‘Mati aku!’Jantung Cheryl serasa terhenti sesaat. Seakan dunia mengerut, menyisakan dirinya yang membeku dalam ketakutan. Telapak tangannya berkeringat, jemarinya sedingin es dalam genggaman Axel yang hangat.Axel, yang awalnya hanya ingin membuat kejutan manis, kini diliputi kebingungan. Ia tak menyangka Cheryl akan bereaksi seolah ia baru saja menyeret gadis itu ke tengah badai.Ia tahu Cheryl bukan tipe gadis yang nyaman dengan kemewahan, tapi ia tak pernah membayangkan reaksi setegang ini, seolah-olah ia baru saja menyeret gadis itu ke dalam kandang singa."Cher, santai aja. Aku nggak bakal merampokmu, kok."Axel membisikkan kata-kata itu dengan suara rendah yang berniat menenangkan, tapi justru menghasilkan efek sebaliknya.Tubuh Cheryl justru semakin menegang.Sebab di sana, ada sepasang mata setajam elang yang menghujam lurus ke arahnya, tidak berkedip. Tatapan yang tajam dan dingin… seperti pisau yang siap mengirisnya hingga ke tulang. Rahang pria itu tampak mengeras, garis-
Axel menatap Cheryl, menahan senyum gelinya saat melihat ekspresi pucat gadis itu. Jemari Cheryl mencengkeram buku menu, dan matanya menelusuri deretan angka dengan sorot tak percaya.Axel terkekeh pelan. “Cheryl, pilihlah apa saja yang kamu mau. Abaikan harganya, daripada nanti perutmu mulas dan nggak bisa menikmati makanan yang seharusnya enak-enak itu.”Cheryl mengangkat kepalanya, menatap Axel dengan tajam sebelum mendengus pelan. “Axel, aku—”Tapi Axel segera mengangkat tangannya, memotong ucapan itu. “Kali ini aku yang traktir.” Senyumnya melebar. “Ada sesuatu yang sedang ingin kurayakan. Jadi jangan khawatir… dompetmu aman.”Kening gadis itu mengerut, jelas ada banyak pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya.“Axel. Ini semua serba mahal.” Cheryl menunjuk angka-angka yang tertera di menu lewat lirikan mata. “Apa gajimu sebanyak itu?”Itu baru pertanyaan pertama, Axel yakin.“Kamu bisa cari tahu sendiri berapa gaji staff IT di Apex,” ujar Axel ringan.Cheryl menatapnya dengan eks
Axel menyandarkan punggungnya ke kursi, matanya tak lepas dari Cheryl yang sibuk memainkan garpunya di atas piring. Senyumnya masih mengembang, menikmati bagaimana gadis itu tampak salah tingkah setelah perkataannya sendiri.“Jadi, Cher, bagaimana makanannya? Sudah cukup sepadan dengan harga yang tertera di menu?” godanya, mengangkat alis dengan ekspresi menggoda.Cheryl menatapnya sekilas sebelum pura-pura menghela napas panjang. “Cukup. Tapi mungkin lain kali aku tetap memilih sendiri,” balasnya, mencoba mengendalikan rona merah yang merayap di pipinya.Axel terkekeh. “Lain kali? Wah, ini sudah kedua kalinya kamu secara tidak sadar menjadwalkan pertemuan berikutnya.”Cheryl mendelik, tapi Axel bisa melihat sudut bibir gadis itu bergetar seakan terkejut sendiri dengan perkataannya. “M-maksudku… kalau aku makan di tempat mahal seperti ini lagi, aku yang akan pilih menunya sendiri.”Axel mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, jemarinya memainkan garpu dengan santai. “Tapi kalau aku
