Mobil Mercedes S class hitam sudah terparkir dengan rapih di parkiran VIP apartemen Pacific Place, terlihat dari kaca spion depan raut wajah Emil yang kesal karena perjanjian kontraknya dengan investor besar dari Jepang tertunda hanya karena masalah sepele.
“Sial!”
Lee menundukan kepalanya, pasrah. Jika Emil sudah marah tidak ada satupun yang berani untuk menjawab perkataannya sekalipun Lee orang paling dekat dengannya di kantor.
“Chef sialan itu. Arrgghh,,,” ucapnya geram sambil mengepalkan tangannya erat-erat.
Emil masih bergeming di posisinya, Lee langsung menekan lantai 27 untuk segera membawa bosnya ini ke dalam kamarnya. Otaknya berputar memikirkan cara untuk meredam amarah Emil, satu-satunya cara ampuh adalah membuatkan black coffe racikannya sendiri.
Suara denting menandakan lift sudah sampai pada unit apartemen mewah Emil. Lee langsung segera menekan kode pada gagang pintu, mempercepat gerakan jarinya karena Emil semakin tidak bisa terkendali.
“Saya mau besok sudah bertemu dengan chef itu. Tolong kerahkan beberapa karyawan!” perintah Emil tegas.
“Ayolah, ini sudah di kamar. Tenangkan pikiran sejenak, apakah kamu mau aku buatkan black coffe?” Lee berusaha mencairkan suasana.
Sambil menunggu Lee meracik kopi kesukaannya Emil memutuskan untuk membersihkan seluruh badannya dengan mandi. Ia sudah membuka seluruh pakaiannya, terlihat pada kaca tubuh perut kotak-kotak dan bulu di dadanya yang merekah ruah.
Jemarinya yang kokoh langsung menekan suhu pada digital showernya, di bawah pancuran air ia merilekskan pikirannya membuang segala kekesalannya terkait kontrak kerja.
Matanya ia pejamkan, tiba-tiba saja bayangan wajah perempuan yang ia saja tidak tahu namanya muncul. Bola matanya yang bulat dengan warna hitam pekat, rambut coklatnya yang terurai dengan berantakan serta harum manisnya jelas dibayangan itu.
“Sial. Pikiran apa lagi ini? Mengapa bayangan perempuan itu selalu menghantui saya,” gumam Emil.
Setelah selesai membersihkan diri dan memakai piyama berwarna biru tua Emil langsung minum kopi yang sudah disiapkan oleh Lee.
“Aku pulang dulu.”
“Apakah ingin memakai jasa mobil online?”
“Tidak perlu. Saya ingin menikmati udara malam menggunakan motor,” jelas Lee.
* * *
Tidak sampai satu jam Lee sudah sampai di apartemennya. Apartemen dengan nuansa hijau daun yang sudah ia tempati selama 3 tahun ini, tidak megah dan tidak semewah apartemen bosnya tetapi sangat nyaman untuk Lee.
Sebelum masuk ke dalam apartemen Lee menyempatkan diri untuk membeli satu bungkus rokok pada mini market yang ada di kanan apartemen. Ia berjalan terburu-buru dengan langkah kaki yang lebar karena mengingat belum mengunggah pekerjaan hari ini.
“Maaf, maaf. Saya tidak lihat,” ucap Lee memohon karena baru saja menabrak seorang perempuan yang sedang sibuk dengan ponselnya.
Lee bisa merasakan napas hangat dari wajah perempuan itu. Wajah yang cantik luar biasa, cukup dekat hingga mata kecoklatannya mampu membuat Lee terpana.
Perempuan itu sibuk mencari ponselnya yang terlempar entah kemana, Lee yang terburu-buru hanya bisa meminta maaf lalu pergi meninggalkannya.
* * *
Emil melangkah masuk ke kantornya dengan langkah yang cepat, menghempaskan dirinya di atas kursi kerja yang nyaman. Pikirannya masih kesal tentang chef itu, ia sudah memerintahkan Lee untuk mengerahkan staffnya mencari nama dan mendatangkan chef tersebut kehadapannya hari ini.
“Selamat pagi pak, saya ingin memberi report semalam saham perusahaan kita turun,” ujar salah satu manager keuangan di SeaFood.
Ternyata pemberitaan tentang perusahaan SeaFood yang gagal dengan proyek barunya sudah beredar membuat beberapa investor besar asal Indonesia menarik sahamnya.
