"Mas, ini kebanyakan loh."Gea memperhatikan paper bag yang ada di pangkuannya. Mereka sudah berada dalam perjalanan menuju rumah Nurma dan Bagus. Memang Gea yang ingin pergi menemui mertuanya."Nggak apa-apa.""Tapi, mahal semua, Mas," ucap Gea dengan bibir cemberut. "Uang kamu bisa habis kalau belanja mahal kayak gini."Ervan tersenyum mendengar pernyataan Gea. Lucu sekali. "Walaupun habis, kan habisnya untuk istri. Bukan untuk yang lain."'Mulai lagi deh rayuan mautnya,' batin Gea."Ya iya sih. Cuma agak berlebihan aja, Mas.""Udah nggak apa-apa. Anggap aja itu hadiah pernikahan kita," pungkas Ervan.Mendengar kata 'pernikahan', Gea kembali teringat dengan surat perjanjian itu. Pernikahan mereka hanya akan bertahan sampai bayi ini lahir. Setelah itu, Gea akan pergi ke suatu tempat, dimana dirinya harus membesarkan anaknya seorang diri.Hati Gea mendadak se
Setelah berpelukan cukup lama, tangis Gea juga sudah mereda, Ervan merenggangkan sedikit pelukannya. Menatap wajah sendu Gea. Rasa bersalah itu tak hilang meskipun Ervan sudah minta maaf berulang kali.Ada masa depan yang hancur karena ulahnya. Rasa marah yang mendalam terhadap perlakuan Intan, membuatnya menjadi pria yang brutal. Selalu mempermainkan wanita dan menyelesaikan segalanya dengan uang.Tak peduli seberapa banyak uang yang akan dikeluarkan. Asalkan masalahnya cepat selesai.Salah satu alasan Ervan tidak ingin berkomitmen adalah karena patah hati. Kekecewaan terhadap Intan sangat besar sehingga berakibat fatal."Aku—"Belum sempat Ervan mengatakan sesuatu, bunyi klakson mobil dari belakang membuat keduanya tersentak dan saling melepas pelukan.Ervan menoleh ke arah belakang."Setan!" Ia mengumpat kesal.Gea sedikit terkejut mendengar umpatan Ervan. Kemudian tert
"Kenapa diam aja?"Ervan masih terus menekan Intan untuk bicara. Jangan pernah berpikir Ervan akan menyerah. Tidak lagi. Ervan sudah kapok dipermainkan oleh wanita ular itu. Takkan Ervan biarkan Intan merusak semuanya."Jawab!"Nada suara Ervan meninggi. Membuat Intan terjingkat kaget. "K-Kamu cuma salah paham, Mas. Aku sama Fahri … nggak ada hubungan apa-apa.""Wah!"Ervan tertawa sinis. Intan sama sekali tidak mau berhenti berbohong, hanya untuk menutupi kesalahannya. Menumbalkan orang lain agar Intan tetap dianggap baik."Kenapa Mas ketawa? Apa yang lucu?" tanya Intan."Lucu karena kamu cuma seorang penipu."Intan melotot tajam. "Aku bukan penipu, Mas!""Buktiin!" tantang Ervan sekali lagi. "Buktiin kalau kamu bukan penipu. Jangan cuma omong doang!"'Sialan Mas Ervan! Gimana aku mau buktiin? Fahri aja udah kabur. Sialan tuh cowok! Handphone a
"Gimana kondisi Gea?"Lastri yang baru tiba di rumah sakit setelah dihubungi Nurma pun langsung menanyakan keadaan Gea. Wajahnya tampak panik."Sabar ya, Bu Lastri. Dokter belum keluar," ujar Nurma.Lastri hanya bisa diam sambil menggenggam tangan Nurma. Bukan hanya Lastri, semua yang ada di sana juga merasa cemas, terutama Ervan. Ia bisa melihat wajah Gea yang berkeringat karena menahan sakit. Entah apa yang dirasakan istrinya tadi.Hingga beberapa saat kemudian, Fredy keluar dari ruang ICU dan menghampiri Ervan. Pria berparas tampan nan lembut itu tersenyum."Pak Ervan ya?" tanya Fredy."Iya, Dok," jawab Ervan cepat. "Gimana kondisi istri saya, Dok? Dia baik-baik aja, kan?"Fredy mengangguk. "Semuanya baik-baik aja, Pak. Istri Bapak cuma kram karena merasa kaget aja. Kalau boleh saya tahu, apa tadi sempat terjadi masalah? Karena Ibu hamil itu sangat sensitif perasaannya, Pak. Kalau ad
