Hening.Udara di dalam ruang wardrobe masih terasa panas meski ciuman itu telah berakhir. Cheryl berdiri kaku, napasnya masih tersengal, jantungnya berdetak tidak beraturan. Tangannya yang gemetar meremas blusnya yang kini kusut dan terangkat dari dalam rok, memperlihatkan sedikit kulit pinggangnya.Di depannya, Bara tetap tenang, terlalu tenang. Jari-jarinya mengendurkan kerah kemejanya yang kusut, jejak dari genggaman Cheryl yang terlalu erat saat tadi ia kehilangan kendali. Ekspresi Bara tetap setenang permukaan air, hanya matanya yang menggelap, penuh sesuatu yang tidak ingin Cheryl artikan lebih dalam.Beberapa detik berlalu, lalu Cheryl menelan ludah dan akhirnya bersuara."Lucu sekali. Seingatku, dalam perjanjian kita, tidak ada keintiman fisik. Bukankah itu kesepakatannya?"Suaranya terdengar lebih mantap dari yang ia kira, meskipun bagian dalam dirinya masih bergemuruh.Bara tidak langsung merespons. Sebaliknya, pria itu memiringkan kepalanya sedikit, menatapnya dengan soro
“Kamu mau membantu?” suara Bara terdengar rendah, sedikit serak, tapi jelas-jelas berniat menggodanya.Cheryl tersentak, pipinya memanas. “A-apa?”Bara menatapnya dari ujung kepala hingga kaki, lalu melirik kemeja yang sudah setengah ia tarik dari gantungan. “Memilihkan baju,” sahutnya sambil menyeringai kecil, sorot matanya yang gelap dan tajam bermain-main di wajah Cheryl. “Kamu kan istriku, mungkin kamu punya preferensi tentang apa yang harus dipakai suamimu?”Sialan. Cheryl tahu pria ini hanya bermain-main dengannya. Seolah-olah, pernikahan siri mereka hanyalah sebuah permainan dan kesenangan iseng bagi pria itu. Ia mengeraskan rahangnya, berusaha mempertahankan harga dirinya di hadapan Bara yang jelas menikmati situasi ini.Cheryl menyilangkan tangan di depan dada, ekspresi wajahnya mencoba menampilkan ketidakpedulian meskipun hatinya berdebar keras.“Bodo amat. Pakai saja apa pun yang kamu mau. Atau lebih baik, jangan pakai apa-apa sekalian!”Bara tersenyum, dan Cheryl langsun
“Sepertinya aku sudah terlalu lama di sini. Padahal masih banyak hal yang harus aku selesaikan.” Cheryl memutuskan untuk mengakhiri perdebatannya dengan Bara. Ia tak ingin berlama-lama berbicara dengan pria itu atau lama-lama ia bisa sinting. “Permisi, Pak Bara.” Nada suara Cheryl terdengar tenang, tapi jari-jarinya yang mengepal di sisi tubuhnya mengkhianati kegelisahannya."Pak Bara...." Bara mengulang dengan nada rendah, suaranya serak dengan sesuatu yang terdengar seperti godaan. "Rasanya aneh mendengarmu memanggilku begitu, Cheryl.” Ia menyipitkan mata, mengamati wajah Cheryl dengan intensitas yang membuat udara di antara mereka mendadak terasa lebih berat. “Itu terdengar sangat... patuh. Padahal kamu nggak sepatuh itu. Kamu selalu memikirkan cara untuk melawanku. Begitu, kan?”Cheryl menelan ludah, lalu memutar bola mata, pura-pura tak terganggu. Namun, panas yang merambat di tengkuknya justru berkata sebaliknya. Beruntung, ketukan di pintu menyelamatkannya dari jebakan ber
