Ibu Ervan sampai tersedak mendengar penuturan gadis yang baru datang ini. Dia ingat pernah melihatnya di suatu tempat tapi tidak terlalu ingat di mana itu. Mau tidak mau dia melihat pada putranya dengan tatapan bertanya seolah sedang berkata, "Apa dia benar calon istrimu?"Rupanya Ervan melihat tatapan ibunya tersebut dan membalasnya dengan gelengan kepala sebagai tanda kalau dirinya tidak tahu menahu soal itu."Maaf, lo itu siapa ya?" Pada akhirnya Ervan bertanya.Nadia yang tadinya tercengang, tidak bisa menahan tawanya ketika Ervan bertanya seperti itu. Apalagi saat melihat wajah gadis itu yang seperti tertampar kenyataan. Tawa Nadia jadi semakin kencang.Indah merasa malu karena putrinya tidak bisa menahan sikapnya dan memutuskan untuk keluar dari ruangan persiapan itu."Kita keluar dulu ya, Jeng."Indah memimpin keluarganya keluar dari sana dan bergabung dengan orang lain yang juga datang ke pesta juga."Sepertinya temanmu bakalan melepas status lajangnya, Gas."Agas hanya bersen
Laki-laki itu memandang gadis yang sedang menatapnya bingung. Segera memperkenalkan diri. "Saya Satria, kamu namanya siapa?"Gadis yang ditanya bukannya menjawab malah diam saja. Satria kembali bertanya pada gadis itu. "Boleh saya tahu siapa namamu?"Kali ini pertanyaan Satria dijawab, "Nara ...."Jawaban yang singkat. Satria tidak mempermasalahkannya. Dia pikir mungkin Nara ini baru saja sadar dari komanya sehingga masih linglung. Kemudian Satria pun memanggil suster untuk memberitahukan soal Nara yang siuman.Tidak sampai lima menit, Satria kembali lagi bersama dengan suster dan juga dokter yang kebetulan sedang berada bersama suster saat Satria mencarinya.Satria membiarkan dokter mengecek keadaan Nara tanpa berniat menyela ataupun menganggunya. Kemudian setelah selesai, Satria baru menanyakan keadaannya."Bagaimana kondisinya, Dok?" tanya Satria."Kondisi sudah membaik tapi masih belum stabil," jawab dokter tersebut.Setelah itu dokter dan suster itu pergi meninggalkan ruangan. Se
Bukan Ervan saja yang berekspresi terkejut seperti itu, Agas juga menampilkan keterkejutan yang sama di wajahnya. Sama sekali tidak mengira kalau adiknya akan mengatakan hal itu."Apa maksud lo apa sih, Nad?" tanya Ervan merasa heran."Seperti yang tadi gue bilang. Ayo kita pacaran aja," jawab Nadia tanpa merasa kalau dirinya melakukan hal salah.Ervan mengerutkan dahi sambil memijatnya karena pusing dengan kelakuan Nadia. Sementara Agas juga sama tidak tahannya seperti Ervan dengan tingkah Nadia."Nadia, jangan becanda deh," ujar Agas menegur adiknya itu.Namun Nadia sama sekali tidak peduli dan tampak sangat percaya diri. "Bukannya lo bilang terganggu sama cewek itu? Solusinya lo tunjukin ke dia kalau lo udah punya cewek dengan begitu dia gak bakal gangguin lo lagi."Ervan memandang Nadia dengan cengo. Tidak habis pikir pada Nadia yang mengusulkan ide seperti itu.Tapi setelah dipikir-pikir lagi, Ervan merasa ide Nadia cukup bagus juga. Ketika menyadari pikirannya itu, Ervan buru-bu
