"Agas ...." Dua orang yang ada di hadapannya tampak panik setelah dipergoki oleh Agas sedang berciuman."Ini ... Gue ... Eh, itu ...." Ervan mencoba menjelaskan tapi karena terlalu panik, dia tidak bisa mengatakannya dengan jelas.Sementara ekspresi Agas sudah dingin sejak tadi. Mungkin ini pula yang membuat Ervan kehilangan ketenangannya. Sedangkan Nadia sama sekali tidak merasa ada yang salah dengan apa yang baru saja dia lakukan. "Biasa aja kali kak. Kayak gak pernah ciuman aja," celetuk Nadia dengan santai.Wajah Agas jadi semakin gelap mendengar ucapan Nadia yang terkesan tidak peduli. Tanpa kata, dia membawa putranya pergi karena merasa tidak perlu berbicara lebih lanjut padanya.Namun Ervan justru menjadi panik karenanya. Dia mengabaikan Nadia dan berjalan mengejar Agas."Tunggu dulu, Gas. Gue bisa jelasin ...."Sementara Bima yang sedang digendong oleh ayahnya tampak bingung dengan suasana aneh yang sedang terjadi. Dengan penuh minat, dia menatap bolak-balik antara ayahnya d
Satria buru-buru berlari melewati koridor rumah sakit karena ingin segera sampai. Akhirnya dia tiba di ruang rawat Nara. "Bagaimana keadaan Nara, Dok?" Satria langsung bertanya pada dokter yang ternyata masih ada di ruangan Nara. "Oh sudah datang rupanya," kata dokter itu mengenali Satria karena memang sudah sering bertemu di rumah sakit ini. "Keadaannya sudah membaik. Hanya perlu hati-hati merawatnya karena pasien mematahkan tulang rusuknya saat terjatuh." "Saya akan merawatnya dengan baik, Dok." Dokter itu tidak berlama-lama di ruangan Nara karena masih memiliki banyak pasien yang harus diperiksa. Meninggalkan Satria berdua dengan Nara yang masih belum sadarkan diri. "Jangan buat saya khawatir, Nara," kata Satria dengan suara pelan dan lirih. Untungnya Nara pulih dengan baik. Meski kesehatan mentalnya bermasalah. Satria tetap merawatnya dengan tulus meskipun mereka tidak memiliki hubungan apa-apa. Sementara itu di tempat lain, hubungan yang dijalin oleh Ervan dengan Nadia ber
Amarah Agas menggebu-gebu. Tanpa mempedulikan lagi kalau wanita di hadapannya ini adalah ibu dari anaknya, Agas mendorong Riri ke samping lalu menendang pintu kamar mandinya sampai roboh.Riri yang terdorong, tidaklah terluka tapi tentu saja dia merasa kaget dengan reaksi Agas yang keras. Hal itu membuat Riri semakin merasa benci pada Agas dan wanita yang dicintai Agas."Segitunya kamu sama aku, gak pernah memberi aku kesempatan sama sekali. Bagaimana aku tidak membencimu dan wanita itu karena ini," ujar Riri pada suami yang telah melenggang pergi. "Kamu akan membayar penghinaan, Agas!"Sementara itu, Agas berjalan dengan langkah cepat yang panjang menuju mobil yang sebelumnya telah dia masukkan ke garasi.Tanpa kata, Agas mengeluarkan kembali SUV Hitam miliknya untuk pergi dari rumahnya sendiri. Dia perlu waktu untuk menenangkan diri lebih dulu.~~~"Makan ya, satu suap aja," bujuk Satria yang saat ini sedang berusaha membuat Nara makan.Namun sayangnya Nara tidak menanggapinya dan h
