Jeremy tidak terlalu memedulikannya, dia malah tersenyum sinis dan berkata, "Kebaikan sesaat nggak bisa menghapus semua perbuatan jahat yang telah dilakukan."Setelah berkata seperti itu, Jeremy tidak menoleh lagi dan langsung berjalan ke atas melewati Yasmin.Wajah Yasmin memerah.Jika begini terus, lama-kelamaan posisi nyonya besar Keluarga Okson akan menjadi milik Thasia.Tidak hanya Kakek Okson yang menyukai Thasia, tapi sekarang Jeremy juga begitu.Tidak bisa.Hal itu tidak boleh terjadi!Seketika tatapan Yasmin menunjukkan makna licik....Thasia sudah sampai di apartemennya Sabrina.Sekali melihat, Sabrina sudah tahu bahwa suasana hati Thasia sedang buruk, wanita itu terlihat tidak fokus."Kalau sudah bercerai, maka kamu harus berpikir dengan lapang dada, perasaan itu juga akan berlalu, kamu harus belajar untuk berpikir terbuka. Kalau belum bercerai, maka kamu harus berpikir bagaimana caranya agar kamu bisa bercerai secepat mungkin."Sabrina membawa Thasia duduk di sofa, lalu me
"Selain datang ke tempatmu, Thasia bisa pergi ke mana lagi?"Suara Jeremy terdengar tegas, bahkan juga dingin.Thasia langsung terduduk.Dia baru sadar sekarang sudah pagi.Sabrina berkata dengan menyindir, "Jeremy, kamu nggak merasa perkataanmu ini terdengar konyol?"Thasia tidak sedang bermimpi, Jeremy benar-benar datang ke sini.Thasia segera turun dari ranjang dan berjalan keluar.Dia melihat Jeremy dan Sabrina sedang berdiri berhadapan di ruang tamu. Jeremy hari ini memakai kemeja berwarna abu. Tingginya Sabrina hanya 160 cm, jadi tinggi badannya hanya sampai setengah kepala pria itu."Jeremy, kalau kamu datang untuk mengabulkan permintaanku, maka aku akan pulang denganmu." Thasia menutup bibirnya, setelah berkata seperti itu dia berjalan ke arah Jeremy.Jeremy dan Sabrina secara bersamaan menatap ke arah Thasia.Jeremy menatap baju tidur yang dipakai Thasia.Gambarnya kartun doraemon, seketika tatapan mata Jeremy menjadi lebih gelap.Selama Thasia bersamanya, wanita itu tidak per
Pria ini terkadang lembut, terkadang kejam.Namun, dia tidak membahas tentang cerai.Thasia ingin menarik tangannya, tapi pegangan pria itu menjadi lebih kuat. "Thasia, jangan melawan."Thasia merasa lebih sedih lagi. "Kenapa aku nggak boleh melawan? Kalau pemikiranmu sama dengan ibumu, maka aku akan mengembalikan uang 20 miliar itu.""Thasia, dari mana kamu dapat uang 20 miliar?"Jeremy tidak percaya padanya.Saat ini mobil pun perlahan-lahan melaju.Pintunya dikunci mati oleh sopir, jadi Thasia tidak bisa membukanya.Thasia berkata dengan serak, "Sekarang nggak ada, tapi aku bisa cari."Jeremy pun tertawa. "Kamu mau cari di mana? Kalau kamu berhenti dari PT Okson, menurutmu siapa yang mau menerimamu? Kamu mau memberiku satu bulan berapa duit?"Sebelum Thasia menjawab Jeremy sudah berkata, "Kamu rencananya mau berapa lama baru bisa mengambalikan 20 miliar itu?"Thasia terdiam.Dia masih belum memikirkan masalah ini.Karena Jeremy bertanya, dia pun berpikir untuk kerja paruh waktu atau