Satria tersentak ketika mendengar seseorang berteriak padanya dan refleks menoleh ke sumber suara, lalu mendapati seorang wanita sedang memandangnya dengan berkacak pinggang."Mbak Risa?" ujar Satria dengan kaget.Perempuan di hadapannya sekarang, tidak lain merupakan kakak sepupu Satria dari pihak ayah. Namanya Risa Nadira, yang dua tahun lebih tua darinya."Siapa dia, Satria?" tanya Risa dengan wajah serius. "Kenapa kamu bisa berurusan sama orang tidak waras seperti dia?!"Pupil mata Satria sedikit melebar. Dia tidak menyangka kakak sepupu tahu soal Nara. Padahal Satria tidak pernah menceritakan kepada siapapun soal Nara. Bahkan pada kedua orang tuanya sendiri.Jadi tidak heran kalau sekarang Satria merasa bingung kenapa kakak sepupunya bisa tahu. Satria memijat dahinya yang terasa pusing. Baru saja dia akan menberikan tanggapan, tiba-tiba Nara berteriak pada Risa dengan mata melotot. "Gue enggak gila! Lo aja yang gila!"Risa yang diteriaki gila oleh orang yang dianggapnya gila, ten
Satria tidak langsung pulang dulu. Dia menunggu kondisi Nara tenang. Baru dia berani meninggalkannya.Satria kembali ke rumah sesuai perintah ibunya. Saat memasuki rumahnya, dia melihat ibunya sedang duduk di ruang tamu bersama dengan Risa. Melihat kehadiran sepupunya, Satria memiliki firasat kalau Risa telah mengadu pada ibunya."Duduk dulu, Satria," kata ibunya.Tanpa bicara, Satria menurutinya dan duduk di hadapan ibunya. Meskipun dia punya tebakan apa yang ingin dibicarakan oleh sang ibu, Satria tetap tenang dan membiarkan ibunya bicara lebih dulu. Kehadiran Risa tidak Satria pedulikan, bahkan dia pun tidak melirik ke arah sepupunya seolah menganggap Risa tidak ada."Kata Risa, kamu punya hubungan dengan perempuan asing yang sedang terganggu kejiwaannya?" tanya ibunya Satria langsung ke pokok pembicaraan.Tanpa mengelak, Satria mengangguk membenarkan. Satria melirik ibunya untuk melihat ekspresinya. Ternyata tidak semarah yang dia kira. Ibunya tampak tenang dan tidak meledak-mele
Satria langsung pamit pada ibunya kemudian kembali ke rumah sakit. Sepanjang jalan Satria tidak bisa berhenti merasa khawatir dan berharap kalau tidak akan terjadi apa-apa pada Nara.Setelah sampai di rumah sakit, Satria diberitahu kalau Nara telah ditemukan di rooftop rumah sakit. Satria akhirnya bisa bernapas lega."Gimana kondisi Nara, suster?" tanya Satria pada seorang suster yang sedang mengganti infus Nara ketika Satria tiba di ruang rawat Nara."Sudah stabil, Mas."Satria berbincang-bincang sebentar sebentar dengan suster itu sebelum akhirnya ditinggal berdua dengan Nara karena suster itu kembali melanjutkan pekerjaannya."Cepat sembuh, Nara," gumam Satria sambil menatap wajah tertidur Nara.~~~"Jadi ...?" Agas bertanya dengan muka takjub. "Lo pacaran sama adek gue?"Ervan sedikit grogi melihat tatapan dari Agas. Dengan suara terbata-bata, dia membalasnya, "Cuma pura-pura.""Pura-pura?" kata Agas dengan alis bertautan. "Maksudnya lo mau main-main sama adek gue?"Ervan langsung
Teriakan Nara membangunkan Satria dari tidurnya. Dia pikir teriakan itu hanya berasal dari mimpinya. Nyatanya bukan.Apa yang membuat Nara berteriak bukan karena mengalami mimpi buruk melainkan karena kehadiran seorang perempuan yang sangat Satria kenal.Mantan pacar Satria yang sempat disebut oleh Risa, yaitu Riska."Kenapa lo ada di sini, Riska?" tanya Satria dengan bingung.Riska yang sedang memegang bantal sontak menoleh ke arah Satria yang telah terbangun. Untuk sesaat dia tidak bisa mengatakan apapun."Gue ...." Riska tampak sangat gugup dan tidak berani bicara.Sementara itu Nara tidak mempedulikan suasana hati Riska sama sekali. Dia dengan langsung memarahi Satria sebagai pelampiasan kekesalannya pada Riska."Dasar pembohong! Bukannya sebelumnya kamu sudah janji gak akan bawa orang jahat lagi kesini?" ujar Nara dengan tatapan menuduh pada Satria."Kemarin sudah gak ke sini, sekarang kamu bawa orang jahat lain?"Kali ini Riska yang terkejut. "Orang jahat apa?! Gue bukan orang ja
