Seperti yang diminta oleh Senja, hari ini Mentari tidak menemui asisten Surya Sanjaya yang bernama Devan, yang kebetulan memiliki nama yang sama dengan stalker-nya dulu. Cewek itu jadi memiliki waktu luang setelah pertemuan Senja dan kliennya di salah satu restoran saat jam makan siang. Begitu kembali ke kantor, yang dilakukan Mentari adalah menyelesaikan pekerjaannya yang memang hanya tersisa sedikit, kemudian duduk manis di meja kerjanya sambil membolak-balik majalah fashion. Sesekali, Mentari akan bermain ponsel dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk menghela napas sambil cemberut. Bosan, gila! “Tar, mendingan lo pergi jalan-jalan ke mana, gitu,” usul Niko, yang kebetulan melewati meja kerja Mentari saat dia baru kembali dari toilet. Cowok itu menyeringai geli. “Lo keliatan bosan setengah mampus. Tiga bangunan dari sini, ada kedai yang baru buka. Dia jual jajanan pasar gitu. Camilan-camilan, lah. Sebangsa cilok, cimol dan masih banyak lagi.”
Beberapa menit sebelumnya....Senja Abimana mendorong laptopnya dan bersandar di kursinya. Cowok itu mendesah berat seraya memijat pangkal hidungnya. Lelah sekali. Entah kenapa, Senja merasa hari ini jauh lebih berat daripada biasanya. Padahal, mau dirinya bekerja sesibuk dan sekeras apa pun, Senja tidak akan pernah merasa kelelahan. Bahkan, ketika mendiang Serena meninggal dunia, Senja justru lebih menyibukkan diri demi bisa melupakan kesedihannya, kehilangannya dan keterpurukannya. “Kenapa sama gue?” gumam Senja dengan nada berat dan lelah. Dia bangkit dari singgasananya setelah melihat jarum jam pada jam dinding. Sudah pukul setengah tiga. Tadi, Awan memberi informasi bahwa dia akan bertemu dengan asisten Surya Sanjaya sekitar jam satu siang. Cowok itu mempercepat jam temunya karena memang sore nanti dia ingin bersantai-santai di rumah. Sahabatnya itu baru saja diputuskan oleh salah satu pacarnya karena ketahuan berpacaran dengan cewek lain. Memang benar-ben
Mentari Chrysalis benar-benar cantik. Devan merasa beruntung bisa melihat Mentari dari jarak sedekat ini. Niatnya hari ini hanyalah untuk menguntit Mentari, seperti yang selalu dia lakukan sejak SMA dulu. Kalau bukan karena ancaman dan perjanjian sialan kakak Mentari dengan orang tuanya, juga dirinya sendiri, dulu, mungkin Devan sudah banyak melakukan pendekatan dengan Mentari selepas mereka lulus SMA. Ya. Kalau saja bukan karena Gerhana sialan itu. Devan tentu saja kaget, ketika ada orang yang meneleponnya dan berkata janji temunya dengan Mentari dipercepat. Well, kaget sekaligus tidak merasa terganggu. Itu artinya, dia bisa bertemu dengan Mentari lebih cepat. Sayangnya, begitu dia muncul di tempat yang sudah disepakati, bukan Mentari Chrysalis yang hadir, melainkan seorang cowok bernama Awan. Sahabat Senja Abimana, bos dari Mentari dan orang yang akan menjalin hubungan kerjasama dengan atasannya, Surya Sanjaya. Ketika dirinya menanyakan keberadaan
“Jingga!” Seruan itu membuat Jingga, sahabat dekat Mentari, menoleh. Cewek itu memaksakan seulas senyum dan menelan ludah susah payah. Okelah, target obsesinya Devan memang bukan dirinya, melainkan Mentari. Tapi, tetap saja, sepak terjang cowok itu dalam hal menjadi penguntit bagi Mentari membuat Jingga ikutan ketar-ketir di tempatnya. Bukan hal yang aneh, kan, kalau dirinya juga menjadi takut dan menjaga jarak dengan Devan sejak dulu? Bagaimana kalau Devan mengubah targetnya dari Mentari menjadi dirinya? Tidak, bukan karena dirinya geer. Jingga tahu, kok, Mentari itu sangat cantik dan manis. Maksudnya di sini adalah, bagaimana jika Devan kesal karena tidak bisa mendapatkan Mentari dan beralih menjadikannya sebagai korban? You know, pelampiasan. Mana udah malam begini, pula! Gerutu Jingga di dalam hati. Samar, dia melirik ke sekitarnya dan suasana cukup sepi. Kenapa juga gue ketiban sial harus ketemu Devan di sekitar sini, malam-malam begini? “Hai, Dev. Kok ada
