Rizal yang memang mesum tanpa pikir panjang lagi langsung melumat bibir Sinta yang cuma berjarak beberapa sentimeter dari wajahnya, keduanya bahkan ngos-ngosan karena melawan hasrat birahi yang memuncak.
Sofa ruang tamu itu menjadi saksi betapa panasnya Rizal menggagahi kemolekan tubuh Sinta yang mulus dan licin."Aku mencintaimu Mas…." Desah Sinta di sela-sela lenguhannya.Seperti perjanjian di awal kalau pemuasan birahi itu akan dilakukan cepat-cepat, maka tak menunggu lama kedua tubuh dua sejoli tanpa ikatan pernikahan itu terlihat mengejang karena sama-sama telah mencapai kenikmatan meskipun tampaknya si wanita belum terlalu puas."Mas…." Panggil Sinta mesra.Tapi tampaknya yang dipanggil kini sudah mengenakan pakaiannya dan bersiap pergi."Maaf Sayang, aku harus segera pergi. Besok kita ketemu lagi, aku janji besok bakal dilama-lamain ya." Rayu Rizal."Bener loh janji nih.""Iya… kapan sih aku bohong sama kRevi terhentak saat mendengar pertanyaan itu."Kapan kami bisa menemui orang tuamu?Revi kembali terhentak, dia bingung harus menjawab apa."Bu, aku lupa bilang ke ibu kalau Revi tidak memiliki keluarga." Tampaknya Rizal bersikap pasang badan.Ibunya Rizal yang mendengar itu segera menunda aktivitasnya, lalu berjalan mendekat dan duduk di depan anak juga calon mantunya itu."Oh iya ya, ah maafkan ibu ya Nak… ibu benar-benar lupa.""Jadi… gimana? Apa kalian sudah berunding kapan waktu yang tepat untuk menikah?""Ah bukan apa-apa, ibu sudah tidak sabar ingin menimang cucu."Revi hanya bisa mengangguk-angguk saja, dia tahu maksud mereka mendesaknya untuk segera menikah. Dari awal permasalahan Rizal memang menginginkan anak, makanya Revi sangat percaya dengan pria itu."Ibu ini gimana sih, dari awal yang didesak nikah itu aku aja. Kak Raya saja ibu biarkan begitu terus, apa ibu tidak masalah dia dikatai per
"Gimana Rev? Aku lihat juga di rumah kamu ada tiga kamar, cukup untuk kita hidup bersama." Perasaan Revi kini benar-benar tak enak mendengarnya, bisa-bisanya Rizal bicara tidak jelas dari awal lalu akhirnya menjebaknya. Kalau sudah begini, mau tak mau dia harus menerima suami beserta keluarganya itu untuk tinggal di rumahnya."Jadi… selama ini apa kalian tidak memiliki rumah sendiri?""Maafkan Revi, Revi tidak bermaksud merendahkan. Revi hanya merasa bingung saja karena mengingat usia kalian_""Sudah tua maksudnya?" potong ibu Rizal."Akh kalau saja kami tidak tertipu, mungkin kami tidak akan menyewa rumah diusia tua begini_""Jangan diceritakan lagi kalau sedih Bu, Revi ikuti kata mas Rizal saja. Dia tahu yang baik dan tidaknya." Potong Revi berusaha menghibur karena dia juga tidak enak hati karena sudah bertanya terlalu dalam."Nah Bu pokoknya ayah ibu tenang saja, rumah Revi besar dan leluasa.""Hem… lebih b
Keesokan harinya di tempat kerja.Revi dan Aryan tampak tidak bertegur sapa seperti biasanya, Aryan juga terlihat diam-diam mencuri pandang pada sahabat sekaligus rekan satu kantornya itu. Saat istirahat juga Revi tampak menghindari Aryan, hubungan mereka benar-benar terasa asing bahkan hingga berbulan-bulan lamanya.Aryan mengira jika apa yang sudah dia bocorkan yaitu saat Rizal memasuki hotel bersama seorang wanita membuat Revi kecewa. Tapi apa boleh buat semua sudah terjadi dan dia benar-benar ingin menyelamatkan sahabatnya itu dari pria paling brengsek yang dia kenal selama hidupnya. Tapi sepertinya niat baik tidaknya tidak diterima dengan baik oleh sahabatnya itu.Selama berbulan-bulan mereka sudah tidak bertegur sapa lagi dan itu membuat Aryan merasa canggung juga tidak betah berada di lingkungan satu pekerjaan dengan Revi. Hingga suatu hari, akhirnya Aryan memilih mengalah dengan mengundurkan diri juga merelakan apapun keputusan Revi.Tok t
