Mendengar ancaman Gea, nyali Ervan tiba-tiba menciut. Ada rasa kesal. Tapi, Ervan tidak mungkin melanjutkan hasratnya. Bisa heboh satu perusahaan jika Gea benar-benar menyebarkan berita itu. Reputasi Ervan dan keluarganya bisa tercoreng....
"Ck! Oke, oke ... aku bakal keluar," ucap Ervan. "Tapi, urusan kita belum selesai. Ingat itu!"Ervan melenggang pergi dengan kesal dan membanting pintu saat keluar. Setelah kepergian Ervan, tubuh Gea lemas sampai terduduk di lantai sambil menangis.Sedangkan Ervan menggeram kesal di ruangannya sendiri karena merasa ditolak oleh wanita itu. Baru kali ini Ervan mendapat penolakan. Apalagi Ervan juga ditampar oleh Gea."Sialan tuh cewek! Berani banget dia nampar pipi gue!" gerutu Ervan. "Nggak terima gue!"Ervan duduk di kursi dengan kasar. "Awas lo, Gea. Gue bakal kasih perhitungan buat lo."
****
Gea menatap jam dinding.Waktu jam kerja sudah habis. Pekerjaannya juga sudah selesai. Kini, Gea bersiap untuk pulang ke rumah. Setelah kejadian pukul 10.30 tadi, akhirnya Gea mengurungkan niat untuk pulang. Ia takut diperlakukan buruk oleh Ervan. Gea benar-benar trauma saat ini. Tapi, dia sudah membuat keputusan dan Ervan ... harus menerimanya!Setelah keluar dari ruangan, ia berpapasan dengan Lia yang kebetulan ingin ke toilet. Gea tersenyum pada wanita itu dan bertanya, "Mau kemana?""Ke toilet. Beser mulu gue dari tadi," ucap Lia sambil terkekeh."Oh, yaudah, gue pulang duluan ya," pamit Gea.Lia hanya mengangguk dan berlalu dari hadapan Gea. Sementara Gea berjalan ke arah ruangan Ervan. Diketuknya beberapa kali pintu ruangan itu, sampai Ervan mempersilahkan masuk.Gea membuka pintu dan masuk ke dalam."Mau ngapain kamu masuk ke sini?" tanya Ervan dengan nada sewot dan lirikan sinis.Gea tidak langsung menjawab. Map merah yang dipegang tadi pun segera Gea letakkan di atas meja Ervan. Setelah itu, ia duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan Ervan.Ervan yang melihat map itu pun mengernyitkan keningnya. "Apa ini?""Bapak buka aja," ujar Gea dengan tenang.Ervan sedikit mendengus sambil membuka map tersebut. Dibacanya dengan pelan isi dari map itu, kemudian kelopak matanya melebar sempurna. Pandangannya kini sudah beralih ke arah Gea yang sudah menyunggingkan sebuah senyuman aneh."Apa maksudnya ini? Kamu mau peras aku?!"Gea mengernyit. "Siapa yang mau peras Bapak?""Ini!" tunjuk Ervan pada isi dari map itu, "Ngapain kamu buat surat perjanjian pra-nikah ini, hah?! Kamu pikir, aku mau nikahin kamu? Huh! Maaf, aku nggak sudi.""Kalau memang Bapak belum siap buat bertanggung-jawab, harusnya Bapak jangan perkosa saya. Saya nggak mau menanggung malu sendirian. Sementara Bapak enak, ongkang-ongkang kaki doang dan nggak dicibir banyak orang," celetuk Gea."Tinggal digugurkan aja apa susahnya sih?! Kemarin dikasih cek malah disobek. Sekarang buat surat perjanjian kayak gini. Nggak ada untungnya buat aku," ucap Ervan kesal. "Kalau kamu nggak mau gugurin itu kandungan, mending kamu nikah aja sama cowok lain."Gea mendecih sambil berkata, "Enak