Thasia berkata dengan datar, "Aku harus menuruti katamu, nggak membuat Bibi kesal, juga harus membuat ibumu senang, bagaimana denganku?"Jeremy merasa sedikit kesal. "Thasia, jangan lupa perkataanmu pada Kakek waktu itu, kamu bilang ingin menikah denganku."Thasia jadi teringat pada uang 20 miliar, teringat pada saham itu.Kepalanya terasa sakit, jantungnya seakan-akan diremas oleh sepasang tangan yang kasat mata.Seketika napasnya menjadi sesak.Dia tidak ingin membahas masalah ini lagi dengan Jeremy, dia bersandar pada jendela dan menutup matanya.Jeremy juga terdiam, dia berpikir Thasia kelelahan.Tidak lama kemudian, sopir sudah menghentikan mobil di Vila Anggrek.Jeremy awalnya tidak ingin membangunkan Thasia, membiarkannya tidur sebentar lagi. Namun, siapa sangka wanita itu malah segera membuka pintu mobil.Melihat Thasia melangkah dengan tegak, Jeremy pun sadar akan sesuatu. Thasia tadi tidak mengantuk, hanya malas saja meladeni dirinya.Jeremy merapatkan bibirnya, lalu berjalan
Meski Karen sudah berumur, tapi tingkahnya masih sama seperti anak muda, dia lebih suka orang lain memanggilnya "Nona Karen".Jeremy melihat Karen dan Thasia berjalan semakin menjauh, dia pun akhirnya memakai topeng. Dia memilih topeng berwarna perak disertai garis berwarna emas.Saat Jeremy berjalan masuk Karen sudah membawa Thasia ke lantai dua.Lantai dua hanya memiliki satu area, balkonnya berada di dalam, bukan di luar, jadi saat melihat ke bawah, mereka bisa melihat pemandangan seluruh aula dari sana.Di lantai dansa ada banyak orang, mereka memakai baju pesta, semua anak muda memperlihatkan bentuk tubuh mereka yang indah.Thasia tidak mengerti tujuan Karen mengadakan pesta ini."Minum jus dulu. Malam ini aku akan membantumu menguji Jeremy sialan itu." Karen memberikan Thasia jus, lalu dia tersenyum, tapi senyumannya terlihat mengerikan.Meski Jeremy sudah bilang, pria itu menikahi Thasia demi mendapat saham Kakek Okson, Karen tetap tidak percaya. Mereka sudah menjadi suami istri
Perhatian Jeremy dan Thasia ditarik oleh suara itu.Kemudian terlihat seorang wanita memakai gaun berwarna pink. Tubuhnya cukup tinggi, kulitnya juga putih, rambutnya disanggul tinggi, seluruh tubuhnya mengeluarkan aura cemerlang. Pihak lawan memakai topeng perak mengilap, dia berjalan dengan cepat ke arah Jeremy.Topeng wanita itu hampir sama dengan topeng yang dipakai Jeremy.Yang paling penting adalah, saat wanita itu tiba di depan Jeremy, tinggi badan mereka kurang lebih sama.Walau Jeremy menggunakan topeng, pihak lawan masih bisa mengenalinya, kelihatannya wanita itu cukup akrab dengan Jeremy."Siapa kamu?"Jeremy mengerutkan alisnya.Jeremy yakin wanita di depannya ini bukan Thasia.Jeremy tidak tahu sebenarnya apa yang direncanakan bibinya itu.Dia lebih tidak tahu lagi bahwa Thasia sedang melihat kejadian ini.Wanita itu tersenyum pada Jeremy. "Jeremy, kamu nggak perlu tahu siapa aku, bisakah aku berdansa denganmu? Hari ini Bibi yang mengadakan pesta, jadi aku harus memanfaatk
Thasia terdiam, entah kenapa reaksi Jeremy menjadi berlebihan."Sudah merasa enakkan?" tanya Thasia lagi padanya.Jeremy yang mendengar ucapan Thasia, merasa bahwa dirinya telah salah sangka, dia merapatkan bibirnya, menutup mata, lalu menjawab. "Hmm, sudah enakkan."Jeremy tahu Thasia sedang mengalihkan pembicaraan, dia hanya diam saja.Thasia terus memijatnya, tangannya terasa pegal.Setelah merasakan napas Jeremy menjadi lebih teratur, Thasia menghentikan gerakannya, lalu mengambil selimut untuk pria itu.Saat Thasia berjalan keluar dari kantor, dia bertemu dengan Vina."Kak Thasia."Saat Vina melihatnya, tanpa sadar gadis itu menyapanya.Thasia berada di dalam kantor Jeremy selama satu jam lebih.Setelah kejadian di pesta kemarin malam, saat Jeremy melemparkan botol bir ke kepala Vincent, mereka pun bisa menebak bahwa ada sesuatu antara Thasia dan Jeremy.Thasia mengangguk dan kembali ke kantornya.Sabrina mengiriminya pesan, "Bagaimana? Kamu mau melakukan saran dariku?"Thasia mem
