Suasana di restoran saat ini begitu ramai oleh para pengunjung yang ingin makan siang.
Restoran yang dipilih oleh Mentari adalah restoran Jepang. Tadi, saat Senja menyuruhnya untuk ikut dengannya guna mencari makan siang, cowok itu juga bertanya pada dirinya restoran mana yang dia ingin datangi. Berhubung sudah lama sekali dia tidak makan makanan Jepang dan janji yang dibuatnya bersama Gerhana batal karena kakaknya itu ada urusan penting mendadak, maka Mentari memutuskan untuk mengunjungi restoran tersebut.
“Pak,” panggil Mentari. Dia merasa sedikit risih dengan banyaknya orang yang keluar-masuk di restoran ini. Wajahnya mulai terlihat sedikit panik. Mentari memang terkadang suka merasa panik jika berada di kerumunan orang banyak. “Nanti kalau ada kenalan Bapak yang liat Bapak lagi makan siang sama saya, gimana?”
&n
Melihat Mentari yang melongo, Senja buru-buru berdeham dan meminum es lemonnya. “Maksud saya, udah sewajarnya bagi saya sebagai atasan kamu untuk melindungi kamu, pegawai saya, kan? Kalau hal ini menimpa pegawai yang lain juga, tentu saja saya akan melindungi mereka juga. Jadi, ini bukan perlindungan yang diberikan secara romantis. Jangan salah kaprah.” Barulah Mentari mengerti. Cewek itu tertawa dan mengucapkan terima kasih, lalu mulai menyantap makan siangnya. Sudah dia duga, tidak mungkin Senja Abimana melakukan hal yang sangat di luar karakter seperti itu. Dirinya saja yang sudah kegeeran. Dia melirik Senja yang kini terlihat bingung di tempatnya. Keningnya mengerut, sudah seperti lansia. “Bapak kenapa? Kok nggak makan?” tanya Mentari de
“Wha—“ Mentari Chrysalis tidak mampu berkata-kata. Wajahnya terasa sangat panas. Bahkan, dia bisa mendengar Angelica Abimana bertanya kenapa wajahnya saat ini terlihat begitu merah. Mentari juga baru menyadari satu hal mengenai bosnya tersebut. Ternyata, bukan hanya keluaran neraka, Senja Abimana juga merupakan iblis berwajah malaikat! Bagaimana tidak? Dia selalu bersikap dingin dan menyeramkan, tetapi di belakang, rupanya Senja memiliki sifat menyebalkan seperti ini yang berbeda seratus delapan puluh derajat sifat aslinya. “Hm... kamu kehilangan kemampuan untuk berbicara,” angguk Senja sambil mengusap dagunya. “Itu artinya, menurut kamu, saya memang ganteng. Well, selera kamu ternyata boleh juga. Saya setuju. Jangan sampai kamu malah naksirnya sama bocah kekanakkan seperti sahabat ka
Hei, Awan... ngapain lo menelepon Mentari tanpa seizin gue? Kalimat Senja itu membuat kening Awan mengerut. Izin? Dia harus meminta izin kepada Senja jika ingin menelepon Mentari Chrysalis? Perkembangan apa yang sudah dia lewati mengenai hubungan keduanya? Apa mereka bukan hanya sekadar bos dan sekretaris? Oho... ini benar-benar menarik. Sudah cukup lama sejak Serena meninggal dunia dan Senja baru lagi bersikap sangat protektif seperti ini kepada lawan jenis. “Hei? Lo budek?” tanya Senja lagi di ujung sana, membuat Awan tersadar dari lamunannya dan berdeham. Dia juga bisa mendengar seruan jengkel dari Mentari. Kemungkinan besar karena ponselnya direbut secara paksa oleh Senja. “Pak Senja, ini benar-benar tindakan semena-mena! Bapak suka seenaknya aja bersikap dan sekarang main ngerebut barang saya! Saya bisa melaporkan Bapak ke kantor polisi! Balikkin ponsel saya! Pak Awan itu mau ngomong sama saya, bukan sama Bapak!” Awan mengulum senyum dan menahan tawanya. Dia sudah bisa me