banget Bapak ngomong ya. Bapak yang berbuat, orang lain yang disuruh tanggung-jawab. Hati Bapak itu terbuat dari apa sih? Atau memang Bapak nggak punya hati sama sekali? Miris banget ya hidup Bapak."Ervan menggebrak meja sambil berdiri. Tak terima mendapat penghinaan dari Gea. Berani sekali wanita rendahan seperti dia menghina pria yang memiliki jabatan tinggi."Kenapa, Pak? Bapak nggak terima saya bilang kayak gitu?" ledek Gea."Iya! Kamu didiamkan makin ngelunjak ya! Aku boss di sini! Jadi, jangan macam-macam kamu!" teriak Ervan marah.Gea masih tetap tenang. Menghadapi orang seperti itu memang harus bersikap tenang. Bahkan Gea bersedekap sambil menyunggingkan sebuah senyuman."Saya kayak gini karena Bapak sendiri yang membuat masalah dalam hidup saya," ujar Gea. "Selama saya hidup, nggak pernah ada satu orang pun yang berani sentuh saya. Apalagi sampai ditiduri kayak gitu. Bapak yang pertama kali nyentuh saya sampai saya hamil kayak gini.""Dan asal Bapak tahu, saya nggak sama kayak cewek-cewek yang pernah Bapak hamili. Saya cuma butuh tanggung jawab Bapak atas anak ini. Setelah anak ini lahir, Bapak boleh talak saya dan saya akan pergi jauh dari Bapak. Cuma itu yang saya mau," lanjut Gea.Pria di hadapan Gea itu menatapnya dengan tajam. Kedua tangannya yang berada di atas meja pun terkepal sempurna. Tapi, Gea tidak peduli. Ia masih tetap menunggu jawaban dari Ervan tentang perjanjian tertulis itu."Kalau Bapak mau marah, silahkan. Tapi jangan marah sama saya karena ini kesalahan Bapak sendiri. Berani berbuat, berani bertanggung-jawab," ucap Gea."Aku nggak mau nikah sama kamu!"Gea menyeringai. "Oke. Kalau gitu, saya harus datang ke orang tua Bapak untuk bahas soal ini. Gimana? Bapak siap dapat omelan dari orang tua?"Amarah di wajah Ervan pun meredup. Jika sudah berurusan dengan orang tua, nyali Ervan akan menciut. Apalagi kalau sampai Ayahnya tahu. Bisa-bisa namanya akan dicoret dari daftar ahli waris. Sial! Ervan terjebak oleh kesalahannya sendiri.Melihat ekspresi Ervan mendadak berbeda dari sebelumnya, Gea pun tersenyum puas."Gimana, Pak? Kalau Bapak nggak jawab dalam hitungan ke lima, saya bakal pergi ke rumah orang tua Bapak.""Sialan kamu!" Ervan mengumpat kesal."Harusnya saya yang bilang gitu ke Bapak," balas Gea tak mau kalah. "Yang sialan itu Bapak. Yang bajingan itu Bapak. Yang brengsek itu Bapak. Masalah ini muncul karena ulah Bapak. Saya nggak masalah kalau Bapak hamili cewek lain. Tapi kenapa harus saya yang Bapak nodai? Di kantor ini banyak cewek yang lebih cantik dan lebih seksi dari saya. Kenapa nggak mereka aja? Toh mereka bakal seneng kalau dinodai karena memang mereka suka sama Bapak."Ervan melebarkan kelopak matanya. "Oh, jadi kamu nggak suka aku nodai? Nggak terima, iya?!""Iya!" jawab Gea lantang. "Cuma cewek bodoh yang mau dinodai Bapak. Saya dididik baik-baik sama orang tua saya. Tapi Bapak malah merusak masa depan saya, tanpa ngerasa salah. Makanya saya nggak akan lepasin Bapak sebelum Bapak nikahin saya!"Ervan hanya menggeram frustrasi