"Satria gak mau dijodohkan sama siapapun itu," kata Satria, entah sudah berapa kali dia mengatakan itu seminggu belakangan ini.Sejak Risa yang datang ke ruang rawat Nara untuk menyampaikan pesan mamanya Satria, ternyata kejutan yang dimaksud oleh Risa itu mengenai perjodohan yang direncanakan oleh kedua orangtua Satria.Sungguh gagasan yang membuat Satria sakit kepala. Dia benar-benar tidak mengerti kenapa kedua orangtuanya begitu ngotot untuk menjodohkannya. Memangnya dia tidak bisa mencarinya sendiri?"Kali ini harus mau," kata papanya Satria yang bernama Umar. "Papa udah janji sama sahabat papa.""Yang bikin janji papa, kenapa aku yang harus jadi korban?" sahut Satria merasa tidak adil."Coba aja ketemu dulu," kata Umar."Gak mau. Pokoknya gak mau," balas Satria dengan tegas. Setelah mengatakan hal itu, Satria pamit pergi."Anak itu, benar-benar," ujar Umar dengan geram, tapi tidak menghentikan anaknya pergi."Sudahlah, Pa. Kalau Satrianya gak mau, jangan dipaksa," ucap istri Umar
"Sampai sekarang, gak ada kabar apapun dari Nara. Apa dia baik-baik saja?" gumam Lia dengan sedih.Aldi, yang saat ini sedang berada di samping Lia, berusaha menghibur calon istrinya agar tenang."Jangan khawatir, Nara pasti baik-baik aja," kata Aldi sambil menghapus airmata sang kekasih.Lia menatap Aldi dalam diam. Dia merasa tersentuh dengan perhatian Aldi yang lembut. Hal itu membuatnya teringat dengan kebaikan Aldi yang mau menunda pernikahan mereka sampai ada kabar yang jelas.Sudah berbulan-bulan, kabar itu masih tidak jelas. Lia bertanya-tanya mau ditunda seberapa lama lagi. Dia merasa bersalah pada Aldi dan keluarganya akan keinginannya yang egois ini."Kenapa diem aja?" tanya Aldi yang merasakan tatapan Lia yang intens."Ayo lanjutkan rencana pernikahan kita berdua," kata Lia dengan yakin, setelah dipikir-pikir, mungkin ini yang seharusnya dia lakukan.Mata Aldi sedikit mengerjap saat mendengar penuturan Lia. Dia diam beberapa saat sebelum akhirnya menjawab, "Jangan dipaksak
Agas buru-buru pergi ke rumah sakit setelah menerima kabar dari wali kelas kalau anaknya pingsan."Gimana keadaan Bima, Bu guru?" tanya Agas pada wali kelas Bima karena saat dia sampai di sana, Agas hanya melihat gurunya Bima saja."Sudah ditangani oleh dokter tadi, Pak Agas. Anu ...," ucap sang guru, tampak masih memiliki sesuatu yang belum dikatakan."Ada apa, Bu guru? Apa masih ada hal penting yang perlu saya tahu?" tanya Agas tanpa menyudutkan. "Katakan saja, Bu."Meski awalnya ragu, akhirnya wali kelas Bima mengatakannya. "Pak Agas, kondisi Bima tidak sesederhana yang kita pikirkan.""Maksudnya bagaimana Bu guru? Apa anak saya punya penyakit serius?" Agas bertanya dengan ekspresi yang tampak masih tenang, walaupun sebenarnya di dalam hati dia sedang cemas.Mana mungkin dia bisa tenang-tenang saja di saat anak semata wayangnya sedang sakit ini."Ada tanda-tanda kekerasan di tubuh Bima.""Apa?!" Agas membeku. "Maksudnya bagaimana, Bu? Saya gak pernah lihat ...."Sebelum Agas menyel
Satria memandang perempuan di hadapannya dengan sorot mata yang tajam. Sementara perempuan itu tampak santai-santai saja."Gue pinjem bentar, kamar mandinya," ujar perempuan itu sambil berjalan melewatinya.Satria sampai terbengong-bengong, meski hanya sesaat karena dia langsung melontarkan pertanyaan lagi. "Heh, lo itu siapa sih? Masuk ke kamar orang sembarangan. Maling ya?"Ucapan 'Maling ya?' seakan jadi pemicu, perempuan langsung berbalik cepat dengan wajah galak. "Apa lo bilang? Siapa yang lo panggil maling?""Elo! Siapa lagi?" sahut Satria tidak kalah galak. "Sekarang jawab pertanyaan gue, elo itu siapa? Kenapa elo ada di kamar gue?!"Perempuan itu tampak tertegun. Tatapannya yang galak melemah berganti rasa heran. "Jangan-jangan ...."Alis Satria mengerut dan matanya terus memandang wajah perempuan itu tanpa mengalihkan pandangan, tampak jelas pria itu sedang menunggu apa yang akan selanjutnya dikatakan perempuan itu."Jangan-jangan elo gak ngenalin wajah adek kandung lu sendir