"Apa…, kamu sedang patah hati, kawan?"Kali ini Feri bertanya dengan sangat hati-hati, dia takut kalau perkataannya menyinggung Aryan. Biasanya orang kalau sedang patah hati, perasaannya sangat sensitif atau kadang pula tak bisa menerima saran apapun dari siapapun.Namun yang ditanya kembali menarik napas hingga berkali-kali, terlihat sangat putus asa sekali hingga yang melihatnya saja merasa capek sendiri."Ayo ceritalah padaku, ya siapa tahu aku bisa memberi kamu solusi? Bagaimanapun juga aku sudah menikah dan memiliki anak, ya…, setidaknya aku lebih berpengalaman dari kamu." Kata Feri lagi, kali ini gaya bahasanya cukup serius."Ini Pak, kopi dan tehnya."Tiba-tiba seorang pelayan datang sambil menaruh minuman untuk Feri juga Aryan, kedua pria itu mengangguk dan barulah Aryan mulai berbicara setelah pelayan itu pergi."Ya…, mungkin aku sedang dalam fase patah hati nih, Fer." Jawabnya sedih.Feri terlihat berpikir sejenak."Apa tebakanku benar?" tanyanya.Aryan melirik ke arah Feri,
Di tempat berbeda, Revi merasakan galau karena sudah beberapa hari tidak melihat Aryan di kantor tempat mereka bekerja. Meskipun dia masih tidak mau bertegur sapa dengan Aryan, tapi sebenarnya dia merasa bingung jika tiba-tiba pria itu menghilang dari pandangannya begitu saja."Sudah tujuh hari…." Gumamnya."Hey, apanya yang tujuh hari?" tiba-tiba seorang teman menepuk pundak Revi hingga Revi terhenyak kaget."Ah Anggi? Bikin kaget saja." Balas Revi."Ya… lagian kamu sih ngelamun aja dari tadi, terus kamu juga gak fokus waktu di ruang rapat juga." Kata Anggi sambil duduk di samping Revi."Eh Ang, aku mau tanya sesuatu, kamu tahu nggak kenapa Aryan gak masuk kerja?" tanya Revi yang akhirnya menanyakan hal yang menjadi rasa penasarannya selama beberapa hari ini."Oh… rupanya kamu lagi mikirin Aryan?"Revi menunduk, wajahnya tersipu malu."Kamu gak tahu ya? Dia 'kan udah gak kerja lagi disini." Kata Anggi lagi.Seketika wajah Revi mendongak kaget, lalu dia juga menggelengkan kep
Revi terdiam, meskipun dia tidak terlalu paham dengan perkataan Aryan. Tapi gadis itu sedikit mengerti karena dia juga merasakan hal yang sama."Begitu juga denganku. Aku berharap kamu akan menyadari betapa berartinya hubungan persahabatan kita, tapi, akhirnya aku tersadar bahwa aku seharusnya lebih berani untuk membicarakannya denganmu."Aryan mengangguk, sayangnya dia sedikit kecewa karena Revina tetap menganggapnya sebagai sahabat."Mungkin kita memang saling takut untuk mengungkapkan perasaan dan kekhawatiran kita. Jadilah, aku merasa seperti kita kehilangan satu sama lain tanpa alasan yang jelas." Jawab Aryan."Aku merasakannya juga, Ar. Kita harus belajar dari kesalahan ini. Persahabatan kita tidak boleh terenggut begitu saja." Balas Revi."Ya aku sepakat, Revi. Kita harus memulai dari awal. Bisakah kita melupakan masa lalu dan membangun kembali persahabatan kita?" tanya Aryan, di dalam hatinya masih tersimpan harapan dari hubungan persahabatan ini.Aryan berpikir, selama persah
"Terima kasih, Aryan. Aku harap kamu bisa mengerti. Namun ada satu hal lagi yang harus aku sampaikan." Akhirnya Revi memilih membahas hal lain daripada harus mempertanyakan sikap Aryan yang sudah berubah.Aryan melirik sejenak, "ada lagi?" tanyanya.Revi mengangguk, wajahnya terlihat kecewa."Iya, Aryan. Aku menemukan banyak kebenaran tentang Rizal akhir-akhir ini. Dia sudah sering berselingkuh dan memanfaatkan kepercayaanku. Aku merasa sangat kecewa dan sakit hati."Aryan terlihat marah dan prihatin. "Apa? Bagaimana bisa? Maafkan aku, tapi aku sudah mencurigai Rizal sejak dulu. Aku khawatir tentang hubunganmu dengannya."Akhirnya Aryan kembali ke mode awal, dia bahkan keceplosan saat mengatakan pertanyaan tadi."Lalu apa katamu yang memutuskan untuk menikah tadi?" tanya Aryan bingung."Tenang, Aryan. Awalnya aku juga tidak bisa mengabaikan fakta ini lagi, Aryan. Aku sudah mengakhiri hu
