"Maaf, tadi saya enggak sengaja," ucap Agas yang terkejut saat dirinya membuka pintu tanpa terduga bibirnya tidak sengaja mengecup dahi Nara.Sementara Nara juga sama terkejutnya saat merasakan bibir Agas menyentuh dahinya. Kepalanya menunduk saking malunya."Eng ...." Nara benar-benar salah tingkah.Sebenarnya Agas juga merasa malu tetapi dia juga cemas dengan keadaan anaknya jadi segera bertanya pada Nara. "Bagaimana keadaan Bima?"Pertanyaan Agas membuat suasana canggung mereka memudar. Nara segera menjawab, "Sudah membaik. Maafkan saya, Pak. Saya tidak tahu kalau Bima itu alergi udang."Agas sama sekali tidak menunjukkan kemarahan sama sekali. "Jangankan kamu, saya sebagai ayahnya juga tidak tahu. Jadi jangan terlalu menyalahkan dirimu sendiri." "Ngomong-ngomong, cepat sekali bapak sampai. Saya pikir Mbak Tasya yang akan lebih dulu tiba," kata Nara."Saya lagi jalan ke arah rumah kamu pas Mbak Tasya nelpon. Jadi put
Nara membekap bibirnya sendiri karena tidak bisa berkata-kata."Anaknya Mas Adam?" tanya Nara memastikan.Lia mengangguk lemah. "Aku harus bagaimana, Ra?"Nara sama sekali tidak tahu harus menanggapinya. "Rencana Mbak Lia bagaimana?" tanya Nara."Aku tidak mau memiliki anak dari orang seperti Adam, tapi setelah aku hamil begini, tidak mungkin aku menggugurkannya." Lia berkata begitu. "Dan aku juga tidak mau memberitahu Adam. Ini anakku sendiri. Bukan anaknya.""Kalau begitu jangan beritahu Mas Adam." Nara pun setuju dan mendukung keputusan Lia."Masalahnya, bagaimana caraku menghadapi papa? Kalau papa tahu bisa-bisa aku dipaksa nikah sama Adam. Aku enggak mau nikah sama Adam." Mendengar itu membuat Nara ikut pusing karena dia tahu papanya Lia itu orang yang tegas. Kadang-kadang Nara saja masih merasa segan kalau bertemu dengan papanya Lia."Gimana kalau Mbak Lia sembunyi dulu," ucap Nara mencoba memberikan salam."Tidak mungkin. Pekerjaanku ini tidak bisa ditinggal sampai berbulan-b
"Saya ibunya Agas. Neneknya Bima. Kamu yang namanya Nara ya? Yang kata seringkali dibilang tante cantik sama Bima?" ucap seorang wanita paruh baya yang memperkenalkan dirinya sebagai ibu dari Agas.Nara buru-buru menyalami ibu Agas. "Maaf tante. Aku baru bangun.""Enggak papa. Ini masih pagi. Lagian tante ngerti kok kalau kamu pasti capek setelah jagain Bima. Makasih ya perhatiannya," ucap ibu Agas dengan senyuman ramah.Nara membalas senyumannya dengan sopan sambil berkata, "Aku seneng kok tante bisa nemenin Bima. Dia anak yang menggemaskan."Ibu Agas tampak senang mendengar pendapat Nara tentang cucunya. Senyumannya tampak semakin lebar. "Memang anak itu selalu bikin orang terhibur.""Iya, tante." Nara berkata sambil melirik ke sekelilingnya, mencari keberadaan Agas yang sedari Nara bangun tidak tampak juga."Nyari Agas?" tanya ibu Agas seperti biasa menebak isi pikiran Nara."Iya, tante. Tadi malam kayaknya nginep juga," jawab Nara terus terang meski bisa dibilang tadi malam itu su