Baru kali ini Mentari Chrysalis merasa sangat takut pada Samudra Pratama. Ya, memang sahabatnya itu terkadang selalu marah-marah kepadanya, demi kebaikannya dan keselamatannya sendiri. Namun, tidak seperti sekarang, di mana cowok itu mengurungnya di dinding, mencengkeram lengannya dengan kuat hingga rasanya begitu nyeri dan memberinya tatapan tajam yang begitu menyeramkan. Mentari yang biasanya bersikap ceria dan tengil pun, kini seolah tidak bisa berkutik. Dia diam, menelan ludah, dan mati-matian menelan semua ketakutannya. Tapi, tubuh mungilnya tidak bisa berbohong. Tubuh itu gemetar hebat, namun Samudra seolah tidak bisa melihatnya. Jika dia menyadarinya, bukankah seharusnya cowok itu melepaskannya? “Lepasin gue, Sam!” seru Mentari, berusaha memperlihatkan keberaniannya. Bahwa dia tidak takut sama sekali dengan Samudra. Ini rumahnya, ini teritorinya. Tidak ada satu orang pun yang bisa semena-mena dengannya di tempat yang bisa membuatnya tenang dan nyaman. D
Uh-oh! Bahaya besar! Mentari tidak pernah menyangka dirinya akan melompat menjauh begitu saja, hanya karena Senja mencoba memegangnya. Semua ini karena perbuatan sialan Samudra semalam. Sepertinya, rasa trauma dan takut Mentari masih membekas di dalam dirinya. Bahkan untuk memaksa senyum saja, Mentari sangat sulit untuk melakukannya. Dia melakukannya sambil menunduk dan mengepalkan kedua tangan di sisi tubuhnya. Tidak berani mengangkat wajah untuk bertatapan dengan Senja, yang auranya bahkan sanggup membuat Mentari semakin menciut. “Mentari,” panggil Senja sekali lagi. Masih setegas barusan. Dia mengambil langkah mundur, menciptakan jarak karena mengerti ketakutan Mentari saat ini. Tiba-tiba saja magma dalam dirinya menggelegak, meminta dikeluarkan dalam bentuk cacian dan makian. “Saya akan tanya sekali lagi. Apa yang terjadi sama kamu, sampai kamu bisa setakut ini? Seolah-olah kamu... baru aja dilecehkan oleh orang lain.” Kalimat itu membuat Mentari mematung dan menyentak napasn
Sebenarnya, Mentari tidak langsung pulang ke rumah, ketika dia kabur dari kantornya karena dikejar-kejar oleh bos sialannya itu, saat jam makan siang. Cewek itu berjalan-jalan di mal, menyantap makan siang walaupun tidak bisa dia nikmati karena nafsu makannya hilang begitu saja, sibuk menghindari pengunjung mal lainnya yang berjenis kelamin cowok jika sudah terlalu dekat dengannya dan masih banyak lagi. Kalau diingat lagi, Mentari merasa usianya bertambah lima puluh tahun daripada usia sebenarnya. Dia sangat kelelahan, seperti seorang nenek-nenek. Terlebih mentalnya. Dan semua ini karena si sahabat berengseknya, Samudra. Mentari heran. Ada apa dengan perilaku Samudra akhir-akhir ini? Semenjak Samudra tahu mengenai interaksinya dengan sang bos, dan semenjak dia salah paham dengan ucapan Senja, Samudra seperti menjelma menjadi anggota Yakuza. Marah-marah terus kerjaannya. Puncaknya ya kejadian semalam itu. Mentari tidak bisa mengenali Samudra sama sekali. Dia tak
Tersadar dari kekagetannya akibat kalimat bernada sensual dari Senja barusan, Mentari mengerjap, berdeham dan mendengus. Cewek itu bersedekap dan memalingkan wajahnya. Namun, Mentari masih menyempatkan diri untuk sesekali melirik Senja yang terlihat mengulum senyum. Dan... ya Tuhan! Sungguh mahakarya Tuhan yang sangat sempurna. Keseksian duda beranak satu merangkap bos galaknya itu memang tidak ada duanya! “Jangan asal ngomong deh, Pak. Saya lagi malas bercanda soalnya,” kata Mentari dengan nada yang dibuat sebete mungkin. Dia kembali melirik Senja yang kini mengusap dagunya dan nampak sedang berpikir. Ada apa? “Aneh,” sahut Senja kemudian. Masih dengan nada suara serak seksinya itu. “Seingat saya, saya nggak ngajak kamu bercanda tadi. Saya serius.” “Hah?” Mentari melongo dan mematung ketika perlahan, Senja Abimana mendekatinya. Langkah yang begitu pelan dan tenang itu seharusnya bisa membuat Mentari kabur detik ini juga, kar