Belum sempat Emil menjawab pernyataan dari staff keuangan, pintu ruangannya sudah terbuka terlihat pria tinggi dengan ciri khas kaca mata bulat masuk ke dalam dengan menundukan wajahnya.
“Selamat pagi pak, apakah saya mengganggu?”
“Tidak.”
“Begini pak, saya sudah mengerahkan beberapa staff untuk mencari chef tersebut dan pernyataan dari resto bahwa hari ini ia sedang libur dan pihak resto tidak mau memberikan alamat rumah chef kepada kami.”
Suasana panas semakin terasa pada ruangan AC central dengan suhu -16 derajat. Sungguh hari yang menjengkelkan, setelah menyuruh mereka berdua keluar dari ruangannya Emil langsung merenggakan badan dan melirik jam tangan berwarna silver dengan lapisan tembaga di sekelilingnya.
Sudah jam 12 siang, itu berarti lebih dari 5 jam ia bergelut dengan kemarahan yang ada. Emil berdiri lalu melangkahkan kakinya untuk keluar dari kantornya dengan harapan akan mendapatkan ide cemerlang.
“Tidak punya mata?!”
Suara kencang membentak seorang office boy yang baru saja menumpahkan sedikit air kotor pada sepatu pantofel mahal milik Emil, membuat karyawan lainnya berhenti sejenak dan menoleh ke arah suara itu.
Pemuda itu hanya bisa menundukan wajahnya, ia tidak tahu bahwa atasannya sedang diserang berbagai masalah sejak kemarin. Emil nyaris meluapkan semua emosinya kepada office boy sebelum ia menyadari bahwa tindakannya adalah salah.
Emil mengambil napas dalam untuk mengembalikan kesadarannya, ia mengutuk dirinya sendiri sambil berjalan ke ruangannya.
“Emil?” sesosok perempuan berkacamata muncul di baliknya. Senyum yang sudah lama tidak ia lihat membuat dirinya langsung menghentikan langkahnya.
"Ya?"
Marina mendorong pintu kaca ruangan Emil, kemudian masuk lalu menghempaskan tubuhnya dan belanjaan miliknya pada kursi coklat empuk yang ada di depan meja kerja adiknya.Hari ini Marina melipir sebentar ke kantor adiknya karena baru saja berbelanja menghamburkan uang suaminya, membeli sesuatu yang sebenarnya tidak benar-benar dibutuhkan.“Apa kabar kamu? Semenjak kejadian terakhir saat makan malam tidak ada kabar sama sekali.”Marina membuka obrolan basa-basi tanpa mengetahui sang adik sedang diselimuti oleh amarahnya sejak kemarin, sambil menyodorkan satu pack strawberry manis dan tentu saja mahal karena strawberry ini berasal dari Korea.“Kabar baik. Hanya sedikit pusing.”“Mengapa?”“Proyek kerja tertunda dengan investor Jepang. Gossip tentang proyek baru yang gagal sudah menjalar ke telinga para investor membuat mereka menarik sahamnya dari perusahaan,” jelas Emil sambil mengunyah strawberry.“Kau tau karena apa?”Marina menatap mata Emil dengan penuh rasa penasaran.“Tanda tangan
“Saya mau tanya di mana supervisior anda?” ucap Emil dengan tegas kepada kasir di kedai coffe Bene.Kasir yang berjaga saat itu langsung gemetar terlebih saat pelanggannya menunjukan kartu nama yang merupakan CEO dari perusahaan cepat saji yang berada di seberang kedai.Tak sampai dua menit supervisior sudah berdiri di antara Emil dan Marina serta beberapa ajudan yang ia bawa ke kedai tersebut.“Di mana baristanya?”Ini memang masalah kecil tetapi untuk Emil yang sejak kemarin sedang diselimuti oleh amarahnya membuat emosinya mudah naik. Salah satu sifat Emil yang membuat orang lain tidak suka dengannya termasuk Lee dan kakaknya.Marina berusaha untuk memegang lengan kanan adiknya, mengusap dengan lembut agar amarahnya mereda karena sangat memalukan jika orang lain menilai CEO dari perusahaan SeaFood pemarah dan sangat arogan.Tidak lama kemudian Kevin datang dengan gagahnya berusaha untuk mengakui kesalahannya di depan sang CEO dan supervisiornya.“Kamu itu kerja yang benar! Pekerja
