Beberapa menit sebelumnya....
Samudra Pratama harus segera bertemu Mentari Chrysalis.
Karenanya, dia memacu motor sport-nya dengan kecepatan tinggi. Melaju di jalanan yang ramai, menyalip dan menghindari kendaraan lain dengan lincah dan tak kenal takut, seolah-olah dirinya sedang dirasuki oleh pembalap profesional. Melupakan sebuah fakta bahwa di boncengannya saat ini duduk sang sahabat sejak SMA, Jingga Saputri.
“Sam! Sam! Bisa pelan-pelan bawa motornya?!” teriak Jingga, mengatasi kebisingan di jalan sekitarnya. Dia sudah memeluk kuat pinggang Samudra, bahkan menarik jaket yang dipakainya, tapi sahabatnya itu tak juga tersadar. Ketakutan sudah menguasai diri Jingga saat ini. Ya, dia memang ingin bertemu dengan Mentari karena sudah lama tidak bertemu dan bermain bersama
“Woi! Lo berdua mau mati apa gimana, sih?! Ini bukan lagi zamannya Romeo dan Juliet! Ini udah era modern. Semua udah pada canggih dan kalian berdua masih berpikiran dangkal untuk mati bareng cuma karena masalah cinta?! Pasti ini ada kaitannya sama masalah cinta, nggak salah lagi!” Teriakan itu membuat Mentari tersadar dari kekagetannya. Dia, yang sejak tadi menatap Senja, kini menunduk. Jantungnya masih melakukan aksi demo, tapi sudah tidak seanarkis sebelumnya. Mungkin karena dia sudah sadar dan akal sehatnya mulai mengambil alih. Lalu, kening Mentari mengerut ketika dia mendengar sebuah geraman rendah dan berbahaya, disusul decakan. Saat dia memutuskan untuk mendongak lagi, karena firasatnya mengatakan ada sesuatu yang buruk sedang mendekatinya, firasatnya itu menjadi kenyataan. Karena detik ini, Senja Abimana sudah melepaskan pelukan eratnya setelah memastikan Mentari baik-baik saja, kemudian memutar tubuh dan meninju kap mobil yang hampir menabrak Mentari. Matanya menyorot sang
“Pengecut? Lo berani ngatain gue pengecut?!” teriak Samudra, seraya berdiri dan menegakkan punggungnya. Cowok itu dibakar emosinya dengan sangat baik oleh Senja. Apinya semakin membesar tatkala dia melihat cowok tua sialan itu hanya diam dan menatapnya dengan tatapan mengejek sambil tersenyum mencemooh. Sebelah tangannya mengepal dengan kuat dan jari telunjuknya mengarah pada wajah Senja. Sementara itu, di tempatnya, Mentari semakin cemas dan panik. Dia melirik ke sekitarnya dan beberapa kerumunan mulai tercipta. Tentu saja mereka merasa kepo dengan keributan yang ditimbulkan oleh Senja dan Samudra. Mentari mendadak menjadi heran. Kenapa kedua cowok itu tidak bisa bersikap elegan dan selayaknya orang dewasa, seperti indah dan elegannya nama dari mereka berdua? 
