Thasia tidak pernah memikirkan target.Mungkin memang impian Veren menjadi orang yang sukses di bidang reporter ini.Sedangkan Thasia melakukannya hanya karena senang saja, dia ingin membantu orang menyuarakan suara hati mereka.Thasia sepertinya tidak memiliki ambisi yang besar agar dirinya sukses.Melihat Veren yang kebingungan, Thasia tersenyum. "Untuk saat ini masih belum ada, kita berbeda.""Ya, kita berbeda, kamu dulu pernah sukses, kamu pernah menjadi sekretaris kepercayaannya Jeremy, posisimu saat itu sama dengan menjadi orang ketiga di PT Okson. Kamu saja rela berhenti dari pekerjaan seperti itu, mungkin keinginanmu jauh lebih tinggi daripadaku." Veren cukup mengagumi Thasia dalam hal ini.Thasia bisa melakukan segala hal dengan baik, bahkan bisa membuat kondisi Veren juga ikut membaik.Veren tidak memiliki kemampuan seperti itu.Dia harus banyak belajar dari Thasia."Kita semua sama-sama manusia, jangan memujiku terus." Thasia berkata, "Aku sudah bekerja berapa lama? Kamu bar
Kenapa bisa ada kolam renang di sini?Saat Thasia sedang merasa bingung, ada suara dari dalam kolam itu, lalu muncul ombak besar dan cipratan air.Jarak Thasia dengan kolam cukup dekat, jadi dia terkena cipratan airnya. Dia tidak sempat menghindar, hanya bisa menghalangi wajahnya agar tidak basah.Setelah tenang Thasia segera menurunkan tangannya, dia melihat di dalam kolam ada seseorang sedang berenang. Air terus bergerak, tapi dia bisa melihat pria itu cukup tinggi, badannya kekar, sepertinya sering pergi ke gym, badannya cukup bagus.Bukankah CEO PT Maju Damai sudah berusia 50-an?Kenapa dia bisa memiliki tubuh seperti anak muda?Saat Thasia sedang berpikir dengan bingung, dia merasa tubuh itu semakin lama semakin familier.Hingga pria itu berenang mendekat, lalu keluar dari air, Thasia pun tertegun."Kenapa kamu bisa ada di sini?"Pria itu menyeka air di wajahnya, dia menoleh pada Thasia, tatapannya terlihat penuh percaya diri.Dia berkata, "Kenapa memangnya?"Thasia menatap ke sek
Jeremy tidak memakai baju, rambutnya yang berantakan meneteskan air, sepasang matanya menatap dengan tegas, wajahnya terlihat kokoh, air turun seiring dengan lehernya, hingga ke dada kekarnya.Meski mereka telah bersama selama tujuh tahun dan sempat menjadi istrinya selama tiga tahun, saat melihat dadanya yang telanjang Thasia tetap merasa risih.Wajah Thasia terlihat tenang, tapi dia mengalihkan matanya ke tempat lain. "Untuk apa memberitahumu? Lagi pula, tugas itu direbut oleh orang lain, aku juga nggak bisa melawan keputusan kepala editor."Mendengarnya berkata seperti ini Jeremy pun tidak mempermasalahkannya lagi, dia bertanya, "Kali ini?""Aku sudah sampai sini, Pak Jeremy seharusnya juga tahu aku datang dengan niat tulus, 'kan?" kata Thasia.Selama dirinya mengingat bahwa mereka bukan suami istri lagi, maka tidak masalah.Salah, mereka memang tidak pernah bersikap seperti suami istri, hanya ada sebuah akta nikah saja, mereka tidak pernah melewatkan hari-hari bahagia bersama.Jere
