"Kecelakaan?"Nara tercengang mendapat kabar buruk itu. Mama Lia itu sudah seperti ibunya sendiri. Setiap kali bertemu, Nara diperlakukan seolah Nara itu anaknya sendiri sehingga Nara yang mana ibu kandungnya sendiri telah meninggal dapat merasakan kasih sayang seorang ibu dari Mamanya Lia ini."Datang ke RS Permata," kata Lia sebelum akhirnya memutuskan kontak secara sepihak.Nara tidak berniat untuk menunggu bus lagi. Dia berjalan ke arah pangkalan ojek yang berjarak lima menit dari tempat Nara berdiri sekarang."Pak, antarkan saya ke Rumah Sakit Permata," ucap Nara pada salah satu ojek di sana.Kemudian Nara diantarkan menuju RS Permata dengan cepat. Bisa dibilang lebih cepat daripada ketika Nara naik bus."Mbak, saya mau tanya ruangan pasien kecelakaan atas nama Maharani ada di mana ya?" tanya Nara pada pegawai bagian pendaftaran di rumah sakit tersebut."Ruang ICU 3 lantai 4 ya, Mbak." Nara tersentak mendengar jawaban tersebut. Hatinya semakin takut pada kondisi dari Tante Mahar
"Kamu siapa, Nak?" tanya Nara pada anak kecil yang bergelayutan di kakinya."Maafin aku, Tante cantik karen nyebrang sembarangan," ucap anak itu sambil menatap Nara dengan mata puppy yang menggemaskan.Nara yang semula ingin memarahi pelaku yang membuatnya hampir saja celaka, tiba-tiba hilang rasa marahnya. Ekspresinya berganti menjadi lebih lembut.Nara mengajak anak itu menepi lebih dulu. Dia memarkirkan motor itu di area taman lalu duduk di bangku taman bersama anak itu."Siapa namamu, Nak?" tanya Nara sambil tersenyum."Namaku Bima, Tante cantik," jawabnya."Di mana orangtuamu? Kenapa kamu di sini sendirian?" tanya Nara lagi dengan nada lembut."Gak tahu, Tante cantik."Jawaban itu membuat alis Nara terangkat. Cukup aneh."Kenapa gak tahu? Apakah kerja?" tanya Nara."Papa sama Mama jarang di rumah. Oma sama Opa sekarang punya cucu baru lagi, aku jadi ...." Bima mencoba berkata tetapi rupanya dia malu."Cemburu sama adik baru?" tanya Nara pelan."Bukan adik aku, Tante. Kata papa di
"Suster, tolong bicara lebih jelas," desak perempuan itu saking tidak sabarnya."Bayi ibu telah meninggal."Deg!"Apa?" Perempuan itu bergumam linglung. "Maksud suster apa?""Bayi ibu sudah meninggal." Perempuan itu membeku. Tampak sangat terguncang dengan apa yang diucapkan sang suster.'Bayi ibu sudah meninggal. Bayi ibu sudah meninggal. Bayi ibu sudah meninggal.'Kalimat itu terus terngiang-ngiang di telinga sampai dia tidak bisa mendengar suara orang lain.Bisa dibayangkan bagaimana hancurnya hati wanita itu saat mengetahui bayi yang telah dikandung sembilan bulan lamanya ternyata sudah meninggal. Padahal jelas-jelas dia sempat mendengar suara tangisan bayinya sebelum pingsan."Bohong kan, Sus. Pasti bohong! Jelas-jelas tadi saya dengar suara bayi saya. Tolong beritahu saya di mana bayi saya, Sus." Perempuan itu berteriak histeris."Bayiku di mana bayiku. Dimana? Hiks ... Hiks ... Hiks ...."Tangisan pilu tidak dapat dia bendung. Pikiran penuh akan suara bayi yang hanya beberapa