Es krim? Mentari membatin. Niatnya untuk semakin menangis, kini terhenti. Dengan wajah dan tatapan polos, Mentari menatap Senja. Dia menyeka air mata di pipinya, lalu memiringkan kepala. Bos galaknya itu lagi-lagi keluar dari karakter aslinya. Entah ini memang karakter sebenarnya dari Senja Abimana atau bukan. Mentari malas memikirkannya. Yang jelas, sikap Senja seperti ini cukup menghibur Mentari. Terlebih, Senja mengalihkan wajahnya dan masih mengusap tengkuknya. Seolah-olah, dia tidak ingin ada orang lain, termasuk Mentari, yang melihat sikapnya tersebut. “Angel kalau nangis, pasti selalu tenang lagi kalau udah saya beliin es krim,” kata Senja menambahkan. Dia berdeham dan melirik Mentari. Sekretarisnya itu benar-benar terlihat sangat polos sekarang, persis anak semata wayangnya. “Jadi, kalau kamu mau, saya
“Ini rumah pak Awan?” Mentari menatap takjub ke arah rumah mewah di hadapannya. Tadi, Senja mengatakan bahwa dia harus berbicara dengan Awan dan menyelesaikan sebuah masalah terlebih dahulu. Sebagai gantinya, Mentari boleh memesan makanan atau minuman apa pun secara online, dan berjanji akan membelikan es krim untuknya dalam perjalanan pulang nanti. Mentari bahkan tidak berpikir dua kali untuk mengangguk. Apa pun untuk makanan dan minuman gratis. “Saya jadi takut kalau kamu akan diculik ke depannya karena kamu gampang banget disogok pakai makanan dan minuman gratis,” kata Senja dengan nada bete. Dia menutup pintu penumpang ketika Mentari sudah keluar dari sana dan masih mengagumi rumah Awan. “What are you, a five years old kid?” Mentari tidak memedulikan komentar pedas dan ejekan dari bosnya tersebut. Dia masih sibuk mengagumi keindahan rumah mewah Awan. Melihat hal tersebut, sifat kompetitifnya Senja mendadak keluar. Dia mendengus dan berjalan sambil bersedekap, dengan Mentari y
Senja mengerutkan kening karena Mentari hanya diam saja. Cowok itu mengangkat kepalanya dari tangan Mentari yang sedang dia periksa, menatap wajah Mentari yang nampak sedikit pucat. Tatapan matanya terlihat kaget, dan saat Senja menyadari ke mana arah kedua mata sekretarisnya itu menatap, Senja mengikutinya. Dia menaikkan satu alis ketika melihat Awan mengulum senyum dan melambaikan tangan ke arahnya. “What are you doing?” tanya cowok itu dengan nada curiga dan menegakkan punggung. “What do you mean, ‘what am I doing’?” Awan balas bertanya. Cowok itu mengangkat ponsel di tangannya. “Gue lagi main hp, waktu gue dengar suara barang pecah. Lagian, dari tadi kan juga gue ngobrol sama lo di sini.”
Karena ada insiden tak terduga di rumah Awan, alhasil Senja jadi tidak bisa meminta saran dari sahabatnya itu untuk masalah Embun Kurniawan. Setelah makan malam, Senja dan Mentari pamit pulang. Diantar oleh Awan, ketiganya bergegas menuju mobil Senja yang diparkir di halaman depan rumah Awan. Sesampainya di depan mobil Senja, cowok itu berbicara sebentar dengan sang sahabat, sementara Mentari nampak melamun. Tadi, perhatiannya teralihkan oleh makanan-makanan dan minuman serta dessert yang begitu lezat, hingga melupakan percakapannya dengan Awan mengenai sikap Senja yang terasa spesial untuk Mentari di kedua mata Awan, juga bagaimana sikap Senja sangat jauh dari kata galak dan menyebalkan seperti biasanya. Aduh! Mati, gue! Mana bisa napas gue nanti karena harus ada di dalam mobil pak Senja dan berduaan aja sama dia? Ment
Senja Abimana merasa aneh pada dirinya sendiri. Dia selalu mendapati diri tidak bisa membiarkan Mentari lolos dari pengawasannya. Cewek yang usianya sepuluh tahun lebih muda darinya itu membuat Senja mengeluarkan sifat protektif yang sama, seperti yang dia lakukan dulu terhadap mendiang Serena dan juga pada anak semata wayangnya, Angelica Abimana. Menurut Senja, sekretarisnya itu benar-benar naif dan polos. Ajaib? Ya. Senja harus mengakuinya. Tapi, untuk ukuran wanita dewasa seusia Mentari Chrysalis, jelas sifat naif dan polos bukanlah kata yang tepat dan pas. Karena itulah, Senja selalu merasa harus menjaganya, entah kenapa. Mungkin karena kenaifan dan kepolosannya itu selalu membuatnya berada dalam masalah, seperti yang sedang dia alami dengan Samudra, atau bisa membuatnya dalam masalah karena terperangkap tipu daya laki-laki predator macam Awan, sahabatnya. Lalu, dia mendadak kesal karena barusan, tiba-tiba saja, Mentari berkata ingin pulang bers