“Permisi, Pak Bara. Ruangan privat untuk pertemuan Anda sudah siap.” Nina, sekretarisnya, memberitahu. Tampak kehati-hatian di wajah Nina, seolah ia khawatir mengganggu sang CEO yang sejak tadi tampak melamun. “Tumben, biasanya si bos nggak pernah melamun dengan muka tegang kayak gitu. Gawat. Apa lagi ada masalah bisnis yang serius ya?” pikirnya dalam hati.Bara menata ekspresinya kembali datar meskipun ada bara yang masih menyala di dalam dadanya. Ia bangkit dari kursi, melangkah dengan ketenangan khasnya. Nina mengikuti di belakang dengan langkah ringan namun sigap. Wanita itu cekatan, profesional, dan tahu kapan harus diam. Sejak bertahun-tahun bekerja untuknya, Nina sudah terbiasa dengan cara Bara menyaring emosi di hadapan publik, menyimpan semuanya di bawah permukaan seperti lautan yang terlihat tenang, padahal di bawahnya penuh gelombang yang tak terlihat.“Silakan masuk.” Sambut pelayan yang membukakan pintu sebuah ruang privat untuk mereka. Bara melirik sekilas pada doku
Di tengah kekacauan yang membelit pikirannya, Bara nyaris tak bisa berbuat apa-apa selain berusaha mempertahankan ekspresi tenangnya. Ia menelan ludah, berusaha mengabaikan sensasi panas yang merayap di tengkuknya. Axel seharusnya tidak ada di sini. Tidak dalam pertemuan yang sudah ia rancang dengan penuh perhitungan. Tidak di hadapan orang-orang yang harusnya melihatnya sebagai sosok yang penuh kendali.Jari-jarinya menggenggam rapat di bawah meja, begitu keras hingga buku-buku jarinya memutih. Ia menarik napas, mencoba menenangkan diri, tetapi bisik-bisik antara Axel dan Dokter Joshua yang bercampur dengan suara tawa ringan mereka tertangkap oleh telinganya.“Om tunggu perkenalan dengan pacarmu itu.” Suara Dokter Joshua terdengar menggoda. “Apa perlu sekarang saja?” "Jangan rese, ya. Dia orangnya pemalu," sahut Axel yang sudah biasa digoda oleh om kesayangannya itu."Oh, pemalu ya?" Dokter Joshua terdengar menggoda. "Jadi seleramu gadis yang pemalu? Pasti dia terlihat sangat cant
Di ruangannya, Sofyan sedang fokus membaca laporan pajak milik Bara ketika ponselnya bergetar di atas meja. Ia melirik layar sebentar sebelum menjawab."Yuhuu, apa Nina cantik?" tanyanya dengan nada menggoda."Ada pesan dari bos," suara Nina terdengar santai, seperti biasa jika berbicara dengan Sofyan—profesional, tapi tetap terasa seperti teman sendiri. "Katanya wardrobe di kantornya perlu diperiksa. Sepertinya ada sesuatu yang harus diurus di sana."Sofyan mengernyit. Wardrobe? Bara tidak pernah menyebutkan apa pun soal itu sebelumnya. Ia mencoba mengingat, tapi tak ada instruksi atau catatan yang berkaitan."Maksudnya wardrobe-nya diapakan, Nin?" "Lah, ya nggak tahu. Pak Bos cuma bilang gitu, nggak ada detail lain. Kupikir kamu sudah tahu."Sofyan mengusap dagunya, berpikir cepat. ‘Waduh, mana aku belum nunjukin itu ke Cheryl. Padahal dia yang harus pegang ini mulai sekarang.’"Oke, noted. Makasih, Nin."Tanpa membuang waktu, ia membuka daftar kontak dan menekan nama Cheryl.Semen
Cheryl melangkah masuk ke kantor dengan napas sedikit memburu, sisa adrenalin masih mengalir di nadinya. Dengan gerakan cekatan, ia menempelkan kartu akses ke sensor, pintu lift VIP terbuka, dan dalam hitungan detik ia sudah melesat ke lantai tujuan.Tanpa basa-basi, ia mendorong pintu ruangan Sofyan dan mengumumkan kedatangannya, "Hadir!"Sofyan yang sedang asyik mengunyah bakmi nyaris tersedak. Pria itu batuk kecil sebelum akhirnya terkekeh melihat Cheryl yang berdiri di ambang pintu, dengan rambut yang sedikit berantakan."Kayak habis dikejar setan, kamu, Cher," godanya, sebelum kembali menyumpit bakmi ke mulutnya dengan santai.Cheryl mendengus. "Iya, setannya Mas Sofyan! Nyuruh aku buru-buru sampai sebelum si bos datang, tapi Mas Sofyan sendiri malah santai enak-enakan makan bakmi."Sofyan hanya mengangkat bahu, sama sekali tak merasa bersalah. "Ya kudu dienakin lah. Dari tadi otakku ngebul ngurusin laporan pajaknya Pak Bara." Lalu, alisnya terangkat curiga. "Lah, kamu? Ngapain a
