Seketika kepala Aldi seakan berdengung untuk beberapa saat. Blank.Bagaimana tidak? Nara yang seharusnya dirawat di ruangan ini malah tidak ada. "Apa mungkin dipindahkan?" gumam Aldi mencoba tetap berpikir positif, walau kecemasannya kian terasa dari wajahnya. "Lebih baik aku tanyakan dulu ke dokter atau suster."Aldi pergi menuju ruang suster untuk menanyakan keberadaan Nara."Suster, pasien di ruang VIP II, ada di mana ya? Kenapa tidak ada di ruangannya?" Aldi langsung bertanya tanpa basa-basi lagi."Ruang VIP II ya? Apakah pasien bernama Nara Santika?" Suster justru bertanya balik. Meski begitu, Aldi tetap mengangguk. "Pasien Nara telah melalui prosedur pemulangan," jawab suster tersebut setelah mengecek data dari komputer.Sementara Aldi yang mendengarnya langsung tersentak kaget. "Sudah pulang? Kapan itu Sus?" tanya Aldi terkejut."Tadi malam," jawab suster."Dengan siapa dia pulang, sus?" tanya Aldi lagi untuk memperoleh informasi lebih banyak."Dia sendiri. Tidak ada orang l
Kemarahan Nara seakan naik drastis begitu melihat wajah orang itu. Dia bahkan tidak peduli dengan sopan santun lagi dan meneriaki orang itu."Nara, kamu jangan marah begitu. Saya datang ke sini karena mau ngasih kamu informasi tentang anak kamu," ujar orang itu yang langsung membuat ekspresi Nara berubah jadi tertarik."Yang bener?" tanya Nara buru-buru."Beneran. Kamu mau tahu enggak?" Mata Nara berbinar dan langsung mengangguk cepat. "Di mana anakku? Di mana anakku?""Kalau kamu mau ketemu anakmu, datanglah ke alamat ini sendirian," kata orang itu sambil memberikan secarik kertas pada Nara."Datanglah sebelum jam sembilan malam ini. Kalau tidak datang, jangan harap bisa bertemu dengan anakmu lagi," lanjut orang itu sebelum akhirnya meninggalkan Nara tanpa menunggu tanggapan Nara sama sekali.Sementara Nara yang sekarang ini tinggal sendirian, merasa kalap. Dia merasa cemas memikirkan bagaimana caranya untuk keluar dari rumah sakit ini.Di saat Nara sedang pusing memikirkan cara kelu
"Bu Riri, apa anda yang menculik saya seperti ini?" tanya Nara pada orang yang datang itu, tidak lain tidak bukan adalah Riri, istri dari Agas dan juga ibu dari Bima."Memang saya yang menculikmu," jawab Riri dengan santai."Kenapa kamu melakukan ini padaku?" tanya Nara dengan ekspresi bingung. "Tolong lepaskan, aku harus mencari anakku sekarang.""Hah! Jangan harap kamu bisa keluar dari sini," ujar Riri dengan sinis."Apa tujuanmu menyekapku di sini?!" teriak Nara dengan kesal.Melihat ekspresi Nara yang tampak jengkel membuat Riri tertawa puas. Dia sangat senang bisa melihat Nara menderita. Seharusnya dia melakukan ini sejak dulu, pikir Riri."Jangan tertawa!" Nara dibuat semakin kesal dengan Riri yang malah tertawa di saat dirinya merasa cemas.Namun Riri sama sekali tidak mengindahkan peringatan dari Nara justru kembali tertawa dengan lepas."Nikmatilah hari-harimu di tempat ini, karena mulai hari ini kamu akan tinggal di sini," ucap Riri sambil berjalan keluar dari ruangan itu. "