Aldi tampak terdiam sejenak, tidak langsung menjawab pertanyaan dari Agas. Sebelum akhirnya tetap mengatakannya. "Pelakunya adalah ibu Riri, Pak."Tidak ada perubahan besar pada ekspresi Agas saat mendengar ucapan Aldi, karena pada dasarnya sejak awal Agas sendiri sudah curiga pada Riri.Namun begitu masih belum membuat Agas mengerti, mengapa ada seorang ibu yang tidak memiki kasih sayang pada anaknya sendiri."Oke. Terima kasih," kata Agas kemudian menutup telepon.Tangan Agas mengepal kuat, jelas sekali kalau saat ini dia sedang marah. "Kali ini, sudah terlalu jauh, Riri."Setelah mengatakan itu, Agas kembali ke kamar rawat untuk pamit kepada ibunya. Kemudian keluar lagi untuk pergi entah kemana.Satu jam kemudian, SUV Hitam milik Agas memasuki kediamannya sendiri. Rupanya dia langsung pulang dari rumah sakit. Namun bukan dengan tujuan untuk beristirahat melainkan hal lain. Agas berjalan masuk ke rumah dengan wajahnya yang serius. Namun dia tidak pergi ke arah kamarnya, tapi menuju
Riri memandang heran pria yang ada di hadapannya. Seingatnya dia tidak pernah pria ini, tapi kenapa orang ini malah ada di depan pintu apartemennya."Perkenalkan nama saya Sugeng, pengacara utusan Pak Agas Pratama," kata pria itu seakan tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Riri."Pengacara?" Riri menatap bingung pria di hadapannya. "Ada urusan apa ya?"Entah mengapa ada firasat tidak enak yang menggelitiknya. Namun begitu dia ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh pengacara dari suaminya ini. "Bisakah kita membicarakannya di dalam, Bu?" tanya Sugeng dengan sopan.Riri berpikir sejenak. Sebenarnya dia agak tidak nyaman membiarkan orang asing masuk ke dalam apartemennya, tapi dia lebih tidak nyaman kalau harus bicara di luar begini. Dengan profesinya dan juga skandalnya yang masih 'panas', akan sangat tidak aman kalau dia sampai dipotret.Pada akhirnya Riri membiarkan Sugeng masuk ke dalam apartemennya. Mereka duduk berseberangan di ruang tamu. Kemudian percakapan mereka berlanjut."J
"Meskipun dia anak kandungmu, tapi jangan seenaknya menemuinya." Kalimat itu yang sepintas terdengar oleh Aldi dan membuatnya merasa bingung. Perlu diketahui, Aldi telah menyelidiki wanita itu cukup menyeluruh karena perintah Agas. Sejauh yang telah Aldi selidiki, wanita yang merupakan ibu tiri dari Nara itu bukan sedang bersama dengan suaminya sendiri. Karena Aldu telah melihat wajah dari ayah kandung Nara. Tidak salah lagi, pria itu memang bukanlah Prayoga. "Apa maksudnya tadi?" gumam Aldi bertanya-tanya.Namun perhatiannya kemudian teralihkan karena Lia telah keluar dari toilet."Maaf agak lama, ayo kita lanjut jalan."Pada akhirnya Aldi harus menunda masalah itu karena dia tidak mau mengganggu waktu spesialnya bersama Lia.Beberapa hari sejak Aldi tidak sengaja bertemu Maya, dia telah menyelidiki lebih jauh dan menemukan sesuatu yang menurutnya cukup penting."Jadi maksudnya, Aurel itu bukan anak kandung Prayoga?" kata Agas saat Aldi memberitahunya masalah itu.Aldi mengangguk