"Loh Pak Agas?" Nara memandang terkejut pada Agas.Setelah Nara bersuara, ekspresi seram di wajah Agas melunak digantikan kernyitan di dahinya yang menandakan Agas sedang bingung."Nara?" kata Agas dengan nada bicara seperti bertanya apakah orang di hadapannya itu benar-benar Nara.Nara pun tidak kalah bingung karena tidak mengerti mengapa Agas tidak mengenali wajahnya sama sekali dan langsung menuduh Nara sebagai penculik."Kok bapak gak ngenalin saya gini sih?" tanya Nara dengan heran."Gimana saya bisa ngenalin kamu kalau mukamu aja kayak begitu." Agas menjawab sambil menunjuk wajah Nara."Kayak gitu gimana?" tanya Nara lagi yang tidak mengerti ucapan Agas."Mending kamu ngaca dulu deh." Agas menyerahkan ponselnya yang sudah berada di fitur kamera.Otomatis Nara bisa langsung melihat bagaimana keadaan wajahnya sendiri. Nara berteriak kaget. Hampir tidak mengenali wajahnya sendiri. "Kok muka saya begini?"Saat ini Nara melihat wajahnya sendiri yang ternodai make up yang menor."Maaf
"Apa?" Nara dan Agas kompak berteriak kaget."Kok kamu ngomongnya gitu?" Agas bertanya bingung.Bima kemudian menjawab dengan kepala tertunduk. "Habisnya mama enggak pulang-pulang. Mama enggak sayang sama aku."Tampak Agas menarik napas panjang sebelum menanggapi perkataan Bima. "Enggak begitu. Papa sama mama sayang banget sama Bima. Cuman kami punya kesibukan aja. Maafin kami ya, Nak."Nara yang melihat Bima murung jadi tidak tega. "Bima, kamu pulang dulu ya sama papa kamu. Nanti kalau mau main sama tante, bisa datang ke sini."Bima memandang Nara dengan tatapan seperti mencari tahu apakah Nara bicara dengan jujur atau tidak."Yaudah, Bima pulang dulu sama papa. Nanti kalau Bima mau main sama tante cantik harus mau ya.""Iya." Nara mengangguk mengiyakan."Janji kelingking," pinta Bima sambil mengarahkan kelingkingnya pada Nara."Janji kelingking," balas Nara menuruti permintaan Bima.Setelah itu Bima akhirnya mau pulang bersama Agas."Terima kasih ya, Nara. Kamu sudah jagain Bima sej
Nara akhirnya tidak sanggup menghadapi situasi canggung ini. Dia sigap berdiri lalu berkata pada Bima. "Maaf ya Bima. Ada yang harus tante kerjakan. Kamu lanjut makan sama papa kamu aja ya."Bima tampak sedih ketika mendengarnya. "Tapi kan aku belum selesai makan, tante.""Maaf ya Bima," ucap Nara dengan ekspresi tidak enak.Agas yang sadar kalau Nara merasa terbebani dengan sikap Bima akhirnya ikut bicara. "Ya sudah kamu balik aja, Nara. Bima masih ada saya kok yang urus. Maaf ya tadi repotin kamu.""Kalau begitu saya pamit dulu ya, Pak." Nara berkata pada Agas lalu beralih pada Bima. "Tante pergi dulu. Nanti kita main lagi ya, Bima."Akhirnya Bima tidak menahan Nara pergi meskipun anak itu terlihat tidak rela. Kemudian Nara pun keluar dari ruangan Agas dengan lancar.~~~"Nara ...."Nara berhenti sejenak setelah mendengar seseorang memanggil namanya. Kemudian dia berbalik dan mendapati Agas sedang berjalan ke arahnya."Iya, Pak?" tanya Nara dengan sopan."Saya minta maaf tadi Bima j
Nara benar-benar dibuat panik karena Bima yang tiba-tiba kesakitan. Airmata Bima terasa seperti pisau yang menyayat hatinya. Nara berusaha keras menenangkan Bima yang kulitnya sudah muncul ruam-ruam kemerahan.Alergi. Itulah yang langsung terlintas di pikiran Nara karena itu dia sigap menggendong Bima untuk membawanya ke rumah sakit.Untungnya masih ada motor milik Lia yang belum Nara kembalikan sehingga dia tidak susah mencari kendaraan lain untuk mengantarkan Bima ke rumah sakit."Sakit, tante. Gatal sekali," erang Bima sambil menangis."Sabar dulu ya Bima. Bentar lagi kita sampai di rumah sakit," ucap Nara dengan tetap fokus menyetir.Tidak lama kemudian Nara akhirnya sampai di rumah sakit terdekat dari rumahnya. Nara segera membawa Bima ke UGD."Suster, tolong keponakan saya. Dia kayaknya alergi," ujar Nara pada salah satu suster yang penjaga.Beruntung saat itu tidak banyak pasien yang datang ke IGD sehingga Bima bisa segera ditangani."Sakiitt, tante. Hiks ..."Nara tidak tega m