sambil membaca isi perjanjian itu. "Apa-apaan ini?! Masa setelah nikah, aku nggak boleh ngelakuin hubungan itu sama kamu! Rugi di aku dong!"Gea mendecih sambil geleng kepala. "Bapak rugi apa sih? Bapak kan bisa cari cewek lain buat dijadiin pelampiasan. Yang jelas-jelas rugi itu saya, Pak. Saya yang hamil, saya yang melahirkan. Belum lagi nanti ada cibiran tetangga soal kehamilan saya. Bapak mah enak, nggak berbekas. Kalau cewek berbekas, Pak.""Aku nggak mau tanda tangan kalau aturan nomor dua nggak diganti!" tolak Ervan karena merasa dirugikan."Ya itu terserah, Bapak. Saya tinggal ke rumah orang tua Bapak, terus saya …."Ervan langsung menutup mulut Gea dengan telapak tangannya. Setelah Gea diam, Ervan mengambil pulpen di dekatnya, kemudian membubuhkan tanda tangan tepat di dekat materai. Gea pun tersenyum senang setelah Ervan memberikan kembali surat itu padanya. Gea pun ikut menandatangani perjanjian itu dengan senyum bahagia.Setidaknya, anak yang ada di dalam kandungannya tidak lahir saat dirinya belum menikah.Jika sudah menikah, Gea tidak akan peduli lagi pada omongan tetangganya nanti."Semoga kerja sama kita berhasil, Pak Ervan."
Ervan baru tiba di kediamannya dengan raut wajah lelah dan pusing. Bagaimana tidak pusing? Dalam waktu dekat, Ervan harus menikah dengan karyawannya sendiri. Tak pernah terbayangkan dalam benak Ervan, dirinya akan menikah dengan paksaan seperti ini. Semuanya terasa rumit bagi Ervan. Padahal Ervan belum siap dengan komitmen.Pria berusia 30 tahun itu menghempaskan tubuhnya di atas sofa sambil menghela napas lelah.Bagus Pramudji, sang ayah, menghampiri Ervan yang sedang menutup mata di sofa."Ervan," panggil pria berusia 60 tahun itu.Namun, Ervan hanya membuka matanya sekilas, kemudian menutupnya lagi. Setelah itu, ia bertanya, "Apa?""Kalau dipanggil orang tua itu yang bagus jawabnya. Duduk. Jangan tiduran kayak gitu," celoteh Bagus kesal.Ervan mendecak kesal dan terpaksa membuka mata sambil duduk tegak. Ia menatap Bagus yang sudah duduk di sofa satunya lagi. "Ada apa, Pa?""Papa mau tanya soal kemajuan perusahaan. Ada laporan nggak enak yang Papa dapat dari pihak keuangan. Katanya
"Kayaknya udah kebelet deh, Ma," celetuk Bagus. "Maklum, dia kan bolak balik ganti pasangan. Tapi nggak ada yang langgeng."Suasana tegang tiba-tiba berakhir setelah celetukan dari Bagus. Ervan hanya bisa bersungut menatap sang ayah yang tidak bisa mengendalikan ucapannya. "Nggak gitu juga kali, Pa. Aku nikah kan karena desakan kalian juga. Memangnya mau aku jomblo terus?""Ya nggak dong," ujar Nurma."Yaudah. Besok biar aku bawa dia ke sini. Sekalian kenalan sama Mama. Kalau Papa udah tahu orangnya. Aku mau mandi dulu. Gerah," pamit Ervan dan langsung beranjak pergi ke kamar sambil memungut dasi dan jas yang terjatuh di lantai.Sedangkan Bagus dan Nurma tampak tersenyum bahagia. Walaupun dadakan, mereka tetap senang karena Ervan akhirnya akan melepas masa lajang dalam waktu dekat."Punya mantu kita, Ma!"****Di tempat lain, Gea juga menceritakan rencana pernikahannya dengan Ervan pada sang Ibu. Hal tersebut tentunya membuat sang Ibu yang bernama Lastri Haryani hampir pingsan mende