Cheryl baru saja melangkah masuk ketika suara Sofyan menyambarnya tanpa peringatan."Cher, Pak Bara barusan telepon. Nanti kamu jam lima diminta balik ke ruangan wardrobe buat lanjutin beres-beres."Langkahnya terhenti. Seketika, tubuhnya menegang.Jam lima?Pikiran Cheryl berputar liar. Udara di sekelilingnya terasa lebih berat, seakan mengurungnya dalam jebakan tak kasatmata. Bayangan ruangan itu—udara yang dipenuhi aroma maskulin khas Bara, desakan tubuhnya yang mendekat terlalu intim, napasnya yang nyaris membakar kulitnya—semuanya kembali menghantamnya tanpa ampun.Ia menggigit bibir.Sial.Jejak ciuman Bara masih terasa. Seolah pria itu belum benar-benar melepaskannya."Jam segitu Pak Bara ke mana, Mas? Dia… lagi nggak ada di kantornya, kan?" Suaranya terdengar normal, tapi tangannya mengepal di sisi tubuhnya, seolah itu satu-satunya cara untuk tetap tegak berdiri."Meeting sama direksi di lantai 17. Nggak mungkin jugalah dia nyuruh kita beres-beres di ruangannya kalau dia lagi
Pikiran Cheryl seketika melompat kembali ke ruangan itu, pada napas Bara yang berat, pada genggaman tangannya yang mencengkeram pinggangnya, pada tekanan bibirnya yang panas, mengklaimnya dengan intensitas yang membuatnya nyaris kehilangan akal sehat.Cheryl menelan ludah, mencoba mengabaikan gejolak aneh yang berkecamuk di benaknya. “Cher?”Suara Sofyan menyadarkannya dari lamunan. Cheryl buru-buru mengangguk, menata ekspresi seolah tak ada yang terjadi.“Jadi kalau besok-besok kamu lihat Pak Bara pakai baju putih, mungkin dia lagi happy.” Sofyan terkekeh ringan. “Atau… dia lagi punya mood bagus karena sesuatu.”Sesuatu?Cheryl menarik napas panjang, berusaha menenangkan hatinya yang berdebar dengan cara menyebalkan.‘Ini bukan apa-apa, Cheryl. Hanya kebetulan.’ Tidak mungkin ada hubungannya dengan dirinya. Tidak mungkin ada hubungannya dengan ciuman itu. Atau mungkin, Bara baru saja memenangkan tender bisnis bernilai triliunan.Ya. Itu lebih masuk akal.Seorang Bara Wardhana tida
Bara sedang duduk di balik meja kerjanya, jemarinya bergerak lincah di atas keyboard, mencatat beberapa poin penting dari laporan keuangan yang baru saja ia telaah. Di layar, angka-angka terus bergulir, memperlihatkan stabilitas perusahaan yang tetap kokoh di bawah kendalinya. Ia menyukai momen seperti ini, ketika segalanya berada dalam kendali, ketika setiap keputusan bisnisnya dihitung dengan cermat, tanpa ruang untuk kesalahan. Tapi sayangnya ketenangan itu hanya bertahan sekejap. Karena tanpa aba-aba, pintu ruangannya tiba-tiba saja terayun terbuka. Ia mendongak sedikit, seketika itu juga sorot malas terpancar di matanya. Ck. Bara tidak suka kejutan. Apalagi yang melibatkan wanita ini.Ibu tirinya berdiri di hadapannya, ada ketegangan di garis rahang wanita itu. Sorot matanya yang memandangnya tajam menyiratkan sesuatu, seolah-olah ia begitu kecewa kepada Bara. Lucu. Seolah Bara telah berutang banyak kesalahan padanya, bukan malah sebaliknya.Di belakangnya, Nina tampak pani
"Aku tahu… aku telah menyakitimu, Bara." Suara Rini bergetar di antara isakannya. "Aku tidak meminta pengampunan, karena aku tahu kamu berhak marah, berhak membenciku. Tapi setidaknya, jangan membenci papamu sendiri."Bara tercengang. Untuk pertama kalinya ada seseorang yang berhasil membuatnya tercengang dalam sebuah pembicaraan empat mata.Bah. Atas dasar apa wanita itu menguliahinya?Sungguh. Ia angkat topi atas ‘ketidaktahuan diri’ wanita itu. Mungkin jika ada ‘lomba orang paling tidak tahu diri sedunia’, wanita itulah pemenangnya.Tatapan Bara yang semula datar berubah dingin, menusuk, tanpa setitik pun belas kasih. Ia mencondongkan tubuh, melipat tangannya di permukaan meja. "Setiap perbuatan ada harganya."Rini yang sejak tadi berdiri—karena Bara tidak mempersilakannya duduk— mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ia tahu percakapan ini tidak akan ia menangkan. Tapi ia juga tidak datang untuk menang."Ayahmu sakit, Bara." Kali ini suaranya lebih lembut, seperti membujuk. "Apa kau