"Bukan begitu, hari ini dia bertemu dengan tamu yang penting. Kamu lakukan saja pekerjaanmu di kantor dengan baik."Jeremy memang selalu bersikap dingin terhadap siapa pun.Jika pria itu benar-benar tidak suka pada seseorang, dia tidak mau berhubungan sedikit pun dengannya, tidak akan mengizinkan orang itu muncul di depannya.Melihat Vina terdiam, Thasia berkata padanya, "Kamu harus fokus pada pekerjaanmu, fokus melakukan pekerjaanmu dengan baik, jangan fokus pada apakah Pak Jeremy menyukaimu atau nggak.""Memangnya kalau dia nggak suka padamu, maka kamu nggak akan bersemangat lagi bekerja di sini?" Penjelasan Thasia terdengar sangat jelas.Vina berpikir sejenak. "Kak Thasia benar, aku mengerti, aku nggak boleh putus semangat!"Thasia berkata, "Sana kerjakan kerjaanmu."Setelah itu Vina pun kembali mengerjakan pekerjaannya.Jeremy bertemu dengan perwakilan PT Sintrom, jika begitu setelah pulang kerja nanti Thasia bisa bebas, dia berpikir pergi ke rumah orang tuanya.Namun, tanpa disang
"Oke."Tatapan Kent mengikuti sosok Thasia yang berlalu.Thasia mengendarai sepedanya keluar, dia menuju ke pusat kota.Jaraknya tidak terlalu jauh.Jeremy telah memberinya sebuah vila dengan harga yang sangat mahal.Saat ini jalanan cukup ramai, dia sedang menunggu di lampu merah.Setelah lampu berwarna hijau, dia mendorong sepedanya, tiba-tiba ada orang berkata, "Biar aku bantu."Thasia menoleh ke belakang, dia melihat seorang pria muda sedang mendorong belakang sepedanya.Sepertinya pria itu menyadari Thasia sedang hamil, jadi kesulitan mengendarai sepeda.Hari ini Thasia berpakaian dengan santai. Rambutnya dikepang, memakai sebuah topi dan gaun yang lebar, perutnya sedikit menonjol.Selain ibu hamil yang akan berpakaian seperti ini, yang lainnya tidak mungkin.Thasia merasa dirinya tidak selemah itu, tapi dia juga tidak ingin menolak kebaikannya, jadi dia berkata, "Terima kasih."Dia segera sampai ke seberang, orang itu berjalan ke arah yang berlawanan dengannya.Thasia lanjut meng
Sabrina kira dirinya sedang bermimpi, dia merasa kesal, padahal sebelumnya dia melihat mereka saling mencintai, kenapa sekarang malah bercerai. "Apa yang terjadi? Jeremy itu, dasar pria berengsek, dia cepat sekali berubahnya. Nggak bisa, pokoknya aku harus memberinya pelajaran!"Thasia sudah menerima kenyataan ini. "Nggak perlu, ada baiknya kami bercerai, sekarang aku sudah punya rumah dan uang, aku sudah menjadi janda kaya, meski aku nggak bekerja seumur hidup, aku nggak akan mati kelaparan, kamu seharusnya mengucapkan selama padaku.""Keenakan wanita murahan itu!" Sabrina memosisikan dirinya seperti Thasia, mana mungkin dia terima."Biarkan saja." Thasia berkata, "Kamu nggak perlu mengurusi masalah ini, semua sudah berlalu.""Aku mengerti, hanya saja aku khawatir kamu akan merasa sedih, aku ingin bertanya apakah perlu aku temani, tapi kamu nggak menjawab panggilanku, aku juga nggak tahu kamu ada di mana. Membuatku khawatir saja." Sabrina benar-benar khawatir padanya, tapi juga tahu s