Apa yang ingin ditunjukkan oleh Lia ternyata sebuah undangan yang mana tercetak nama mereka berdua.Aldi merasa terpesona dengan desainnya yang indah. Sungguh seperti mimpi bagi Aldi, tinggal menghitung hari, dia akan segera mempersunting sang pujaan hati."Apa bagus?" tanya Lia. "Kalau ada yang mau kamu tambahkan, bilang sama aku, biar nanti aku minta revisi. Ini baru sample aja.""Cuma satu aja? Bukannya kalau sample biasanya lebih dari satu?" tanya Aldi."Emang lebih dari satu sih, cuma aku langsung jatuh cinta sama sample yang ini," jawab Lia. "Ya, kalau kamu kurang suka desain yang ini, kita bisa minta desain lain.""Gak usah. Kalau kamu suka yang ini, aku juga pilih yang ini," sahut Aldi sambil tersenyum.~~~Sudah dua minggu sejak Agas tahu kalau Riri bukanlah ibu kandung Bima, dia sama sekali belum membuat langkah apapun selain memecat pembantunya. Justru dia menutupi masalah itu dan tidak membesarkannya.Orang lain tidaklah melihat perubahan yang ada dalam diri Agas. Seolah-o
Tepatnya beberapa jam yang lalu Agas tidak hanya meminta Aldi untuk mencari pelaku kekerasan pada Bima tetapi juga untuk menjalankan tugasnya melakukan tes DNA.Agas meminta Aldi mengambil sesuatu dari laci di ruang kantornya. Berupa sample rambut milik Bima dan Riri.Sebenarnya belakangan ini Agas merasakan keraguan samar tentang hubungan antara Riri dan Bima. Padahal mereka adalah ibu dan anak tapi wanita itu tampak tidak suka dekat dengan anaknya sendiri.Sample ini Agas dapat saat tidak sengaja melihat sisir bekas dipakai Riri. Ada sehelai rambut yang menyangkut di sana. Saat itu entah dari dorongan apa, Agas memutuskan menyimpan sample tersebut.Bukannya Agas tidak pernah berpikir untuk mengetesnya. Sudah berkali-kali pikiran itu terus terbesit namun ketika sampai pada praktiknya, dia merasa ragu. Entah karena alasan apa karena dia sendiri tidak tahu.Lebih tepatnya, nurani Agas agak segan untuk melakukannya. Mengingat sejak awal menikah dengan Riri, dia tidak bisa memberikan apa
Aldi tampak terdiam sejenak, tidak langsung menjawab pertanyaan dari Agas. Sebelum akhirnya tetap mengatakannya. "Pelakunya adalah ibu Riri, Pak."Tidak ada perubahan besar pada ekspresi Agas saat mendengar ucapan Aldi, karena pada dasarnya sejak awal Agas sendiri sudah curiga pada Riri.Namun begitu masih belum membuat Agas mengerti, mengapa ada seorang ibu yang tidak memiki kasih sayang pada anaknya sendiri."Oke. Terima kasih," kata Agas kemudian menutup telepon.Tangan Agas mengepal kuat, jelas sekali kalau saat ini dia sedang marah. "Kali ini, sudah terlalu jauh, Riri."Setelah mengatakan itu, Agas kembali ke kamar rawat untuk pamit kepada ibunya. Kemudian keluar lagi untuk pergi entah kemana.Satu jam kemudian, SUV Hitam milik Agas memasuki kediamannya sendiri. Rupanya dia langsung pulang dari rumah sakit. Namun bukan dengan tujuan untuk beristirahat melainkan hal lain. Agas berjalan masuk ke rumah dengan wajahnya yang serius. Namun dia tidak pergi ke arah kamarnya, tapi menuju
Satria memandang perempuan di hadapannya dengan sorot mata yang tajam. Sementara perempuan itu tampak santai-santai saja."Gue pinjem bentar, kamar mandinya," ujar perempuan itu sambil berjalan melewatinya.Satria sampai terbengong-bengong, meski hanya sesaat karena dia langsung melontarkan pertanyaan lagi. "Heh, lo itu siapa sih? Masuk ke kamar orang sembarangan. Maling ya?"Ucapan 'Maling ya?' seakan jadi pemicu, perempuan langsung berbalik cepat dengan wajah galak. "Apa lo bilang? Siapa yang lo panggil maling?""Elo! Siapa lagi?" sahut Satria tidak kalah galak. "Sekarang jawab pertanyaan gue, elo itu siapa? Kenapa elo ada di kamar gue?!"Perempuan itu tampak tertegun. Tatapannya yang galak melemah berganti rasa heran. "Jangan-jangan ...."Alis Satria mengerut dan matanya terus memandang wajah perempuan itu tanpa mengalihkan pandangan, tampak jelas pria itu sedang menunggu apa yang akan selanjutnya dikatakan perempuan itu."Jangan-jangan elo gak ngenalin wajah adek kandung lu sendir