Mentari Jingga sudah bersiap untuk tidur karena besok pagi dia harus pergi ke kantor pagi-pagi sekali dan menemani Senja untuk rapat dengan beberapa klien, ketika pintu kamarnya diketuk. Cewek itu, yang sudah mengenakan piyama berwarna kuning dengan gambar Pikachu pada bagian depannya, buru-buru mendekati pintu. Saat dibuka, Mentari tersenyum kala wajah tampan sang kakak muncul. Cowok itu memang tersenyum, tapi ada yang berbeda dengan senyumannya. “Kak Erhan?” Mentari memang lebih suka memanggil Gerhana dengan panggilan Erhan. “Ada apa, Kak? Baru aja aku mau tidur.” Gerhana mengusap tengkuknya. Merasa sedikit bersalah karena sudah mengganggu adik kesayangannya yang tengah bersiap untuk tidur. “Tumben jam segini tidur. Masih jam setengah sembilan, loh.” “Besok aku harus nemenin bos galak rapat dengan berbagai macam jenis dan bentuk klien, Kak,” sahut Mentari dengan nada bete. Dia bersedekap. “Maksud aku, pasti kelakuan para klien itu baka
“Lo sakit?” Pertanyaan itu membuat Mentari yang mendengarnya, sibuk menahan tawa. Dia masih berada di ruangan Senja dan sedang membereskan pekerjaan cowok itu yang tinggal tersisa sedikit saja. Dan, tentu saja atas instruksi dan petunjuk dari Senja. Mentari juga merapikan ruangan Senja dan barang-barang Senja yang akan dibawa pulang. Sama seperti Senja, Awan yang baru saja tiba karena dihubungi oleh Mentari itu seolah tidak percaya dengan kabar tersebut. Senja mengedikan bahu. “Sepertinya begitu.” “Nggak mungkin,” geleng Awan. “Lo bukan manusia, Sen. Lo robot. Nggak mungkin lo sakit. Selama ini lo nggak pernah sakit.” Cowok itu kemudian diam dan nampak berpikir. “Eh? Pernah, deh. Sekali apa dua kali, gitu. Tapi, itu juga nggak bisa disebut sakit. Orang cuma flu biasa.” “Pak Awan, dengan segala hormat, flu biasa yang baru aja Bapak sebut-sebut itu juga dinamakan sebuah penyakit,” gerutu Mentari. Dia sudah selesai merapikan semuanya. “Nah,
Awan melirik ke arah Senja. Sahabatnya itu sedang tertidur. Entah tidur beneran atau hanya berpura-pura memejamkan kedua mata demi menghindari obrolan tidak penting dengannya. Oke, tidak masalah. Awan juga merasa cukup untuk menyentil sisi Senja hari ini. Dia lantas menatap kaca spion tengah mobilnya dan mengawasi Mentari. Cewek itu tadi terlihat sangat khawatir dan panik, namun saat ini Mentari mencoba untuk mengalihkannya dengan bermain ponsel. Dan, sepertinya hal itu berhasil, melihat ujung bibir Mentari melengkung ke atas untuk membentuk sebuah senyuman. “Mentari.” “Hm? Iya, Pak?” Mentari mengangkat wajahnya dari ponsel yang dipegangnya. Dia balas menatap Awan melalui kaca spion tengah yang sama. “Kenapa, Pak?” “Gimana kabar lo setelah ketemu sama Devan tempo hari? Apa lo baik-baik aja? Seingat gue, waktu itu lo nggak terlalu baik.” Awan tersenyum dan menambahkan. “Oh, tapi kalau lo nggak mau bahas masalah ini juga nggak apa-apa, kok
