"Gimana hasilnya, Man?"
Herman menggelengkan kepala. "Belum ada hasil, Pak."Ervan menghela napas berat. Sudah seminggu berlalu, namun pencarian Intan dan Irma belum menemukan hasil. Selain itu, Ervan juga mengalami kerugian yang cukup besar. Uang tabungannya sudah tidak ada, walaupun pihak bank sudah memblokir akses kartu atmnya.Pihak kepolisian pun masih terus berusaha untuk mencari Intan. Sampai detik ini, Ervan masih menduga Intan-lah pelakunya. Alasannya karena hanya Intan yang memiliki masalah dengan Ervan. Fahri tidak mungkin melakukannya karena dia sudah di penjara."Pak, jangan terlalu dipikirkan. Semuanya pasti akan terungkap," ujar Herman."Man, aku masih belum tenang kalau pelakunya belum juga tertangkap."Herman tertunduk. Merasa bersalah karena tidak bisa menyelesaikan kasus ini dengan cepat.Saat keheningan timbul di antara Ervan dan Herman, tiba-tiba ponsel Ervan berderErvan duduk termenung di balkon kamar. Waktu menunjukkan pukul 19.00 malam. Ada segelas kopi dan cemilan ringan di atas meja kecil, samping kanan Ervan. Ia memandangi langit malam yang tampak cerah dan penuh dengan bintang.Pikirannya saat ini masih tertuju pada seseorang yang ada dalam rekaman cctv tersebut. Dari perawakannya, jelas itu bukan Intan ataupun Irma."Kayaknya itu cowok deh," gumam Ervan pelan. "Tapi, siapa ya? Apa mungkin itu pacar barunya Intan? Atau sepupunya?"Ervan menggaruk kepala. Merasa frustrasi karena tidak bisa menemukan jawaban apapun."Mas."Panggilan dari Gea mampu membuat Ervan sedikit tersentak kaget. Ia menatap istrinya yang sudah duduk di kursi satu lagi."Ngelamunin apa, Mas?" tanya Gea sambil mengusap perutnya yang semakin membesar."Itu loh, soal rekaman cctv tadi." Ervan duduk bersila di atas kursi sambil menghadap ke arah Gea. Ia menopang dagu dengan tangan kanannya. "Aku penasaran sama dia."Gea tampak berpikir sejenak. "Ehm, Mas tahu nggak kira-ki
Keesokan harinya, tepat pukul 12.00 siang, Ervan tiba di kantor polisi—ditemani Herman. Sejak kemarin malam, Ervan terus memikirkan siapa yang dimaksud oleh Intan. Bahkan dirinya sampai kesulitan tidur karena memikirkan hal itu.Dan itulah alasan Ervan kenapa berada di kantor polisi siang ini. Ia harus berbicara dengan Intan untuk menanyakan langsung siapa pria itu."Silahkan tunggu dulu ya, Pak," ucap salah satu petugas polisi."Baik,Pak."Ervan duduk di ruang tunggu untuk beberapa saat. Kemudian, muncullah Intan dengan pakaian orange yang membalut tubuhnya. Intan menatap Ervan dengan raut wajah sedih."Mas Ervan," lirihnya sambil menggenggam tangan Ervan di atas meja. "Tolong, keluarin aku dari sini. Aku nggak mau di penjara, Mas."Ervan menarik tangannya dari genggaman Intan. Lalu berkata, "Kamu emang pantes di sini. Ini balasan atas kesalahan kamu.""Mas, aku nggak sepenuhnya salah. Aku cuma disuruh aja." Intan membela diri."Ya kenapa kamu mau?""Hhh! Mas, aku tuh butuh uang dan
Sore hari, Gea tampak berjalan-jalan di pekarangan rumah sambil menyirami tanaman yang sudah Gea betulkan tadi pagi. Pekarangan rumah kembali bersih dan rapi. Gea juga meminta bantuan Restu untuk membeli pot bunga serta pupuk dan sebagainya. Untunglah Restu dan Abdi sangat cekatan saat disuruh.Gea menyirami tanaman menggunakan selang panjang sambil mengusap perutnya yang semakin membesar.Tapi, kesenangannya itu justru diusik oleh para tetangga yang tampak lewat di dekat celah pagar besi sambil memperhatikan Gea."Loh, Bu Gea. Baru nikah kok udah besar aja perutnya ya?"Gea menoleh ke arah celah pagar besi. "Eh, iya, Bu.""Hamil duluan ya, Bu?" celetuk yang lain."Kayaknya sih iya, hamil duluan. Nggak mungkin kan baru nikah perutnya udah segede itu."Gea hanya tersenyum dan kembali fokus menatap tanaman hiasnya. "Eh, Bu, diajak ngomong kok dicuekin sih? Nggak sopan loh.""Iya. Kayak nggak disekolahin aja.""Hhh!" Gea membuang napas kasar. Berusaha untuk tetap tenang, meskipun hatinya