Mobil Senja Abimana sampai di depan rumah Mentari Chrysalis. Untung saja, kesalahpahaman yang terjadi, di mana Senja mengira Mentari terkena serangan jantung dan sudah panik serta berniat membawanya ke rumah sakit, selesai. Setelah menjelaskan bahwa dirinya baik-baik saja dan hanya merasa tidak enak badan sedikit, Senja langsung melajukan mobilnya dengan kencang, namun tetap fokus dan hati-hati agar Mentari bisa segera sampai di rumah dan beristirahat. “Loh? Loh? Bapak mau ngapain itu buka sabuk pengaman segala?” tanya Mentari dengan nada bingung dan kening mengerut. Dia memiringkan kepala dan cemberut saat Senja tidak menjawabnya dan justru keluar dari mobil lebih dulu. Kemudian, Mentari melihat bos galaknya itu memutar mobil depan dan membukakan pintu untuknya. Sial! Hanya dengan perhatian kecil seperti itu saja sudah membu
Embun mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh. Dia memang tidak bisa berbuat banyak untuk saat ini, karena dirinya hanya membawa Caesar seorang. Sementara itu, anak buah Senja Abimana mungkin memenuhi setiap sudut dari kediaman Abimana ini. Embun melirik Caesar yang tak berkutik di tempatnya, di mana sebuah pisau mengancam akan menyayat nadi di lehernya detik ini juga. Matanya lantas kembali memusat pada Mentari yang berada dalam pelukan protektif dari Senja. Sial! Cewek ingusan itu benar-benar membuatnya darah tinggi. Dia sangat membenci Mentari Chrysalis. Embun harus segera melenyapkan Mentari, bagaimanapun caranya. Tapi, saat ini bukanlah waktu yang tepat. Dia akan memberikan sedikit kemenangan untuk cewek sialan itu dan Embun lah yang akan tertawa di akhir nantinya. “Oke.” Embun menatap tajam ke arah Senja. “Aku akan mengalah. Tapi, tolong suruh Devan keluar sekarang juga karena aku benar-benar harus bicara dengannya.”
Tadinya, Mentari memang hanya akan menunggu di kamar Angelica Abimana sampai semuanya selesai. Tapi, perasaannya entah kenapa semakin tidak enak. Cewek itu tidak bisa tenang. Pikirannya melantur ke mana-mana, takut jika sesuatu yang buruk terjadi pada Senja dan Awan. Dia juga sudah mengirimkan pesan singkat kepada kakak dan sahabatnya, Gerhana dan Samudra, bahwa keadaan mulai tidak terkendali. Gerhana berkata dia sangat setuju dengan Senja yang menyuruh Mentari untuk berdiam diri di kamar Angelica, dan dia juga akan menyuruh beberapa anak buah Senja yang ada bersamanya untuk memeriksa keadaan bos mereka tersebut. Namun, tetap saja Mentari tidak bisa tenang. “Jingga, kayaknya gue bakalan nyusul Senja, deh,” kata Mentari dengan nada tegas, setegas tatapan matanya saat ini. Mentari tersenyum ke arah Angelica yang barusan menatapnya dan melambaikan tangan ke arahnya. “Gue khawatir sama dia.” “Jangan!” tegas Jingga. “Tar, pak Senja jelas-jelas nggak mau
Ketika Awan membuka pintu depan rumah Senja, cowok itu langsung disambut dengan wajah datar dan tatapan dingin milik Embun Kurniawan. Di samping cewek itu, Awan melihat seorang cowok berjas hitam yang dia kenali sebagai Caesar, tangan kanan dari Embun. Awan memasang senyum terbaiknya. Meski begitu, dia juga memasang sikap waspada. Ruang makan cukup jauh dari pintu utama, sehingga kalau Embun berniat untuk menyerangnya dengan bantuan Caesar, maka yang perlu dilakukan oleh tangan kanan Embun itu hanyalah memukulnya hingga jatuh tak sadarkan diri, dan menculiknya. Urusan jika Embun akan menyekapnya, menyiksanya atau bahkan melenyapkannya, Awan tidak akan memikirkannya terlebih dahulu. “Halo.” Awan menyapa dengan nada ramah yang selalu dia berikan kepada orang lain, siapa pun itu. “Kok tiba-tiba datang ke sini? Mau ketemu Senja, ya? Sori, tapi Senja lagi ada jamuan makan malam sama rekan-rekan bisnisnya yang lain. Jadi, kayaknya dia nggak bisa nemuin lo dulu.”