Orang itu tidak lain adalah Ervan, teman Agas dan Nara."Kenapa lo datang ke rumah nyokap gue?" tanya Agas pada Ervan."Gue pengen main aja. Udah lama gak ketemu Bima," jawab Ervan kemudian bertanya pada Agas. "Kenapa lagi? Kok Bima ngambek sih?"Agas tidak langsung menjawabnya. Dia menarik napas berat terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Ervan."Bima marah karena gue gak menepati janji gue sama dia," ujar Agas perlahan."Wah, parah banget lo. Sejak kapan lo jadi orang yang ingkar janji begini? Setahu gue lo kan —""Diem dulu! Gue kan belum selesai ngomong," sergah Agas dengan kesal karena Ervan sudah heboh duluan padahal dia belum menyelesaikan ceritanya."Oke-oke. Lanjutkan," balas Ervan dengan tersenyum, sedikit lucu melihat ekspresi kesal di wajah Agas ini.Sebenarnya Agas masih merasa kesal saat melihat tanggapan Ervan yang menertawakannya tapi dia tetap menceritakan masalah apa yang sedang dia hadapi."Gue janji sama Ervan buat ngajakin dia bertemu Nara, tapi gue gak bisa
Prayoga sedikit bingung mengapa ada polisi yang datang ke rumahnya. Dia pikir tidak melakukan sesuatu yang melanggar aturan.Dia bertukar pandangan dengan istrinya sebelum akhirnya mulai berdiri, lalu berjalan menuju ruang tamu karen polisi tersebut sudah dipersilahkan masuk oleh pembantunya."Selamat siang Pak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Prayoga setelah menjabat tangan terlebih dahulu. Dia sedikit cemas karena kedatangan polisi tersebut namun untungnya dia tidak menunjukkannya."Saya di sini untuk mencari informasi tentang putri anda, Pak. Nara Santika itu benar putri anda?"Pertanyaan itu membuat Prayoga jadi berpikir negatif. Dia menebak kalau anaknya telah melakukan hal memalukan lagi. Memikirkan hal itu sontak membuat wajahnya jadi masam."Benar, Nara itu anak saya," jawab Prayoga, "Kalau boleh tahu masalah apa yang dilakukan oleh anak saya, Pak? Sampai membuatnya harus berurusan dengan polisi?"Sang polisi tampak mengangkat sebelah alisnya sambil menatap Prayoga dengan ta
Ervan dibuat panik dengan Agas yang tiba-tiba pingsan di depannya. Memang bukannya Ervan tidak menebak kalau Agas akan tumbang, tetap saja dia terkejut ketika itu benar terjadi.Segera Prayoga memapah Agas sampai ke sofa. Setelah tubuh Agas dibaringkan, barulah dia keluar untuk memanggil Aldi."Agas pingsan, Aldi. Tolong panggilkan dokter," beritahu Ervan yang langsung membuat Aldi ikutan panik."Baik Pak."Ervan tidak menunggu Aldi dan langsung masuk kembali ke ruangan Agas. Dia duduk di sebelah Agas untuk menemaninya."Sampai segininya lo ya, Gas," gumam Ervan prihatin.Tidak lama kemudian datanglah Aldi bersama seorang dokter ke dalam ruangan Agas ini. Ervan buru-buru berdiri menyambut mereka sambil mempersilahkan dokter itu langsung memeriksa sahabatnya.Agas diperiksa oleh dokter tanpa gangguan. Setelah selesai, Ervan langsung bertanya dengan nada khawatir. "Gimana keadaan Agas, Dok?""Pak Agas sepertinya kurang beristirahat, jadi tubuhnya kelelahan," jelas dokter itu. "Biarkan b
Nara menatap horor wajah pria yang berada di belakangnya. Seketika rasa takut yang besar melanda dirinya.Nara tidak mau tertangkap lagi. Karena itu dia menendang wajah pria itu sekuat tenaga. "Aduhhh ...."Nara mengambil kesempatan pria itu kesakitan untuk kabur. Dia memacunya semaksimal yang dia bisa, sampai akhirnya dia menemukan jalan keluar.Tanpa ragu Nara melompat ke bawah. "Argghh ..." ringis Nara saat kakinya mendarat dengan posisi yang tidak enak.Namun Nara tidak menggubrisnya dan langsung berlari sejauh sekencang mungkin. Dia sama sekali tidak mau melihat ke belakang karena takut kalau pria itu malah sudah ada di belakangnya."Kumohon-kumohon ...," gumam Nara penuh harap.Nara hanya berlari dan berlari. Tidak peduli kakinya lecet karena tidak memakai alas kaki ataupun rasa panasnya tanah di siang hari yang terik ini.Setengah jam kemudian, Nara baru berani berhenti ketika melihat tidak ada lagi yang mengikutinya di belakang."Akhirnya aku berhasil ...," ucap Nara dengan