Tangan kanan Emil yang besar masih menarik tangan Viona dengan keras, ia menuntunnya segera ke halte bus terdekat dengan langkah kaki yang cepat karena jika ada karyawannya yang melihat bosnya menaiki angkutan umum akan menjadi gosip yang tak berkesudahan.Viona dengan sepatu pantofelnya berjalan mengikuti langkah kaki laki-laki itu dengan terengah-engah, bagian belakang kakinya sudah lecet membuat dirinya kesakitan.“Sakit.” Viona akhirnya berbicara ketika genggaman CEO ini sudah terlalu keras dan lecet di kakinya semakin melebar.CEO itu menoleh melihat tatapan nanar yang terpancar dari mata hitam Viona, tangan kokoh itu langsung menghentikan tarikan dengan pelan.“Kamu perempuan yang menabrak saya di lobby ‘kan? Dan yang saat itu tengah malam menunggu bus di halte?”Viona bergeming tak kala CEO ini menyadari wajahnya serta pertemuannya beberapa kali dengan dirinya, ia langsung menyingkapi wajahnya dengan rambut seadanya. Sungguh ia kira laki-laki ini tidak akan ingat kejadian apapu
“Ini,” ucap Lee sambil menyodorkan segelas hot espresso yang baru ia pesan melalui aplikasi online. Aroma kopi yang menguar membuat sedikit otak mereka rileks karena sejak siang tadi mereka masih berkutik dengan laptop dan tumpukan kertas, membicarakan solusi mengenai keuangan yang berantakan.Semua staff keuangan sudah pulang hanya tinggal mereka berdua yang masih berkutik karena Emil meminta laporan hasil rapat besok pagi. “Haduh,,, hari ini lembur lagi.” Kai menarik nafas panjang karena dari lubuk hatinya yang paling dalam ia sangat malas sekali lembur.Lee mereganggkan badan dan melirik jam tangan berwarna silver beberapa kali, saat badannya ia renggangkan terlihat otot dadanya yang begitu gagah membuat kemeja putihnya sesak. Mata Kai langsung segar ketika melihat otot yang berada di sekretaris itu.“Sial! Kalau seperti ini aku akan ingin lembur terus!” Kai menggelengkan kepalanya, mengusir bayangan tentang bagaimana jika laki-laki di depannya ini sedang tidak memakai pakaian s
Kevin baru saja tiba di depan rumah Viona, ternyata setelah tutup kedai ia menanyakan kepada supervisiornya mengenai alamat rumah Viona karena ingin mengucapkan terima kasih telah membelanya di depan CEO yang sudah memarahinya.Dua buah wadah rotan yang berisi dimsum panas sudah berada di tangan Kevin. Setelah memarkirkan motor sportnya di depan halaman rumah Viona ia langsung mengetuk pintunya dengan pelan.“Malam. Ada yang bisa dibantu?”“Saya teman kerjanya Viona, Pak. Apakah Vionanya ada?”Laki-laki tua itu langsung memanggil nama anaknya dengan teriakan yang lumayan kencang karena sedari tadi Viona tidak keluar dari kamarnya.Setelah menunggu beberapa menit akhirnya ia melihat sosok perempuan yang ingin ia temui dengan baju piyama gambar Doraemon Viona menyapa Kevin dengan ramah, hampir saja pipinya memerah merona.“Masuk.” perintah Viona.“Tidak usah. Aku hanya ingin memberikan ini kepadamu, ucapan terima kasih karena sudah membela saya di depan customer tadi.”Mata hitam pekat
Jika pertemuan dengan seseorang adalah campur tangan Tuhan, apakah perasaan yang muncul begitu saja adalah salah satu rencananya juga?Emil baru saja turun dari mobilnya tangan kanannya memperbaiki posisi dasinya dan jas yang sedikit kusut karena pergerakan tubuhnya yang sejak pagi sangat cepat. Laki-laki ini sudah berada di depan restoran Nusantara yang beberapa hari lalu ia datangi bersama dengan investor.Matanya sinis menatap restoran ini penuh dengan kemarahan, sesekali ia bergumam di dalam hatinya dengan penyesalan. Kakinya yang jenjang melangkah masuk ke dalam restoran, dua orang karyawan sudah siap membukakan pintu untuknya.“Selamat siang, Pak. Sudah reservasi atau belum?”Ucapan karyawan hanya di acuhkan oleh Emil ia langsung bergegas berjalan masuk ke dalam kasir untuk menanyakan sendiri ke beradaan chef yang sudah beberapa hari ia cari.“Saya ingin bertemu dengan semua chef yang ada di sini.”Mata sang kasir pun terbelalak, tidak menyangka dengan ucapan tersebut.Setelah s
