Revi masih termangu, bahkan saat suaminya itu pergi bergandengan tangan memasuki kamar utama yang selama ini ditempatinya.
"Ya Tuhan… apa yang harus aku lakukan? Kenapa nasibku semalang ini Tuhan…"Revi hanya bisa merintih, di rumah itu dia bahkan tidak bisa berbicara keras apalagi menangis puas. Ada ibu mertuanya yang sedang sakit di salah satu kamar di dalam rumah itu, dia tidak mau ibu mertuanya itu tahu tabiat asli putranya. Bagiamanapun juga Rizal adalah suaminya dan dia harus menutupi aib-aibnya, namun sekarang pria itu berani membawa wanita lain ke dalam rumah. Tampaknya Revi sudah tidak bisa lagi menutupi keburukan suaminya jika sudah begini keadaannya.Dalam diamnya Revi, tiba-tiba seseorang masuk ke dalam rumah. Itu adalah Raya, kakak perempuan Rizal yang entah habis pergi dari mana."Rev, dimana ibu? Udah dimandiin belum sih?" tanya wanita itu, datang-datang bukan tanya kabar malah ngomel.Revi segera mengusap air matanya, "sudah Mbak. Tinggal makan siang sebentar lagi." Jawabnya.Melihat Revi yang berbicara tanpa melihat ke arahnya, Raya mendadak kepo dan mendekati adik iparnya itu untuk memastikan sesuatu."Kamu habis nangis? Kenapa nangis pagi-pagi begini, bukannya ngurusin rumah sama anak. Makanya hidup itu jangan terlalu nganggur, jadinya banyak pikiran." Tanyanya."Lagian kamu mikirin apa sih? Hidup kamu itu udah enak banget, tinggal diam di rumah ngurusin rumah tangga. Kan segala sesuatu sudah dipenuhi sama suami kamu itu." Lanjutnya masih ngomel-ngomel, karena dimatanya adik iparnya itu adalah wanita paling tidak bersyukur.Seperti biasa Revi hanya bisa diam saat keluarga dari suaminya marah atau ngomel, lagipula sudah jadi makanan sehari-hari dia diperlakukan begitu."Tuh, mana gak ada makanan lagi. Jam berapa ini Revi, kenapa kamu belum masak hah?" Terdengar wanita itu kembali ngomel saat membuka tudung saji dan didalamnya tidak ada masakan sama sekali."Aku lapar Revi, ayo masak kamu. Suami kamu sama ibu juga pasti lapar, ini hari minggu harusmya kamu masak enak.""Pantas suami kamu cari wanita lain diluaran, di rumah ada istri tapi berasa kayak gak punya istri. Pemalas kamu Rev, gimana bisa adikku itu kuat hidup sama kamu sih?" Raya terus saja ngomel-ngomel, dari dapur hingga ruang tengah. Perempuan itu memperhatikan segala sudut rumah, meja berdebu, lantai kotor, dapur berminyak, semua jadi sasaran kemarahannya.Revi geram, rasanya hari ini dadanya ingin meledak saja. Pagi-pagi sekali dia baru selesai memandikan ibu mertuanya yang struk, lalu mengurus bayinya, saat akan mengurus rumah dan memasak untuk suaminya. Tiba-tiba ada seorang wanita mengetuk pintu rumah dan dia datang sambil membawa koper, seolah masalahnya tidak selesai sampai disitu. Suaminya lalu memperkenalkan jika wanita itu adalah calon istri mudanya, lalu kini ditambah lagi dengan kakak iparnya yang terus saja ngomel dan berkicau seperti burung beo. Revi memang pemilik sah rumah itu, tapi keluarga Rizal diboyong ke rumah tersebut saat dirinya menikah dengan pria itu. Makin kesini dia yang direpotkan, dia bahkan diperlakukan seperti pembantu di rumahnya sendiri. Namun apa yang bisa wanita itu lakukan, jika dia keluar dari rumah ini. Mau kemana dia pergi?"Akh, aku berasa ngomong sama benda mati!"Terdengar Raya semakin marah, wanita itu kini masuk ke kamar dan membanting pintu kamar dengan keras. Suasana rumah kembali hening, kedua mata Revi kini tertuju ke arah kamar dimana suami dan calon istri mudanya berada."Aku menyesali semuanya, namun apa yang harus aku lakukan sekarang Tuhan?"Revi kembali merintih, beberapa kali dia memukul-mukul dadanya namun rasa sakit itu seolah pergi begitu saja. Matanya masih tidak mau menangis, air matanya tidak mau keluar.Di dalam kamar, Rizal dan Nana tengah saling berpagut mesra. Sejauh ini dari sekian banyak wanita yang dekat dengannya, hanya Nana yang mampu