Cheryl menatap Bara dengan napas yang masih tersengal. Ada sesuatu yang gelap di mata pria itu. Sesuatu yang begitu intens, begitu menuntut, hingga tubuhnya merespons sebelum pikirannya bisa memproses.“Bara—”Cheryl tanpa sadar mendesahkan namanya, suaranya terhenti begitu saja ketika jari-jari kasar pria itu mengangkat dagunya. Tatapan mereka bertaut, dan dalam detik berikutnya, Bara menariknya lebih dekat, hingga tubuh mereka nyaris tak menyisakan jarak."Apa yang kamu lakukan dengan Axel tadi, Cheryl? Apa dia juga menciummu seperti aku?" suaranya rendah, dalam, seperti bara api yang menyala pelan namun membakar. Cheryl tersentak. Ia tak menyangka Bara akan berpikir sampai seperti itu. Axel menciumnya seperti barusan? Membayangkannya saja dia….Sebelum Cheryl sempat merespons, bibir Bara kembali melumatnya. Bukan ciuman lembut, bukan sentuhan hati-hati. Tapi tuntutan. Penguasaan. Bibirnya menekan dengan kuat, seolah menuntut jawaban yang sama ganasnya.Satu lengannya melingkari pi
Tuan Sigit masih terpaku di tempatnya. Ponsel di tangannya terasa dingin, nyaris membeku. Telepon itu sudah diputus sepihak oleh Valen. Dan untuk pertama kalinya, seseorang berani menutup telepon lebih dulu darinya. Lebih dari itu, untuk pertama kalinya pula... Tuan Sigit tidak bisa berbuat apa-apa.Rahangnya mengeras. Otot-ototnya menegang. Ia menggertakkan gigi, geram sekaligus tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.“Bisa-bisanya selama ini aku tidak tahu kalau Valen adalah cucunya Tuan Januar?” desisnya, nyaris seperti gumaman pahit yang tercekat di tenggorokan. Matanya menajam, penuh kemarahan yang tak bisa dilampiaskan.Nama itu—Januar Sutanto—bergema di kepalanya seperti dentang lonceng. Sosok legendaris yang tak sekadar berpengaruh di dunia bisnis, tapi juga menjadi tokoh panutan lintas generasi. Pendiam, karismatik, dan dikenal karena jaringan kekuasaan yang begitu luas, bahkan para pejabat tinggi pun menunduk saat berbicara dengannya. Dalam diamnya, Tuan Januar mena
Setelah beberapa basa-basi ringan, Tuan Sigit akhirnya menyentuh inti pembicaraan. Suaranya terdengar lebih serius, mengandung harap sekaligus tekanan yang tak tersamar.“Dok, kau adalah salah satu dokter ortopedi terbaik di Asia Tenggara yang pernah kukenal.” Ia berhenti sejenak, memberi jeda pada kalimatnya, seakan ingin memastikan Valen mendengarkan dengan saksama. “Karena itu, aku sangat berharap kau bersedia membantu calon menantuku. Ia menderita Spondilitis Ankilosa, dan kondisinya kian memburuk. Apakah Bara sudah menemuimu dan membicarakan hal ini?”Valen terdiam sejenak. Ada keraguan yang bergemuruh dalam pikirannya. Akan sangat mudah baginya untuk menjawab ‘tidak’ dan menjaga jarak dari drama keluarga Wardhana, kisah yang selalu berujung rumit. Akan lebih tenang hidupnya jika tak banyak ikut campur ke dalam masalah mereka.Sayangnya, hati Valen tak bisa sedingin itu. Ia telah mengenal Bara terlalu lama untuk bersikap acuh. Ia menyayangi pria itu layaknya adik sendiri, dan ba