Awalnya, Senja berpikir mungkin masalah yang terjadi di antara Mentari dan Samudra hanyalah masalah persahabatan pada umumnya. Tapi, Gerhana berkata bahwa Samudra marah-marah kepada Mentari, di teras rumah Mentari, memojokkan Mentari ke dinding sambil mencengkeram kuat tangannya hingga Mentari kesakitan. Wajar kalau Gerhana marah dan mengusirnya. Jika Senja ada di tempat kejadian semalam, mungkin dia akan menendang Samudra lebih dulu, alih-alih hanya mengusirnya dengan ancaman seperti yang dilakukan oleh Gerhana. Dan lagi, perbuatan berengsek apa yang sudah dilakukan Samudra, yang katanya merupakan sahabat Mentari, kepada cewek itu? Ini bukanlah sikap seorang sahabat kepada sahabatnya sendiri, jika hal tersebut membuat si sahabat terluka bahkan ketakutan. Senja men
Embun mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh. Dia memang tidak bisa berbuat banyak untuk saat ini, karena dirinya hanya membawa Caesar seorang. Sementara itu, anak buah Senja Abimana mungkin memenuhi setiap sudut dari kediaman Abimana ini. Embun melirik Caesar yang tak berkutik di tempatnya, di mana sebuah pisau mengancam akan menyayat nadi di lehernya detik ini juga. Matanya lantas kembali memusat pada Mentari yang berada dalam pelukan protektif dari Senja. Sial! Cewek ingusan itu benar-benar membuatnya darah tinggi. Dia sangat membenci Mentari Chrysalis. Embun harus segera melenyapkan Mentari, bagaimanapun caranya. Tapi, saat ini bukanlah waktu yang tepat. Dia akan memberikan sedikit kemenangan untuk cewek sialan itu dan Embun lah yang akan tertawa di akhir nantinya. “Oke.” Embun menatap tajam ke arah Senja. “Aku akan mengalah. Tapi, tolong suruh Devan keluar sekarang juga karena aku benar-benar harus bicara dengannya.”
Tadinya, Mentari memang hanya akan menunggu di kamar Angelica Abimana sampai semuanya selesai. Tapi, perasaannya entah kenapa semakin tidak enak. Cewek itu tidak bisa tenang. Pikirannya melantur ke mana-mana, takut jika sesuatu yang buruk terjadi pada Senja dan Awan. Dia juga sudah mengirimkan pesan singkat kepada kakak dan sahabatnya, Gerhana dan Samudra, bahwa keadaan mulai tidak terkendali. Gerhana berkata dia sangat setuju dengan Senja yang menyuruh Mentari untuk berdiam diri di kamar Angelica, dan dia juga akan menyuruh beberapa anak buah Senja yang ada bersamanya untuk memeriksa keadaan bos mereka tersebut. Namun, tetap saja Mentari tidak bisa tenang. “Jingga, kayaknya gue bakalan nyusul Senja, deh,” kata Mentari dengan nada tegas, setegas tatapan matanya saat ini. Mentari tersenyum ke arah Angelica yang barusan menatapnya dan melambaikan tangan ke arahnya. “Gue khawatir sama dia.” “Jangan!” tegas Jingga. “Tar, pak Senja jelas-jelas nggak mau
Ketika Awan membuka pintu depan rumah Senja, cowok itu langsung disambut dengan wajah datar dan tatapan dingin milik Embun Kurniawan. Di samping cewek itu, Awan melihat seorang cowok berjas hitam yang dia kenali sebagai Caesar, tangan kanan dari Embun. Awan memasang senyum terbaiknya. Meski begitu, dia juga memasang sikap waspada. Ruang makan cukup jauh dari pintu utama, sehingga kalau Embun berniat untuk menyerangnya dengan bantuan Caesar, maka yang perlu dilakukan oleh tangan kanan Embun itu hanyalah memukulnya hingga jatuh tak sadarkan diri, dan menculiknya. Urusan jika Embun akan menyekapnya, menyiksanya atau bahkan melenyapkannya, Awan tidak akan memikirkannya terlebih dahulu. “Halo.” Awan menyapa dengan nada ramah yang selalu dia berikan kepada orang lain, siapa pun itu. “Kok tiba-tiba datang ke sini? Mau ketemu Senja, ya? Sori, tapi Senja lagi ada jamuan makan malam sama rekan-rekan bisnisnya yang lain. Jadi, kayaknya dia nggak bisa nemuin lo dulu.”