"Maaf, tadi saya enggak sengaja," ucap Agas yang terkejut saat dirinya membuka pintu tanpa terduga bibirnya tidak sengaja mengecup dahi Nara.Sementara Nara juga sama terkejutnya saat merasakan bibir Agas menyentuh dahinya. Kepalanya menunduk saking malunya."Eng ...." Nara benar-benar salah tingkah.Sebenarnya Agas juga merasa malu tetapi dia juga cemas dengan keadaan anaknya jadi segera bertanya pada Nara. "Bagaimana keadaan Bima?"Pertanyaan Agas membuat suasana canggung mereka memudar. Nara segera menjawab, "Sudah membaik. Maafkan saya, Pak. Saya tidak tahu kalau Bima itu alergi udang."Agas sama sekali tidak menunjukkan kemarahan sama sekali. "Jangankan kamu, saya sebagai ayahnya juga tidak tahu. Jadi jangan terlalu menyalahkan dirimu sendiri." "Ngomong-ngomong, cepat sekali bapak sampai. Saya pikir Mbak Tasya yang akan lebih dulu tiba," kata Nara."Saya lagi jalan ke arah rumah kamu pas Mbak Tasya nelpon. Jadi put
Riri memandang heran pria yang ada di hadapannya. Seingatnya dia tidak pernah pria ini, tapi kenapa orang ini malah ada di depan pintu apartemennya."Perkenalkan nama saya Sugeng, pengacara utusan Pak Agas Pratama," kata pria itu seakan tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Riri."Pengacara?" Riri menatap bingung pria di hadapannya. "Ada urusan apa ya?"Entah mengapa ada firasat tidak enak yang menggelitiknya. Namun begitu dia ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh pengacara dari suaminya ini. "Bisakah kita membicarakannya di dalam, Bu?" tanya Sugeng dengan sopan.Riri berpikir sejenak. Sebenarnya dia agak tidak nyaman membiarkan orang asing masuk ke dalam apartemennya, tapi dia lebih tidak nyaman kalau harus bicara di luar begini. Dengan profesinya dan juga skandalnya yang masih 'panas', akan sangat tidak aman kalau dia sampai dipotret.Pada akhirnya Riri membiarkan Sugeng masuk ke dalam apartemennya. Mereka duduk berseberangan di ruang tamu. Kemudian percakapan mereka berlanjut."J
"Meskipun dia anak kandungmu, tapi jangan seenaknya menemuinya." Kalimat itu yang sepintas terdengar oleh Aldi dan membuatnya merasa bingung. Perlu diketahui, Aldi telah menyelidiki wanita itu cukup menyeluruh karena perintah Agas. Sejauh yang telah Aldi selidiki, wanita yang merupakan ibu tiri dari Nara itu bukan sedang bersama dengan suaminya sendiri. Karena Aldu telah melihat wajah dari ayah kandung Nara. Tidak salah lagi, pria itu memang bukanlah Prayoga. "Apa maksudnya tadi?" gumam Aldi bertanya-tanya.Namun perhatiannya kemudian teralihkan karena Lia telah keluar dari toilet."Maaf agak lama, ayo kita lanjut jalan."Pada akhirnya Aldi harus menunda masalah itu karena dia tidak mau mengganggu waktu spesialnya bersama Lia.Beberapa hari sejak Aldi tidak sengaja bertemu Maya, dia telah menyelidiki lebih jauh dan menemukan sesuatu yang menurutnya cukup penting."Jadi maksudnya, Aurel itu bukan anak kandung Prayoga?" kata Agas saat Aldi memberitahunya masalah itu.Aldi mengangguk