Nara melihat kedatangan perempuan yang sama dengan yang pernah dia lihat di kafe waktu itu. Memasuki ruangan Agas tiba-tiba dan langsung meneriaki CEO perusahaan ini. Padahal hampir semua pegawai di kantor ini selalu segan pada Agas."Kenapa kamu membekukan semua ATM aku? Kamu tahu enggak sih? Aku ini lagi belanja tas branded terus pas mau bayar malah gak bisa. Kan malu banget," ucap perempuan itu memulai omelannya pada Agas.Namun Agas hanya diam saja, hanya saja Nara melihat ekspresinya dingin pada perempuan itu."Jangan diem aja dong, Mas. Pokoknya batalin pembekuan ATM aku."Nara seperti terpaku di tempat, untuk sesaat dia tidak bisa bereaksi lebih cepat. Namun akhirnya dia merasa tidak terlalu tepatnya kalau masih berada di sini dan mendengarkan hal ini.Nara pun diam-diam menggerakkan troli dengan sangat hati karena tidak mau menarik perhatian.Pelan-pelan tapi pasti dia akhirnya bisa keluar dari sana. Kemudian bertatap muka dengan Pak Aldi yang memandangnya penuh makna."Mbak Na
Alis Nara terangkat sedikit, tampak sedang berpikir keras siapa yang sedang berbicara dengannya ini karena Nara tidak bisa mengingatnya. Meski begitu dia juga agak-agak familiar. Hanya saja tidak terlalu ingat."Hayo lupa ya?" ucap orang itu menebak dengan pasti apa yang sedang Nara pikirkan.Nara jadi tersenyum malu sambil garuk-garuk kepala tidak jelas. "Maaf ya, gue agak lupa.""Ternyata bener lupa. Gue ini Ervan, temen SMP lo. Bukannya kita sama-sama ikutan OSIS waktu itu, inget gak?" jawab orang itu.Nara berpikir sejenak lalu sekilas bayangan anak berkacamata yang sering kali bersama Agas saat SMP dulu."Oh iya, gue ingat. Yang sekelas sama Agas kan?" tanya Nara untuk memastikan."Akhirnya inget juga," kata Ervan. "Omong-omong lagi ngapain lo jongkok di sini tadi?""Ini gue lagi nyari mangga muda buat temen gue yang lagi ngidam. Katanya pengen makan rujak buah eh malah enggak ketemu-ketemu mangga mudanya. Padahal gue udah datengi lima supermarket. Pusing banget gue," ucap Nara y
Nara langsung panik begitu melihat papanya Lia yang membuka pintu."Om ....""Nara, ada apa? Kamu nyariin Lia?" tanya papanya Lia yang heran dengan kedatangan Nara di tengah malam begini."Iya Om. Nara tadi bilang mau nginep di rumah Mbak Lia. Tapi Nara ada urusan penting jadi kemaleman gini, Om," kata Nara yang tentu saja bohong."Oh begitu. Ya udah masuk kalau begitu." Nara menurut masuk setelah dipersilahkan oleh papanya Lia. Namun dia masih agak canggung dengan situasi ini."Kamu langsung aja masuk ke kamarnya Lia. Dia udah tidur," jelas papanya Lia."Udah tidur, Om?" kata Nara sedikit terkejut.Nara sedikit kecewa dengan itu. Padahal dia sudah berusaha keras mencari mangga muda kemana-mana sampai harus minta ke Agas, tapi setelah semua bahan lengkap, bumil yang mengidamnya malah tidur. Ya nasib."Kalau aku ke kamar Mbak Lia dulu ya Om," kata Nara pamit pada papanya Nara.Namun dia tidak benar-benar ke kamar Lia dulu. Melainkan mampir ke dapur untuk meletakkan bahan-bahan yang di
Nara dan Lia langsung memucat saat menyadari kehadiran papanya Lia. Rujak buah yang tadi terasa enak tiba-tiba menjadi hambar."Kenapa malah diam? Tidak ada yang mau menjawab?"Nara saling melempar pandangan dalam diam dengan Lia seolah-olah berdiskusi siapa yang akan menjawab pertanyaan papanya Lia tersebut."Aku yang hamil, Pa." Lia akhirnya yang menjawab.Tampak raut wajah papanya Lia berubah jadi lebih serius dan garang. Nara bisa melihat ada amarah di matanya tapi kemarahannya tidak meledak. Namun bagi Nara dan Lia itu terasa lebih menegangkan."Siapa pria yang menghamili kamu? Adam?" tanya papanya Lia dengan suara seperti desisan.Lia tidak menjawabnya kali ini. Hanya menundukkan kepala tidak berani menatap langsung mata papanya."Papa tanya sekali lagi siapa yang sudah menghamili kamu? Pacar kamu Adam?" tanya papanya Lia dengan ekspresi lebih serius.Lia sampai tidak berani terus-terusan bungkam. "Iya Pa. Ini anaknya Adam.""Kalau begitu minta dia ke sini sekarang juga," perint
