Agas langsung terkesiap saat mendengar tangisan anaknya. Bima jarang sekali menangis, jadi ketika menangis tentu saja Agas jadi khawatir."Kamu kenapa menangis, Nak?" tanya Agas.Bima tidak menjawabnya karena masih menangis. Gurunya lah yang menjawab menggantikan Bima. "Pak Agas, saya tidak tahu kenapa Bima tiba-tiba menangis. Tadinya dia belajar seperti biasanya tapi kemudian tanpa sebab tiba-tiba menangis begini. Kami berusaha membujuknya tapi Bima tidak mau berhenti menangis.""Tolong biarkan saya bicara dengan anakku dulu, Bu." Agas berkata sopan.Sang guru memberikan telepon pada Bima. Baru Agas mengajak Bima bicara."Bima, ini papa. Kamu kenapa menangis? Cerita sama papa," ucap Agas dengan suara lembut.Awalnya Bima masih menangis namun kemudian dia berusaha menghentikan tangisannya untuk menjawab Agas."Papa...." Bima berkata dengan lirih. Agas tetap diam untuk mendengarkan anaknya. "Aku pengen ketemu tante cantik."Deg!Agas tersentak ketika mendengar anaknya mencari Nara. Se
"Depresi?" ujar Agas dengan tatapan bertanya seolah menodong Lia untuk segera menjawab pertanyaannya."Iya depresi." Agas baru akan bertanya lagi tapi harus terhenti karena Nara kembali sadar dan mulai berteriak lagi."Mbak Liaaaa!" teriak Nara saat menyadari kehadiran Lia, segera bangun dan memeluk Lia."Hiks ... Hiks ... Hiks ...." Nara menumpahkan perasaan sedihnya di pundak Lia. Airmatanya mengalir sampai membasahi jas dokter milik sahabatnya itu.Lia membiarkan Nara menangis sampai puas. Tidak menyelanya sampai Nara sedikit tenang. Kemudian baru menanyainya."Ada apa? Kenapa kamu begini lagi?" tanya Lia dengan suara lembut.Nara melepaskan pelukannya pada Lia, lalu menyeka airmatanya sendiri. Baru setelah itu dia mengatakannya pada Lia."Anakku ternyata belum meninggal, Mbak. Anakku diculik," ucap Nara dengan suara lirih.Lia tersentak dan segera bertanya, "Kenapa kamu bisa menyimpulkan hal itu?""Tante Maya sendiri yang bilang," jawab Nara dengan menggebu-gebu.Dahi Lia sedikit
Maya berpikir cepat dengan panik, karena mata suaminya menatapnya dengan tajam. Maya tidak bisa tidak bergetar ketakutan."Kenapa kamu merobek foto-foto Bianca?" desis Prayoga membuat Maya bergidik. "Ini semua kenanganku dengan Bianca, berani sekali kamu merusaknya?!"Ketakutan Maya seketika sirna ketika melihat Prayoga yang sangat menghargai apapun yang berhubungan dengan mantan istrinya yang telah meninggal itu. Rasa cemburu kembali membara, Maya tidak rela kalau suaminya masih memikirkan Bianca.Padahal Bianca telah lama meninggal dan Maya merasa kalau selama ini dia telah menjadi istri yang lebih baik daripada Bianca. Kenapa suaminya tidak bisa melupakan perempuan itu?Ingin rasanya Maya berteriak marah dan mengatakan pada suaminya untuk menghapus semua hal tentang Bianca dan hanya mencintainya saja. Namun Maya tidak melakukannya karena dia sadar kalau melakukan hal itu, sudah pasti suaminya akan marah. Jadi untuk mengatasinya, dia mengunakan cara lain."Mas, aku juga enggak tahu.