Apa yang ingin ditunjukkan oleh Lia ternyata sebuah undangan yang mana tercetak nama mereka berdua.Aldi merasa terpesona dengan desainnya yang indah. Sungguh seperti mimpi bagi Aldi, tinggal menghitung hari, dia akan segera mempersunting sang pujaan hati."Apa bagus?" tanya Lia. "Kalau ada yang mau kamu tambahkan, bilang sama aku, biar nanti aku minta revisi. Ini baru sample aja.""Cuma satu aja? Bukannya kalau sample biasanya lebih dari satu?" tanya Aldi."Emang lebih dari satu sih, cuma aku langsung jatuh cinta sama sample yang ini," jawab Lia. "Ya, kalau kamu kurang suka desain yang ini, kita bisa minta desain lain.""Gak usah. Kalau kamu suka yang ini, aku juga pilih yang ini," sahut Aldi sambil tersenyum.~~~Sudah dua minggu sejak Agas tahu kalau Riri bukanlah ibu kandung Bima, dia sama sekali belum membuat langkah apapun selain memecat pembantunya. Justru dia menutupi masalah itu dan tidak membesarkannya.Orang lain tidaklah melihat perubahan yang ada dalam diri Agas. Seolah-o
Tepatnya beberapa jam yang lalu Agas tidak hanya meminta Aldi untuk mencari pelaku kekerasan pada Bima tetapi juga untuk menjalankan tugasnya melakukan tes DNA.Agas meminta Aldi mengambil sesuatu dari laci di ruang kantornya. Berupa sample rambut milik Bima dan Riri.Sebenarnya belakangan ini Agas merasakan keraguan samar tentang hubungan antara Riri dan Bima. Padahal mereka adalah ibu dan anak tapi wanita itu tampak tidak suka dekat dengan anaknya sendiri.Sample ini Agas dapat saat tidak sengaja melihat sisir bekas dipakai Riri. Ada sehelai rambut yang menyangkut di sana. Saat itu entah dari dorongan apa, Agas memutuskan menyimpan sample tersebut.Bukannya Agas tidak pernah berpikir untuk mengetesnya. Sudah berkali-kali pikiran itu terus terbesit namun ketika sampai pada praktiknya, dia merasa ragu. Entah karena alasan apa karena dia sendiri tidak tahu.Lebih tepatnya, nurani Agas agak segan untuk melakukannya. Mengingat sejak awal menikah dengan Riri, dia tidak bisa memberikan apa
Aldi tampak terdiam sejenak, tidak langsung menjawab pertanyaan dari Agas. Sebelum akhirnya tetap mengatakannya. "Pelakunya adalah ibu Riri, Pak."Tidak ada perubahan besar pada ekspresi Agas saat mendengar ucapan Aldi, karena pada dasarnya sejak awal Agas sendiri sudah curiga pada Riri.Namun begitu masih belum membuat Agas mengerti, mengapa ada seorang ibu yang tidak memiki kasih sayang pada anaknya sendiri."Oke. Terima kasih," kata Agas kemudian menutup telepon.Tangan Agas mengepal kuat, jelas sekali kalau saat ini dia sedang marah. "Kali ini, sudah terlalu jauh, Riri."Setelah mengatakan itu, Agas kembali ke kamar rawat untuk pamit kepada ibunya. Kemudian keluar lagi untuk pergi entah kemana.Satu jam kemudian, SUV Hitam milik Agas memasuki kediamannya sendiri. Rupanya dia langsung pulang dari rumah sakit. Namun bukan dengan tujuan untuk beristirahat melainkan hal lain. Agas berjalan masuk ke rumah dengan wajahnya yang serius. Namun dia tidak pergi ke arah kamarnya, tapi menuju
Satria memandang perempuan di hadapannya dengan sorot mata yang tajam. Sementara perempuan itu tampak santai-santai saja."Gue pinjem bentar, kamar mandinya," ujar perempuan itu sambil berjalan melewatinya.Satria sampai terbengong-bengong, meski hanya sesaat karena dia langsung melontarkan pertanyaan lagi. "Heh, lo itu siapa sih? Masuk ke kamar orang sembarangan. Maling ya?"Ucapan 'Maling ya?' seakan jadi pemicu, perempuan langsung berbalik cepat dengan wajah galak. "Apa lo bilang? Siapa yang lo panggil maling?""Elo! Siapa lagi?" sahut Satria tidak kalah galak. "Sekarang jawab pertanyaan gue, elo itu siapa? Kenapa elo ada di kamar gue?!"Perempuan itu tampak tertegun. Tatapannya yang galak melemah berganti rasa heran. "Jangan-jangan ...."Alis Satria mengerut dan matanya terus memandang wajah perempuan itu tanpa mengalihkan pandangan, tampak jelas pria itu sedang menunggu apa yang akan selanjutnya dikatakan perempuan itu."Jangan-jangan elo gak ngenalin wajah adek kandung lu sendir