Revi hanya diam saat Aryan mengutarakan unek-uneknya, dia jadi merasa bersalah. Kenapa juga dia curhat sangat berlebihan pada Aryan, ini tentang Rizal dan pernikahannya. Apa dia terlalu bahagia? Ya, Revi hanya ingin membagi kebahagiaan itu dengan sahabatnya sendiri, sayangnya ini bukan saat yang tepat. Seharusnya dia hanya bertanya tentang kabar Aryan dan kemana saja selama berbulan-bulan ini."Maafkan aku Aryan, bisakah kita lupakan saja pembicaraan kita yang barusan?" tanya Revi."Ayo kita bercerita tentang kamu, apa yang kamu lakukan selama kita tidak bertemu?" tanyanya lagi.Aryan terdiam, dia merasa lega karena telah mengutarakan sedikit unek-uneknya. Sebenarnya ada unek-unek yang lebih besar dan sangat mengganjal di dalam hatinya melebihi unek-unek tadi.Hanya saja, Aryan sudah mengambil keputusan."Maaf Revi, sebaiknya kapan-kapan lagi kita berbicara." Jawab Aryan, terdengar dingin."Ar ____"
Mendengar desahan itu Rizal pun menggigit puting wanita itu hingga tubuh wanita itu melengking dan bergetar, lalu terkulai di pangkuan Rizal, Rizal tampak tersenyum puas. “Giliranku?” tanyanya setelah beberapa saat Linda terdiam di pangkuannya. Linda mengangkat kepalanya, lalu turun dari pangkuan Rizal dan merebahkan tubuhnya di samping Rizal, dengan merubah sedikit posisi saja, kini pria itu bisa berada di atas Linda yang sudah pasrah dan masih menginginkan belaian dari Rizal tak peduli peluh sudah membasahi tubuh mereka berdua. Rizal menancapkan si kecil miliknya hingga Linda tampak merem melek karena merasakan nikmat yang tak terkira. Bibirnya komat kamit mendesah sambil terus memanggil nama Rizal dengan panggilan ‘Sayang’. Berbagai macam gaya sudah pasangan haram itu lakukan, tapi Rizal yang perkasa masih belum juga mengeluarkan rudalnya. “Sayang, apa Kau meminum obat kuat?” tanya Linda disela-sela aksinya. Rizal tersenyum bangga sambil menggeleng-geleng, “kenapa? apa
“Ah, iya ya.” Jawab Raya yang baru ingat kalau dia ada acara ikutan pesta dengan adik juga teman-teman adiknya itu. “Aku berangkat duluan ya, Kak?” pamit Rizal sambil memakai sepatunya. “Linda udah datang jemput.” Lanjutnya dengan satu mata dikedipkan. Mulut Raya tampak terbuka lebar, “sialan kau Rizal.” Makinya sambil tertawa, tapi tawa ikut senang. “Yo’i, aku sama Linda mau berduaan dulu.” Sahut Rizal lagi. Raya melambaikan tangannya, “bersenang-senanglah adikku.” Balasnya. Rizal mengangkat kedua tangannya sambil berteriak riang, terlihat wanita bernama Linda itu memiliki rambut berwarna cherry blossom, kulitnya putih bak salju, entah dari mana Rizal menemukan wanita tersebut. “Kemana kita?” tanya Rizal saat Linda membelokkan kendaraannya ke arah yang bukan awal rencana mereka. “Nurut saja.” Jawab Linda sambil tersenyum genit. Melihat ekspresi itu tentu saja Rizal senang bukan kepalang, bersama Linda kemanapun pergi pasti akan terasa di surga. Tak beberapa lama ke
Ervina tersenyum malu-malu, tentu saja gadis itu merasa tersanjung meskipun pujian seuprit yang sebenarnya tak berarti itu. ‘Wanita bodoh!’ batin Rizal. Sepasang sejoli yang baru saja berbaikan kembali dan saling memaafkan itu akhirnya pergi bersama untuk menemui orang tua yang dari awal sudah sekongkol dengan anak laki-lakinya itu, selama dalam perjalanan Rizal tak hentinya menggenggam tangan Ervina serta menciuminya penuh kasih sayang, tentu saja wanita seperti Ervina yang gampang luluh dan mudah memaafkan itu bak seorang wanita yang hanya dicintai juga dikagumi oleh satu pria saja, hingga dia semakin yakin kalau Rizal memang pilihannya yang terbaik. Beberapa saat kemudian mobil yang Rizal kendarai tiba di sebuah rumah sakit, dia membukakan pintu untuk Ervina, menyanjung wanita itu sedemikian rupa setidaknya sampai mereka menikah dan Rizal puas dengan wanita itu. “Ayo masuk.” Ajak Rizal sesampainya di depan ruang pasien. Keduanya masuk ke dalam ruangan. “Ibu, aku bawa mantumu.”