Untungnya, Gea dapat mengendalikan ekspresinya dengan cepat. Dia tidak mau diejek oleh pria di hadapannya ini."Ooh," ucap Gea singkat."Gitu aja responnya?"Ervan menatap Gea penuh selidik. "Hhm?" Gea menatap bingung. "Terus, saya harus gimana dong?""Ya, setidaknya seneng gitu. Happy. Bukannya cewek-cewek bakalan happy ya kalau dikenalin ke calon mertuanya? Kamu kok enggak?"Gea menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia juga bingung harus bereaksi apa. Dia memang terkejut karena belum pernah mengalami hal ini sebelumnya. Tapi, apa harus senang menemui orang tua dari pria yang telah menodainya?"Ehm, ya mungkin karena kita nggak saling cinta kali," ujar Gea asal. "Makanya saya biasa aja. Bapak, eh Mas Ervan juga nggak cinta kan sama saya?"Deg!Kini, gantian jantung Ervan berdetak kencang. Entah apa yang terjadi, yang jelas, dirinya hanya bisa mendengus kesal. Ia tidak menduga respon Gea akan seperti itu. Memang mereka menikah tanpa cinta. Tapi, setidaknya berikan respon yang bisa mem
"Ups!" Gea menutup mulutnya karena sudah salah panggil. "Iya, maaf. Kok nomornya beda?" tanyanya kemudian."Bedalah. Ini nomor khusus. Yang biasanya nomor untuk kantor sama yang lain-lain. Ini khusus buat nelpon kamu sama orang tuaku aja."Gea mengatupkan bibirnya. Merasa dispesialkan oleh pria sangar nan menyebalkan itu. "Nggak usah mikir yang aneh-aneh dan nggak usah kepedean," celetuk Ervan tiba-tiba."Ish!" desis Gea kesal."Yaudah jangan lupa disimpan."Bip!Belum sempat Gea menjawab, panggilan sudah diakhiri oleh Ervan. Gea yang geram dan kesal hampir saja melempar ponselnya."Huft!"Emosi Gea terus terkuras hari ini hanya karena berhadapan dengan makhluk kurang ajar itu. Gea pun memutuskan untuk tidur.Mulai detik ini dan seterusnya, Gea harus terbiasa dengan sikap Ervan yang labil seperti anak ABG, meskipun usianya sudah 30 tahun!*****Gea tiba di kantor pukul 07.30 pagi, seperti biasanya. Meski dia sebentar lagi akan menjadi istri dari pria itu, Gea tidak bermegah diri. Dia
Belum sempat membalas, Ervan sudah berjalan santai keluar dari ruangan Gea. Pria itu seolah tak peduli dengan ocehan Gea. Dia menganggapnya sebagai pembalasan dendam karena Gea sudah berani melawannya akhir-akhir ini."Ih!" Gea menghentakkan kakinya ke lantai. Menatap Ervan yang sudah menghilang di balik pintu. "Ngeselin banget tuh orang! Andai cekik orang nggak berdosa, udah gue cekik dia sampai mati! Ya Allah, kok ada sih cowok nyebelin kayak dia? Sumpah, bisa makan hati gue."*****Sesuai dengan janji, Gea diajak Ervan untuk menemui Nurma dan Bagus di rumah. Sebelumnya, Gea sudah bertemu Bagus saat di kantor. Tapi mereka tidak terlalu banyak bicara karena kesibukan masing-masing. Dan sore ini, Gea dan Ervan akan membahas masalah pernikahan dadakan itu.Sesampainya di rumah Ervan, Gea disambut baik oleh Nurma dan Bagus. Ada sedikit rasa gugup di hati Gea karena harus bertemu camer alias calon mertua."Ma, ini dia cewek yang Papa bilang tadi," ucap Bagus sumringah."Wah, ternyata ka