"Gea," panggil Ervan saat dirinya dan Gea tengah bersantai di ruang keluarga sambil menikmati segelas teh di pagi hari.Gea menoleh ke arah Ervan yang duduk di samping kanannya. "Ya, Mas?""Maafin aku ya."Kening Gea mengernyit heran. "Buat apa, Mas? Kamu kan nggak buat salah hari ini."Ervan tersenyum sambil merangkul sang istri. Diusapnya pelan lengan kiri Gea yang sedikit membesar karena berat badan bertambah."Aku minta maaf untuk kesalahan aku sebelumnya. Gara-gara kebodohan aku, kamu jadi kena imbasnya. Kamu yang nanggung malu atas kehamilan ini." Ervan menggenggam tangan Gea dengan erat. "Ternyata ucapan kamu benar. Beban yang kamu pikul karena kesalahan aku itu memang berat. Akan ada orang yang mencibir kamu, tanpa mikirin perasaan kamu.""Aku menyesal, Gea," lanjutnya.Gea terkekeh pelan. Baru kali ini ia bisa melihat rasa penyesalan dalam diri Ervan. Padahal biasanya, Ervan ak
Menjelang senja, Gea duduk termenung di sofa sambil menantikan kepulangan Ervan. Rasanya sudah tak sabar ingin mengajukan segudang pertanyaan pada pria tersebut.Tadi, selesai salat dzuhur, Gea sudah melihat isi rekaman di handycam itu. Sungguh mengerikan. Itu sangat nyata sekali. Gea sampai merinding saat melihatnya.Berulang kali Gea mengucap istighfar untuk meredam rasa terkejutnya. Belum lagi ia mendengar suara pria yang tadi siang menghubunginya. Suara pria itu ikut terekam meskipun tak kelihatan wajahnya."Assalamualaikum."Gea terperanjat. "Waalaikumsalam."Ia bergegas menghampiri Ervan yang baru masuk ke ruang tamu—menenteng dua plastik kresek di kedua tangannya."Mas bawa apa itu?" tanya Gea setelah mencium punggung tangan suaminya."Ini, makanan buat kita. Aku taruh di dapur dulu ya. Biar aku siapin.""Eh?" Gea langsung mencegah langkah Ervan, hingga membuat Erva
"Selesai."Gea bergumam setelah meletakkan mangkuk berisi sayuran segar yang sudah dimasak di atas meja makan. Semua makanan sudah dihidangkan. Begitu juga dengan kopi hangat untuk Ervan.Meskipun hanya menjadi istri sementara—sesuai dengan perkataan Ervan semalam, Gea tetap menjalankan tugasnya seperti biasa. Menyiapkan makanan dan segala keperluan Ervan.Setelah itu, Gea kembali ke kamar dengan membawa segelas susu dan buah-buahan untuknya. Pagi ini Gea enggan sarapan.Gea duduk di kursi yang terletak di balkon kamarnya. Menatap matahari yang mulai terbit."Hhh! Harusnya aku sadar diri. Dari awal, pernikahan ini terjadi atas dasar terpaksa. Bukan karena keinginan Mas Ervan."Gea bersandar di kursi setelah meneguk susunya sedikit. "Mungkin sekarang, aku harus jaga jarak lagi. Aku nggak mau berharap lebih. Pernikahan ini akan tetap berjalan sesuai dengan perjanjian yang tertulis. Setelah itu, aku akan membebaskan Mas Ervan dari semua beban ini.""Gea."Wanita itu tersentak saat menden
Ervan memijat pelipisnya—menatap ke arah handycam yang memang sengaja ia bawa. Ervan ingin menunjukkan bukti itu pada Herman agar pria itu bisa membantunya—mencari tahu siapa pelaku sebenarnya.Kedua mata Ervan terpejam sejenak saat mengingat masa SMA-nya dulu.Jelita adalah wanita yang ada dalam rekaman itu. Usianya sama dengan Ervan dan mereka satu sekolah. Jelita tipe orang periang dan gemar melukis.Pertemuan pertama Ervan dengan Jelita saat mereka sama-sama berada di perpustakaan. Kala itu, Jelita tak sengaja mengambil buku yang juga dipegang oleh Ervan. Mereka saling pandang sejenak, lalu Jelita tersenyum ramah."Maaf ya," ucap Jelita saat itu."Oh, nggak pa-pa," balas Ervan. "Nih, lo aja yang baca duluan.""Beneran?""Iya."Ada binar bahagia di mata Jelita saat itu. Ervan rela memberikan buku itu, padahal ia juga sedang butuh. Tapi, prinsip Ervan saat itu memang selalu memprioritaskan wanita terlebih dulu."Makasih banyak ya," ucap Jelita."Sama-sama.""Oh iya, gue Jelita." Jel
Ervan pulang ke rumah tepat pukul 19.00 malam karena ada pekerjaan tambahan dan meeting dadakan pada pukul 17.00 tadi.Pria itu masuk ke dalam rumah sambil membuka dasinya. Rasa lelah terus menjalar di tubuhnya. Sebelum pergi ke kamar, Ervan sempat mencari Gea. Ternyata istrinya sedang mencuci piring."Gea," panggil ErvanGea menghentikan aktifitasnya lalu berbalik menatap Ervan. "Kalau Mas mau mandi, aku udah siapin air hangat. Makan malam juga udah siap.""Gea," lirih Ervan.Namun, semua itu tak dipedulikan oleh Gea. Wanita itu kembali membelakangi Ervan dan buru-buru menata piring yang sudah bersih di rak khusus. Setelah tugasnya selesai, Gea bergegas ke kamar.Tapi Ervan mencekal tangannya."Gea, kita butuh bicara sebentar.""Aku capek, Mas. Mau istirahat," ucap Gea datar sambil melepas tangan Ervan."Gea, tunggu!"Gea tak peduli dan tetap s