“Tante Mentari!” Seruan riang dari Angelica Abimana itu membuat Mentari tersenyum lebar. Dia segera berjongkok dan merentangkan kedua tangan, kemudian menangkap Angelica yang lari ke dalam pelukannya. Melihat itu, Senja tersenyum tipis, mengusap kepala Angelica dan melanjutkan langkah. Kemudian, Senja duduk di sofa dan bersandar di sana. Dia menaruh kepalanya di kepala sofa dan memejamkan kedua mata. Rasanya benar-benar lelah dan tidak enak sekali. Mungkin tadi dia hanya merasa demam dan sakit kepala, tapi sekarang hidungnya mulai terasa mampet dan tenggorokannya juga menjadi tidak enak untuk menelan. Sucks! “Sen, apa nggak sebaiknya lo ke dokter? Gue bisa antar. Kalau lo nggak mau ke mana-mana, biar gue yang bawa dokternya ke sini.” Awan menaruh barang-barang Senja di atas sofa, di dekat Senja, lalu ikut duduk di sana. Dia menatap cemas ke arah Senja, kemudian melirik Mentari yang kini sibuk bermain dan tertawa dengan Angelica di dekat pintu masuk.
Embun mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh. Dia memang tidak bisa berbuat banyak untuk saat ini, karena dirinya hanya membawa Caesar seorang. Sementara itu, anak buah Senja Abimana mungkin memenuhi setiap sudut dari kediaman Abimana ini. Embun melirik Caesar yang tak berkutik di tempatnya, di mana sebuah pisau mengancam akan menyayat nadi di lehernya detik ini juga. Matanya lantas kembali memusat pada Mentari yang berada dalam pelukan protektif dari Senja. Sial! Cewek ingusan itu benar-benar membuatnya darah tinggi. Dia sangat membenci Mentari Chrysalis. Embun harus segera melenyapkan Mentari, bagaimanapun caranya. Tapi, saat ini bukanlah waktu yang tepat. Dia akan memberikan sedikit kemenangan untuk cewek sialan itu dan Embun lah yang akan tertawa di akhir nantinya. “Oke.” Embun menatap tajam ke arah Senja. “Aku akan mengalah. Tapi, tolong suruh Devan keluar sekarang juga karena aku benar-benar harus bicara dengannya.”
Tadinya, Mentari memang hanya akan menunggu di kamar Angelica Abimana sampai semuanya selesai. Tapi, perasaannya entah kenapa semakin tidak enak. Cewek itu tidak bisa tenang. Pikirannya melantur ke mana-mana, takut jika sesuatu yang buruk terjadi pada Senja dan Awan. Dia juga sudah mengirimkan pesan singkat kepada kakak dan sahabatnya, Gerhana dan Samudra, bahwa keadaan mulai tidak terkendali. Gerhana berkata dia sangat setuju dengan Senja yang menyuruh Mentari untuk berdiam diri di kamar Angelica, dan dia juga akan menyuruh beberapa anak buah Senja yang ada bersamanya untuk memeriksa keadaan bos mereka tersebut. Namun, tetap saja Mentari tidak bisa tenang. “Jingga, kayaknya gue bakalan nyusul Senja, deh,” kata Mentari dengan nada tegas, setegas tatapan matanya saat ini. Mentari tersenyum ke arah Angelica yang barusan menatapnya dan melambaikan tangan ke arahnya. “Gue khawatir sama dia.” “Jangan!” tegas Jingga. “Tar, pak Senja jelas-jelas nggak mau
Ketika Awan membuka pintu depan rumah Senja, cowok itu langsung disambut dengan wajah datar dan tatapan dingin milik Embun Kurniawan. Di samping cewek itu, Awan melihat seorang cowok berjas hitam yang dia kenali sebagai Caesar, tangan kanan dari Embun. Awan memasang senyum terbaiknya. Meski begitu, dia juga memasang sikap waspada. Ruang makan cukup jauh dari pintu utama, sehingga kalau Embun berniat untuk menyerangnya dengan bantuan Caesar, maka yang perlu dilakukan oleh tangan kanan Embun itu hanyalah memukulnya hingga jatuh tak sadarkan diri, dan menculiknya. Urusan jika Embun akan menyekapnya, menyiksanya atau bahkan melenyapkannya, Awan tidak akan memikirkannya terlebih dahulu. “Halo.” Awan menyapa dengan nada ramah yang selalu dia berikan kepada orang lain, siapa pun itu. “Kok tiba-tiba datang ke sini? Mau ketemu Senja, ya? Sori, tapi Senja lagi ada jamuan makan malam sama rekan-rekan bisnisnya yang lain. Jadi, kayaknya dia nggak bisa nemuin lo dulu.”