Gea mengehntikan langkahnya dan menatap Ervan dengan tetap membuka pintu mobil. "Nggak usah, Mas. Baju pengantin Mama saya masih bisa dipakai kok. Buang-buang uang kalau harus beli lagi.""Masa kamu pakai baju bekas? Aneh," celetuk Ervan."Hhh! Saya cuma nggak mau mubazir, Mas. Biarin aja baju bekas, yang penting masih bagus dan cantik."Ervan mendengus. "Ck! Yaudah terserah. Buruan turun!""Dih, sewot amat!" gerutu Gea sambil turun dari mobil dan menutup pintu mobil Ervan.Tak lama, Ervan melajukan mobilnya meninggalkan Gea. Keduanya tak tampak seperti sepasang calon pengantin yang akan menikah.*****Pagi ini, Gea membantu Lastri untuk membuat makanan. Kebetulan hari ini Gea sedang libur karena hari minggu. Sepulang dari rumah Ervan kemarin, Gea langsung mengatakan pada Lastri bahwa calon mertuanya akan datang berkunjung."Ge, coba dicicipi," ujar Lastri, menyodorkan sendok berisi kuah kari yang sedang ia masak. "Udah pas belum asinnya?"Gea menerima sendok itu dan mencicipinya. Be
"Nggak apa-apa. Simpan aja ya."Gea menatap Lastri sejenak. Melihat Lastri tersenyum dan mengangguk, akhirnya Gea menerima dari calon mertuanya itu."Makasih, Ma," ucap Gea.*****Dua hari kemudian, Ervan mengajak Gea untuk fitting gaun pengantin. Sebelum pergi, mereka sempat berdebat karena Gea sudah mengatakan akan memakai gaun pengantin Lastri. Tapi Ervan tetap ngotot untuk mengajak Gea karena desakan Nurma."Mas maksa banget sih!" gerutu Gea saat di perjalanan. Bibirnya sudah mengerucut karena kesal."Yang maksa itu Mama, bukan aku," celetuk Ervan tak kalah kesal. "Lagian tinggal nurut aja susah banget sih! Bukan kamu yang bayar."Gea melotot dan mencubit lengan Ervan. Seketika Ervan meringis lalu memberi tatapan tajam ke arah Gea walau hanya sekilas. "Berani banget kamu nyubit aku!" protes Ervan."Kenapa? Nggak suka?""Ya iyalah!""Makanya, kalau ngomong itu dijaga. Jangan asal ciut aja. Kan ini juga karena salah Mas Ervan. Coba kalau Mas Ervan nggak mesum, otomatis saya nggak ru
Ervan menghentikan mobilnya di depan pekarangan rumah Gea. Sejak tadi, keduanya hanya saling diam dan sekarang pun suasana masih hening. Gea memberanikan diri menatap Ervan."Mas, tadi itu ….""Jangan bahas tentang dia," potong Ervan dengan datar.Gea pun memilih untuk tidak melanjutkan kalimatnya. "Saya permisi."Saat pintu mobil terbuka, Ervan berkata, "Aku berubah pikiran.""Hah?" Gea yang baru saja mengeluarkan satu kakinya pun langsung menatap Ervan. "Maksudnya?""Kamu boleh pakai gaun pengantin punya Mama kamu. Kita nggak perlu fitting lagi. Nanti aku pakai jas punya Papa aja," jelas Ervan."Oh, oke.""Yaudah, turun," perintah Ervan.Gea tersenyum getir, lalu pamit. "Permisi, Pak.""Mas!" tegas Ervan."Oh iya, Mas. Permisi."Gea melangkah keluar mobil sambil memukul pelan bibirnya. Kebiasaannya memanggil Pak sudah mendarah daging. Sampai terkadang lupa harus membiasakan diri memanggil Mas saat berada di luar jam kantor.'Bego banget gue,' batin Gea.***Tiga puluh menit kemudian