“APA?!” Caesar hanya diam dan menunduk. Dia tidak mungkin balas menatap kedua manik Embun Kurniawan yang saat ini sedang marah besar. Caesar baru saja memberikan informasi bahwa Devan datang ke rumah Senja Abimana bersama atasannya, Surya Sanjaya, karena Senja mengadakan perjamuan makan malam. Menurut informasi juga, di sana Senja akan mengumumkan pertunangannya dengan Mentari Chrysalis. “Dia berani bertindak sendirian, tanpa perintah dari gue?!” desis Embun tidak terima. Cewek itu berteriak marah dan melempar vas yang berada di atas meja. Entah sudah berapa vas yang dia lemparkan di ruangan ini. Napasnya memburu karena amarah dan matanya mulai memerah karena amarah yang sama. “Dasar berengsek! Jadi, dia mau main-main sama gue, setelah gue berbaik hati menawarkan kerjasama untuk memisahkan Senja dan Mentari?” Embun menyisir rambutnya dengan menggunakan jemarinya dan mencoba untuk menenangkan diri. Tidak. Dia tidak bisa tenang. Cewek itu lantas menggigiti kuku j
Mentari Chrysalis gugup. Dia sudah tahu mengenai rencana ini. Novan dan Kael, yang memiliki teman yang akan menyamar menjadi dirinya, bersiap di tempat yang sudah direncanakan. Nantinya, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau rencana Senja dan yang lainnya mulai terlihat tidak bagus dan mengarah ke kekacauan, Mentari akan berpura-pura pamit ke kamar mandi dan yang akan menggantikan dirinya adalah teman dari Novan dan Kael yang menyamar menjadi cewek itu. “Kamu gugup?” tanya Senja. Cowok itu baru saja tiba di ruang tamu, tempat di mana Mentari sedang duduk dan memikirkan semua hal yang akan terjadi ke depannya. Dia akan bertemu lagi dengan Devan dan akan membuat orang lain terlibat. Bahkan Surya Sanjaya. Walau pria itu belum tahu duduk permasalahannya yang sebenarnya, tapi tetap saja Mentari sudah menyeretnya ke dalam masalah pribadinya dan Senja. Mentari mengangguk dan langsung memeluk erat tubuh Senja yang duduk di sampingnya. Dia memejamk
Begitu mengetahui bahwa Mentari Chrysalis sudah kembali masuk kantor dari orang suruhannya, Devan langsung bertindak. Cowok itu sudah tidak sabar lagi untuk mengeksekusi rencananya. Masa bodoh dengan Embun Kurniawan. Mungkin Embun sudah membantunya untuk mensukseskan rencananya. Dan rencana itu memang berasal dari Embun sendiri. Hanya saja bagi Devan, jika Senja Abimana masih ada di muka bumi ini dan terus berkeliaran di sisi Mentari, maka Devan tidak akan bisa menang. Jadi, dia harus melenyapkan cowok itu tanpa sepengetahuan Embun. Mungkin Devan bisa membuat kejadian seolah-olah Senja mengalami kecelakaan. Ya, cara seperti itu sangat umum dilakukan oleh orang-orang di luar sana yang ingin membunuh orang lain yang mereka benci. “Devan, kamu sudah mau pulang?” Pertanyaan itu membuat Devan mengerjap dan menoleh. Dia tersenyum sopan ke arah Surya Sanjaya, bosnya yang bekerjasama dengan Senja Abimana dan mendukung hubungan Senja dengan Mentari. Benar-be