Viona langsung mengangguk dengan cepat membuat bibir Emil tersenyum lebar, dipikirannya adalah ini kesempatan untuk dirinya bisa mengumpulkan uang lebih banyak lagi.Kedua tangan mereka sudah berjabat memikirkan keuntungan yang akan mereka dapatkan setelah perjanjian kerja ini. Emil menatap mata Viona dengan penuh harapan, tidak hanya soal pekerjaan tetapi harapan untuk bisa mengenalnya lebih dalam lagi.Hampir 15 menit mereka berbicara di depan restoran membuat Lee yang penasaran langsung menghampiri mereka.“Pak, apakah semua baik-baik saja?”Emil menganggukan kepalanya langsung memberikan kode untuk segera pergi dari restoran ini dan Viona masuk ke dalam restoran untuk melanjutkan pekerjaannya. Sungguh sebuah hari yang tidak pernah Viona bayangkan.“Jadi bagaimana, Pak?”Emil menjelaskan semuanya dengan tenang dan nada yang rendah serta senyum yang tidak hilang dari bibirnya membuat Lee mengerutkan dahinya mempertanyakan apa yang bisa membuat bosnya seperti ini.“Ada apa dengan mu?
Lampu kristal yang menjutai sesekali bergerak dengan pelan ketika pendingin ruangan berputar mengenai sisinya, aroma ruangan yang harum menyegarkan membuat Viona semakin merasa tidak layak berada di sini. Sesekali ia mengendus ketiaknya untuk memastikan parfum yang ia pakai masih tercium dengan segar.Matanya mencoba untuk mencari laki-laki yang mengundangnya ke sini, seorang pelayan menghampiri dirinya dengan ramah.“Selamat malam, ada yang bisa dibantu, Nona?”Seumur hidup Viona tidak pernah di perlakukan sebaik ini oleh pelayan, ia bergumam di dalah hatinya menjadi orang kaya memang selalu di pandang dan di hargai!“Table nomer 8?”Seorang pelayan laki-laki membantunya untuk mencari meja nomer 8, di tengah langkah kakinya jantungnya berdebar melihat arsitektur yang mahal dan juga tanda tangan kontrak yang akan ia lakukan malam ini.
Viona baru saja tiba di studio masak yang di sewa oleh perusahaan milik Emil. Terlihat dari kejauhan kitchen set dengan gaya minimalis yang didominasi dengan sentuhan warna hitam dan putih, alat dapur yang mahal membuat hati Viona bergetar.“Astaga. Aku harus sesempurna mungkin untuk tampil hari ini,” gumam Viona.Kakinya melangkah lebih dalam lagi untuk melihat situasi yang ada di sana, terlihat belum begitu banyak orang yang akan menontonya hari ini.“Dengan chef Viona?”Viona menganggukan kepalanya pelan dengan penuh kebingungan.“Mari ikut saya, sebelum tampil chef di minta untuk memakai make-up terlebih dahulu.”Seorang make-up artis sudah memoleskan foundation ke wajah mungil milik Viona, dilanjutkan dengan alis serta lipstik yang sedikit mencolok tidak lupa di belakangnya ada hairstylist yang juga merapihkan rambutnya.Hampir satu jam Viona di dalam ruangan make-up membuat dirinya sudah kelelahan, beberapa kali ia menghembuskan nafasnya karena belum memasak tetapi energinya sud
Semua mata tertuju pada sosok perempuan yang berada di sisi kanan Emil, dress berwarna putih tulang melekat dengan cantik di tubuh Viona. Telinganya dihiasi dengan anting dan jari mungilnya juga dihiasi dengan cincin berwarna perak.“Selamat malam,” sapa Emil kepada seluruh anggota keluarganya dengan menggenggam erat tangan kiri Viona.Meja makan dengan material berlapis emas dipadu padankan dengan warna burgundy membuat nuansa glamor di rumah ini semakin terasa, lampu kristal yang menjuntai tepat di tengah-tengah meja semakin mempercantik ruangan.“Mari duduk, honey,” ucap Emil, tangannya sibuk menarik bangku untuk mempersilahkan Viona duduk.Mata Viona melirik ke arah laki-laki tua yang berada di ujung meja makan, kerutan di wajahnya menandakan bahwa sedikit ada kekecewaan. Mungkin kesal karena rencana perjodohannya gagal lagi?“Perkenalkan ini Viona,” ucap Emil dengan senyuman yang lebar tanpa ada rasa canggung.Di sisi lain, ada Viona yang masih kebingungan harus bersikap seperti