Delapan tahun kemudian....“Papa!”Iqbal berseru riang saat melihat sang ayah sudah menunggunya di parkiran mobil. Saat ini, Iqbal sudah bersekolah di Sekolah Dasar yang cukup terkenal dan bonafit di Semarang. Iqbal baru saja selesai ulangan matematika dan mendapatkan nilai terbaik. Ia tidak sabar ingin menunjukkan hasil ulangannya pada sang ayah.Iqbal berlari-lari kecil menghampiri ayahnya. Setelah hampir sampai, Iqbal tersandung batu dan hampir terjatuh. Untunglah sang ayah dengan sigap menangkap tubuhnya.“Astaga, Iqbal. Kamu tuh jangan suka lari-lari. Hampir aja jatuh kamunya. Kalau sampai ada yang luka, Papa yang dimarahi Mama,” ucap Ervan.Iqbal justru tertawa lalu meminta maaf pada Ervan. “Iya maaf ya, Pa. Soalnya aku semangat banget mau nunjukin hasil ulangan matematika aku ke Papa.”“Kamu ada ulangan matematika hari ini?” tanya Ervan.“Iya, Pa. Ini hasilnya.”Iqbal menyodorkan selembar kertas ulangan pada Ervan. Ervan pun dengan senang hati menerimanya dan memeriksa hasil ul
Dua tahun kemudian, Ervan tampak disibukkan dengan toko sembakonya yang semakin hari semakin ramai pembeli. Padahal ia sudah memiliki tiga orang pekerja, namun dirinya masih harus membantu jika sudah ramai pesanan. Belum lagi ada pesanan yang berasal dari beberapa toko kelontong yang harus diantar. Ervan benar-benar kewalahan, namun tetap bersyukur karena kios sembakonya selalu ramai pembeli.Hingga malam pun tiba, Ervan bergegas masuk ke kamar untuk tidur setelah menghitung keuntungan hari ini. Saat masuk ke kamar, ia melihat istrinya masih belum tidur. Sedangkan Iqbal sudah tidur di kamar satunya.“Sayang, kok belum tidur?” tanya Ervan sambil memeluk istrinya yang berdiri memandangi langit malam dari jendela kamar.“Aku belum bisa tidur, Mas. Tadi udah minum susu hangat, tapi belum ngantuk juga,” jawab Gea. “Oh iya, gimana keuntungan hari ini, Mas?”“Alhamdulillah makin meningkat, Sayang. Aku kayaknya butuh dua karyawan lagi deh, Yang. Soalnya setiap hari pembeli makin ramai. Kadang
Seminggu setelah kepergian Intan, Ervan dan Gea memutuskan untuk mengikhlaskan semuanya. Mulai dari permasalahan awal dengan Intan dan Irma, sampai merembet ke masalah Wahyu yang dendam karena kematian Jelita. Bahkan sampai menyeret beberapa orang, termasuk Restu. Mereka sudah mulai berdamai dengan masa lalu dan akan memulai kehidupan baru bersama-sama.Dan pagi ini, mereka berniat melihat kondisi terkini Irma dan juga Dira. Mereka berada di RSJ yang sama. Namun, mereka hanya bisa melihat dari kejauhan saja. Kondisi Irma dan Dira sangat buruk dan sulit untuk dikendalikan, terutama Irma yang terkadang berteriak bahwa dirinya adalah orang paling kaya di muka Bumi ini. Obsesinya menjadi orang kaya memang masih sangat melekat di pikirannya, sehingga membuatnya depresi ketika keinginan itu tak tercapai.Setelah selesai melihat kondisi Irma dan Dira, mereka memutuskan untuk berkunjung ke makam Wahyu dan Intan. Hanya sebentar karena mereka sekeluarga berencana untuk liburan ke tempat rekreas