“Ayo kita pulang, kita bicarakan ini di rumah,” ajak Bara, suaranya lembut tapi tegas, penuh harap, seolah ia ingin mengangkat mereka keluar dari jurang yang baru saja mereka tatap bersama.Cheryl tak langsung menjawab. Ia menghela napas panjang, berat, seperti menarik semua keraguan dari dalam dadanya.“Pulang?” gumamnya lirih. Ada jeda dalam suaranya, keengganan yang tak bisa ia tutupi. “Kamu pikir aku bisa kembali ke rumah itu tanpa membayangkan bakal ada wanita lain yang juga akan menjadi istrimu?”Bara menggertakkan rahangnya pelan. “Sayang, kumohon. Aku tahu aku sudah keterlaluan. Tapi aku nggak ingin rumah itu kosong tanpamu, Cheryl. Aku butuh kamu di sana, Cheryl… tanpa kamu, rumah itu seperti kuburan bagiku.”Cheryl menoleh perlahan. Matanya basah, tapi kali ini tak ada air mata yang jatuh. Hanya pandangan penuh luka yang menggores dalam. “Kamu harus mulai belajar untuk tidak membutuhkan aku lagi, Bara. Demikian juga aku. Kita harus mulai membiasakan diri untuk tidak saling m
Bara menatap Valen dalam diam. Sorot matanya penuh kemarahan yang terpendam—dingin, tapi tajam seperti ujung pisau. Ia menggertakkan rahangnya perlahan, menahan dorongan untuk melampiaskan semuanya dengan kata-kata yang lebih kasar.Ada banyak kata yang ingin dimuntahkannya, tapi ia memilih menahannya. Bukan karena tak punya keberanian, melainkan karena ia tahu jika Valen bukan sembarang pria. Dan karena itu... ia harus lebih cerdas dari emosinya.Bara mengunci pandangannya pada Valen. “Jadi semua ini cuma karena Cheryl?” Suaranya pelan, tapi mengandung daya hantam yang tak bisa dihindari. “Bukan karena kamu memang ingin menolongku?”Lalu ia menarik napas panjang, menghembuskannya perlahan. Dalam hening itu, Bara membuat satu keputusan.“Terima kasih atas bantuannya, Dok. Tapi aku akan membawa Cheryl pulang. Dia istriku. Tanggung jawabku. Dan tempatnya adalah di rumah kami. Bukan di sini.”Tanpa menunggu reaksi Valen, Bara memutar badan dan membuka pintu. Suara derit engsel menjadi pe
Ruangan itu hening setelah Bara dan Valen menghilang ke balik pintu. Cheryl duduk sendirian di atas sofa yang empuk, tapi tak bisa merasa nyaman sedikit pun. Ia menghela napas berat, mencoba mengusir kegelisahan yang menyusup dalam diam. Matanya tiba-tiba menatap remote televisi di meja kecil di sebelahnya. Tangannya bergerak refleks, meraihnya dan menekan tombol power. Cahaya dari layar memantul ke wajahnya yang pucat, memberikan warna pada keheningan yang menekan.Tapi Cheryl tidak benar-benar berniat menonton. Ia hanya ingin mengalihkan pikiran. Menenangkan diri. Menyibukkan mata, walau pikirannya tetap berputar-putar di tempat yang sama, tentang ketegangan barusan, antara Bara dan Valen. Tapi Cheryl tak benar-benar ingin menonton. Ia hanya butuh sesuatu—apa saja—untuk mengalihkan pikirannya. Sesuatu yang bisa menenggelamkan kekacauan di kepalanya. Jempolnya menari cepat, berpindah dari satu saluran ke saluran lain—iklan, sinetron, berita politik. Tak satu pun yang mampu menahan
“Tempat ini paling aman untuk Cheryl saat ini,” ucap Valen akhirnya, suaranya tetap tenang, tapi mengandung ketegasan. “Orang-orang Tuan Sigit akan menyisir semua kemungkinan jejak tentang hubungan kalian, termasuk rumahmu, bahkan mungkin rumah sakit tempat kalian dinikahkan. Tapi mereka tidak akan pernah mencari ke sini.”Bara menyipitkan mata. Rahangnya mengeras. “Kau meremehkan kemampuanku melindungi istriku sendiri, Dok?”Nada bicara Bara terdengar seperti peringatan. Tegas, dingin, namun tak meledak—ia menahan diri. Tapi sorot matanya berbicara lebih dari itu: penuh perhitungan, dan tak suka diremehkan.Cheryl menegang. Jantungnya berdebar lebih kencang menyaksikan intensitas antara dua pria yang berdiri di hadapannya. Suasana seolah mengerucut tajam, seperti dua kekuatan besar yang siap bertabrakan dalam diam.Valen berdiri tegap. Sorot matanya tajam, dan wajahnya tak lagi menyimpan sisa-sisa gurauan seperti biasanya. Cheryl menelan ludah, sulit percaya bahwa pria yang selama in