membuat pria itu klepek-klepek."Sayang, apa kamu menyukai kamar ini?" tanya Rizal setelah dia puas dengan service ciuman panas dari wanita yang ingin dinikahinya itu.Kedua mata Nana mengerling genit, "hmm… tapi ini kan kamar kamu sama istri kamu." Balasnya."Kamu harus tahu, nanti dia akan pindah dari kamar utama ini. Dengan begitu orang rumah akan tahu siapa nyonya di rumah ini." Jawab Rizal, dia kembali akan mencium bibir Nana namun perempuan itu segera mencegah bibir nyosor pria itu dengan jari telunjuknya."Bentar-bentar, orang rumah? Memangnya ada siapa saja disini selain istri kamu dan anaknya?" "Ekhem, ayo sini duduk dulu. Akan aku jelaskan." Pinta Rizal sambil menepuk-nepuk kasur disampingnya.Nana duduk di samping Rizal, bagaimanapun juga dia harus tahu apa yang mau disampaikan oleh pria itu."Hem… aku suka wanita cantik penurut ini.
"Kita sudah lima tahun pacaran Rev, apa salah jika aku ingin menikahimu?" tanya Rizal sambil berkacak pinggang.Perempuan cantik berhijab yang dipanggil dengan nama Revi itu hanya bisa terdiam, bukannya dia tidak bahagia kekasihnya itu melamar dan mengajaknya menikah. Revi hanya merasa jika waktunya belum tepat, usianya baru 25 tahun dan dia sedang menikmati masa-masa indah dalam hidupnya. Setidaknya dia berharap satu atau dua tahun lagi targetnya untuk menikah.Saat ini Revi bahkan baru diangkat menjadi kepala bagian di sebuah perusahaan besar di ibukota dengan gaji perbulannya gak kaleng-kaleng, wanita itu bahkan bisa menabung paling sedikit 10 juta perbulannya. Dari hasil kerjanya selama 5 tahun, Revi bahkan sudah bisa membeli rumah dan kendaraan mobil."Kenapa diam saja Rev? Apa selama ini kamu hanya main-main denganku?" tanya Rizal lagi, kini pria itu malah seolah menjadi orang yang paling tersakiti."Piuh! Sia-sia saja aku menghabiskan waktu lima tahunku jika begini akhirnya." L
Untuk beberapa saat Aryan terdiam, dia tidak menyangka jika akhirnya sahabatnya itu tetap akan memilih Rizal sebagai pelabuhan terakhirnya."Kamu kok diam aja sih Ar, terus aku harus jawab apa ya ke dia? Tolong dong kasih aku jalan keluar kayak biasanya…." Tanya Revi, wanita itu merajuk sambil menggoyang-goyangkan tubuh sahabatnya karena Aryan hanya terdiam saja.Aryan segera tersadar meskipun perasaannya tidak enak atau lebih tepatnya tidak menentu namun dia tidak mau memperlihatkan rasa gundah gulananya itu."Kamu ingin aku jujur atau gimana?" Aryan malah balik bertanya."Ya jujur dong… gimana sih masalah sepele aja nanya." Jawab Revi mendengus.Aryan menghela napas, "aku berharap kamu lanjutin karir kamu dulu aja Rev. Kamu kan tahu perjuangan kamu untuk sampai di titik ini sangatlah tidak mudah." Ucapnya serius."Tapi… dia ngancem aku putus kalau aku gak mau nikah ama dia Ar." Balas Revi.Aryan tidak terkejut sama sekali saat sahabatnya itu berkata demikian, dari awal Aryan bahkan
Nan jauh disana, tapi masih bisa dilihat oleh mata Aryan. Terlihat Rizal yang akhirnya pergi berboncengan dengan wanita lain, sayangnya Aryan tidak membawa kendaraannya karena sedang dipinjam adiknya. Jadi dia tidak bisa mengikuti kemana Rizal akan pergi.Bus yang sedang Aryan naiki akhirnya tiba di tempat yang dituju, Aryan berhenti di halte perhentian lalu dia berjalan lagi beberapa menit dari sana. Hingga pria itu sampai di sebuah kedai kopi yang cukup estetik."Sore Pak." Salah satu pelayan menyapa Aryan.Aryan membalas dengan lambaian tangan, dia memasuki kedai kopi yang bernama "Kopi Persahabatan Dan Cinta" terlihat kedai sudah mulai penuh, dari dua lantai kedai itu hampir semua tempat duduknya terisi."Ar." Seorang pria seumuran Aryan memanggil sambil melambaikan tangan saat Aryan menoleh ke arahnya."Eh Fer udah lama? Ayo pindah tempat, ke kantorku aja." Tanya Aryan, lalu mengajak pria itu mengikuti di belakang.Sepanjang jalan yang Aryan lewati, banyak para pelayan menyapanya.