Tahun 2014.Nara melanjutkan pendidikannya ke kampus yang dia impikan dan mengambil jurusan sastra. Dia sudah mulai beberapa semester, sekarang ini Nara aktif di berbagai kegiatan kampus. Salah satunya pada kegiatan seminar yang diadakan di hotel Bhineka. Nara menjadi perwakilan kampus menghadiri seminar tersebut yang berada di luar kota. Seminar itu membahas tentang dunia literasi yang dihadiri oleh seorang penulis ternama yang kebetulan juga penulis favorit Nara.Maka dari itu Nara cukup senang bisa bertemu langsung dengan penulis itu. Selama seminar berlangsung, Nara cukup menikmatinya karena cara mereka membawa topik cukup menarik. Sampai dua jam berlangsunnya seminar terasa sangat cepat. Nara merasa belum puas mendengarkan bahasan yang tadi dibicarakan. Dia ingin sekali waktu diperpanjang karena tadi itu asyik sekali baginya.Namun apa daya, acara seminar yang diikuti Nara telah selesai. Mereka kemudian mulai membubarkan diri meninggalkan tempat itu.Nara menunggu sebentar unt
Nara benar-benar merasa hancur. Kesucian yang selama ini dia jaga sekarang telah hilang, direnggut seseorang yang tidak Nara kenal.Nara tidak berani memandang wajah orang itu. Pikirannya panik dan takut, tanpa buang waktu, Nara memutuskan untuk segera pergi dari tempat menyesakkan ini.Nara buru-buru mengambil pakaiannya yang berserakan di lantai lalu memakainya. Kemudian dia pergi dari kamar ini tanpa mempedulikan kopernya yang masih tertinggal di sana.Nara berharap apa yang terjadi semalam itu hanyalah mimpi, seperti yang dia kira sebelumnya. Namun nyatanya itu bukan mimpi. Benar-benar tidak pernah disangka dirinya akan mengalami kejadian seperti ini. Nara harap, kejadian ini tidak menumbuhkan masalah ke depannya."Semoga aku tidak sampai hamil," gumam Nara saat meninggalkan hotel tersebut.Namun harapan Nara benar-benar tidak terkabur. Dua bulan setelah kejadian itu, apa yang ditakutkan Nara terjadi. Testpack yang dia beli sampai lima merek berbeda. Semuanya menunjukkan hasil po
Agas segera menggelengkan kepala. Baru saja sekilas pikiran gila tiba-tiba muncul di kepalanya. Namun segera tepis karena merasa kemungkinan itu mustahil.Tapi—Agas dibuat bingung dengan kebetulan yang cukup aneh menurutnya.Kebetulan apa itu? Hal itu menyangkut masa lalu Agas yang cukup membuat hidupnya berubah drastis.Tidak banyak orang tahu tentang kisah kelam yang pernah dia alami di masa lalu. Di tahun yang sama, bahkan mungkin di hari yang sama kalau Agas tidak salah ingat, karena Agas sempat tahu ada seminar sastra tersebut di hari dia melakukan janji temu dengan salah satu orang penting untuk proyek yang sedang Agas pegang saat itu.Meskipun Agas secara status masih seorang mahasiswa tapi dia sudah memegang jabatan penting di perusahaan ayahnya. Bahkan Agas telah mulai masuk kantor saat masih SMA dulu.Waktu itu setelah selesai meeting, Agas merasakan tubuhnya berubah aneh. Dia merasa panas dan sensitif di mana-mana. Agas segera sadar kalau telah diberi obat perangsang oleh
"Kenapa istriku datang ke sana?" tanya Agas heran."Kenapa aku gak boleh ada di sini?" Tiba-tiba Riri yang berbicara, rupanya ponsel Aldi telah direbut oleh Riri. "CEPAT KE SINI! AKU HARUS BICARA SAMA KAMU!"Agas hanya menjawab dengan deheman dan langsung mematikan sambungan telepon. Dengan cepat Agas menyalakan mesin mobilnya, kemudian langsung melajukan mobilnya kembali ke rumah sakit.Agas menyetir dengan cepat sampai akhirnya tiba di tempat tujuan. Saat dia sampai di depan ruang inap Nara, Agas sudah bisa melihat Riri menyambutnya dengan wajah marah."Kenapa sih kamu ada di sini?" Agas menanyai Riri lebih dulu sebelum istrinya melontarkan pertanyaan.Hal itu tentu membuat Riri jadi kesal dan amarahnya semakin besar. "Kok kamu malah nanya aku begitu? Harusnya aku yang nanya, kenapa kamu masih ngurusin dia? Ngakunya gak ada hubungan apa-apa sama dia tapi begini kelakuan kamu?!"Agas hanya mendengarkan omelan Riri sambil memijat-mijat kepalanya yang sedikit pusing. Agas heran kenapa