“Nama yang bagus.” Rini berkata setelah membaca deretan huruf yang tertera di ID card Cheryl. “Cheryl Anindita.” Ia mengulang nama itu pelan, seperti ingin mengingatnya. "Ayahku yang menamainya," Cheryl tersenyum kecil. “Katanya, Cheryl berasal dari bahasa Perancis chérie, yang artinya tersayang atau tercinta.""Lalu, Anindita?" tanya Rini, sambil tersenyum kecil. "Itu dari bahasa Sansekerta.” Cheryl tersenyum malu-malu. “Artinya sempurna, tanpa cacat, atau unggul."Rini mengangguk-angguk pelan. "Wah, namamu berarti… seseorang yang layak dicintai dengan sempurna. Nama adalah doa. Ayahmu pandai sekali mendoakanmu.”Cheryl terkekeh kecil. "Ayahku memang sangat mencintaiku. Tapi aku jauh dari sempurna."Rini tersenyum seraya memperhatikan gadis itu lebih lekat. "Tapi kamu memiliki sesuatu yang istimewa, sehingga kamu akan terlihat begitu sempurna di mata orang yang mencintaimu.”Cheryl tertawa kecil, tapi ada sesuatu yang redup di matanya. Ada rindu yang mendalam yang terasa begitu n
Tuan Sigit masih terpaku di tempatnya. Ponsel di tangannya terasa dingin, nyaris membeku. Telepon itu sudah diputus sepihak oleh Valen. Dan untuk pertama kalinya, seseorang berani menutup telepon lebih dulu darinya. Lebih dari itu, untuk pertama kalinya pula... Tuan Sigit tidak bisa berbuat apa-apa.Rahangnya mengeras. Otot-ototnya menegang. Ia menggertakkan gigi, geram sekaligus tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.“Bisa-bisanya selama ini aku tidak tahu kalau Valen adalah cucunya Tuan Januar?” desisnya, nyaris seperti gumaman pahit yang tercekat di tenggorokan. Matanya menajam, penuh kemarahan yang tak bisa dilampiaskan.Nama itu—Januar Sutanto—bergema di kepalanya seperti dentang lonceng. Sosok legendaris yang tak sekadar berpengaruh di dunia bisnis, tapi juga menjadi tokoh panutan lintas generasi. Pendiam, karismatik, dan dikenal karena jaringan kekuasaan yang begitu luas, bahkan para pejabat tinggi pun menunduk saat berbicara dengannya. Dalam diamnya, Tuan Januar mena
Setelah beberapa basa-basi ringan, Tuan Sigit akhirnya menyentuh inti pembicaraan. Suaranya terdengar lebih serius, mengandung harap sekaligus tekanan yang tak tersamar.“Dok, kau adalah salah satu dokter ortopedi terbaik di Asia Tenggara yang pernah kukenal.” Ia berhenti sejenak, memberi jeda pada kalimatnya, seakan ingin memastikan Valen mendengarkan dengan saksama. “Karena itu, aku sangat berharap kau bersedia membantu calon menantuku. Ia menderita Spondilitis Ankilosa, dan kondisinya kian memburuk. Apakah Bara sudah menemuimu dan membicarakan hal ini?”Valen terdiam sejenak. Ada keraguan yang bergemuruh dalam pikirannya. Akan sangat mudah baginya untuk menjawab ‘tidak’ dan menjaga jarak dari drama keluarga Wardhana, kisah yang selalu berujung rumit. Akan lebih tenang hidupnya jika tak banyak ikut campur ke dalam masalah mereka.Sayangnya, hati Valen tak bisa sedingin itu. Ia telah mengenal Bara terlalu lama untuk bersikap acuh. Ia menyayangi pria itu layaknya adik sendiri, dan ba