Aryan memilih menepiskan tangannya, dia tidak mau menjawab pertanyaan dari teman lamanya itu."Ayo pak Feri, sebaiknya kita keluar dan aku kenalkan Anda pada staf yang lain." Ajak Aryan, dia berdiri dan mulai berbicara formal.Feri mengangguk, dia juga tidak mau mengorek apalagi membahas yang sempat temannya itu katakan tadi, karena kini Aryan adalah bos dan bukan temannya jika di lingkungan kerja.Feri mengekor dari belakang, Aryan membawanya ke dapur, menjelaskan ini itu dan juga memperkenalkan Feri pada karyawannya yang lain."Jadi… ada tempat ibadah, kamar khusus karyawan beristirahat juga ya." Kata Feri."Terus, untuk ruangan para pelanggan ada dua lantai sama outdoor juga." Lanjutnya seakan sedang berbicara sendiri."Ya betul, Outdoor itu bagi perokok karena di indoor ada larangan merokok." Balas Aryan.Feri mengangguk-angguk, lalu langkahnya terhenti dan dia memandang seksama ke arah dua pelanggan yang berada di lantai bawah."Ada apa Fer? Jika tidak ada yang membuatmu kurang ny
"Sebaiknya kamu kirim saja foto-fotonya Ar, jangan ragu deh kasihan teman kamu jadi korban si buaya buntung itu." Desak Feri geregetan, apalagi jika dia mengingat yang sudah dibohongi pria paling dibencinya itu adalah teman Aryan.Aryan masih termangu, dia masih ragu.Sedangkan di bawah sana, Rizal dan Sinta sedang duduk sambil menunggu menu makan malam yang mereka pesan datang."Sayang… makasih ya, berkat kamu kini aku diangkat jadi manajer di perusahaan." Kata Rizal.Sinta memandang genit, "kamu ih kayak sama siapa saja bilang makasih segala. Kamu kan calon suami aku, tentu saja aku senang kalau suamiku naik pangkat." Jawabnya.Rizal tersenyum manis, tangannya dari tadi tidak bisa diam mengelus-elus rambut, pipi, hidung bahkan mulai nakal menelusuri paha mulus Sinta yang terhalangi oleh meja."Ih… geli…" ucap Sinta merajuk manja."Hehe, aku gak kuat Sayang… habis ini mau nggak check in?" Ajak Rizal genit.Sinta tidak menjawab tapi dia mengangguk sebagai isyarat mengiyakan."Ah, udah
"Antar aku dan ikuti mereka." Ajak Aryan, meskipun penasaran Feri akhirnya mengangguk tanpa banyak bertanya-tanya.Terlihat mobil yang ditumpangi Sinta dan Rizal keluar dari parkiran Kedai itu, mereka melaju ke arah jalan raya hingga beberapa menit kemudian mereka berbelok ke sebuah Hotel yang jaraknya tidak terlalu jauh dari Kedai milik Aryan tadi.Feri memarkirkan mobilnya, namun baik dia dan Aryan tidak keluar dari mobil. Mereka melihat dari dalam mobil saja, saat Rizal dan wanita bernama Sinta itu memasuki pintu Hotel di depan mata mereka."Sialan. Bener-bener berani ngamar!" seru Feri sambil memukul setir di depannya.Sedangkan Aryan terlihat tampak pasrah dan frustasi, bingung dengan apa yang harus dilakukannya. Hingga setelah dia menatap layar ponsel sekian lama, akhirnya Aryan mengirimkan foto-foto mesra Rizal saat di Kedai tadi.Kembali ke dalam Hotel, Rizal dan Sinta sudah masuk ke dalam kamar yang dipesannya. Tanpa menunda waktu lama keduanya begitu bernafsu saling berpagut