Thasia merasa terkejut dan berteriak, tapi tidak seluruh badannya masuk ke dalam air.Satu tangan Jeremy menggendong pantat Thasia, satu tangannya lagi memeluk punggungnya, jadi kepalanya berada di permukaan air, hanya saja seluruh tubuhnya basah.Air kolam cukup hangat, tidak terasa dingin.Hanya saja Thasia merasa kesal, dia menatap Jeremy dengan melotot.Agar tidak terjatuh ke dalam air, kedua tangan Thasia tanpa sadar bertumpu pada bahu Jeremy."Apa yang kamu lakukan?" tanya Thasia dengan kesal.Jeremy menekannya di pinggir kolam, kedua tangannya menggendong pantat Thasia, sehingga tatapan mereka sejajar. "Kalau nggak kamu nggak akan mau ke sini."Thasia mendorong dada Jeremy, tapi tubuh pria itu seperti dinding, sangat keras dan tidak bisa didorong. "Bukannya kamu tadi bilang mau serius diwawancarai? Tapi apa yang kamu lakukan sekarang, kamu ingin langsung menyelesaikan wawancara ini? Aku rasa kamu memiliki niat lain, kalau begitu maka aku akan pergi saja!"Thasia berusaha untuk b
Setelah mendengar ini ekspresi Jeremy baru berubah.Seketika hal ini menusuk hati Jeremy."Haruskah kamu membahas hal ini?" Nada Jeremy menjadi dingin."Aku berkata seperti ini juga demi mengurangi perasaan sakit satu sama lain."Sepasang mata Jeremy terus memperhatikan Thasia, dulu dia tidak bisa menerimanya, bahkan sangat ingin melupakan hal sialan ini, tapi Thasia malah mengungkitnya. Jeremy berkata, "Kita tinggal gugurkan anak ini.""Nggak mau."Jeremy merapatkan bibir tipisnya, dia memutuskan untuk mengalah sedikit. "Aku akan memberimu waktu, kamu bisa memikirkannya."Thasia menoleh pada Jeremy. "Sudah nggak ada waktu lagi."Jeremy bertanya padanya, "Kalau begitu beri tahu aku siapa ayahnya?""Leo."Tangan Jeremy terkepal, urat di dahinya menonjol, dia berkata dengan dingin, "Siapa itu Leo? Thasia, sebenarnya orang itu ada atau nggak?""Ada." Thasia menatapnya dengan lekat. "Bukannya aku sudah bilang dia itu pahlawan di hatiku, dia pernah menolongku!"Amarah Jeremy seketika naik k
Jeremy terus menatap Thasia.Karena ditatap seperti itu seketika Thasia merasa resah. "Sudah selesai berenangnya? Kalau sudah bolehkah aku keluar sekarang?"Tatapan Jeremy menjadi gelap lagi. "Kamu nggak bohong, 'kan?"Hati Thasia menegang, seakan-akan tubuhnya dicekik oleh seutas benang, kaki dan tangannya diikat, dia menatap mata pria itu. "Nggak."Jeremy masih saja mengerutkan keningnya, dia dengan pelan melepaskan Thasia dan berkata, "Kamu pernah membohongiku sekali, aku nggak akan membiarkanmu membohongiku lagi."Thasia tetap diam. Dengan keadaan mereka saat ini sudah tidak penting lagi dia berbohong atau tidak.Setiap manusia pasti akan memikirkan keuntungannya sendiri, membohonginya adalah satu-satunya cara Thasia melindungi diri.Jeremy tidak menyulitkannya lagi, dia menyuruh Thasia berganti pakaian bersih.Pria itu sudah mempersiapkannya dari awal.Saat Thasia berjalan masuk ada seorang sekretaris wanita yang memberinya baju olahraga yang cukup longgar. "Nona Thasia, Pak Jerem
Jeremy mendengus. "Apakah kamu pernah melihat mereka berkencan?"Pihak lawan terdiam.Bagaimanapun mereka sudah dewasa, mereka harus bertanggung jawab atas keputusan masing-masing, mana mungkin Thasia dengan mudah ditipu.Dia merasa Jeremy terlalu berlebihan.Namun, setelah dipikir-pikir dia juga takut dirinya salah, bagaimanapun tidak ada salahnya Jeremy merasa khawatir.Jeremy membuka jendela, dia melihat keluar, tatapannya menjadi serius, dia bergumam sendiri, "Thasia jarang berhubungan dengan pria, kalau ada pria yang merayunya dan membawanya pergi bagaimana? Hal itu bisa saja terjadi."Apa pun bisa saja terjadi.Pokoknya Jeremy tidak boleh lengah.Setelah telepon terputus, dia kembali ke ruang ganti.Thasia saat ini sudah keluar, melihat Jeremy pas sekali berjalan masuk, dia segera mengambil alat pengering rambut. "Biar aku saja."Jeremy tidak memaksanya, malah berkata, "Aku masih ada urusan, kamu lain kali datang lagi saja.""Oke." Thasia memunggunginya sambil mengeringkan rambut