Agas buru-buru pergi ke rumah sakit setelah menerima kabar dari wali kelas kalau anaknya pingsan."Gimana keadaan Bima, Bu guru?" tanya Agas pada wali kelas Bima karena saat dia sampai di sana, Agas hanya melihat gurunya Bima saja."Sudah ditangani oleh dokter tadi, Pak Agas. Anu ...," ucap sang guru, tampak masih memiliki sesuatu yang belum dikatakan."Ada apa, Bu guru? Apa masih ada hal penting yang perlu saya tahu?" tanya Agas tanpa menyudutkan. "Katakan saja, Bu."Meski awalnya ragu, akhirnya wali kelas Bima mengatakannya. "Pak Agas, kondisi Bima tidak sesederhana yang kita pikirkan.""Maksudnya bagaimana Bu guru? Apa anak saya punya penyakit serius?" Agas bertanya dengan ekspresi yang tampak masih tenang, walaupun sebenarnya di dalam hati dia sedang cemas.Mana mungkin dia bisa tenang-tenang saja di saat anak semata wayangnya sedang sakit ini."Ada tanda-tanda kekerasan di tubuh Bima.""Apa?!" Agas membeku. "Maksudnya bagaimana, Bu? Saya gak pernah lihat ...."Sebelum Agas menyel
"Sampai sekarang, gak ada kabar apapun dari Nara. Apa dia baik-baik saja?" gumam Lia dengan sedih.Aldi, yang saat ini sedang berada di samping Lia, berusaha menghibur calon istrinya agar tenang."Jangan khawatir, Nara pasti baik-baik aja," kata Aldi sambil menghapus airmata sang kekasih.Lia menatap Aldi dalam diam. Dia merasa tersentuh dengan perhatian Aldi yang lembut. Hal itu membuatnya teringat dengan kebaikan Aldi yang mau menunda pernikahan mereka sampai ada kabar yang jelas.Sudah berbulan-bulan, kabar itu masih tidak jelas. Lia bertanya-tanya mau ditunda seberapa lama lagi. Dia merasa bersalah pada Aldi dan keluarganya akan keinginannya yang egois ini."Kenapa diem aja?" tanya Aldi yang merasakan tatapan Lia yang intens."Ayo lanjutkan rencana pernikahan kita berdua," kata Lia dengan yakin, setelah dipikir-pikir, mungkin ini yang seharusnya dia lakukan.Mata Aldi sedikit mengerjap saat mendengar penuturan Lia. Dia diam beberapa saat sebelum akhirnya menjawab, "Jangan dipaksak
"Satria gak mau dijodohkan sama siapapun itu," kata Satria, entah sudah berapa kali dia mengatakan itu seminggu belakangan ini.Sejak Risa yang datang ke ruang rawat Nara untuk menyampaikan pesan mamanya Satria, ternyata kejutan yang dimaksud oleh Risa itu mengenai perjodohan yang direncanakan oleh kedua orangtua Satria.Sungguh gagasan yang membuat Satria sakit kepala. Dia benar-benar tidak mengerti kenapa kedua orangtuanya begitu ngotot untuk menjodohkannya. Memangnya dia tidak bisa mencarinya sendiri?"Kali ini harus mau," kata papanya Satria yang bernama Umar. "Papa udah janji sama sahabat papa.""Yang bikin janji papa, kenapa aku yang harus jadi korban?" sahut Satria merasa tidak adil."Coba aja ketemu dulu," kata Umar."Gak mau. Pokoknya gak mau," balas Satria dengan tegas. Setelah mengatakan hal itu, Satria pamit pergi."Anak itu, benar-benar," ujar Umar dengan geram, tapi tidak menghentikan anaknya pergi."Sudahlah, Pa. Kalau Satrianya gak mau, jangan dipaksa," ucap istri Umar