Lia tampak tercengang dengan ucapan papanya yang sangat cepat membawa kembali seorang laki-laki yang akan dijadikan calon suaminya.Sementara Nara juga sangat terkejut karena laki-laki yang dibawa oleh Om Rizal itu tidak lain adalah Pak Aldi, sekertaris dari Agas di kantor.Dunia benar-benar terasa sempit."Maksud papa itu apa?" tanya Lia kewalahan. Padahal baru beberapa jam lalu dia panik karena ketahuan hamil oleh papanya ditambah disuruh menikah dengan pria pilihan papanya. Sekarang papanya kembali memberi kejutan pada Lia karena begitu cepatnya sang papa membawa pria yang katanya akan jadi 'calon suaminya'.Di satu sisi Nara bisa menebak apa arah pembicaraan mereka selanjutnya. Dia merasa tidak pantas baginya menyaksikan masalah keluarga orang lain meski ini sahabatnya sendiri. Buru-buru Nara berpamitan pada Om Rizal dan Pak Aldi. Dia bahkan sampai mengabaikan tatapan memohon Lia. Untungnya Om Rizal langsung menyetujuinya.Nara segera berjalan pergi meninggalkan mereka bertiga y
Riri memandang heran pria yang ada di hadapannya. Seingatnya dia tidak pernah pria ini, tapi kenapa orang ini malah ada di depan pintu apartemennya."Perkenalkan nama saya Sugeng, pengacara utusan Pak Agas Pratama," kata pria itu seakan tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Riri."Pengacara?" Riri menatap bingung pria di hadapannya. "Ada urusan apa ya?"Entah mengapa ada firasat tidak enak yang menggelitiknya. Namun begitu dia ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh pengacara dari suaminya ini. "Bisakah kita membicarakannya di dalam, Bu?" tanya Sugeng dengan sopan.Riri berpikir sejenak. Sebenarnya dia agak tidak nyaman membiarkan orang asing masuk ke dalam apartemennya, tapi dia lebih tidak nyaman kalau harus bicara di luar begini. Dengan profesinya dan juga skandalnya yang masih 'panas', akan sangat tidak aman kalau dia sampai dipotret.Pada akhirnya Riri membiarkan Sugeng masuk ke dalam apartemennya. Mereka duduk berseberangan di ruang tamu. Kemudian percakapan mereka berlanjut."J
"Meskipun dia anak kandungmu, tapi jangan seenaknya menemuinya." Kalimat itu yang sepintas terdengar oleh Aldi dan membuatnya merasa bingung. Perlu diketahui, Aldi telah menyelidiki wanita itu cukup menyeluruh karena perintah Agas. Sejauh yang telah Aldi selidiki, wanita yang merupakan ibu tiri dari Nara itu bukan sedang bersama dengan suaminya sendiri. Karena Aldu telah melihat wajah dari ayah kandung Nara. Tidak salah lagi, pria itu memang bukanlah Prayoga. "Apa maksudnya tadi?" gumam Aldi bertanya-tanya.Namun perhatiannya kemudian teralihkan karena Lia telah keluar dari toilet."Maaf agak lama, ayo kita lanjut jalan."Pada akhirnya Aldi harus menunda masalah itu karena dia tidak mau mengganggu waktu spesialnya bersama Lia.Beberapa hari sejak Aldi tidak sengaja bertemu Maya, dia telah menyelidiki lebih jauh dan menemukan sesuatu yang menurutnya cukup penting."Jadi maksudnya, Aurel itu bukan anak kandung Prayoga?" kata Agas saat Aldi memberitahunya masalah itu.Aldi mengangguk