Reporter yang datang ke sini tidak hanya ThasiaSekarang dunia internet berkembang dengan pesat, semua orang ingin menjadi orang pertama yang menyebarkan berita baru.Siapa yang pertama kali menyebarkannya, siapa yang lebih bisa dipercaya, siapa yang mendapat jumlah penonton paling banyak.Acara peragaan busana ini tidak termasuk berita besar.Namun, banyak yang melakukan siaran langsung di sana.Semua orang berlomba-lomba ingin mendapat penonton paling banyak.Di panggung sudah ada beberapa model yang sedang berjalan, juga ada beberapa artis yang hadir di sana. Thasia sedang mencari posisi yang bagus untuk melakukan siaran langsung dan mengambil gambar."Nona Thasia."Tiba-tiba ada seseorang yang memanggilnya, Thasia menoleh, dia melihat Angel berdiri di belakangnya, lalu dia melihat ke kiri dan ke kanan. Di sini hanya ada kru, sedangkan para artis seharusnya berada di dalam. "Nona Angel, kenapa kamu bisa ada di sini?"Angel dengan ramah berkata, "Nggak perlu memanggilku nona, panggil
"Oke."Tatapan Kent mengikuti sosok Thasia yang berlalu.Thasia mengendarai sepedanya keluar, dia menuju ke pusat kota.Jaraknya tidak terlalu jauh.Jeremy telah memberinya sebuah vila dengan harga yang sangat mahal.Saat ini jalanan cukup ramai, dia sedang menunggu di lampu merah.Setelah lampu berwarna hijau, dia mendorong sepedanya, tiba-tiba ada orang berkata, "Biar aku bantu."Thasia menoleh ke belakang, dia melihat seorang pria muda sedang mendorong belakang sepedanya.Sepertinya pria itu menyadari Thasia sedang hamil, jadi kesulitan mengendarai sepeda.Hari ini Thasia berpakaian dengan santai. Rambutnya dikepang, memakai sebuah topi dan gaun yang lebar, perutnya sedikit menonjol.Selain ibu hamil yang akan berpakaian seperti ini, yang lainnya tidak mungkin.Thasia merasa dirinya tidak selemah itu, tapi dia juga tidak ingin menolak kebaikannya, jadi dia berkata, "Terima kasih."Dia segera sampai ke seberang, orang itu berjalan ke arah yang berlawanan dengannya.Thasia lanjut meng
Sabrina kira dirinya sedang bermimpi, dia merasa kesal, padahal sebelumnya dia melihat mereka saling mencintai, kenapa sekarang malah bercerai. "Apa yang terjadi? Jeremy itu, dasar pria berengsek, dia cepat sekali berubahnya. Nggak bisa, pokoknya aku harus memberinya pelajaran!"Thasia sudah menerima kenyataan ini. "Nggak perlu, ada baiknya kami bercerai, sekarang aku sudah punya rumah dan uang, aku sudah menjadi janda kaya, meski aku nggak bekerja seumur hidup, aku nggak akan mati kelaparan, kamu seharusnya mengucapkan selama padaku.""Keenakan wanita murahan itu!" Sabrina memosisikan dirinya seperti Thasia, mana mungkin dia terima."Biarkan saja." Thasia berkata, "Kamu nggak perlu mengurusi masalah ini, semua sudah berlalu.""Aku mengerti, hanya saja aku khawatir kamu akan merasa sedih, aku ingin bertanya apakah perlu aku temani, tapi kamu nggak menjawab panggilanku, aku juga nggak tahu kamu ada di mana. Membuatku khawatir saja." Sabrina benar-benar khawatir padanya, tapi juga tahu s