"Agas ...." Dua orang yang ada di hadapannya tampak panik setelah dipergoki oleh Agas sedang berciuman."Ini ... Gue ... Eh, itu ...." Ervan mencoba menjelaskan tapi karena terlalu panik, dia tidak bisa mengatakannya dengan jelas.Sementara ekspresi Agas sudah dingin sejak tadi. Mungkin ini pula yang membuat Ervan kehilangan ketenangannya. Sedangkan Nadia sama sekali tidak merasa ada yang salah dengan apa yang baru saja dia lakukan. "Biasa aja kali kak. Kayak gak pernah ciuman aja," celetuk Nadia dengan santai.Wajah Agas jadi semakin gelap mendengar ucapan Nadia yang terkesan tidak peduli. Tanpa kata, dia membawa putranya pergi karena merasa tidak perlu berbicara lebih lanjut padanya.Namun Ervan justru menjadi panik karenanya. Dia mengabaikan Nadia dan berjalan mengejar Agas."Tunggu dulu, Gas. Gue bisa jelasin ...."Sementara Bima yang sedang digendong oleh ayahnya tampak bingung dengan suasana aneh yang sedang terjadi. Dengan penuh minat, dia menatap bolak-balik antara ayahnya d
Riri memandang heran pria yang ada di hadapannya. Seingatnya dia tidak pernah pria ini, tapi kenapa orang ini malah ada di depan pintu apartemennya."Perkenalkan nama saya Sugeng, pengacara utusan Pak Agas Pratama," kata pria itu seakan tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Riri."Pengacara?" Riri menatap bingung pria di hadapannya. "Ada urusan apa ya?"Entah mengapa ada firasat tidak enak yang menggelitiknya. Namun begitu dia ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh pengacara dari suaminya ini. "Bisakah kita membicarakannya di dalam, Bu?" tanya Sugeng dengan sopan.Riri berpikir sejenak. Sebenarnya dia agak tidak nyaman membiarkan orang asing masuk ke dalam apartemennya, tapi dia lebih tidak nyaman kalau harus bicara di luar begini. Dengan profesinya dan juga skandalnya yang masih 'panas', akan sangat tidak aman kalau dia sampai dipotret.Pada akhirnya Riri membiarkan Sugeng masuk ke dalam apartemennya. Mereka duduk berseberangan di ruang tamu. Kemudian percakapan mereka berlanjut."J
"Meskipun dia anak kandungmu, tapi jangan seenaknya menemuinya." Kalimat itu yang sepintas terdengar oleh Aldi dan membuatnya merasa bingung. Perlu diketahui, Aldi telah menyelidiki wanita itu cukup menyeluruh karena perintah Agas. Sejauh yang telah Aldi selidiki, wanita yang merupakan ibu tiri dari Nara itu bukan sedang bersama dengan suaminya sendiri. Karena Aldu telah melihat wajah dari ayah kandung Nara. Tidak salah lagi, pria itu memang bukanlah Prayoga. "Apa maksudnya tadi?" gumam Aldi bertanya-tanya.Namun perhatiannya kemudian teralihkan karena Lia telah keluar dari toilet."Maaf agak lama, ayo kita lanjut jalan."Pada akhirnya Aldi harus menunda masalah itu karena dia tidak mau mengganggu waktu spesialnya bersama Lia.Beberapa hari sejak Aldi tidak sengaja bertemu Maya, dia telah menyelidiki lebih jauh dan menemukan sesuatu yang menurutnya cukup penting."Jadi maksudnya, Aurel itu bukan anak kandung Prayoga?" kata Agas saat Aldi memberitahunya masalah itu.Aldi mengangguk