“Ayo kita pulang, kita bicarakan ini di rumah,” ajak Bara, suaranya lembut tapi tegas, penuh harap, seolah ia ingin mengangkat mereka keluar dari jurang yang baru saja mereka tatap bersama.Cheryl tak langsung menjawab. Ia menghela napas panjang, berat, seperti menarik semua keraguan dari dalam dadanya.“Pulang?” gumamnya lirih. Ada jeda dalam suaranya, keengganan yang tak bisa ia tutupi. “Kamu pikir aku bisa kembali ke rumah itu tanpa membayangkan bakal ada wanita lain yang juga akan menjadi istrimu?”Bara menggertakkan rahangnya pelan. “Sayang, kumohon. Aku tahu aku sudah keterlaluan. Tapi aku nggak ingin rumah itu kosong tanpamu, Cheryl. Aku butuh kamu di sana, Cheryl… tanpa kamu, rumah itu seperti kuburan bagiku.”Cheryl menoleh perlahan. Matanya basah, tapi kali ini tak ada air mata yang jatuh. Hanya pandangan penuh luka yang menggores dalam. “Kamu harus mulai belajar untuk tidak membutuhkan aku lagi, Bara. Demikian juga aku. Kita harus mulai membiasakan diri untuk tidak saling m
Bara menatap Valen dalam diam. Sorot matanya penuh kemarahan yang terpendam—dingin, tapi tajam seperti ujung pisau. Ia menggertakkan rahangnya perlahan, menahan dorongan untuk melampiaskan semuanya dengan kata-kata yang lebih kasar.Ada banyak kata yang ingin dimuntahkannya, tapi ia memilih menahannya. Bukan karena tak punya keberanian, melainkan karena ia tahu jika Valen bukan sembarang pria. Dan karena itu... ia harus lebih cerdas dari emosinya.Bara mengunci pandangannya pada Valen. “Jadi semua ini cuma karena Cheryl?” Suaranya pelan, tapi mengandung daya hantam yang tak bisa dihindari. “Bukan karena kamu memang ingin menolongku?”Lalu ia menarik napas panjang, menghembuskannya perlahan. Dalam hening itu, Bara membuat satu keputusan.“Terima kasih atas bantuannya, Dok. Tapi aku akan membawa Cheryl pulang. Dia istriku. Tanggung jawabku. Dan tempatnya adalah di rumah kami. Bukan di sini.”Tanpa menunggu reaksi Valen, Bara memutar badan dan membuka pintu. Suara derit engsel menjadi pe
Ruangan itu hening setelah Bara dan Valen menghilang ke balik pintu. Cheryl duduk sendirian di atas sofa yang empuk, tapi tak bisa merasa nyaman sedikit pun. Ia menghela napas berat, mencoba mengusir kegelisahan yang menyusup dalam diam. Matanya tiba-tiba menatap remote televisi di meja kecil di sebelahnya. Tangannya bergerak refleks, meraihnya dan menekan tombol power. Cahaya dari layar memantul ke wajahnya yang pucat, memberikan warna pada keheningan yang menekan.Tapi Cheryl tidak benar-benar berniat menonton. Ia hanya ingin mengalihkan pikiran. Menenangkan diri. Menyibukkan mata, walau pikirannya tetap berputar-putar di tempat yang sama, tentang ketegangan barusan, antara Bara dan Valen. Tapi Cheryl tak benar-benar ingin menonton. Ia hanya butuh sesuatu—apa saja—untuk mengalihkan pikirannya. Sesuatu yang bisa menenggelamkan kekacauan di kepalanya. Jempolnya menari cepat, berpindah dari satu saluran ke saluran lain—iklan, sinetron, berita politik. Tak satu pun yang mampu menahan
“Tempat ini paling aman untuk Cheryl saat ini,” ucap Valen akhirnya, suaranya tetap tenang, tapi mengandung ketegasan. “Orang-orang Tuan Sigit akan menyisir semua kemungkinan jejak tentang hubungan kalian, termasuk rumahmu, bahkan mungkin rumah sakit tempat kalian dinikahkan. Tapi mereka tidak akan pernah mencari ke sini.”Bara menyipitkan mata. Rahangnya mengeras. “Kau meremehkan kemampuanku melindungi istriku sendiri, Dok?”Nada bicara Bara terdengar seperti peringatan. Tegas, dingin, namun tak meledak—ia menahan diri. Tapi sorot matanya berbicara lebih dari itu: penuh perhitungan, dan tak suka diremehkan.Cheryl menegang. Jantungnya berdebar lebih kencang menyaksikan intensitas antara dua pria yang berdiri di hadapannya. Suasana seolah mengerucut tajam, seperti dua kekuatan besar yang siap bertabrakan dalam diam.Valen berdiri tegap. Sorot matanya tajam, dan wajahnya tak lagi menyimpan sisa-sisa gurauan seperti biasanya. Cheryl menelan ludah, sulit percaya bahwa pria yang selama in