Tanpa Ervina sadari karena gadis itu tengah bergulat dengan pikiran-pikiran semrawutnya, jari jemari Rizal sudah membuka beberapa kancing kemeja kerjanya, lalu menciumi dua gunungnya, saat bibir itu terasa menempel pada kulitnya, barulah Ervina sadar kalau ini bukan mimpi melainkan kenyataan yang sedang dialaminya.“TIDAK!” seru Ervina sambil menendang kemaluan Rizal hingga pria itu mengaduh kesakitan.Rizal mendadak berdiri dan menjauh dari dekat Ervina, kedua tangannya memegang kemaluannya sambil meringis.“MAAF!” seru Ervina lagi, dengan gelagapan dan kebingungan harus berbuat apa pada sesuatu yang ditendangnya barusan. Dia segera bangun dan menutup rapat kembali kemejanya serta tak lupa merapikan kembali hijabnya yang mungkin saja berantakan juga.“Shit! aduh…” desah Rizal sambil merapatkan kedua kakinya untuk menahan rasa sakitnya.Ervina sampai ikut meringis melihat Rizal bertingkah seperti itu, “salah sendiri.” Gumamnya.“Tadinya aku pikir… tidak masalah, karena kita akan seger
Kedua mata Ervina sampai membelalak saat mendengar kalimat itu keluar dari mulut Rizal si pria paling gila kerja dan paling takut kehilangan pekerjaan itu.“Kenapa Sayang?” tanya Rizal sambil melangkah maju, hingga tubuhnya dan tubuh Ervina hampir merapat.“Hus! jangan bicara sembarangan.” Balas Ervina sambil mendorong tubuh Rizal yang terlalu merapat hingga dua gunung miliknya hampir menempel.Melihat wajah Ervina yang terlihat malu dan tak sejudes kemarin, Rizal yakin jika wanita itu akan luluh lagi olehnya jika terus dia rayu, dengan begini saja sepertinya Rizal tak membutuhkan bantuan kakak maupun ibunya lagi.Rizal kembali maju, kali ini Ervina yang terus mundur hingga mereka masuk kembali ke dalam rumah.“Apa yang kamu lakukan, Mas?” tanya Ervina sambil berusaha mendorong dada Rizal.Rizal tak mempedulikannya, pria itu terus mendesak tubuh Ervina hingga gadis itu tak berdaya dan tak ada lagi tempat untuknya menghindar karena tubuhnya kini sudah berada di belakang tembok rumah, E
“Ngapain kau?” tanya Raya, kembali melayangkan telapak tangannya ke kepala Rizal.“Aduh… Mbak. sakit tau! kira-kira lah kalau mukul,” rengek Rizal.“Malas, aku. Nanti biar ibu aja yang jelasin, keburu ilfeel.” Lanjutnya sambil berdiri dan segera pergi masuk ke dalam kamarnya.Ibunya sampai geleng-geleng kepala dengan wajah tak terima anak bungsunya ditindas kakaknya seperti begitu.“Kau itu ya Ray, sudah besar, sudah berumur, sikap kau kasar begitu mana ada yang mau ngawinin.” Dengus sang ibu.“Halah, ibu ini. Mengganggu kesenangan saja, jadi… ayo cerita padaku Bu, apa yang sedang kalian rencanakan?” balas Raya, lanjut bertanya.Ibu Raya menghela napas, lalu menceritakan permasalahan yang sedang dihadapi Rizal yang ketahuan berselingkuh, Rizal tampak menyesal dan takut kehilangan Ervina, makanya dia meminta bantuannya.Raya mengangguk paham setelah dia menyimak perkataan ibunya tersebut.“Kalau gitu… sepertinya aku juga harus bantu kalian.” Desah Raya.Ibunya sampai melirik tak percay