“APA?!” Caesar hanya diam dan menunduk. Dia tidak mungkin balas menatap kedua manik Embun Kurniawan yang saat ini sedang marah besar. Caesar baru saja memberikan informasi bahwa Devan datang ke rumah Senja Abimana bersama atasannya, Surya Sanjaya, karena Senja mengadakan perjamuan makan malam. Menurut informasi juga, di sana Senja akan mengumumkan pertunangannya dengan Mentari Chrysalis. “Dia berani bertindak sendirian, tanpa perintah dari gue?!” desis Embun tidak terima. Cewek itu berteriak marah dan melempar vas yang berada di atas meja. Entah sudah berapa vas yang dia lemparkan di ruangan ini. Napasnya memburu karena amarah dan matanya mulai memerah karena amarah yang sama. “Dasar berengsek! Jadi, dia mau main-main sama gue, setelah gue berbaik hati menawarkan kerjasama untuk memisahkan Senja dan Mentari?” Embun menyisir rambutnya dengan menggunakan jemarinya dan mencoba untuk menenangkan diri. Tidak. Dia tidak bisa tenang. Cewek itu lantas menggigiti kuku j
Mentari Chrysalis gugup. Dia sudah tahu mengenai rencana ini. Novan dan Kael, yang memiliki teman yang akan menyamar menjadi dirinya, bersiap di tempat yang sudah direncanakan. Nantinya, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau rencana Senja dan yang lainnya mulai terlihat tidak bagus dan mengarah ke kekacauan, Mentari akan berpura-pura pamit ke kamar mandi dan yang akan menggantikan dirinya adalah teman dari Novan dan Kael yang menyamar menjadi cewek itu. “Kamu gugup?” tanya Senja. Cowok itu baru saja tiba di ruang tamu, tempat di mana Mentari sedang duduk dan memikirkan semua hal yang akan terjadi ke depannya. Dia akan bertemu lagi dengan Devan dan akan membuat orang lain terlibat. Bahkan Surya Sanjaya. Walau pria itu belum tahu duduk permasalahannya yang sebenarnya, tapi tetap saja Mentari sudah menyeretnya ke dalam masalah pribadinya dan Senja. Mentari mengangguk dan langsung memeluk erat tubuh Senja yang duduk di sampingnya. Dia memejamk
Begitu mengetahui bahwa Mentari Chrysalis sudah kembali masuk kantor dari orang suruhannya, Devan langsung bertindak. Cowok itu sudah tidak sabar lagi untuk mengeksekusi rencananya. Masa bodoh dengan Embun Kurniawan. Mungkin Embun sudah membantunya untuk mensukseskan rencananya. Dan rencana itu memang berasal dari Embun sendiri. Hanya saja bagi Devan, jika Senja Abimana masih ada di muka bumi ini dan terus berkeliaran di sisi Mentari, maka Devan tidak akan bisa menang. Jadi, dia harus melenyapkan cowok itu tanpa sepengetahuan Embun. Mungkin Devan bisa membuat kejadian seolah-olah Senja mengalami kecelakaan. Ya, cara seperti itu sangat umum dilakukan oleh orang-orang di luar sana yang ingin membunuh orang lain yang mereka benci. “Devan, kamu sudah mau pulang?” Pertanyaan itu membuat Devan mengerjap dan menoleh. Dia tersenyum sopan ke arah Surya Sanjaya, bosnya yang bekerjasama dengan Senja Abimana dan mendukung hubungan Senja dengan Mentari. Benar-be