Matanya menatap ke arah Kent lagi, pria itu menatapnya dengan tatapan seperti biasa.Bagi Kent hal itu sudah biasa.Thasia akhirnya mengerti, pria ini tumbuh besar di lingkungan yang kejam dan selalu bersembunyi.Seperti katanya, Kent memang hidup di dunia yang gelap, tanpa adanya cahaya.Meski begitu Thasia tetap merasa terkejut, dia tidak mengerti padahal sama-sama manusia, kenapa mereka bisa hidup dengan cara yang sangat berbeda."Kenapa kamu memberikan darahmu padaku?" Thasia ingin menolak. "Aku nanti juga akan siuman kalau pingsan, kamu nggak perlu melukai dirimu, nggak baik bagi tubuhmu, aku nggak mau kamu bertindak seperti ini."Kent tersenyum santai, mungkin hal ini hal paling santai yang pernah dia lakukan. "Nggak masalah, hanya mengeluarkan sedikit darah saja, nggak akan mengancam nyawa.""Nggak boleh bilang begitu, lain kali nggak boleh lagi!" Thasia menentangnya dengan tegas. "Saat kamu bersamaku maka kamu juga harus dihargai, bukan barang untuk dikorbankan, kamu juga nggak
Kent ingin menghindari, jelas dia tidak ingin Thasia menyentuhnya.Saat ini Thasia merasa lebih curiga, dia bertanya, "Kenapa kamu berdarah?"Padahal Kent sudah terluka cukup lama, meski luka di tubuhnya masih belum sembuh total, tidak seharusnya masih meneteskan darah.Kecuali lukanya bertambah lagi.Kent menarik lengan bajunya, tapi beberapa tetes darah itu tidak bisa ditutupi dengan mudah.Pria itu tersenyum, lalu mencari alasan. "Tadi saat memasak nggak sengaja terluka, bukan masalah besar."Alasan itu tidak bisa mengelabui Thasia."Kamu sudah terbiasa melakukan pembedahan, mana mungkin bisa terluka saat memasak. Kamu nggak akan bisa membohongiku!" Thasia mengerutkan keningnya, dia sama sekali tidak percaya pada penjelasannya ini. "Luka ini sepertinya bukan muncul saat kamu memasak tadi, kenapa kamu bisa terluka?"Kent terdiam.Pria itu tidak mau bilang, Thasia tetap punya mata untuk melihat, dia menarik tangan Kent, ternyata di pergelangan tangannya ada luka yang diperban dengan k
"Ini pertama kalinya aku masak."Thasia mengangkat alisnya. "Nggak masalah, aku ingin mencicipi masakanmu, mungkin saja kamu berbakat."Setengah jam kemudian Kent baru berjalan keluar dari dapur.Tidak ada aroma gosong, berarti Kent tidak membuat dapurnya terbakar.Namun, ketika Kent meletakkan masakannya di atas meja, Thasia merasa sangat terkejut.Thasia menatap Kent dengan tatapan ketakutan.Kent pikir Thasia tidak tahu masakan apa ini, jadi dia menjelaskan dengan tenang, "Ini hati ayam, ini ampela ayam ... kedua hal itu termasuk organ dalamnya, ini badan ayam, ini bagian pahanya, ada banyak daging tapi nggak eneg ...."Setelah mendengar penjelasan Kent, dia seakan-akan mendengarkan penjelasan bagian tubuh.Bisa dibayangkan saat Kent memasak, dia membedah ayam itu, begitu melihatnya selera makan Thasia pun menghilang.Sebaliknya malah membuatnya ingin muntah.Melihat Thasia masih belum mulai makan, Kent bertanya, "Kenapa? Kelihatannya nggak enak? Padahal aku sudah berusaha membuatny
Tatapan Kent menjadi rumit, kalau Thasia tahu apa yang telah dirinya lakukan, wanita ini pasti tidak akan berkata seperti itu.Kent saja tidak berani menyentuh tangan Thasia, apalagi melakukan hal jahat padanya.Kent tidak menolak lagi, dia membiarkan Thasia menyentuh tangannya.Mereka berdua terdiam cukup lama, warna darah di gelang mutiara yang dipakai Thasia menjadi lebih pekat, hal ini terlihat oleh wanita itu, dia pun bertanya, "Apakah mutiara di gelang ini bisa berubah warna?"Tatapan Kent menjadi lebih gelap. "Benarkah?"Thasia memosisikan gelang itu di bawah sinar matahari, memang benar warna merahnya jadi lebih pekat. "Aku kira karena ini gelang lama, jadi warnanya bisa lebih gelap, tapi sekarang warna merahnya jadi lebih pekat. Gelang ini biasanya kamu yang pakai, 'kan? Kamu nggak sadar?"Kent tanpa sadar mengelus pergelangan tangannya, tertawa sambil berkata, "Mungkin ini barang palsu, aku nggak tahu, aku nggak pernah tes."Thasia menatap Kent. "Kalau palsu mungkinkah kamu m