Aryan dan Feri akhirnya pergi dari hadapan Revina dengan penuh kekesalan. Revina benar-benar wanita yang bodoh, dia lebih percaya dengan kekasihnya ketimbang fakta dan ucapan dari sahabatnya yang sudah dia kenal belasan tahun lamanya. "Ar, kamu baik banget dari dulu. Sayang sekali sepertinya teman wanitamu itu tidak percaya dengan ucapan kita." Desah Feri memecah keheningan apalagi malam sudah larut dan kendaraan berlalu lalang mulai berkurang. Aryan terdiam, untuk sekian kalinya dia gagal melindungi Revina. Sebenarnya Aryan tidak ikhlas jika temannya itu jatuh ke dalam tipu muslihat Rizal, pria buaya darat yang sudah berkali-kali terciduk selingkuh dari temannya itu."Turunkan aku di Kedai, besok terserah kamu mau masuk jam berapa. Senyamannya saja." Pinta Aryan, pria itu tidak mau membalas perkataan Feri tadi dan memilih turun di Kedai yang sudah tutup daripada pulang ke rumahnya.Feri hanya bisa mengangguk, dia tidak mau mengganggu pikiran Aryan yang sedang terganggu. ***Di temp
Mendengar desahan itu Rizal pun menggigit puting wanita itu hingga tubuh wanita itu melengking dan bergetar, lalu terkulai di pangkuan Rizal, Rizal tampak tersenyum puas. “Giliranku?” tanyanya setelah beberapa saat Linda terdiam di pangkuannya. Linda mengangkat kepalanya, lalu turun dari pangkuan Rizal dan merebahkan tubuhnya di samping Rizal, dengan merubah sedikit posisi saja, kini pria itu bisa berada di atas Linda yang sudah pasrah dan masih menginginkan belaian dari Rizal tak peduli peluh sudah membasahi tubuh mereka berdua. Rizal menancapkan si kecil miliknya hingga Linda tampak merem melek karena merasakan nikmat yang tak terkira. Bibirnya komat kamit mendesah sambil terus memanggil nama Rizal dengan panggilan ‘Sayang’. Berbagai macam gaya sudah pasangan haram itu lakukan, tapi Rizal yang perkasa masih belum juga mengeluarkan rudalnya. “Sayang, apa Kau meminum obat kuat?” tanya Linda disela-sela aksinya. Rizal tersenyum bangga sambil menggeleng-geleng, “kenapa? apa
“Ah, iya ya.” Jawab Raya yang baru ingat kalau dia ada acara ikutan pesta dengan adik juga teman-teman adiknya itu. “Aku berangkat duluan ya, Kak?” pamit Rizal sambil memakai sepatunya. “Linda udah datang jemput.” Lanjutnya dengan satu mata dikedipkan. Mulut Raya tampak terbuka lebar, “sialan kau Rizal.” Makinya sambil tertawa, tapi tawa ikut senang. “Yo’i, aku sama Linda mau berduaan dulu.” Sahut Rizal lagi. Raya melambaikan tangannya, “bersenang-senanglah adikku.” Balasnya. Rizal mengangkat kedua tangannya sambil berteriak riang, terlihat wanita bernama Linda itu memiliki rambut berwarna cherry blossom, kulitnya putih bak salju, entah dari mana Rizal menemukan wanita tersebut. “Kemana kita?” tanya Rizal saat Linda membelokkan kendaraannya ke arah yang bukan awal rencana mereka. “Nurut saja.” Jawab Linda sambil tersenyum genit. Melihat ekspresi itu tentu saja Rizal senang bukan kepalang, bersama Linda kemanapun pergi pasti akan terasa di surga. Tak beberapa lama ke
Ervina tersenyum malu-malu, tentu saja gadis itu merasa tersanjung meskipun pujian seuprit yang sebenarnya tak berarti itu. ‘Wanita bodoh!’ batin Rizal. Sepasang sejoli yang baru saja berbaikan kembali dan saling memaafkan itu akhirnya pergi bersama untuk menemui orang tua yang dari awal sudah sekongkol dengan anak laki-lakinya itu, selama dalam perjalanan Rizal tak hentinya menggenggam tangan Ervina serta menciuminya penuh kasih sayang, tentu saja wanita seperti Ervina yang gampang luluh dan mudah memaafkan itu bak seorang wanita yang hanya dicintai juga dikagumi oleh satu pria saja, hingga dia semakin yakin kalau Rizal memang pilihannya yang terbaik. Beberapa saat kemudian mobil yang Rizal kendarai tiba di sebuah rumah sakit, dia membukakan pintu untuk Ervina, menyanjung wanita itu sedemikian rupa setidaknya sampai mereka menikah dan Rizal puas dengan wanita itu. “Ayo masuk.” Ajak Rizal sesampainya di depan ruang pasien. Keduanya masuk ke dalam ruangan. “Ibu, aku bawa mantumu.”