Apa yang ingin ditunjukkan oleh Lia ternyata sebuah undangan yang mana tercetak nama mereka berdua.Aldi merasa terpesona dengan desainnya yang indah. Sungguh seperti mimpi bagi Aldi, tinggal menghitung hari, dia akan segera mempersunting sang pujaan hati."Apa bagus?" tanya Lia. "Kalau ada yang mau kamu tambahkan, bilang sama aku, biar nanti aku minta revisi. Ini baru sample aja.""Cuma satu aja? Bukannya kalau sample biasanya lebih dari satu?" tanya Aldi."Emang lebih dari satu sih, cuma aku langsung jatuh cinta sama sample yang ini," jawab Lia. "Ya, kalau kamu kurang suka desain yang ini, kita bisa minta desain lain.""Gak usah. Kalau kamu suka yang ini, aku juga pilih yang ini," sahut Aldi sambil tersenyum.~~~Sudah dua minggu sejak Agas tahu kalau Riri bukanlah ibu kandung Bima, dia sama sekali belum membuat langkah apapun selain memecat pembantunya. Justru dia menutupi masalah itu dan tidak membesarkannya.Orang lain tidaklah melihat perubahan yang ada dalam diri Agas. Seolah-o
Tepatnya beberapa jam yang lalu Agas tidak hanya meminta Aldi untuk mencari pelaku kekerasan pada Bima tetapi juga untuk menjalankan tugasnya melakukan tes DNA.Agas meminta Aldi mengambil sesuatu dari laci di ruang kantornya. Berupa sample rambut milik Bima dan Riri.Sebenarnya belakangan ini Agas merasakan keraguan samar tentang hubungan antara Riri dan Bima. Padahal mereka adalah ibu dan anak tapi wanita itu tampak tidak suka dekat dengan anaknya sendiri.Sample ini Agas dapat saat tidak sengaja melihat sisir bekas dipakai Riri. Ada sehelai rambut yang menyangkut di sana. Saat itu entah dari dorongan apa, Agas memutuskan menyimpan sample tersebut.Bukannya Agas tidak pernah berpikir untuk mengetesnya. Sudah berkali-kali pikiran itu terus terbesit namun ketika sampai pada praktiknya, dia merasa ragu. Entah karena alasan apa karena dia sendiri tidak tahu.Lebih tepatnya, nurani Agas agak segan untuk melakukannya. Mengingat sejak awal menikah dengan Riri, dia tidak bisa memberikan apa
Aldi tampak terdiam sejenak, tidak langsung menjawab pertanyaan dari Agas. Sebelum akhirnya tetap mengatakannya. "Pelakunya adalah ibu Riri, Pak."Tidak ada perubahan besar pada ekspresi Agas saat mendengar ucapan Aldi, karena pada dasarnya sejak awal Agas sendiri sudah curiga pada Riri.Namun begitu masih belum membuat Agas mengerti, mengapa ada seorang ibu yang tidak memiki kasih sayang pada anaknya sendiri."Oke. Terima kasih," kata Agas kemudian menutup telepon.Tangan Agas mengepal kuat, jelas sekali kalau saat ini dia sedang marah. "Kali ini, sudah terlalu jauh, Riri."Setelah mengatakan itu, Agas kembali ke kamar rawat untuk pamit kepada ibunya. Kemudian keluar lagi untuk pergi entah kemana.Satu jam kemudian, SUV Hitam milik Agas memasuki kediamannya sendiri. Rupanya dia langsung pulang dari rumah sakit. Namun bukan dengan tujuan untuk beristirahat melainkan hal lain. Agas berjalan masuk ke rumah dengan wajahnya yang serius. Namun dia tidak pergi ke arah kamarnya, tapi menuju
Satria memandang perempuan di hadapannya dengan sorot mata yang tajam. Sementara perempuan itu tampak santai-santai saja."Gue pinjem bentar, kamar mandinya," ujar perempuan itu sambil berjalan melewatinya.Satria sampai terbengong-bengong, meski hanya sesaat karena dia langsung melontarkan pertanyaan lagi. "Heh, lo itu siapa sih? Masuk ke kamar orang sembarangan. Maling ya?"Ucapan 'Maling ya?' seakan jadi pemicu, perempuan langsung berbalik cepat dengan wajah galak. "Apa lo bilang? Siapa yang lo panggil maling?""Elo! Siapa lagi?" sahut Satria tidak kalah galak. "Sekarang jawab pertanyaan gue, elo itu siapa? Kenapa elo ada di kamar gue?!"Perempuan itu tampak tertegun. Tatapannya yang galak melemah berganti rasa heran. "Jangan-jangan ...."Alis Satria mengerut dan matanya terus memandang wajah perempuan itu tanpa mengalihkan pandangan, tampak jelas pria itu sedang menunggu apa yang akan selanjutnya dikatakan perempuan itu."Jangan-jangan elo gak ngenalin wajah adek kandung lu sendir