Malam hari, Ervan dan Gea duduk berdampingan di ruang keluarga. Gea sibuk menonton film aksi sambil menikmati buah-buahan segar. Sedangkan Ervan, pikirannya justru terfokus pada Fredy. Ada ketakutan yang Ervan rasakan ketika tahu bahwa pria itu adalah teman dekat Gea. Tidak menutup kemungkinan, Fredy pernah menaruh hati pada Gea.Ervan bisa membaca dari sikap Fredy yang begitu lembut dan perhatian pada Gea. Ia semakin penasaran saja dengan kisah masa lalu Gea dan Fredy. Mungkinkah mereka hanya sekadar teman saja?Ervan menatap Gea yang masih asyik dengan tontonannya saat ini."Gea.""Hhm?" Gea hanya menggumam sambil membalas tatapan Ervan."Boleh tanya sesuatu?""Boleh, Mas."Ervan berdehem sejenak, lalu duduk bersila di atas sofa sambil menghadap ke arah Gea. "Ehm, kamu kenal Dokter Fredy udah lama, kan?""Udah, Mas. Kenapa?""Nggak kenapa-napa," jawab Ervan gugup. "Aku cuma mau tanya pendapat kamu tentang dia aja. Menurut kamu, dia itu tipe orang yang gimana?"Gea tampak diam sambil
"Van!"Ervan yang baru turun dari mobil dan hendak masuk ke lobi kantor menoleh ke belakang. Matanya melotot saat melihat siapa yang datang. Ia berjalan mendekati pria itu lalu memukulnya—tepat di area rahangnya. Ervan sudah tidak bisa mengontrol emosinya dan melupakan perkataan Wahyu."Bangsat lo!"Bugh!"Ampun, Van….""Nggak usah lo minta ampun sama gue! Minta ampun lo sama Allah!" teriak Ervan tepat di depan wajah Fahri. "Gara-gara ulah lo sama cewek sialan itu, perusahaan Bokap gue hampir hancur. Tega lo ya sama teman sendiri. Dimana otak lo, hah?!"Fahri yang sudut bibir dan pipinya sudah lebam pun menyatukan kedua tangan di hadapan Ervan. Matanya sembab dan ada lingkar hitam di sekitarnya. Kemungkinan besar Fahri kesulitan tidur—memikirkan nasibnya yang buruk."Gue minta maaf, Van. Gue terpaksa karena diancam sama Intan. Please, percaya sama gue," lirih Fahri."Cih!"
Sherly tiba di depan rumah Gea dan Ervan pada pukul 17.30 sore. Kebetulan, hari ini ia tidak begitu banyak mendapat pekerjaan. Jadi, Sherly bisa pulang dengan cepat dan segera meluncur ke alamat yang sudah Ervan berikan. Tak lupa ia membeli buah-buahan segar di supermarket terdekat.Ketika mobil Sherly hendak memasuki pekarangan rumah yang cukup luas itu, tiba-tiba saja dua penjaga yang tak lain adalah Restu dan Abdi menghalangi mobilnya. Sherly menekan klakson beberapa kali agar mereka menyingkir.Abdi segera mendekati bagian pintu kemudi lalu mengetuk jendelanya. Sedangkan Restu masih menghalangi di depan mobil.Dengan sangat kesal, Sherly membuka jendela dan memberi tatapan sinis pada Abdi. "Kenapa lo halangi mobil gue?" tanyanya kesal."Maaf, Bu. Ini sudah menjadi tugas saya. Keamanan rumah ini menjadi tanggung jawab saya dan teman saya," ujar Abdi menjelaskan dengan sopan. "Sebelum masuk, mohon tunjukkan kartu identitas Ibu ya. Demi kenyamanan bersama.""Yaelah. Gue ini temannya
Sudah hampir satu jam, Gea menunggu suaminya di rumah sakit. Ervan masih belum sadarkan diri. Menurut pemeriksaan dokter, Ervan mengalami cedera di kepala bagian belakang akibat benda tumpul. Fredy juga mengatakan semua barang-barang Ervan tidak ada. Hanya tersisa dompet dan kartu identitas. Mobil, kartu atm, jam tangan, ponsel dan lainnya, semua tidak ditemukan di tempat kejadian.Gea sedikit syok mendengar berita tersebut. Bahkan hampir pingsan. Untungnya ada Sherly yang berusaha menenangkan dan menemani Gea sampai sekarang. Sementara Bagus, Nurma dan Lastri masih menunggu di luar ruangan."Ly, suami gue kok belum sadar ya?" tanya Gea dengan nada cemas. "Gue takut dia kenapa-napa.""Sstt! Nggak boleh ngomong gitu. Sabar aja ya. Kita tunggu sama-sama."Gea hanya bisa mengangguk pasrah. Ia menggenggam erat tangan Ervan yang tidak terpasang infus. Gea terus berdoa dalam hati agar Ervan segera sadar. Rasa cemas tak mau hilang sed