Tanpa Ervina sadari karena gadis itu tengah bergulat dengan pikiran-pikiran semrawutnya, jari jemari Rizal sudah membuka beberapa kancing kemeja kerjanya, lalu menciumi dua gunungnya, saat bibir itu terasa menempel pada kulitnya, barulah Ervina sadar kalau ini bukan mimpi melainkan kenyataan yang sedang dialaminya.“TIDAK!” seru Ervina sambil menendang kemaluan Rizal hingga pria itu mengaduh kesakitan.Rizal mendadak berdiri dan menjauh dari dekat Ervina, kedua tangannya memegang kemaluannya sambil meringis.“MAAF!” seru Ervina lagi, dengan gelagapan dan kebingungan harus berbuat apa pada sesuatu yang ditendangnya barusan. Dia segera bangun dan menutup rapat kembali kemejanya serta tak lupa merapikan kembali hijabnya yang mungkin saja berantakan juga.“Shit! aduh…” desah Rizal sambil merapatkan kedua kakinya untuk menahan rasa sakitnya.Ervina sampai ikut meringis melihat Rizal bertingkah seperti itu, “salah sendiri.” Gumamnya.“Tadinya aku pikir… tidak masalah, karena kita akan seger
Kedua mata Ervina sampai membelalak saat mendengar kalimat itu keluar dari mulut Rizal si pria paling gila kerja dan paling takut kehilangan pekerjaan itu.“Kenapa Sayang?” tanya Rizal sambil melangkah maju, hingga tubuhnya dan tubuh Ervina hampir merapat.“Hus! jangan bicara sembarangan.” Balas Ervina sambil mendorong tubuh Rizal yang terlalu merapat hingga dua gunung miliknya hampir menempel.Melihat wajah Ervina yang terlihat malu dan tak sejudes kemarin, Rizal yakin jika wanita itu akan luluh lagi olehnya jika terus dia rayu, dengan begini saja sepertinya Rizal tak membutuhkan bantuan kakak maupun ibunya lagi.Rizal kembali maju, kali ini Ervina yang terus mundur hingga mereka masuk kembali ke dalam rumah.“Apa yang kamu lakukan, Mas?” tanya Ervina sambil berusaha mendorong dada Rizal.Rizal tak mempedulikannya, pria itu terus mendesak tubuh Ervina hingga gadis itu tak berdaya dan tak ada lagi tempat untuknya menghindar karena tubuhnya kini sudah berada di belakang tembok rumah, E
“Ngapain kau?” tanya Raya, kembali melayangkan telapak tangannya ke kepala Rizal.“Aduh… Mbak. sakit tau! kira-kira lah kalau mukul,” rengek Rizal.“Malas, aku. Nanti biar ibu aja yang jelasin, keburu ilfeel.” Lanjutnya sambil berdiri dan segera pergi masuk ke dalam kamarnya.Ibunya sampai geleng-geleng kepala dengan wajah tak terima anak bungsunya ditindas kakaknya seperti begitu.“Kau itu ya Ray, sudah besar, sudah berumur, sikap kau kasar begitu mana ada yang mau ngawinin.” Dengus sang ibu.“Halah, ibu ini. Mengganggu kesenangan saja, jadi… ayo cerita padaku Bu, apa yang sedang kalian rencanakan?” balas Raya, lanjut bertanya.Ibu Raya menghela napas, lalu menceritakan permasalahan yang sedang dihadapi Rizal yang ketahuan berselingkuh, Rizal tampak menyesal dan takut kehilangan Ervina, makanya dia meminta bantuannya.Raya mengangguk paham setelah dia menyimak perkataan ibunya tersebut.“Kalau gitu… sepertinya aku juga harus bantu kalian.” Desah Raya.Ibunya sampai melirik tak percay