Terakhir kali yang Nara ingat adalah kejaran yang intens dari para penyekapnya, lalu dia menemukan jurang dengan aliran sungai di bawahnya. Nara melompat ke bawah dengan nekat hingga dia terseret arus sungai yang deras.Ya, itulah yang dia ingat. Nara tidak tahu apa sekarang dia masih hidup atau sudah mati? Matanya terpejam rapat, saat dia ingin membukanya terasa sulit sekali, seperti ada lem yang merekat pada kelopak matanya.Dia juga mencoba menggerakkan badannya, tapi itu juga sulit. Nara bahkan tidak bisa mengangkat satu saja jarinya sendiri.Ada apa ini? Apa yang terjadi padanya? Apa dia lumpuh?Seketika dia menjadi panik dan mulai dengan keras mencoba menggerakkan badannya sekali lagi. Namun sayangnya, dia masih tidak bisa melakukannya.Aneh dan menakutkan.Di saat Nara sedang ketakutan seperti itu, samar-samar Nara mendengar seseorang bicara. Sepertinya suara itu sangat dekat dengannya sehingga dia bisa mendengar apa yang mereka bicarakan."Jadi, kenapa dia belum kunjung sadar,
Riri memandang heran pria yang ada di hadapannya. Seingatnya dia tidak pernah pria ini, tapi kenapa orang ini malah ada di depan pintu apartemennya."Perkenalkan nama saya Sugeng, pengacara utusan Pak Agas Pratama," kata pria itu seakan tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Riri."Pengacara?" Riri menatap bingung pria di hadapannya. "Ada urusan apa ya?"Entah mengapa ada firasat tidak enak yang menggelitiknya. Namun begitu dia ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh pengacara dari suaminya ini. "Bisakah kita membicarakannya di dalam, Bu?" tanya Sugeng dengan sopan.Riri berpikir sejenak. Sebenarnya dia agak tidak nyaman membiarkan orang asing masuk ke dalam apartemennya, tapi dia lebih tidak nyaman kalau harus bicara di luar begini. Dengan profesinya dan juga skandalnya yang masih 'panas', akan sangat tidak aman kalau dia sampai dipotret.Pada akhirnya Riri membiarkan Sugeng masuk ke dalam apartemennya. Mereka duduk berseberangan di ruang tamu. Kemudian percakapan mereka berlanjut."J
"Meskipun dia anak kandungmu, tapi jangan seenaknya menemuinya." Kalimat itu yang sepintas terdengar oleh Aldi dan membuatnya merasa bingung. Perlu diketahui, Aldi telah menyelidiki wanita itu cukup menyeluruh karena perintah Agas. Sejauh yang telah Aldi selidiki, wanita yang merupakan ibu tiri dari Nara itu bukan sedang bersama dengan suaminya sendiri. Karena Aldu telah melihat wajah dari ayah kandung Nara. Tidak salah lagi, pria itu memang bukanlah Prayoga. "Apa maksudnya tadi?" gumam Aldi bertanya-tanya.Namun perhatiannya kemudian teralihkan karena Lia telah keluar dari toilet."Maaf agak lama, ayo kita lanjut jalan."Pada akhirnya Aldi harus menunda masalah itu karena dia tidak mau mengganggu waktu spesialnya bersama Lia.Beberapa hari sejak Aldi tidak sengaja bertemu Maya, dia telah menyelidiki lebih jauh dan menemukan sesuatu yang menurutnya cukup penting."Jadi maksudnya, Aurel itu bukan anak kandung Prayoga?" kata Agas saat Aldi memberitahunya masalah itu.Aldi mengangguk