“APA?!” Caesar hanya diam dan menunduk. Dia tidak mungkin balas menatap kedua manik Embun Kurniawan yang saat ini sedang marah besar. Caesar baru saja memberikan informasi bahwa Devan datang ke rumah Senja Abimana bersama atasannya, Surya Sanjaya, karena Senja mengadakan perjamuan makan malam. Menurut informasi juga, di sana Senja akan mengumumkan pertunangannya dengan Mentari Chrysalis. “Dia berani bertindak sendirian, tanpa perintah dari gue?!” desis Embun tidak terima. Cewek itu berteriak marah dan melempar vas yang berada di atas meja. Entah sudah berapa vas yang dia lemparkan di ruangan ini. Napasnya memburu karena amarah dan matanya mulai memerah karena amarah yang sama. “Dasar berengsek! Jadi, dia mau main-main sama gue, setelah gue berbaik hati menawarkan kerjasama untuk memisahkan Senja dan Mentari?” Embun menyisir rambutnya dengan menggunakan jemarinya dan mencoba untuk menenangkan diri. Tidak. Dia tidak bisa tenang. Cewek itu lantas menggigiti kuku j
Mentari Chrysalis gugup. Dia sudah tahu mengenai rencana ini. Novan dan Kael, yang memiliki teman yang akan menyamar menjadi dirinya, bersiap di tempat yang sudah direncanakan. Nantinya, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau rencana Senja dan yang lainnya mulai terlihat tidak bagus dan mengarah ke kekacauan, Mentari akan berpura-pura pamit ke kamar mandi dan yang akan menggantikan dirinya adalah teman dari Novan dan Kael yang menyamar menjadi cewek itu. “Kamu gugup?” tanya Senja. Cowok itu baru saja tiba di ruang tamu, tempat di mana Mentari sedang duduk dan memikirkan semua hal yang akan terjadi ke depannya. Dia akan bertemu lagi dengan Devan dan akan membuat orang lain terlibat. Bahkan Surya Sanjaya. Walau pria itu belum tahu duduk permasalahannya yang sebenarnya, tapi tetap saja Mentari sudah menyeretnya ke dalam masalah pribadinya dan Senja. Mentari mengangguk dan langsung memeluk erat tubuh Senja yang duduk di sampingnya. Dia memejamk
Begitu mengetahui bahwa Mentari Chrysalis sudah kembali masuk kantor dari orang suruhannya, Devan langsung bertindak. Cowok itu sudah tidak sabar lagi untuk mengeksekusi rencananya. Masa bodoh dengan Embun Kurniawan. Mungkin Embun sudah membantunya untuk mensukseskan rencananya. Dan rencana itu memang berasal dari Embun sendiri. Hanya saja bagi Devan, jika Senja Abimana masih ada di muka bumi ini dan terus berkeliaran di sisi Mentari, maka Devan tidak akan bisa menang. Jadi, dia harus melenyapkan cowok itu tanpa sepengetahuan Embun. Mungkin Devan bisa membuat kejadian seolah-olah Senja mengalami kecelakaan. Ya, cara seperti itu sangat umum dilakukan oleh orang-orang di luar sana yang ingin membunuh orang lain yang mereka benci. “Devan, kamu sudah mau pulang?” Pertanyaan itu membuat Devan mengerjap dan menoleh. Dia tersenyum sopan ke arah Surya Sanjaya, bosnya yang bekerjasama dengan Senja Abimana dan mendukung hubungan Senja dengan Mentari. Benar-be