“Kalau gitu… apa yang kita harus lakukan sekarang?” tanya Rizal.“Sabar… tunggu hari esok saja,” balas ibunya.“Bu… takutnya kalau dibesokin, dia gak aktifin ponselnya.” Rengek Rizal.Ibunya tampak menghela napas kesal, “tidak salah kau selalu kehilangan sesuatu yang berharga.” Dengusnya.Rizal menatap nyalang, “maksud ibu?” tanyanya.Ibunya kembali menghela napas kesal, “karena kau gak sabaran… tenang aja, ada ibu.” Katanya memastikan sesuatu hal yang belum pasti.“Cih!” bibir Rizal monyong hingga lima senti.“Eh, kau ini ya. Gak percaya ama kemampuan ibu?” tanyanya.Rizal membalas dengan mengedikkan kedua bahunya, tampak seakan menyepelekan juga senang saat ibunya itu terlihat kesal.“Haha… maaf, Bu… iya… Rizal tau kok kalau Ibu the best.” Lanjutnya sambil tertawa.Ibunya menggeplak bahu putra kesayangannya itu, begitulah dia hingga ibunya itu sangat membanggakannya meskipun anaknya itu belum ada sesuatu yang patut untuk dibanggakan, kecuali ketampanannya.“Ibu yakin, kalau rencana
Ervina menghela napas panjang, “kita bicara disini saja.”Raut wajah Rizal seketika berubah keruh, “ayolah… apa kita mau bertengkar diluar? biar seluruh komplek tahu? gitu?” tanyanya.Ervina membalas raut wajah keruh itu dengan tatapan bingung, “lagipula siapa yang mau bertengkar? memangnya kamu salah apa?” balasnya.Rizal terdiam, gerak geriknya mendadak kikuk, tidak biasanya Ervina bersikap setenang ini. Jika keadaan berbalik begini, diancam gak jadi nikah pun sepertinya perempuan itu tak akan mempan.“Aku capek, aku mau istirahat. Sebaiknya Mas pulang aja,” sambung Ervin seakan mengusir.Rizal semakin kikuk, lalu dia mengelus-elus rambutnya. “Jadi… apa kamu tidak marah?” tanyanya.Ervina mengedikkan bahunya, “marah? kenapa aku harus marah? bukannya kamu yang bilang kalau itu perintah atasanmu?” balasnya bertanya.“Ayolah… maafkan aku Sayang, aku janji__”“Janji? janjimu itu hanya untuk kamu ingkari, Mas.” Potong Ervina.Rizal terdiam, bingung harus mengeluarkan jurus apa lagi kalau
Revina sadar jika kali ini pun dia masih melukai perasaan sahabat masa kecilnya itu, dia pasti sangat mengecewakan hingga Aryan pasrah karena sangat putus asa. Sebenarnya bukan tanpa sebab Ervina bersikap bodoh seperti ini, dia terlanjur malu semalu-malunya dengan Aryan, dia memilih menjauh dan juga teguh pada pendiriannya akan Rizal.“Hmp, baiklah Ar. Kalau gitu… aku pamit pulang ya, terima kasih untuk hari ini.” Ucap Ervina sambil berdiri dari duduknya.Aryan terlihat tak merespon secara berlebihan, pria itu hanya mengangguk seakan tak peduli dengan kepergian Ervina. Setelah wanita itu pergi, Feri yang dari tadi menyelinap menunggu kepergian Ervina segera masuk ke dalam kantor.“Apa dia percaya?” tanyanya amat penasaran.“Hey! Aryan, apa yang kalian bicarakan barusan?” tanyanya lagi karena Aryan tampak termenung tak menggubris pertanyaannya.Aryan tersadar, lalu menatap ke arah Feri yang terlihat khawatir juga penasaran.“Seperti yang kamu lihat, dia tak peduli_”“Wah!” potong Feri