Agas buru-buru pergi ke rumah sakit setelah menerima kabar dari wali kelas kalau anaknya pingsan."Gimana keadaan Bima, Bu guru?" tanya Agas pada wali kelas Bima karena saat dia sampai di sana, Agas hanya melihat gurunya Bima saja."Sudah ditangani oleh dokter tadi, Pak Agas. Anu ...," ucap sang guru, tampak masih memiliki sesuatu yang belum dikatakan."Ada apa, Bu guru? Apa masih ada hal penting yang perlu saya tahu?" tanya Agas tanpa menyudutkan. "Katakan saja, Bu."Meski awalnya ragu, akhirnya wali kelas Bima mengatakannya. "Pak Agas, kondisi Bima tidak sesederhana yang kita pikirkan.""Maksudnya bagaimana Bu guru? Apa anak saya punya penyakit serius?" Agas bertanya dengan ekspresi yang tampak masih tenang, walaupun sebenarnya di dalam hati dia sedang cemas.Mana mungkin dia bisa tenang-tenang saja di saat anak semata wayangnya sedang sakit ini."Ada tanda-tanda kekerasan di tubuh Bima.""Apa?!" Agas membeku. "Maksudnya bagaimana, Bu? Saya gak pernah lihat ...."Sebelum Agas menyel
"Sampai sekarang, gak ada kabar apapun dari Nara. Apa dia baik-baik saja?" gumam Lia dengan sedih.Aldi, yang saat ini sedang berada di samping Lia, berusaha menghibur calon istrinya agar tenang."Jangan khawatir, Nara pasti baik-baik aja," kata Aldi sambil menghapus airmata sang kekasih.Lia menatap Aldi dalam diam. Dia merasa tersentuh dengan perhatian Aldi yang lembut. Hal itu membuatnya teringat dengan kebaikan Aldi yang mau menunda pernikahan mereka sampai ada kabar yang jelas.Sudah berbulan-bulan, kabar itu masih tidak jelas. Lia bertanya-tanya mau ditunda seberapa lama lagi. Dia merasa bersalah pada Aldi dan keluarganya akan keinginannya yang egois ini."Kenapa diem aja?" tanya Aldi yang merasakan tatapan Lia yang intens."Ayo lanjutkan rencana pernikahan kita berdua," kata Lia dengan yakin, setelah dipikir-pikir, mungkin ini yang seharusnya dia lakukan.Mata Aldi sedikit mengerjap saat mendengar penuturan Lia. Dia diam beberapa saat sebelum akhirnya menjawab, "Jangan dipaksak
"Satria gak mau dijodohkan sama siapapun itu," kata Satria, entah sudah berapa kali dia mengatakan itu seminggu belakangan ini.Sejak Risa yang datang ke ruang rawat Nara untuk menyampaikan pesan mamanya Satria, ternyata kejutan yang dimaksud oleh Risa itu mengenai perjodohan yang direncanakan oleh kedua orangtua Satria.Sungguh gagasan yang membuat Satria sakit kepala. Dia benar-benar tidak mengerti kenapa kedua orangtuanya begitu ngotot untuk menjodohkannya. Memangnya dia tidak bisa mencarinya sendiri?"Kali ini harus mau," kata papanya Satria yang bernama Umar. "Papa udah janji sama sahabat papa.""Yang bikin janji papa, kenapa aku yang harus jadi korban?" sahut Satria merasa tidak adil."Coba aja ketemu dulu," kata Umar."Gak mau. Pokoknya gak mau," balas Satria dengan tegas. Setelah mengatakan hal itu, Satria pamit pergi."Anak itu, benar-benar," ujar Umar dengan geram, tapi tidak menghentikan anaknya pergi."Sudahlah, Pa. Kalau Satrianya gak mau, jangan dipaksa," ucap istri Umar