Agas buru-buru pergi ke rumah sakit setelah menerima kabar dari wali kelas kalau anaknya pingsan."Gimana keadaan Bima, Bu guru?" tanya Agas pada wali kelas Bima karena saat dia sampai di sana, Agas hanya melihat gurunya Bima saja."Sudah ditangani oleh dokter tadi, Pak Agas. Anu ...," ucap sang guru, tampak masih memiliki sesuatu yang belum dikatakan."Ada apa, Bu guru? Apa masih ada hal penting yang perlu saya tahu?" tanya Agas tanpa menyudutkan. "Katakan saja, Bu."Meski awalnya ragu, akhirnya wali kelas Bima mengatakannya. "Pak Agas, kondisi Bima tidak sesederhana yang kita pikirkan.""Maksudnya bagaimana Bu guru? Apa anak saya punya penyakit serius?" Agas bertanya dengan ekspresi yang tampak masih tenang, walaupun sebenarnya di dalam hati dia sedang cemas.Mana mungkin dia bisa tenang-tenang saja di saat anak semata wayangnya sedang sakit ini."Ada tanda-tanda kekerasan di tubuh Bima.""Apa?!" Agas membeku. "Maksudnya bagaimana, Bu? Saya gak pernah lihat ...."Sebelum Agas menyel
"Sampai sekarang, gak ada kabar apapun dari Nara. Apa dia baik-baik saja?" gumam Lia dengan sedih.Aldi, yang saat ini sedang berada di samping Lia, berusaha menghibur calon istrinya agar tenang."Jangan khawatir, Nara pasti baik-baik aja," kata Aldi sambil menghapus airmata sang kekasih.Lia menatap Aldi dalam diam. Dia merasa tersentuh dengan perhatian Aldi yang lembut. Hal itu membuatnya teringat dengan kebaikan Aldi yang mau menunda pernikahan mereka sampai ada kabar yang jelas.Sudah berbulan-bulan, kabar itu masih tidak jelas. Lia bertanya-tanya mau ditunda seberapa lama lagi. Dia merasa bersalah pada Aldi dan keluarganya akan keinginannya yang egois ini."Kenapa diem aja?" tanya Aldi yang merasakan tatapan Lia yang intens."Ayo lanjutkan rencana pernikahan kita berdua," kata Lia dengan yakin, setelah dipikir-pikir, mungkin ini yang seharusnya dia lakukan.Mata Aldi sedikit mengerjap saat mendengar penuturan Lia. Dia diam beberapa saat sebelum akhirnya menjawab, "Jangan dipaksak
"Satria gak mau dijodohkan sama siapapun itu," kata Satria, entah sudah berapa kali dia mengatakan itu seminggu belakangan ini.Sejak Risa yang datang ke ruang rawat Nara untuk menyampaikan pesan mamanya Satria, ternyata kejutan yang dimaksud oleh Risa itu mengenai perjodohan yang direncanakan oleh kedua orangtua Satria.Sungguh gagasan yang membuat Satria sakit kepala. Dia benar-benar tidak mengerti kenapa kedua orangtuanya begitu ngotot untuk menjodohkannya. Memangnya dia tidak bisa mencarinya sendiri?"Kali ini harus mau," kata papanya Satria yang bernama Umar. "Papa udah janji sama sahabat papa.""Yang bikin janji papa, kenapa aku yang harus jadi korban?" sahut Satria merasa tidak adil."Coba aja ketemu dulu," kata Umar."Gak mau. Pokoknya gak mau," balas Satria dengan tegas. Setelah mengatakan hal itu, Satria pamit pergi."Anak itu, benar-benar," ujar Umar dengan geram, tapi tidak menghentikan anaknya pergi."Sudahlah, Pa. Kalau Satrianya gak mau, jangan dipaksa," ucap istri Umar