Agas terpaksa meninggalkan Nara pada Aldi untuk pergi ke luar kota. Ada masalah penting yang mengharuskannya datang langsung.Kalau tidak mendesak, Agas lebih memilih bekerja lewat laptop di rumah sakit sambil menjaga Nara. Namun apa daya, dia tidak bisa melakukannya."Periksa kembali semuanya. Jangan ada yang terlewat," titah Agas pada karyawan yang bertanggung jawab pada proyek yang sedang bermasalah ini."Baik Pak Agas," jawab karyawan tersebut kemudian menjalankan perintah Agas.Setelah ditinggal sendirian, Agas memeriksa kembali berkas-berkas yang tadi dia minta untuk dikumpulkan.Namun pekerjaan Agas terhenti oleh suara dering telepon. Agas meletakkan kembali berkas yang sedang dia lihat, beralih ke ponselnya. Rupanya ada panggilan dari Riri.Agas menarik napas panjang terlebih dahulu untuk mempersiapkan diri, karena sejauh yang dia pernah alami, dengan bicara Riri selalu menguras emosi dan pikiran."Iya, halo. Ada apa?" tanya Agas setelah menjawab telepon dari istrinya."Kamu a
Riri memandang heran pria yang ada di hadapannya. Seingatnya dia tidak pernah pria ini, tapi kenapa orang ini malah ada di depan pintu apartemennya."Perkenalkan nama saya Sugeng, pengacara utusan Pak Agas Pratama," kata pria itu seakan tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Riri."Pengacara?" Riri menatap bingung pria di hadapannya. "Ada urusan apa ya?"Entah mengapa ada firasat tidak enak yang menggelitiknya. Namun begitu dia ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh pengacara dari suaminya ini. "Bisakah kita membicarakannya di dalam, Bu?" tanya Sugeng dengan sopan.Riri berpikir sejenak. Sebenarnya dia agak tidak nyaman membiarkan orang asing masuk ke dalam apartemennya, tapi dia lebih tidak nyaman kalau harus bicara di luar begini. Dengan profesinya dan juga skandalnya yang masih 'panas', akan sangat tidak aman kalau dia sampai dipotret.Pada akhirnya Riri membiarkan Sugeng masuk ke dalam apartemennya. Mereka duduk berseberangan di ruang tamu. Kemudian percakapan mereka berlanjut."J
"Meskipun dia anak kandungmu, tapi jangan seenaknya menemuinya." Kalimat itu yang sepintas terdengar oleh Aldi dan membuatnya merasa bingung. Perlu diketahui, Aldi telah menyelidiki wanita itu cukup menyeluruh karena perintah Agas. Sejauh yang telah Aldi selidiki, wanita yang merupakan ibu tiri dari Nara itu bukan sedang bersama dengan suaminya sendiri. Karena Aldu telah melihat wajah dari ayah kandung Nara. Tidak salah lagi, pria itu memang bukanlah Prayoga. "Apa maksudnya tadi?" gumam Aldi bertanya-tanya.Namun perhatiannya kemudian teralihkan karena Lia telah keluar dari toilet."Maaf agak lama, ayo kita lanjut jalan."Pada akhirnya Aldi harus menunda masalah itu karena dia tidak mau mengganggu waktu spesialnya bersama Lia.Beberapa hari sejak Aldi tidak sengaja bertemu Maya, dia telah menyelidiki lebih jauh dan menemukan sesuatu yang menurutnya cukup penting."Jadi maksudnya, Aurel itu bukan anak kandung Prayoga?" kata Agas saat Aldi memberitahunya masalah itu.Aldi mengangguk