“Halo, Dok?” sapa Bara, suaranya tenang namun penuh kewaspadaan. Ia tak melepaskan pelukannya dari Cheryl. Bahkan seolah sengaja menguatkannya, seakan ingin menegaskan bahwa perempuan dalam dekapannya itu bukan sekadar rekan kerja biasa.Tatapan dokter Joshua alias Valen beralih dari Bara ke Cheryl, lalu kembali ke Bara. Ada kegamangan yang nyaris tak tersamar di balik senyumnya.“Cheryl adalah…” Bara menarik napas, lalu melanjutkan dengan mantap, “istriku. Kami menikah diam-diam sejak beberapa bulan lalu. Di salah satu rumah sakitmu.”Keheningan yang menyusul terasa menggantung di udara seperti kabut tipis yang enggan menguap.Valen mematung, menatap keduanya seolah mencoba memastikan apakah telinganya tidak salah dengar. “Di rumah sakit?” ulangnya nyaris tak percaya. Matanya berkedip cepat. “Kalian… menikah di rumah sakit?”“Ya,” jawab Bara tegas. “Semua berlangsung cepat, sederhana, tapi sah.”Valen tak langsung menjawab. Ia mengerjap, seperti mencoba menelan seluruh informasi seka
Cheryl melangkah perlahan mendekati Bara, diam-diam menyeka air matanya sendiri yang sejak tadi menggantung di pelupuk. Ia tak tahu bagaimana cara menyembuhkan luka-luka suaminya, luka yang bahkan tidak pernah diminta untuk dipahami, apalagi dijamah. Luka-luka yang selama ini berhasil disembunyikan dengan begitu rapi, hingga Bara tampak nyaris sempurna di mata siapa pun.Mungkin Bara juga ingin menyembunyikan kerapuhan itu darinya. Tapi Cheryl tak ingin berpura-pura tak melihatnya. Ia ingin perlahan membongkar benteng itu, ingin Bara bersedia membagi beban itu dengannya. Ia ingin menjadi satu-satunya tempat pulang yang teduh bagi suaminya, tempat di mana Bara bisa berhenti berpura-pura kuat.Cheryl melingkarkan kedua lengannya ke tubuh Bara, memeluknya dari samping. Hangat, lembut, namun penuh tekad. Dan perlahan, dada Bara yang semula naik turun dengan napas berat terlihat mulai tenang, meski matanya tetap menatap nanar ke kejauhan."Aku di sini," bisik Cheryl, suaranya pelan namun p
Bara masih membeku di tempat, seolah tubuhnya kehilangan kemampuan untuk bereaksi, seakan seluruh udara di ruangan telah disedot keluar. Matanya menatap Rini lekat-lekat. Pandangan itu menyimpan bara kebencian sekaligus luka yang begitu dalam, menganga, dan belum pernah benar-benar sembuh. Tak ada kata yang meluncur dari bibirnya, tapi pandangannya berbicara lantang: kau telah menghancurkan segalanya.Rini menahan napas. Ada getar getir yang menyelinap di dalam dadanya, dan untuk sesaat, ia tak kuasa menatap balik mata putra tirinya itu. Tapi ia tahu, ini saatnya menghadapi semuanya. Rini akhirnya bersuara, pelan namun jelas, dengan nada yang menyayat dan penuh penyesalan."Maafkan aku, Bara…," suaranya bergetar. "Aku menyesal telah menyakitimu, Sabira... dan terlebih lagi, mamamu." Ia menunduk, air mata mengalir di pipinya. "Cintaku pada papamu terlalu besar. Sampai-sampai aku tak melihat apa pun selain dia. Aku buta oleh cinta. Aku egois. Kau berhak membenciku. Karena aku tahu, maa