Setelah kecanggungan terjadi di dalam ruang kerjanya, Emil berusaha untuk mengembalikan suasana cair dengan membicarakan kontrak kerja karena mengingat tinggal satu hari lagi sang investor Jepang akan terbang kembali ke Jakarta untuk menemui Viona.Viona dengan gugup dan hati yang masih berdebar tidak karuan berusaha menjawab semua pertanyaan Emil dengan lantang.“Jadi apa yang akan kamu persiapkan untuk presentasi masak besok?”“Sudah siap semua, sesuai dengan arahan Bapak dan akan saya tambahkan beberapa menu untuk di presentasikan karena mengingat yang datang adalah tamu dari Jepang saya ingin memperkenalkan makanan Indonesia sebanyak mungkin,” jawab Viona padahal sebenarnya ia sama sekali belum mempersiapkan apapun termasuk makanan tambahan yang ia sebutkan tadi.Emil tersenyum bangga kepada chef sekaligus perempuan yang ia kagumi, untuk pertama kalinya ia tidak hanya sekadar senang karena proyek kerjanya lancar melainkan ada sosok lain yang membuat dirinya semakin semangat mendap
Viona sudah berada di dalam gedung megah di perusahaan SeaFood, setelah semalaman suntuk menanyakan pendapat Kai mengenai ponsel bosnya yang tertinggal di rumahnya hingga akhirnya ia memutuskan untuk mengembalikan ponsel tersebut ke kantornya. Semalam, setelah Emil pergi dari rumahnya ia tidak bisa tidur dan langsung menelpon Kai menceritakan kegilaan bosnya terhadap dirinya hingga akhirnya terucap satu kata dari bibir Kai.“Mungkin ia menyukaimu?”Sepatu kanvas berwarna hijau yang sudah lusuh menginjak lantai yang terbuat dari marmer mahal dan coraknya yang indah. Mata Viona berusaha mencari di mana laki-laki yang mempunyai ponsel ini, beberapa kali dirinya di cegat oleh satpam karena melihat pakaiannya yang tidak mencerminkan bahwa ia adalah salah satu karyawan dari perusahaan ini.“Eh, apakah kamu chef yang di restoran itu?”Viona menoleh dengan cepat ketika mendengar suara laki-laki yang mengenalinya. Lee yang kala itu baru saja pulang dari rapat di luar bersama dengan client meny
Viona mengekor Emil dari belakang menuju lift meskipun hatinya tidak ingin pulang bersama dengan laki-laki ini, ia berusaha untuk menghargai tawarannya.Di dalam lift Viona berusaha untuk menjaga jarak dengan Emil ia benar-benar tidak ingin mempermalukan laki-laki ini jika mungkin saja bertemu dengan rekan kerjanya. Viona memilih berdiri di sudut lift dengan wajah yang ia tundukan, tiba-tiba saja pintu lift terbuka dan hampir 6 orang masuk secara bersamaan membuat tubuh Viona dan Emil berdekatan.Deg!Emil secara tidak sengaja memegang tangan Viona erat karena dorongan dari orang lain, lift hampir penuh dengan keringat yang semakin memunculkan buliran yang banyak Viona diam berusaha untuk tidak melakukan hal bodoh.Setelah lift berdenting mereka berdua keluar menuju lobby untuk meminta vallet membawakan mobil milik Emil. Setelah Emil menyebutkan nama, beberapa menit kemudian vallet langsung membawakan mobil milik Emil.Sebuah mobil sport berwarna hitam yang ramping dari luar saja suda
Lampu kristal yang menjutai sesekali bergerak dengan pelan ketika pendingin ruangan berputar mengenai sisinya, aroma ruangan yang harum menyegarkan membuat Viona semakin merasa tidak layak berada di sini. Sesekali ia mengendus ketiaknya untuk memastikan parfum yang ia pakai masih tercium dengan segar.Matanya mencoba untuk mencari laki-laki yang mengundangnya ke sini, seorang pelayan menghampiri dirinya dengan ramah.“Selamat malam, ada yang bisa dibantu, Nona?”Seumur hidup Viona tidak pernah di perlakukan sebaik ini oleh pelayan, ia bergumam di dalah hatinya menjadi orang kaya memang selalu di pandang dan di hargai!“Table nomer 8?”Seorang pelayan laki-laki membantunya untuk mencari meja nomer 8, di tengah langkah kakinya jantungnya berdebar melihat arsitektur yang mahal dan juga tanda tangan kontrak yang akan ia lakukan malam ini.