Matanya menatap ke arah Kent lagi, pria itu menatapnya dengan tatapan seperti biasa.Bagi Kent hal itu sudah biasa.Thasia akhirnya mengerti, pria ini tumbuh besar di lingkungan yang kejam dan selalu bersembunyi.Seperti katanya, Kent memang hidup di dunia yang gelap, tanpa adanya cahaya.Meski begitu Thasia tetap merasa terkejut, dia tidak mengerti padahal sama-sama manusia, kenapa mereka bisa hidup dengan cara yang sangat berbeda."Kenapa kamu memberikan darahmu padaku?" Thasia ingin menolak. "Aku nanti juga akan siuman kalau pingsan, kamu nggak perlu melukai dirimu, nggak baik bagi tubuhmu, aku nggak mau kamu bertindak seperti ini."Kent tersenyum santai, mungkin hal ini hal paling santai yang pernah dia lakukan. "Nggak masalah, hanya mengeluarkan sedikit darah saja, nggak akan mengancam nyawa.""Nggak boleh bilang begitu, lain kali nggak boleh lagi!" Thasia menentangnya dengan tegas. "Saat kamu bersamaku maka kamu juga harus dihargai, bukan barang untuk dikorbankan, kamu juga nggak
Kent ingin menghindari, jelas dia tidak ingin Thasia menyentuhnya.Saat ini Thasia merasa lebih curiga, dia bertanya, "Kenapa kamu berdarah?"Padahal Kent sudah terluka cukup lama, meski luka di tubuhnya masih belum sembuh total, tidak seharusnya masih meneteskan darah.Kecuali lukanya bertambah lagi.Kent menarik lengan bajunya, tapi beberapa tetes darah itu tidak bisa ditutupi dengan mudah.Pria itu tersenyum, lalu mencari alasan. "Tadi saat memasak nggak sengaja terluka, bukan masalah besar."Alasan itu tidak bisa mengelabui Thasia."Kamu sudah terbiasa melakukan pembedahan, mana mungkin bisa terluka saat memasak. Kamu nggak akan bisa membohongiku!" Thasia mengerutkan keningnya, dia sama sekali tidak percaya pada penjelasannya ini. "Luka ini sepertinya bukan muncul saat kamu memasak tadi, kenapa kamu bisa terluka?"Kent terdiam.Pria itu tidak mau bilang, Thasia tetap punya mata untuk melihat, dia menarik tangan Kent, ternyata di pergelangan tangannya ada luka yang diperban dengan k
"Ini pertama kalinya aku masak."Thasia mengangkat alisnya. "Nggak masalah, aku ingin mencicipi masakanmu, mungkin saja kamu berbakat."Setengah jam kemudian Kent baru berjalan keluar dari dapur.Tidak ada aroma gosong, berarti Kent tidak membuat dapurnya terbakar.Namun, ketika Kent meletakkan masakannya di atas meja, Thasia merasa sangat terkejut.Thasia menatap Kent dengan tatapan ketakutan.Kent pikir Thasia tidak tahu masakan apa ini, jadi dia menjelaskan dengan tenang, "Ini hati ayam, ini ampela ayam ... kedua hal itu termasuk organ dalamnya, ini badan ayam, ini bagian pahanya, ada banyak daging tapi nggak eneg ...."Setelah mendengar penjelasan Kent, dia seakan-akan mendengarkan penjelasan bagian tubuh.Bisa dibayangkan saat Kent memasak, dia membedah ayam itu, begitu melihatnya selera makan Thasia pun menghilang.Sebaliknya malah membuatnya ingin muntah.Melihat Thasia masih belum mulai makan, Kent bertanya, "Kenapa? Kelihatannya nggak enak? Padahal aku sudah berusaha membuatny
Tatapan Kent menjadi rumit, kalau Thasia tahu apa yang telah dirinya lakukan, wanita ini pasti tidak akan berkata seperti itu.Kent saja tidak berani menyentuh tangan Thasia, apalagi melakukan hal jahat padanya.Kent tidak menolak lagi, dia membiarkan Thasia menyentuh tangannya.Mereka berdua terdiam cukup lama, warna darah di gelang mutiara yang dipakai Thasia menjadi lebih pekat, hal ini terlihat oleh wanita itu, dia pun bertanya, "Apakah mutiara di gelang ini bisa berubah warna?"Tatapan Kent menjadi lebih gelap. "Benarkah?"Thasia memosisikan gelang itu di bawah sinar matahari, memang benar warna merahnya jadi lebih pekat. "Aku kira karena ini gelang lama, jadi warnanya bisa lebih gelap, tapi sekarang warna merahnya jadi lebih pekat. Gelang ini biasanya kamu yang pakai, 'kan? Kamu nggak sadar?"Kent tanpa sadar mengelus pergelangan tangannya, tertawa sambil berkata, "Mungkin ini barang palsu, aku nggak tahu, aku nggak pernah tes."Thasia menatap Kent. "Kalau palsu mungkinkah kamu m