“Pesan? Pesan apa?” Mentari tidak langsung menjawab. Cewek itu turun dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi yang memang ada di setiap kamar tidur di villa Abimana ini. Ketika Mentari keluar, cewek itu langsung memeluk dirinya sendiri yang mulai menggigil karena terkena air dingin. Lupa bahwa dia berada di daerah yang suhunya cukup dingin, ditambah hujan deras sejak kemarin. Tanpa buang waktu, Mentari melompat ke atas ranjang dan langsung meringkuk dibalik selimut tebalnya. Melihat itu, senyum geli terbit di bibir Senja dan cowok itu langsung memeluk erat tubuh Mentari yang terbungkus rapat selimut tebal. Sudah seperti sebuah kepompong. “Gigi kamu bergemeletuk, Tari. Aku sampai merinding dengarnya. Lagian, kenapa kamu nggak pakai air hangat tadi di kamar mandi?” tanya Senja sambil mengusap lembut kepala kekasihnya itu. Jengkel, Mentari mendongak untuk menatapnya. “Aku mana ingat? Orang aku udah kebelet begitu,” gerutunya. “Oh, omong-omong soal pesa
“Err... Pak Senja Abimana?” Panggilan dari Mentari yang menggunakan nada sarkas itu—karena dia baru saja menyindir dengan menggunakan kata sapaan ‘pak’ pada nama Senja—membuat Senja meliriknya dan meninggalkan deretan kalimat yang tertera di dalam majalah bisnis di tangannya. Saat ini, Senja sedang duduk bersandar di ranjang, dengan kedua kaki terjulur dan disembunyikan dibalik selimut. Yang menjadi masalah adalah, cowok itu tidak melakukannya di dalam kamarnya sendiri, melainkan di kamar yang ditempati oleh Mentari Chrysalis, kekasihnya. “Ya, calon Nyonya Abimana?” Respon itu membuat Mentari merona dan berdeham untuk menutupi kegugupannya. Dia memasang wajah cemberut, kemudian memutar tubuhnya agar bisa berhadapan dengan Senja yang kembali tenggelam dalam majalah bisnisnya tersebut. “Kenapa kamu malah tidur di sini?” “Harus ada orang yang menjaga dan mengawasi kamu, Tari,” jawab Senja santai. “Dan lagi, kakak kamu udah setuj
“Lemari baju? Racun? Sidik jari?” Senja mengulangi kata-kata Mentari dan langsung membuka telapak tangannya, meminta Mentari untuk menunggu. Sementara itu, tangannya yang satu lagi dia pakai untuk mengusap wajahnya, lagi. “Tunggu dulu. Maksud kamu itu apa, Tari? Serena? Mendiang istriku, maksud kamu? Kenapa kamu tiba-tiba membicarakan Serena?” Mentari tahu, omongannya barusan memang cukup sulit untuk dipercaya. Dia, yang bahkan tidak pernah menyangka jika Serena diracuni secara perlahan hingga meninggal dunia, yang selalu memikirkan dan menerka-nerka sejak dulu mengenai penyebab kematian Serena, tiba-tiba membicarakan hal tersebut di hadapan Senja Abimana. Tentu saja Senja akan terkejut dan bingung. Itu reaksi wajar. Yang tidak wajar adalah, jika Senja tiba-tiba mengangguk dan menelan semua perkataannya begitu saja, hanya karena cowok itu yang level kebucinannya sudah akut. Tak bisa diobati lagi. “Kamu ngelantur, ya?” tanya Gerhana. Dia menaruh tangannya di ken