Apa yang ingin ditunjukkan oleh Lia ternyata sebuah undangan yang mana tercetak nama mereka berdua.Aldi merasa terpesona dengan desainnya yang indah. Sungguh seperti mimpi bagi Aldi, tinggal menghitung hari, dia akan segera mempersunting sang pujaan hati."Apa bagus?" tanya Lia. "Kalau ada yang mau kamu tambahkan, bilang sama aku, biar nanti aku minta revisi. Ini baru sample aja.""Cuma satu aja? Bukannya kalau sample biasanya lebih dari satu?" tanya Aldi."Emang lebih dari satu sih, cuma aku langsung jatuh cinta sama sample yang ini," jawab Lia. "Ya, kalau kamu kurang suka desain yang ini, kita bisa minta desain lain.""Gak usah. Kalau kamu suka yang ini, aku juga pilih yang ini," sahut Aldi sambil tersenyum.~~~Sudah dua minggu sejak Agas tahu kalau Riri bukanlah ibu kandung Bima, dia sama sekali belum membuat langkah apapun selain memecat pembantunya. Justru dia menutupi masalah itu dan tidak membesarkannya.Orang lain tidaklah melihat perubahan yang ada dalam diri Agas. Seolah-o
Tepatnya beberapa jam yang lalu Agas tidak hanya meminta Aldi untuk mencari pelaku kekerasan pada Bima tetapi juga untuk menjalankan tugasnya melakukan tes DNA.Agas meminta Aldi mengambil sesuatu dari laci di ruang kantornya. Berupa sample rambut milik Bima dan Riri.Sebenarnya belakangan ini Agas merasakan keraguan samar tentang hubungan antara Riri dan Bima. Padahal mereka adalah ibu dan anak tapi wanita itu tampak tidak suka dekat dengan anaknya sendiri.Sample ini Agas dapat saat tidak sengaja melihat sisir bekas dipakai Riri. Ada sehelai rambut yang menyangkut di sana. Saat itu entah dari dorongan apa, Agas memutuskan menyimpan sample tersebut.Bukannya Agas tidak pernah berpikir untuk mengetesnya. Sudah berkali-kali pikiran itu terus terbesit namun ketika sampai pada praktiknya, dia merasa ragu. Entah karena alasan apa karena dia sendiri tidak tahu.Lebih tepatnya, nurani Agas agak segan untuk melakukannya. Mengingat sejak awal menikah dengan Riri, dia tidak bisa memberikan apa
Aldi tampak terdiam sejenak, tidak langsung menjawab pertanyaan dari Agas. Sebelum akhirnya tetap mengatakannya. "Pelakunya adalah ibu Riri, Pak."Tidak ada perubahan besar pada ekspresi Agas saat mendengar ucapan Aldi, karena pada dasarnya sejak awal Agas sendiri sudah curiga pada Riri.Namun begitu masih belum membuat Agas mengerti, mengapa ada seorang ibu yang tidak memiki kasih sayang pada anaknya sendiri."Oke. Terima kasih," kata Agas kemudian menutup telepon.Tangan Agas mengepal kuat, jelas sekali kalau saat ini dia sedang marah. "Kali ini, sudah terlalu jauh, Riri."Setelah mengatakan itu, Agas kembali ke kamar rawat untuk pamit kepada ibunya. Kemudian keluar lagi untuk pergi entah kemana.Satu jam kemudian, SUV Hitam milik Agas memasuki kediamannya sendiri. Rupanya dia langsung pulang dari rumah sakit. Namun bukan dengan tujuan untuk beristirahat melainkan hal lain. Agas berjalan masuk ke rumah dengan wajahnya yang serius. Namun dia tidak pergi ke arah kamarnya, tapi menuju
Satria memandang perempuan di hadapannya dengan sorot mata yang tajam. Sementara perempuan itu tampak santai-santai saja."Gue pinjem bentar, kamar mandinya," ujar perempuan itu sambil berjalan melewatinya.Satria sampai terbengong-bengong, meski hanya sesaat karena dia langsung melontarkan pertanyaan lagi. "Heh, lo itu siapa sih? Masuk ke kamar orang sembarangan. Maling ya?"Ucapan 'Maling ya?' seakan jadi pemicu, perempuan langsung berbalik cepat dengan wajah galak. "Apa lo bilang? Siapa yang lo panggil maling?""Elo! Siapa lagi?" sahut Satria tidak kalah galak. "Sekarang jawab pertanyaan gue, elo itu siapa? Kenapa elo ada di kamar gue?!"Perempuan itu tampak tertegun. Tatapannya yang galak melemah berganti rasa heran. "Jangan-jangan ...."Alis Satria mengerut dan matanya terus memandang wajah perempuan itu tanpa mengalihkan pandangan, tampak jelas pria itu sedang menunggu apa yang akan selanjutnya dikatakan perempuan itu."Jangan-jangan elo gak ngenalin wajah adek kandung lu sendir