“Pesan? Pesan apa?” Mentari tidak langsung menjawab. Cewek itu turun dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi yang memang ada di setiap kamar tidur di villa Abimana ini. Ketika Mentari keluar, cewek itu langsung memeluk dirinya sendiri yang mulai menggigil karena terkena air dingin. Lupa bahwa dia berada di daerah yang suhunya cukup dingin, ditambah hujan deras sejak kemarin. Tanpa buang waktu, Mentari melompat ke atas ranjang dan langsung meringkuk dibalik selimut tebalnya. Melihat itu, senyum geli terbit di bibir Senja dan cowok itu langsung memeluk erat tubuh Mentari yang terbungkus rapat selimut tebal. Sudah seperti sebuah kepompong. “Gigi kamu bergemeletuk, Tari. Aku sampai merinding dengarnya. Lagian, kenapa kamu nggak pakai air hangat tadi di kamar mandi?” tanya Senja sambil mengusap lembut kepala kekasihnya itu. Jengkel, Mentari mendongak untuk menatapnya. “Aku mana ingat? Orang aku udah kebelet begitu,” gerutunya. “Oh, omong-omong soal pesa
“Err... Pak Senja Abimana?” Panggilan dari Mentari yang menggunakan nada sarkas itu—karena dia baru saja menyindir dengan menggunakan kata sapaan ‘pak’ pada nama Senja—membuat Senja meliriknya dan meninggalkan deretan kalimat yang tertera di dalam majalah bisnis di tangannya. Saat ini, Senja sedang duduk bersandar di ranjang, dengan kedua kaki terjulur dan disembunyikan dibalik selimut. Yang menjadi masalah adalah, cowok itu tidak melakukannya di dalam kamarnya sendiri, melainkan di kamar yang ditempati oleh Mentari Chrysalis, kekasihnya. “Ya, calon Nyonya Abimana?” Respon itu membuat Mentari merona dan berdeham untuk menutupi kegugupannya. Dia memasang wajah cemberut, kemudian memutar tubuhnya agar bisa berhadapan dengan Senja yang kembali tenggelam dalam majalah bisnisnya tersebut. “Kenapa kamu malah tidur di sini?” “Harus ada orang yang menjaga dan mengawasi kamu, Tari,” jawab Senja santai. “Dan lagi, kakak kamu udah setuj
“Lemari baju? Racun? Sidik jari?” Senja mengulangi kata-kata Mentari dan langsung membuka telapak tangannya, meminta Mentari untuk menunggu. Sementara itu, tangannya yang satu lagi dia pakai untuk mengusap wajahnya, lagi. “Tunggu dulu. Maksud kamu itu apa, Tari? Serena? Mendiang istriku, maksud kamu? Kenapa kamu tiba-tiba membicarakan Serena?” Mentari tahu, omongannya barusan memang cukup sulit untuk dipercaya. Dia, yang bahkan tidak pernah menyangka jika Serena diracuni secara perlahan hingga meninggal dunia, yang selalu memikirkan dan menerka-nerka sejak dulu mengenai penyebab kematian Serena, tiba-tiba membicarakan hal tersebut di hadapan Senja Abimana. Tentu saja Senja akan terkejut dan bingung. Itu reaksi wajar. Yang tidak wajar adalah, jika Senja tiba-tiba mengangguk dan menelan semua perkataannya begitu saja, hanya karena cowok itu yang level kebucinannya sudah akut. Tak bisa diobati lagi. “Kamu ngelantur, ya?” tanya Gerhana. Dia menaruh tangannya di ken