Bisa dibilang hidupnya cukup beruntung.Lahir di keluarga yang harmonis, banyak orang yang baik padanya.Hanya dalam percintaan saja dia tidak beruntung.Mungkin hidupnya terlalu datar, agar hidupnya lebih berkreasi, dia harus mengalami perasaan kecewa ini.Perkataannya membuat Kent tertawa.Dia duduk di samping Thasia, menjaganya, matanya yang berwarna coklat terlihat sangat lembut."Kamu nggak pernah berkorban untukmu, tapi kamu memberiku kehidupan." Kent tidak menyembunyikan hal ini, ada hal yang harus dihadapi. "Tunggu ingatanmu pulih kamu juga akan tahu."Kent telah beberapa kali menolongnya, Thasia percaya pria ini tidak akan mencelakainya.Meski Kent bukan orang biasa.Sekarang orang yang menemaninya adalah Kent.Thasia tanpa sadar bertanya, "Kamu punya teman?""Nggak punya."Thasia bertanya lagi, "Kamu nggak ada teman?"Kent malah berkata, "Aku nggak perlu teman.""Orang tuamu di mana?""Aku nggak tahu siapa orang tuaku.""Kalau begitu kamu pasti kesepian, nggak ada keluarga da
Bagi Lisa, dia hanya punya pilihan ini.--Thasia tidak tahu bagaimana dirinya melewati malam ini, waktu terasa sangat lama.Dia terus terjaga di sofa sepanjang malam.Setelah dia merasa lebih sadar, matahari sudah mulai terbit.Rasanya lelah.Sangat lelah.Thasia menyeret tubuhnya yang lelah ke kamar mandi, dia mencuci muka, saat melihat wajahnya di kaca dia merasa terkejut.Dia kira dirinya melihat hantu.Matanya memerah, wajahnya sangat pucat, tidak ada rona darah sama sekali, dia terlihat seperti wanita sakit parah.Thasia mengelus wajahnya, dia tidak percaya dirinya menjadi seperti ini.Setelah hatinya dilukai apakah dirinya semenyedihkan ini?Tanpa Jeremy, apakah dirinya tidak bisa hidup lagi?Jawabannya tidak.Bukannya dia sempat berpikir putus hubungan dengan pria itu dan ingin bercerai?Bedanya kali ini pria itu yang meminta pisah.Thasia masih bisa hidup, dia bahkan bisa hidup dengan jauh lebih baik.Thasia sudah memutuskan, sudah cukup dia merasa sedih semalaman, hari-hari s
Lisa sudah membayangkan.Pernikahannya dan Jeremy akan semeriah apa.Dia akan menjadi pengantin paling bahagia di dunia ini.Pada saat ini, Lisa mendengar suara langkah kaki, dia kira pembantu di rumahnya, jadi dia berkata, "Kamu nggak perlu melayaniku, kamu istirahat saja."Namun, suara langkahnya tidak berhenti.Lisa mengerutkan keningnya, dia merasa sedikit kesal, jadi dia melepas maskernya sambil berkata, "Sudah aku bilang ...."Begitu dia menoleh dan melihat dengan lebih jelas siapa yang datang, dia merasa terkejut, dia membuang maskernya dan berkata dengan hormat, "Ayah ....""Lisa." Pria itu menatap Lisa, lalu berkata sambil tersenyum, "Lama nggak bertemu, ternyata kamu sudah besar."Lisa segera berdiri, dia memeluk pria itu. "Ayah, akhirnya kamu dibebaskan, aku sangat rindu padamu!"Pria yang berusia sekitar 50 tahun itu lebih tinggi sedikit dari Lisa, meski sudah tua tubuhnya cukup tegap, dia mengelus kepala Lisa dengan lembut. "Maaf membuatmu sendirian."Lisa berkata, "Nggak