Agas buru-buru pergi ke rumah sakit setelah menerima kabar dari wali kelas kalau anaknya pingsan."Gimana keadaan Bima, Bu guru?" tanya Agas pada wali kelas Bima karena saat dia sampai di sana, Agas hanya melihat gurunya Bima saja."Sudah ditangani oleh dokter tadi, Pak Agas. Anu ...," ucap sang guru, tampak masih memiliki sesuatu yang belum dikatakan."Ada apa, Bu guru? Apa masih ada hal penting yang perlu saya tahu?" tanya Agas tanpa menyudutkan. "Katakan saja, Bu."Meski awalnya ragu, akhirnya wali kelas Bima mengatakannya. "Pak Agas, kondisi Bima tidak sesederhana yang kita pikirkan.""Maksudnya bagaimana Bu guru? Apa anak saya punya penyakit serius?" Agas bertanya dengan ekspresi yang tampak masih tenang, walaupun sebenarnya di dalam hati dia sedang cemas.Mana mungkin dia bisa tenang-tenang saja di saat anak semata wayangnya sedang sakit ini."Ada tanda-tanda kekerasan di tubuh Bima.""Apa?!" Agas membeku. "Maksudnya bagaimana, Bu? Saya gak pernah lihat ...."Sebelum Agas menyel
"Sampai sekarang, gak ada kabar apapun dari Nara. Apa dia baik-baik saja?" gumam Lia dengan sedih.Aldi, yang saat ini sedang berada di samping Lia, berusaha menghibur calon istrinya agar tenang."Jangan khawatir, Nara pasti baik-baik aja," kata Aldi sambil menghapus airmata sang kekasih.Lia menatap Aldi dalam diam. Dia merasa tersentuh dengan perhatian Aldi yang lembut. Hal itu membuatnya teringat dengan kebaikan Aldi yang mau menunda pernikahan mereka sampai ada kabar yang jelas.Sudah berbulan-bulan, kabar itu masih tidak jelas. Lia bertanya-tanya mau ditunda seberapa lama lagi. Dia merasa bersalah pada Aldi dan keluarganya akan keinginannya yang egois ini."Kenapa diem aja?" tanya Aldi yang merasakan tatapan Lia yang intens."Ayo lanjutkan rencana pernikahan kita berdua," kata Lia dengan yakin, setelah dipikir-pikir, mungkin ini yang seharusnya dia lakukan.Mata Aldi sedikit mengerjap saat mendengar penuturan Lia. Dia diam beberapa saat sebelum akhirnya menjawab, "Jangan dipaksak
"Satria gak mau dijodohkan sama siapapun itu," kata Satria, entah sudah berapa kali dia mengatakan itu seminggu belakangan ini.Sejak Risa yang datang ke ruang rawat Nara untuk menyampaikan pesan mamanya Satria, ternyata kejutan yang dimaksud oleh Risa itu mengenai perjodohan yang direncanakan oleh kedua orangtua Satria.Sungguh gagasan yang membuat Satria sakit kepala. Dia benar-benar tidak mengerti kenapa kedua orangtuanya begitu ngotot untuk menjodohkannya. Memangnya dia tidak bisa mencarinya sendiri?"Kali ini harus mau," kata papanya Satria yang bernama Umar. "Papa udah janji sama sahabat papa.""Yang bikin janji papa, kenapa aku yang harus jadi korban?" sahut Satria merasa tidak adil."Coba aja ketemu dulu," kata Umar."Gak mau. Pokoknya gak mau," balas Satria dengan tegas. Setelah mengatakan hal itu, Satria pamit pergi."Anak itu, benar-benar," ujar Umar dengan geram, tapi tidak menghentikan anaknya pergi."Sudahlah, Pa. Kalau Satrianya gak mau, jangan dipaksa," ucap istri Umar