Apa yang ingin ditunjukkan oleh Lia ternyata sebuah undangan yang mana tercetak nama mereka berdua.Aldi merasa terpesona dengan desainnya yang indah. Sungguh seperti mimpi bagi Aldi, tinggal menghitung hari, dia akan segera mempersunting sang pujaan hati."Apa bagus?" tanya Lia. "Kalau ada yang mau kamu tambahkan, bilang sama aku, biar nanti aku minta revisi. Ini baru sample aja.""Cuma satu aja? Bukannya kalau sample biasanya lebih dari satu?" tanya Aldi."Emang lebih dari satu sih, cuma aku langsung jatuh cinta sama sample yang ini," jawab Lia. "Ya, kalau kamu kurang suka desain yang ini, kita bisa minta desain lain.""Gak usah. Kalau kamu suka yang ini, aku juga pilih yang ini," sahut Aldi sambil tersenyum.~~~Sudah dua minggu sejak Agas tahu kalau Riri bukanlah ibu kandung Bima, dia sama sekali belum membuat langkah apapun selain memecat pembantunya. Justru dia menutupi masalah itu dan tidak membesarkannya.Orang lain tidaklah melihat perubahan yang ada dalam diri Agas. Seolah-o
Tepatnya beberapa jam yang lalu Agas tidak hanya meminta Aldi untuk mencari pelaku kekerasan pada Bima tetapi juga untuk menjalankan tugasnya melakukan tes DNA.Agas meminta Aldi mengambil sesuatu dari laci di ruang kantornya. Berupa sample rambut milik Bima dan Riri.Sebenarnya belakangan ini Agas merasakan keraguan samar tentang hubungan antara Riri dan Bima. Padahal mereka adalah ibu dan anak tapi wanita itu tampak tidak suka dekat dengan anaknya sendiri.Sample ini Agas dapat saat tidak sengaja melihat sisir bekas dipakai Riri. Ada sehelai rambut yang menyangkut di sana. Saat itu entah dari dorongan apa, Agas memutuskan menyimpan sample tersebut.Bukannya Agas tidak pernah berpikir untuk mengetesnya. Sudah berkali-kali pikiran itu terus terbesit namun ketika sampai pada praktiknya, dia merasa ragu. Entah karena alasan apa karena dia sendiri tidak tahu.Lebih tepatnya, nurani Agas agak segan untuk melakukannya. Mengingat sejak awal menikah dengan Riri, dia tidak bisa memberikan apa
Aldi tampak terdiam sejenak, tidak langsung menjawab pertanyaan dari Agas. Sebelum akhirnya tetap mengatakannya. "Pelakunya adalah ibu Riri, Pak."Tidak ada perubahan besar pada ekspresi Agas saat mendengar ucapan Aldi, karena pada dasarnya sejak awal Agas sendiri sudah curiga pada Riri.Namun begitu masih belum membuat Agas mengerti, mengapa ada seorang ibu yang tidak memiki kasih sayang pada anaknya sendiri."Oke. Terima kasih," kata Agas kemudian menutup telepon.Tangan Agas mengepal kuat, jelas sekali kalau saat ini dia sedang marah. "Kali ini, sudah terlalu jauh, Riri."Setelah mengatakan itu, Agas kembali ke kamar rawat untuk pamit kepada ibunya. Kemudian keluar lagi untuk pergi entah kemana.Satu jam kemudian, SUV Hitam milik Agas memasuki kediamannya sendiri. Rupanya dia langsung pulang dari rumah sakit. Namun bukan dengan tujuan untuk beristirahat melainkan hal lain. Agas berjalan masuk ke rumah dengan wajahnya yang serius. Namun dia tidak pergi ke arah kamarnya, tapi menuju