Apa yang ingin ditunjukkan oleh Lia ternyata sebuah undangan yang mana tercetak nama mereka berdua.Aldi merasa terpesona dengan desainnya yang indah. Sungguh seperti mimpi bagi Aldi, tinggal menghitung hari, dia akan segera mempersunting sang pujaan hati."Apa bagus?" tanya Lia. "Kalau ada yang mau kamu tambahkan, bilang sama aku, biar nanti aku minta revisi. Ini baru sample aja.""Cuma satu aja? Bukannya kalau sample biasanya lebih dari satu?" tanya Aldi."Emang lebih dari satu sih, cuma aku langsung jatuh cinta sama sample yang ini," jawab Lia. "Ya, kalau kamu kurang suka desain yang ini, kita bisa minta desain lain.""Gak usah. Kalau kamu suka yang ini, aku juga pilih yang ini," sahut Aldi sambil tersenyum.~~~Sudah dua minggu sejak Agas tahu kalau Riri bukanlah ibu kandung Bima, dia sama sekali belum membuat langkah apapun selain memecat pembantunya. Justru dia menutupi masalah itu dan tidak membesarkannya.Orang lain tidaklah melihat perubahan yang ada dalam diri Agas. Seolah-o
Tepatnya beberapa jam yang lalu Agas tidak hanya meminta Aldi untuk mencari pelaku kekerasan pada Bima tetapi juga untuk menjalankan tugasnya melakukan tes DNA.Agas meminta Aldi mengambil sesuatu dari laci di ruang kantornya. Berupa sample rambut milik Bima dan Riri.Sebenarnya belakangan ini Agas merasakan keraguan samar tentang hubungan antara Riri dan Bima. Padahal mereka adalah ibu dan anak tapi wanita itu tampak tidak suka dekat dengan anaknya sendiri.Sample ini Agas dapat saat tidak sengaja melihat sisir bekas dipakai Riri. Ada sehelai rambut yang menyangkut di sana. Saat itu entah dari dorongan apa, Agas memutuskan menyimpan sample tersebut.Bukannya Agas tidak pernah berpikir untuk mengetesnya. Sudah berkali-kali pikiran itu terus terbesit namun ketika sampai pada praktiknya, dia merasa ragu. Entah karena alasan apa karena dia sendiri tidak tahu.Lebih tepatnya, nurani Agas agak segan untuk melakukannya. Mengingat sejak awal menikah dengan Riri, dia tidak bisa memberikan apa
Aldi tampak terdiam sejenak, tidak langsung menjawab pertanyaan dari Agas. Sebelum akhirnya tetap mengatakannya. "Pelakunya adalah ibu Riri, Pak."Tidak ada perubahan besar pada ekspresi Agas saat mendengar ucapan Aldi, karena pada dasarnya sejak awal Agas sendiri sudah curiga pada Riri.Namun begitu masih belum membuat Agas mengerti, mengapa ada seorang ibu yang tidak memiki kasih sayang pada anaknya sendiri."Oke. Terima kasih," kata Agas kemudian menutup telepon.Tangan Agas mengepal kuat, jelas sekali kalau saat ini dia sedang marah. "Kali ini, sudah terlalu jauh, Riri."Setelah mengatakan itu, Agas kembali ke kamar rawat untuk pamit kepada ibunya. Kemudian keluar lagi untuk pergi entah kemana.Satu jam kemudian, SUV Hitam milik Agas memasuki kediamannya sendiri. Rupanya dia langsung pulang dari rumah sakit. Namun bukan dengan tujuan untuk beristirahat melainkan hal lain. Agas berjalan masuk ke rumah dengan wajahnya yang serius. Namun dia tidak pergi ke arah kamarnya, tapi menuju
Satria memandang perempuan di hadapannya dengan sorot mata yang tajam. Sementara perempuan itu tampak santai-santai saja."Gue pinjem bentar, kamar mandinya," ujar perempuan itu sambil berjalan melewatinya.Satria sampai terbengong-bengong, meski hanya sesaat karena dia langsung melontarkan pertanyaan lagi. "Heh, lo itu siapa sih? Masuk ke kamar orang sembarangan. Maling ya?"Ucapan 'Maling ya?' seakan jadi pemicu, perempuan langsung berbalik cepat dengan wajah galak. "Apa lo bilang? Siapa yang lo panggil maling?""Elo! Siapa lagi?" sahut Satria tidak kalah galak. "Sekarang jawab pertanyaan gue, elo itu siapa? Kenapa elo ada di kamar gue?!"Perempuan itu tampak tertegun. Tatapannya yang galak melemah berganti rasa heran. "Jangan-jangan ...."Alis Satria mengerut dan matanya terus memandang wajah perempuan itu tanpa mengalihkan pandangan, tampak jelas pria itu sedang menunggu apa yang akan selanjutnya dikatakan perempuan itu."Jangan-jangan elo gak ngenalin wajah adek kandung lu sendir
