suami. Siapa lagi kalau bukan Naya. Anak orang tajir, miskin hati."Ya, ini aku, Zeyn. A-aku banyak salah sama kamu," akunya."Ngapain kau ke mari! Haa?!" bentakku di depan jenazah Arul."Ma-maafkan aku. Siksa saja aku, Zeyn. Siksa.""Aku bukan manusia laknat seperti kau! Aku masih punya hati nurani. Tau kau!""Zeyn, sudah berapa kali kubilang, maafkan aku. Ini memang salahku. Tapi, semua ini karena harta. Ya, aku nggak mau kau merasakan nikmatnya dunia. Aku nggak ingin kekayaan yang kau miliki melebihi yang dimiliki ayahku. Ka-karena, akulah yang selama ini di atasmu, Zeyn." Dia tertunduk dan meneteskan air mata."Nggak usah menyesal
Bab 53"Aduh kenapa? Halaaaahhhh, basa-basi!"Arul pergi ke arah mobilnya, lalu membawa dua kotak kecil. Dia memberikannya pada Gladis dan aku. Kubuka kotak untuk Gladis, isinya ada seperangkat perhiasan. Gelang tangan, anting, cincin, dan kalung. Setelah itu, kotak untukku juga kubuka, isinya sama juga bentuknya. Aku memakainya. Kalau urusan perhiasan mahal, istri mana yang menolak? Pertengkaran hebat pun bisa aman."Zeyn, maaf, ya. Cuma itu yang bisa aku berikan saat ini ke kalian berdua. Tadinya aku bingung mau ngasi apa. Kalau ngajak kamu, pasti kamu bawaannya marah terus. Males berantem sama perempuan yang mudah emosian, kek, kamu.""Apaan, sih? Kek, aku tukang marah aja. Gini-gini aku punya sisi lembut, lho." Aku memiringkan bibirku. Sambil bersungut-sungut."Ya udah, aku ngalah. Kan kata orang di pasar, yang waras ngalah. Ha-ha-ha," ledek Arul memancing tawa.Entah sudah berapa lama candaan seperti ini hilang. Aku juga tidak tahu kapa