Satria memandang perempuan di hadapannya dengan sorot mata yang tajam. Sementara perempuan itu tampak santai-santai saja."Gue pinjem bentar, kamar mandinya," ujar perempuan itu sambil berjalan melewatinya.Satria sampai terbengong-bengong, meski hanya sesaat karena dia langsung melontarkan pertanyaan lagi. "Heh, lo itu siapa sih? Masuk ke kamar orang sembarangan. Maling ya?"Ucapan 'Maling ya?' seakan jadi pemicu, perempuan langsung berbalik cepat dengan wajah galak. "Apa lo bilang? Siapa yang lo panggil maling?""Elo! Siapa lagi?" sahut Satria tidak kalah galak. "Sekarang jawab pertanyaan gue, elo itu siapa? Kenapa elo ada di kamar gue?!"Perempuan itu tampak tertegun. Tatapannya yang galak melemah berganti rasa heran. "Jangan-jangan ...."Alis Satria mengerut dan matanya terus memandang wajah perempuan itu tanpa mengalihkan pandangan, tampak jelas pria itu sedang menunggu apa yang akan selanjutnya dikatakan perempuan itu."Jangan-jangan elo gak ngenalin wajah adek kandung lu sendir
Agas buru-buru pergi ke rumah sakit setelah menerima kabar dari wali kelas kalau anaknya pingsan."Gimana keadaan Bima, Bu guru?" tanya Agas pada wali kelas Bima karena saat dia sampai di sana, Agas hanya melihat gurunya Bima saja."Sudah ditangani oleh dokter tadi, Pak Agas. Anu ...," ucap sang guru, tampak masih memiliki sesuatu yang belum dikatakan."Ada apa, Bu guru? Apa masih ada hal penting yang perlu saya tahu?" tanya Agas tanpa menyudutkan. "Katakan saja, Bu."Meski awalnya ragu, akhirnya wali kelas Bima mengatakannya. "Pak Agas, kondisi Bima tidak sesederhana yang kita pikirkan.""Maksudnya bagaimana Bu guru? Apa anak saya punya penyakit serius?" Agas bertanya dengan ekspresi yang tampak masih tenang, walaupun sebenarnya di dalam hati dia sedang cemas.Mana mungkin dia bisa tenang-tenang saja di saat anak semata wayangnya sedang sakit ini."Ada tanda-tanda kekerasan di tubuh Bima.""Apa?!" Agas membeku. "Maksudnya bagaimana, Bu? Saya gak pernah lihat ...."Sebelum Agas menyel
"Sampai sekarang, gak ada kabar apapun dari Nara. Apa dia baik-baik saja?" gumam Lia dengan sedih.Aldi, yang saat ini sedang berada di samping Lia, berusaha menghibur calon istrinya agar tenang."Jangan khawatir, Nara pasti baik-baik aja," kata Aldi sambil menghapus airmata sang kekasih.Lia menatap Aldi dalam diam. Dia merasa tersentuh dengan perhatian Aldi yang lembut. Hal itu membuatnya teringat dengan kebaikan Aldi yang mau menunda pernikahan mereka sampai ada kabar yang jelas.Sudah berbulan-bulan, kabar itu masih tidak jelas. Lia bertanya-tanya mau ditunda seberapa lama lagi. Dia merasa bersalah pada Aldi dan keluarganya akan keinginannya yang egois ini."Kenapa diem aja?" tanya Aldi yang merasakan tatapan Lia yang intens."Ayo lanjutkan rencana pernikahan kita berdua," kata Lia dengan yakin, setelah dipikir-pikir, mungkin ini yang seharusnya dia lakukan.Mata Aldi sedikit mengerjap saat mendengar penuturan Lia. Dia diam beberapa saat sebelum akhirnya menjawab, "Jangan dipaksak
"Satria gak mau dijodohkan sama siapapun itu," kata Satria, entah sudah berapa kali dia mengatakan itu seminggu belakangan ini.Sejak Risa yang datang ke ruang rawat Nara untuk menyampaikan pesan mamanya Satria, ternyata kejutan yang dimaksud oleh Risa itu mengenai perjodohan yang direncanakan oleh kedua orangtua Satria.Sungguh gagasan yang membuat Satria sakit kepala. Dia benar-benar tidak mengerti kenapa kedua orangtuanya begitu ngotot untuk menjodohkannya. Memangnya dia tidak bisa mencarinya sendiri?"Kali ini harus mau," kata papanya Satria yang bernama Umar. "Papa udah janji sama sahabat papa.""Yang bikin janji papa, kenapa aku yang harus jadi korban?" sahut Satria merasa tidak adil."Coba aja ketemu dulu," kata Umar."Gak mau. Pokoknya gak mau," balas Satria dengan tegas. Setelah mengatakan hal itu, Satria pamit pergi."Anak itu, benar-benar," ujar Umar dengan geram, tapi tidak menghentikan anaknya pergi."Sudahlah, Pa. Kalau Satrianya gak mau, jangan dipaksa," ucap istri Umar