Agas buru-buru pergi ke rumah sakit setelah menerima kabar dari wali kelas kalau anaknya pingsan."Gimana keadaan Bima, Bu guru?" tanya Agas pada wali kelas Bima karena saat dia sampai di sana, Agas hanya melihat gurunya Bima saja."Sudah ditangani oleh dokter tadi, Pak Agas. Anu ...," ucap sang guru, tampak masih memiliki sesuatu yang belum dikatakan."Ada apa, Bu guru? Apa masih ada hal penting yang perlu saya tahu?" tanya Agas tanpa menyudutkan. "Katakan saja, Bu."Meski awalnya ragu, akhirnya wali kelas Bima mengatakannya. "Pak Agas, kondisi Bima tidak sesederhana yang kita pikirkan.""Maksudnya bagaimana Bu guru? Apa anak saya punya penyakit serius?" Agas bertanya dengan ekspresi yang tampak masih tenang, walaupun sebenarnya di dalam hati dia sedang cemas.Mana mungkin dia bisa tenang-tenang saja di saat anak semata wayangnya sedang sakit ini."Ada tanda-tanda kekerasan di tubuh Bima.""Apa?!" Agas membeku. "Maksudnya bagaimana, Bu? Saya gak pernah lihat ...."Sebelum Agas menyel
"Sampai sekarang, gak ada kabar apapun dari Nara. Apa dia baik-baik saja?" gumam Lia dengan sedih.Aldi, yang saat ini sedang berada di samping Lia, berusaha menghibur calon istrinya agar tenang."Jangan khawatir, Nara pasti baik-baik aja," kata Aldi sambil menghapus airmata sang kekasih.Lia menatap Aldi dalam diam. Dia merasa tersentuh dengan perhatian Aldi yang lembut. Hal itu membuatnya teringat dengan kebaikan Aldi yang mau menunda pernikahan mereka sampai ada kabar yang jelas.Sudah berbulan-bulan, kabar itu masih tidak jelas. Lia bertanya-tanya mau ditunda seberapa lama lagi. Dia merasa bersalah pada Aldi dan keluarganya akan keinginannya yang egois ini."Kenapa diem aja?" tanya Aldi yang merasakan tatapan Lia yang intens."Ayo lanjutkan rencana pernikahan kita berdua," kata Lia dengan yakin, setelah dipikir-pikir, mungkin ini yang seharusnya dia lakukan.Mata Aldi sedikit mengerjap saat mendengar penuturan Lia. Dia diam beberapa saat sebelum akhirnya menjawab, "Jangan dipaksak
"Satria gak mau dijodohkan sama siapapun itu," kata Satria, entah sudah berapa kali dia mengatakan itu seminggu belakangan ini.Sejak Risa yang datang ke ruang rawat Nara untuk menyampaikan pesan mamanya Satria, ternyata kejutan yang dimaksud oleh Risa itu mengenai perjodohan yang direncanakan oleh kedua orangtua Satria.Sungguh gagasan yang membuat Satria sakit kepala. Dia benar-benar tidak mengerti kenapa kedua orangtuanya begitu ngotot untuk menjodohkannya. Memangnya dia tidak bisa mencarinya sendiri?"Kali ini harus mau," kata papanya Satria yang bernama Umar. "Papa udah janji sama sahabat papa.""Yang bikin janji papa, kenapa aku yang harus jadi korban?" sahut Satria merasa tidak adil."Coba aja ketemu dulu," kata Umar."Gak mau. Pokoknya gak mau," balas Satria dengan tegas. Setelah mengatakan hal itu, Satria pamit pergi."Anak itu, benar-benar," ujar Umar dengan geram, tapi tidak menghentikan anaknya pergi."Sudahlah, Pa. Kalau Satrianya gak mau, jangan dipaksa," ucap istri Umar