Viona langsung mengangguk dengan cepat membuat bibir Emil tersenyum lebar, dipikirannya adalah ini kesempatan untuk dirinya bisa mengumpulkan uang lebih banyak lagi.Kedua tangan mereka sudah berjabat memikirkan keuntungan yang akan mereka dapatkan setelah perjanjian kerja ini. Emil menatap mata Viona dengan penuh harapan, tidak hanya soal pekerjaan tetapi harapan untuk bisa mengenalnya lebih dalam lagi.Hampir 15 menit mereka berbicara di depan restoran membuat Lee yang penasaran langsung menghampiri mereka.“Pak, apakah semua baik-baik saja?”Emil menganggukan kepalanya langsung memberikan kode untuk segera pergi dari restoran ini dan Viona masuk ke dalam restoran untuk melanjutkan pekerjaannya. Sungguh sebuah hari yang tidak pernah Viona bayangkan.“Jadi bagaimana, Pak?”Emil menjelaskan semuanya dengan tenang dan nada yang rendah serta senyum yang tidak hilang dari bibirnya membuat Lee mengerutkan dahinya mempertanyakan apa yang bisa membuat bosnya seperti ini.“Ada apa dengan mu?
Jika pertemuan dengan seseorang adalah campur tangan Tuhan, apakah perasaan yang muncul begitu saja adalah salah satu rencananya juga?Emil baru saja turun dari mobilnya tangan kanannya memperbaiki posisi dasinya dan jas yang sedikit kusut karena pergerakan tubuhnya yang sejak pagi sangat cepat. Laki-laki ini sudah berada di depan restoran Nusantara yang beberapa hari lalu ia datangi bersama dengan investor.Matanya sinis menatap restoran ini penuh dengan kemarahan, sesekali ia bergumam di dalam hatinya dengan penyesalan. Kakinya yang jenjang melangkah masuk ke dalam restoran, dua orang karyawan sudah siap membukakan pintu untuknya.“Selamat siang, Pak. Sudah reservasi atau belum?”Ucapan karyawan hanya di acuhkan oleh Emil ia langsung bergegas berjalan masuk ke dalam kasir untuk menanyakan sendiri ke beradaan chef yang sudah beberapa hari ia cari.“Saya ingin bertemu dengan semua chef yang ada di sini.”Mata sang kasir pun terbelalak, tidak menyangka dengan ucapan tersebut.Setelah s
Kevin baru saja tiba di depan rumah Viona, ternyata setelah tutup kedai ia menanyakan kepada supervisiornya mengenai alamat rumah Viona karena ingin mengucapkan terima kasih telah membelanya di depan CEO yang sudah memarahinya.Dua buah wadah rotan yang berisi dimsum panas sudah berada di tangan Kevin. Setelah memarkirkan motor sportnya di depan halaman rumah Viona ia langsung mengetuk pintunya dengan pelan.“Malam. Ada yang bisa dibantu?”“Saya teman kerjanya Viona, Pak. Apakah Vionanya ada?”Laki-laki tua itu langsung memanggil nama anaknya dengan teriakan yang lumayan kencang karena sedari tadi Viona tidak keluar dari kamarnya.Setelah menunggu beberapa menit akhirnya ia melihat sosok perempuan yang ingin ia temui dengan baju piyama gambar Doraemon Viona menyapa Kevin dengan ramah, hampir saja pipinya memerah merona.“Masuk.” perintah Viona.“Tidak usah. Aku hanya ingin memberikan ini kepadamu, ucapan terima kasih karena sudah membela saya di depan customer tadi.”Mata hitam pekat