Fahri berjalan memasuki kafe yang menjadi tempat pertemuannya dengan Ervan malam ini. Pagi tadi, ia ditugaskan Ervan untuk mengunjungi para pelaku yang sudah mengganggu kehidupan Ervan. Hanya sekadar mengetahui keadaan mereka masing-masing. Kalau Restu, Ervan sendiri sudah mempekerjakannya lagi mulai besok, dan itu atas permintaan Gea. Ervan juga sudah bisa memaafkan kesalahan Restu, mengingat kondisi Restu saat itu sedang terdesak.Ervan yang melihat keberadaan Fahri langsung melambaikan tangan. Posisi duduknya memang sedikit ke belakang area kafe karena lebih sepi dari bagian depan. Untung saja Fahri bisa menyadari lambaian tangannya dan bergegas menghampirinya.Fahri duduk di hadapan Ervan. Wajahnya tampak murung setelah mengunjungi Intan, Irma dan Dira. Ervan bisa merasakan aura tidak enak dari tatapan mata Fahri.“Ada apa, Ri?” tanya Ervan.Sebelum berbicara, Fahri menghela napas terlebih dulu. Helaan napasnya terdengar sangat berat sekali. Kemudian, Fahri berkata, “Van, gue puny
Gea melambaikan tangan ketika mobil Bagus sudah melaju meninggalkan rumahnya. Senyum bahagia Gea tak luntur sedetikpun. Hatinya sangat-sangat lega sekarang. Bagus kembali bersikap seperti biasanya dan justru menerima putranya sebagai cucu.Hingga tak lama kemudian, suara Ervan terdengar jelas di telinganya. Gea menoleh dan ternyata Ervan sudah berdiri di sampingnya.“Loh, ini kado dari siapa, Yang?” tanya Ervan sambil mengernyit heran.“Dari Papa, Mas.”Ervan melongo mendengar jawaban Gea. “Hah? Papa?”“Iya, Mas.”“Papa kesini?” tanya Ervan lagi.Gea mendengus dan hanya mengangguk. Sementara Ervan mencoba menepuk pipinya. Ia merasa sedang bermimpi. Namun hal itu justru membuatnya terlihat lucu di mata sang istri, sampai membuat istrinya tertawa.Ervan lantas menatap istrinya dengan alis yang tertaut samar. “Kok kamu ketawa, Yang?”“Ya soalnya kamu lucu,” jawab Gea apa adanya.“Lucu kenapa?”“Itu tadi, tepuk-tepuk pipi.” Gea menekan pipi Ervan yang tampak sedikit berisi. “Kamu itu lagi
“Ma, makasih banyak udah kasih pencerahan Gea. Berkat Mama, dia sekarang jauh lebih tenang dan nggak jadi pergi,” ucap Ervan lega.“Iya, Van. Mama ngelakuin ini demi kebahagiaan kalian. Jangan sampai kalian berpisah hanya karena ocehan dari tetangga. Memang pernikahan kalian terjadi atas dasar kesalahan. Tapi, bukan berarti mereka berhak menilai kalian seenaknya.”Saat ini, Ervan dan Lastri sedang duduk di ruang tamu. Sedangkan Gea dan Iqbal sudah tidur di kamar. Mereka masih mengobrol sambil menikmati segelas teh yang dibuat oleh Lastri.Ervan benar-benar lega sekali ketika hati Gea luluh oleh nasehat Lastri. Ia tidak menyangka, ucapan Lastri sangat berpengaruh pada keputusan Gea. Hingga akhirnya, Gea membatalkan keputusannya untuk pergi meninggalkan Ervan.“Ehm, atau kami pindah aja ya, Ma. Ke Semarang lagi. Soalnya tetangga di lingkungan sana baik-baik banget, terutama sama Gea. Beda sama tetangga di sini,” ujar Ervan.Lastri tersenyum dan berkata, “Van, mau kalian keliling dunia p