“Pesan? Pesan apa?” Mentari tidak langsung menjawab. Cewek itu turun dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi yang memang ada di setiap kamar tidur di villa Abimana ini. Ketika Mentari keluar, cewek itu langsung memeluk dirinya sendiri yang mulai menggigil karena terkena air dingin. Lupa bahwa dia berada di daerah yang suhunya cukup dingin, ditambah hujan deras sejak kemarin. Tanpa buang waktu, Mentari melompat ke atas ranjang dan langsung meringkuk dibalik selimut tebalnya. Melihat itu, senyum geli terbit di bibir Senja dan cowok itu langsung memeluk erat tubuh Mentari yang terbungkus rapat selimut tebal. Sudah seperti sebuah kepompong. “Gigi kamu bergemeletuk, Tari. Aku sampai merinding dengarnya. Lagian, kenapa kamu nggak pakai air hangat tadi di kamar mandi?” tanya Senja sambil mengusap lembut kepala kekasihnya itu. Jengkel, Mentari mendongak untuk menatapnya. “Aku mana ingat? Orang aku udah kebelet begitu,” gerutunya. “Oh, omong-omong soal pesa
“Err... Pak Senja Abimana?” Panggilan dari Mentari yang menggunakan nada sarkas itu—karena dia baru saja menyindir dengan menggunakan kata sapaan ‘pak’ pada nama Senja—membuat Senja meliriknya dan meninggalkan deretan kalimat yang tertera di dalam majalah bisnis di tangannya. Saat ini, Senja sedang duduk bersandar di ranjang, dengan kedua kaki terjulur dan disembunyikan dibalik selimut. Yang menjadi masalah adalah, cowok itu tidak melakukannya di dalam kamarnya sendiri, melainkan di kamar yang ditempati oleh Mentari Chrysalis, kekasihnya. “Ya, calon Nyonya Abimana?” Respon itu membuat Mentari merona dan berdeham untuk menutupi kegugupannya. Dia memasang wajah cemberut, kemudian memutar tubuhnya agar bisa berhadapan dengan Senja yang kembali tenggelam dalam majalah bisnisnya tersebut. “Kenapa kamu malah tidur di sini?” “Harus ada orang yang menjaga dan mengawasi kamu, Tari,” jawab Senja santai. “Dan lagi, kakak kamu udah setuj
“Lemari baju? Racun? Sidik jari?” Senja mengulangi kata-kata Mentari dan langsung membuka telapak tangannya, meminta Mentari untuk menunggu. Sementara itu, tangannya yang satu lagi dia pakai untuk mengusap wajahnya, lagi. “Tunggu dulu. Maksud kamu itu apa, Tari? Serena? Mendiang istriku, maksud kamu? Kenapa kamu tiba-tiba membicarakan Serena?” Mentari tahu, omongannya barusan memang cukup sulit untuk dipercaya. Dia, yang bahkan tidak pernah menyangka jika Serena diracuni secara perlahan hingga meninggal dunia, yang selalu memikirkan dan menerka-nerka sejak dulu mengenai penyebab kematian Serena, tiba-tiba membicarakan hal tersebut di hadapan Senja Abimana. Tentu saja Senja akan terkejut dan bingung. Itu reaksi wajar. Yang tidak wajar adalah, jika Senja tiba-tiba mengangguk dan menelan semua perkataannya begitu saja, hanya karena cowok itu yang level kebucinannya sudah akut. Tak bisa diobati lagi. “Kamu ngelantur, ya?” tanya Gerhana. Dia menaruh tangannya di ken