“Halo, Dok?” sapa Bara, suaranya tenang namun penuh kewaspadaan. Ia tak melepaskan pelukannya dari Cheryl. Bahkan seolah sengaja menguatkannya, seakan ingin menegaskan bahwa perempuan dalam dekapannya itu bukan sekadar rekan kerja biasa.Tatapan dokter Joshua alias Valen beralih dari Bara ke Cheryl, lalu kembali ke Bara. Ada kegamangan yang nyaris tak tersamar di balik senyumnya.“Cheryl adalah…” Bara menarik napas, lalu melanjutkan dengan mantap, “istriku. Kami menikah diam-diam sejak beberapa bulan lalu. Di salah satu rumah sakitmu.”Keheningan yang menyusul terasa menggantung di udara seperti kabut tipis yang enggan menguap.Valen mematung, menatap keduanya seolah mencoba memastikan apakah telinganya tidak salah dengar. “Di rumah sakit?” ulangnya nyaris tak percaya. Matanya berkedip cepat. “Kalian… menikah di rumah sakit?”“Ya,” jawab Bara tegas. “Semua berlangsung cepat, sederhana, tapi sah.”Valen tak langsung menjawab. Ia mengerjap, seperti mencoba menelan seluruh informasi seka
Cheryl melangkah perlahan mendekati Bara, diam-diam menyeka air matanya sendiri yang sejak tadi menggantung di pelupuk. Ia tak tahu bagaimana cara menyembuhkan luka-luka suaminya, luka yang bahkan tidak pernah diminta untuk dipahami, apalagi dijamah. Luka-luka yang selama ini berhasil disembunyikan dengan begitu rapi, hingga Bara tampak nyaris sempurna di mata siapa pun.Mungkin Bara juga ingin menyembunyikan kerapuhan itu darinya. Tapi Cheryl tak ingin berpura-pura tak melihatnya. Ia ingin perlahan membongkar benteng itu, ingin Bara bersedia membagi beban itu dengannya. Ia ingin menjadi satu-satunya tempat pulang yang teduh bagi suaminya, tempat di mana Bara bisa berhenti berpura-pura kuat.Cheryl melingkarkan kedua lengannya ke tubuh Bara, memeluknya dari samping. Hangat, lembut, namun penuh tekad. Dan perlahan, dada Bara yang semula naik turun dengan napas berat terlihat mulai tenang, meski matanya tetap menatap nanar ke kejauhan."Aku di sini," bisik Cheryl, suaranya pelan namun p
Bara masih membeku di tempat, seolah tubuhnya kehilangan kemampuan untuk bereaksi, seakan seluruh udara di ruangan telah disedot keluar. Matanya menatap Rini lekat-lekat. Pandangan itu menyimpan bara kebencian sekaligus luka yang begitu dalam, menganga, dan belum pernah benar-benar sembuh. Tak ada kata yang meluncur dari bibirnya, tapi pandangannya berbicara lantang: kau telah menghancurkan segalanya.Rini menahan napas. Ada getar getir yang menyelinap di dalam dadanya, dan untuk sesaat, ia tak kuasa menatap balik mata putra tirinya itu. Tapi ia tahu, ini saatnya menghadapi semuanya. Rini akhirnya bersuara, pelan namun jelas, dengan nada yang menyayat dan penuh penyesalan."Maafkan aku, Bara…," suaranya bergetar. "Aku menyesal telah menyakitimu, Sabira... dan terlebih lagi, mamamu." Ia menunduk, air mata mengalir di pipinya. "Cintaku pada papamu terlalu besar. Sampai-sampai aku tak melihat apa pun selain dia. Aku buta oleh cinta. Aku egois. Kau berhak membenciku. Karena aku tahu, maa