Semenjak Gea berkata seperti itu kemarin, Ervan terus memikirkan hal tersebut sepanjang hari. Bahkan ia tak fokus lagi membantu Nurma untuk menyiapkan acara syukuran. Fokusnya hanya tertuju pada Gea dan juga anaknya, Iqbal Zubayr Pratama. Bahkan Ervan sampai menghampiri para tetangga yang kemarin sudah menghujat istri dan anaknya. Abdi yang memberitahukan siapa saja tetangga itu.Ervan tidak segan membentak para tetangganya karena sudah berani mengusik ketenangan keluarganya. Karena ucapan mereka, Gea yang masih sangat sensitif pasca melahirkan pun memutuskan hal yang menyakitkan bagi Ervan.“Jadi orang itu jangan suka usik urusan orang lain! Kalian itu nggak tahu apa-apa tentang keluarga kami! Saya udah pernah kasih peringatan sama kalian. Siapapun yang menghina istri saya, kalian akan berurusan sama polisi! Tapi kalian nggak ada kapoknya! Gara-gara kalian, istri saya jadi stres!”Dan karena dilabrak langsung oleh Ervan, para ibu-ibu itu pun tampak ketakutan. Ditambah lagi suami-suam
Setelah tiga hari dirawat di rumah sakit, akhirnya Gea diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Rencananya, besok Ervan dan Gea akan mengadakan syukuran kecil-kecilan untuk menyambut kehadiran buah hati mereka.Ervan sendiri tampak semangat sekali mempersiapkan segala sesuatunya, dibantu oleh Fahri, Herman, Nurma dan Lastri. Sementara Gea hanya duduk di ayunan taman sambil menggendong bayinya yang sedang terlelap. Dipandanginya wajah sang anak yang telah ia kandung selama 9 bulan itu.Gea tersenyum bahagia. Bayi yang tadinya tak ia harapkan ternyata berhasil ia pertahankan sampai lahir ke dunia. “Wajah kamu mirip banget sama Papa, Nak,” ucapnya pelan.Saat sedang sibuk mengamati wajah anaknya, tiba-tiba dari arah gerbang rumah, para tetangga julid itu muncul lagi. Mereka melontarkan kalimat-kalimat menyakitkan yang ditujukan pada Gea.“Tuhkan ibu-ibu, bener dugaan kita. Pasti itu anak di luar nikah.”“Iya, Bu. Ya ampun, nggak nyangka ya. Mukanya polos, tapi kelakuannya memalukan.”“Percum
Menjelang kelahiran, Gea tiba-tiba mengalami serangan panik. Ia khawatir jika dirinya akan meninggal dunia setelah melahirkan. Itu semua karena Gea baru saja menonton sebuah video tentang seorang wanita yang meninggal dunia setelah melahirkan, di salah satu media sosialnya. Gea mulai memikirkan hal-hal buruk itu, sehingga membuatnya tidak nafsu makan.Ervan yang melihat perubahan sikap istrinya seketika bertanya, “Sayang, kamu kenapa?”“Nggak papa, Mas.”“Kalau nggak papa, kenapa nggak mau makan? Mukanya juga murung terus. Ada apa? Nggak mau cerita sama suami sendiri?” tanya Ervan dengan suara lembut.Gea menghela napas berat, dan menatap Ervan. Ia pun berkata, “Mas, aku takut.”Mendengar pernyataan Gea, dahi Ervan mengernyit heran. “Takut? Takut kenapa, Sayang? Masih takut soal Papa? Kan belakangan ini Papa udah nggak ganggu kita.”Memang benar yang dikatakan Ervan. Semenjak peristiwa pertengkaran dengan Lastri, Bagus sudah tidak pernah lagi mengganggu kehidupan Ervan dan Gea. Bahkan