“Kalau gitu… apa yang kita harus lakukan sekarang?” tanya Rizal.“Sabar… tunggu hari esok saja,” balas ibunya.“Bu… takutnya kalau dibesokin, dia gak aktifin ponselnya.” Rengek Rizal.Ibunya tampak menghela napas kesal, “tidak salah kau selalu kehilangan sesuatu yang berharga.” Dengusnya.Rizal menatap nyalang, “maksud ibu?” tanyanya.Ibunya kembali menghela napas kesal, “karena kau gak sabaran… tenang aja, ada ibu.” Katanya memastikan sesuatu hal yang belum pasti.“Cih!” bibir Rizal monyong hingga lima senti.“Eh, kau ini ya. Gak percaya ama kemampuan ibu?” tanyanya.Rizal membalas dengan mengedikkan kedua bahunya, tampak seakan menyepelekan juga senang saat ibunya itu terlihat kesal.“Haha… maaf, Bu… iya… Rizal tau kok kalau Ibu the best.” Lanjutnya sambil tertawa.Ibunya menggeplak bahu putra kesayangannya itu, begitulah dia hingga ibunya itu sangat membanggakannya meskipun anaknya itu belum ada sesuatu yang patut untuk dibanggakan, kecuali ketampanannya.“Ibu yakin, kalau rencana
Ervina menghela napas panjang, “kita bicara disini saja.”Raut wajah Rizal seketika berubah keruh, “ayolah… apa kita mau bertengkar diluar? biar seluruh komplek tahu? gitu?” tanyanya.Ervina membalas raut wajah keruh itu dengan tatapan bingung, “lagipula siapa yang mau bertengkar? memangnya kamu salah apa?” balasnya.Rizal terdiam, gerak geriknya mendadak kikuk, tidak biasanya Ervina bersikap setenang ini. Jika keadaan berbalik begini, diancam gak jadi nikah pun sepertinya perempuan itu tak akan mempan.“Aku capek, aku mau istirahat. Sebaiknya Mas pulang aja,” sambung Ervin seakan mengusir.Rizal semakin kikuk, lalu dia mengelus-elus rambutnya. “Jadi… apa kamu tidak marah?” tanyanya.Ervina mengedikkan bahunya, “marah? kenapa aku harus marah? bukannya kamu yang bilang kalau itu perintah atasanmu?” balasnya bertanya.“Ayolah… maafkan aku Sayang, aku janji__”“Janji? janjimu itu hanya untuk kamu ingkari, Mas.” Potong Ervina.Rizal terdiam, bingung harus mengeluarkan jurus apa lagi kalau
Revina sadar jika kali ini pun dia masih melukai perasaan sahabat masa kecilnya itu, dia pasti sangat mengecewakan hingga Aryan pasrah karena sangat putus asa. Sebenarnya bukan tanpa sebab Ervina bersikap bodoh seperti ini, dia terlanjur malu semalu-malunya dengan Aryan, dia memilih menjauh dan juga teguh pada pendiriannya akan Rizal.“Hmp, baiklah Ar. Kalau gitu… aku pamit pulang ya, terima kasih untuk hari ini.” Ucap Ervina sambil berdiri dari duduknya.Aryan terlihat tak merespon secara berlebihan, pria itu hanya mengangguk seakan tak peduli dengan kepergian Ervina. Setelah wanita itu pergi, Feri yang dari tadi menyelinap menunggu kepergian Ervina segera masuk ke dalam kantor.“Apa dia percaya?” tanyanya amat penasaran.“Hey! Aryan, apa yang kalian bicarakan barusan?” tanyanya lagi karena Aryan tampak termenung tak menggubris pertanyaannya.Aryan tersadar, lalu menatap ke arah Feri yang terlihat khawatir juga penasaran.“Seperti yang kamu lihat, dia tak peduli_”“Wah!” potong Feri