Bisa dibilang hidupnya cukup beruntung.Lahir di keluarga yang harmonis, banyak orang yang baik padanya.Hanya dalam percintaan saja dia tidak beruntung.Mungkin hidupnya terlalu datar, agar hidupnya lebih berkreasi, dia harus mengalami perasaan kecewa ini.Perkataannya membuat Kent tertawa.Dia duduk di samping Thasia, menjaganya, matanya yang berwarna coklat terlihat sangat lembut."Kamu nggak pernah berkorban untukmu, tapi kamu memberiku kehidupan." Kent tidak menyembunyikan hal ini, ada hal yang harus dihadapi. "Tunggu ingatanmu pulih kamu juga akan tahu."Kent telah beberapa kali menolongnya, Thasia percaya pria ini tidak akan mencelakainya.Meski Kent bukan orang biasa.Sekarang orang yang menemaninya adalah Kent.Thasia tanpa sadar bertanya, "Kamu punya teman?""Nggak punya."Thasia bertanya lagi, "Kamu nggak ada teman?"Kent malah berkata, "Aku nggak perlu teman.""Orang tuamu di mana?""Aku nggak tahu siapa orang tuaku.""Kalau begitu kamu pasti kesepian, nggak ada keluarga da
Bagi Lisa, dia hanya punya pilihan ini.--Thasia tidak tahu bagaimana dirinya melewati malam ini, waktu terasa sangat lama.Dia terus terjaga di sofa sepanjang malam.Setelah dia merasa lebih sadar, matahari sudah mulai terbit.Rasanya lelah.Sangat lelah.Thasia menyeret tubuhnya yang lelah ke kamar mandi, dia mencuci muka, saat melihat wajahnya di kaca dia merasa terkejut.Dia kira dirinya melihat hantu.Matanya memerah, wajahnya sangat pucat, tidak ada rona darah sama sekali, dia terlihat seperti wanita sakit parah.Thasia mengelus wajahnya, dia tidak percaya dirinya menjadi seperti ini.Setelah hatinya dilukai apakah dirinya semenyedihkan ini?Tanpa Jeremy, apakah dirinya tidak bisa hidup lagi?Jawabannya tidak.Bukannya dia sempat berpikir putus hubungan dengan pria itu dan ingin bercerai?Bedanya kali ini pria itu yang meminta pisah.Thasia masih bisa hidup, dia bahkan bisa hidup dengan jauh lebih baik.Thasia sudah memutuskan, sudah cukup dia merasa sedih semalaman, hari-hari s
Lisa sudah membayangkan.Pernikahannya dan Jeremy akan semeriah apa.Dia akan menjadi pengantin paling bahagia di dunia ini.Pada saat ini, Lisa mendengar suara langkah kaki, dia kira pembantu di rumahnya, jadi dia berkata, "Kamu nggak perlu melayaniku, kamu istirahat saja."Namun, suara langkahnya tidak berhenti.Lisa mengerutkan keningnya, dia merasa sedikit kesal, jadi dia melepas maskernya sambil berkata, "Sudah aku bilang ...."Begitu dia menoleh dan melihat dengan lebih jelas siapa yang datang, dia merasa terkejut, dia membuang maskernya dan berkata dengan hormat, "Ayah ....""Lisa." Pria itu menatap Lisa, lalu berkata sambil tersenyum, "Lama nggak bertemu, ternyata kamu sudah besar."Lisa segera berdiri, dia memeluk pria itu. "Ayah, akhirnya kamu dibebaskan, aku sangat rindu padamu!"Pria yang berusia sekitar 50 tahun itu lebih tinggi sedikit dari Lisa, meski sudah tua tubuhnya cukup tegap, dia mengelus kepala Lisa dengan lembut. "Maaf membuatmu sendirian."Lisa berkata, "Nggak